WORKING PAPER HUBUNGAN GAYA KOMUNIKASI ORANGTUA DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU ASERTIF REMAJA DI DKI JAKARTA Diandra January Putri Universitas Bina Nusantara, jp.diandra@gmail.com ABSTRACT The aim of this research was to see the relationship between parents communication styles with adolescent assertive behaviour. The method used in this research was a quantitative one, using a correlational study approach. The sample in this research were 200 adolescents in DKI Jakarta; the non-probability sampling was used as the sampling technique. The correlation between parents communication styles and adolescent assertive behavior was found to be significant. An assertive communication style of the parents influenced strongly the adolescent s assertive behavior. Futhermore, the father s communication style had more influence over the mother s on the adolescent s assertive behavior.(djp) Key Words: Assertive Behaviour, Parents communication style, early adolescence ABSTRAK Tujuan penelitian ini ialah untuk melihat hubungan Gaya Komunikasi Orangtua dengan Kecenderungan Perilaku Asertif Remaja. Metode yang digunakan adalah kuantitatif dengan pendekatan correlational study. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 200 remaja di DKI Jakarta. non probability sampling merupak teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini. Korelasi antara gaya komunikasi orangtua dan perilaku asertif remaja menghasilkan analisis yang signifikan. Gaya komunikasi orangtua asertif sangat mempengaruhi perilaku asertif remaja. Gaya komunikasi ayah memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan gaya komunikasi ibu pada perilaku asertif remaja.(djp)
Kata Kunci : Perilaku Asertif, Gaya Komunikasi Orangtua, Remaja Awal PENDAHULUAN Undang-undang nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat (1) tentang sistem pendidikan nasional menyebutkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Guna mencapai tujuan tersebut, diperlukan kondisi belajar yang kondusif dan jauh dari kekerasan.penelitian dari Yayasan Sejiwa (2008) menunjukan bahwa tidak ada satupun sekolah di Indonesia yang bebas dari tindakan kekerasan. Dalam beberapa tahun belakangan ini, beberapa topik media massa dan penelitian membahas kekerasan di sekolah. Misalnya saja penelitian yang dilakukan oleh Widiyanti (2009) tentang fenomena bullying di sekolah dasar negri Semarang menunjukan bahwa 37,5% siswa/siswi menjadi korban bullying (42,5% siswa menderita bullying secara fisik; 34,06% dari bullying non fisik). Kisah yang sama terjadi beberapa tahun sebelumnya di sebuah sekolah tinggi di Bandung, di mana calon pejabat pemerintahan dipersiapkan hingga berakibat kematian salah seorang siswanya ditangan beberapa senior (Widiyanti, 2009). Koran kompas pun juga membahas melalui artikelnya yang berjudul Apa Untungnya Menggencet Adik Kelas dan Stop Kekerasan Di Sekolah (Riauskina, Indira, Soestio, Rochani, 2005). Pada umumnya siswa yang mengalami tindakkan bullying adalah siswa yang memiliki tingkat asertivitas rendah (Soendjojo, 2009). Kemudian menurut Tattum dan Tattum bullying adalah perilaku yang disengaja, sadar keinginan untuk menyakiti orang lain dan menempatkannya di bawah tekanan (dalam Rigby, 2002: 27). Olweus juga mengatakan hal yang serupa bahwa bullying adalah perilaku negatif yang mengakibatkan seorang dalam keadaan tidak nyaman/terluka biasanya terjadi berulang-ulang repeated during successive encounters (1993:5). Dari kedua pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan oleh siswa/siswi yang memiliki kekuasaan atas siswa/siswi yang lebih lemah, secara berulang-ulang dengan tujuan untuk menyakiti orang tersebut. Berdasarkan hasil survey global yang diadakan oleh Latitude News (beritaedukasi.com, 19 Oktober 2012) pada 40 negara di dunia, ditemukan fakta baru yang sangat mengejutkan dengan mengurutkan negara yang memiliki kasus bullying tertinggi adalah Jepang, Indonesia, Kanada dan Amerika Serikat serta yang terakhir Finlandia. Dengan tercatatnya negara Indoneisa sebagai salah satu negara yang memiliki presentase tinggi pada fenomena bullying menjadi sorotan beberapa pihak seperti pendidik, organisasi perlindungan, dan tokoh masyarakat (dalam Rusdi, 2010). Di Indonesia sendiri, penelitian dan pembicaraan tentang hal ini masih sedikit sehingga kurang banyak data yang dapat di peroleh mengenai dampak yang diakibatkannya. Jika dicermati, perilaku bullying memiliki dampak yang serius. Secara fisik, kekerasan ini dapat mengakibatkan luka dan sayatan, luka bakar, luka organ bagian dalam seperti pendarahan di otak, pecahnya lambung, usus, hati, hingga kondisi koma.secara psikologis bullying mengakibatkan rendahnya harga diri hingga depresi dan pada jangka panjang bullying dapat menyebabkan trauma. Selain melihat fenomena yang ada di kalangan masyarakat, peneliti juga sudah mencoba untuk melakukan wawancara kepada 10 orang mahasiswa dan 10 orang siswa/siswi SMP di jakarta, 80% dari 20 responden yang di wawancarai mengatakan bahwa mereka pernah mengalami bullying yang dilakukan oleh senior di sekolah atau dilakukan oleh teman sebaya atau pernah melakukan tindakan bullying. 80% dari mereka memang mengatakan bahwa respon ketika ia di-bully adalah hanya diam saja dan rata-rata memang siswa/siswi yang di-bully adalah siswa/siswi yang memiliki tabiat pendiam dan tidak mempunyai kemampuan melawan pada pelaku bullying, tidak merasa bebas untuk mengemukakan dirinya, ia tidak merasa bebas untuk menyatakan perasaan, pikiran dan tidak mampu menolak hal-hal yang tidak sesuai dengan dirinya seperti permintaan atau gagasan. Salah satu faktor yang menentukan intensitas kecenderungan menjadi korban bullying adalah perilaku asertif pada siswa. Perilaku asertif itu sendiri didefinisikan sebagai perilaku interpersonal individu yang berupa pernyataan mengenai apa yang dirasakan oleh individu tersebut, yang bersifat jujur dan relatif langsung (Rimm & Master dalam Marini, 2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Novalia dan Dayaksini (2013) tentang perilaku asertif dan kecenderungan menjadi korban bullying, menunjukan bahwa semakin tinggi asertivitas siswa maka semakin rendah kecenderungan menjadi korban bullying, demikian sebaliknya. Dengan memiliki perilaku asertif, siswa akan merasa percaya diri sehingga siswa mampu menolak dan mampu bersikap tegas saat di bullying oleh kakak kelas atau seniornya. Siswa juga berani melapor kepada guru atau kepala sekolah jika siswa mengalami tindakan bullying. Selain itu hasil dari penelitian diatas menunjukan bahwa perilaku asertif mempunyai sumbangan efektif terhadap kecenderungan menjadi korban bullying sebesar 18,5% yang cenderung kecil, sedangkan sisanya sebesar 81,5% dipengaruhi faktor lain misalnya faktor sekolah, faktor komunitas, faktor keluarga dan teman sebaya (Novalia & Dayaksini, 2013). Adanya faktor teman sebaya sebagai salah satu penyumbang efektif terbesar pada kecenderungan perilaku asertif remaja menjadi hal penting untuk diketahui, karena remaja sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya, akan mulai mencoba hal-hal baru untuk menemukan dan menunjukkan jati diri mereka. Kebanyakan remaja menunjukkan jati diri mereka dengan membentuk kelompok-kelompok tertentu dan menamai kelompok mereka.remaja lebih merasa diterima dan diakui dengan membentuk dan menjadi bagian atau anggota dari kelompok-kelompok, sehingga hal tersebut dapat meningkatkan kepercayaan diri mereka. Pada banyak remaja, bagaimana mereka dipandang oleh teman sebaya merupakan aspek yang terpenting dalam kehidupan mereka. Kebanyakan remaja yang berada di dalam kelompok-kelompok tersebut menyamakan identitas diri mereka dengan identitas kelompok mereka, dengan melakukan hal serupa yang dilakukan oleh anggota yang lain. Hal-hal tersebut adalah, seperti memiliki dan membeli barang-barang yang sama, selalu pergi bersama-sama, hingga berperilaku dan menggunakan cara berbicara serta bahasa yang sama. Jika kelompok mereka baik, remaja akan berkembang dengan baik pula, namun jika kelompok atau geng tersebut buruk, remaja justru akan semakin kehilangan jati diri dan cenderung melakukan hal-hal yang menyimpang, terlibat tawuran, narkoba, minumminuman keras serta seks bebas. Menurut Mann, Harmoni dan Power (Santrock, 2003), remaja lebih membutuhkan banyak kesempatan untuk melatih dan membahas pengambilan keputusan yang lebih realistis, karena kebanyakan remaja mengambil keputusan dalam situasi stress yang mengandung banyak faktor keterbatasan waktu dan pelibatan emosi, sehingga tidak sedikit dari mereka yang tidak pernah bisa menolak ajakan dari teman sebaya, walaupun hal tersebut sangat merugikan diri mereka. Berdasarkan hal tersebut, remaja memerlukan kemampuan untuk dapat berperilaku asertif, agar dapat terhindar dari pengaruh teman sebaya serta tekanan kelompok yang negatif dan dapat merugikan diri mereka sendiri. Dalam hal ini orangtua juga memiliki peran dan fungsi yang sangat penting ketika banyak terjadi kasus-kasus kenakalan remaja. Keberadaan orangtua dibutuhkan ketika mengalami kesulitan dalam pengambilan keputusan-keputusan yang tepat. Remaja perlu lebih banyak peluang untuk mempraktekkan dan mendiskusikan pengambilan keputusan yang realistis dengan orangtua mereka. Gjerde dan S Block (Santrock, 2003) menyatakan bahwa hubungan yang baik dan dekat dengan orangtua juga penting dalam perkembangan remaja, karena hubungan ini berfungsi sebagai acuan yang akan dibawa oleh anak terus menerus dan dari waktu ke waktu sebagai hal yang mempengaruhi pembentukan hubungan baru dengan orang lain dan dengan anak-anak mereka dimasa yang akan datang. Piaget (Santrock, 2003) berpendapat bahwa hubungan orangtua dengan anak berbeda sekali dengan hubungan antara anak dengan teman sebaya mereka. Dalam hubungan orangtua dengan anak, orangtua cenderung memiliki kewenangan terhadap anak mereka,- apa yang akan dilakukan oleh anak harus dengan persetujuan dari orangtua dan anak harus menuruti perintah dari orangtua. Dalam hal, ini orangtua memiliki pengetahuan dan kewenangan yang lebih besar, sehingga anak-anak mereka seringkali harus belajar bagaimana mematuhi perintah dan peraturan yang ditetapkan orangtua. Sedangkan hubungan antara anak dengan teman sebaya terdiri dari partisipan yang berhubungan satu sama lain dengan kedudukan yang jauh lebih setara. Kesalahan dalam mendidik dan memberikan arahan kepada anak untuk apa yang harus dilakukan juga dapat berdampak pada perilaku sehari-hari anak. Sebagai contoh, anak akan menggunakan apa yang telah mereka terima dari orangtua, jika orangtua mereka selalu memaksakan keinginan mereka terhadap anak, maka anak tidak akan bisa mengembangkan diri mereka, sehingga yang mereka bisa hanyalah diam dan menuruti kemauan orangtuanya. Hal inilah yang berdampak pada hubungan anak dengan teman atau lingkungan di luar rumah. Penelitian yang dilakukan oleh Anjar (2013), tentang hubungan parenting style dengan perilaku asertif remaja menunjukan bahwa orangtua yang cenderung menerapkan parenting style tipe
participating cenderung memiliki tingkat asertif yang tinggi, orangtua yang cenderung menerapkan parenting style tipe telling cenderung memiliki tingkat asertif yang rendah. Hal ini didukung oleh pendapat Hersey dan Blanchard (1978) yang menyatakan bahwa remaja dengan orangtua yang cenderung menerapkan parenting style tipe telling, akan membentuk anak mereka menjadi individu yang pasif, selalu tergantung dengan orang lain dalam pengambilan keputusan, bahkan mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengarahkan hidup mereka sendiri. Hal ini berbanding terbalik dengan orangtua yang cenderung menerapkan parenting style tipe participating, remaja dengan orangtua yang cenderung menggunakan parenting style tipe ini akan tumbuh menjadi remaja baik yang memiliki perasaan positif mengenai dirinya dan orang lain, berani bahkan cenderung suka memberontak. Hersey dan Blanchard (1978) juga menyatakan bahwa parenting style tipe participating mengembangkan kerjasama antara orangtua dan anak dalam menyelesaikan suatu masalah. Disini anak dapat mengatakan apa yang ingin disampaikan kepada orangtua mereka, baik saran, pendapat maupun kritikan. Selain itu, anak juga tidak merasa terkekang ataupun merasa terlalu dibebaskan dalam berbagai hal. Sehingga anak-anak dengan orangtua yang cenderung menerapkan parenting style tipe participating lebih memiliki kepercayaan diri dan mengungkapkan pendapatnya dan dapat menghargai setiap pendapat yang berbeda dengan dirinya, serta mampu berpikir positif mengenai diri mereka dan oranglain. Dalam hal ini terlihat bahwa peran parenting style sangat berpengaruh terhadap kehidupan anak di masa yang akan datang, peran komunikasi di dalam keluarga dalam proses pola pengasuhan orangtua bisa dibilang sangat berpengaruh terhadap apa yang akan dilakukan oleh anak. Hal ini bisa dilihat bagaimana gaya komunikasi itu sendiri adalah cara atau pola yang di tampilkan oleh komunikator untuk mengungkapkan sesuatu (menyampaikan pesan, ide, gagasan) baik melalu sikap, perbuatan, dan ucapannya ketika berkomunikasi dengan komunikan (Suryadi, 2004:33). Gaya komunikasi bisa dilihat dalam tiga macam menurut Heffer (dalam buku The Language Of Jury Trial: 2005) yaitu gaya komunikasi pasif, agresif dan asertif. Berbagai gaya komunikasi yang digunakan orang tua berbeda-beda, meskipun terkadang ada persamaan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Anita (2014) tentang pola asuh anak usia dini pada keluarga tenaga kerja wanita (TKW) proses sosialisasi anak dalam lingkungan sosial sangat dipengaruhi oleh pola komunikasi yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya. Orang tua yang mempunyai komunikasi yang baik dengan anaknya maka dapat menciptakan hubungan yang harmonis di dalam keluarga sehingga perkembangan kepribadian anak baik. Jika orang tua yang terbiasa menggunakan gaya komunikasi yang asertif pada anak, maka anak terbiasa untuk mengungkapkan apa yang menjadi keinginannya dan tujuan dari komunikasi asertif adalah membuat proses komunikasi berjalan lancar dan membangun hubungan yang baik, saling menghormati. Perilaku ini juga merupakan bentuk pemecahan masalah (problem solving). Tapi jika orangtua terbiasa melakukan gaya komunikasi secara agresif, anak terbiasa untuk mendapatkan apa yang menjadi keinginannya dengan cara pemaksaan hak pada orang lain, karena yang dimaksud gaya komunikasi agresif yaitu gaya komunikasi yang berusaha mendominasi dalam interaksi dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal, komunikasi ini juga sangat tidak efektif karena ada pemaksaan hak pada orang lain. Namun jika orang tua yang terbiasa melakukan gaya komunikasi pasif terhadap anak, maka anak akan terbiasa selalu mengalah dengan merendahkan diri kepada orang lain saat berkomunikasi. Jika dilihat dari karakteristik ketiga gaya komunikasi menurut Heffer, dan karakteristik gaya keibu-bapak-an menurt Baumrind kita bisa melihat persamaan dari keduanya, seperti gaya komunikasi orangtua yang bersifat asertif mirip seperti gaya keibu-bapak-an autoritatif, ibu-bapak memiliki high demandingness dan high responsiveness yaitu mengamalkan ketegasan yang diimbangi dengan kesediaan mendengar pandangan anak-anak, bertoleransi, setia kawan, membantu serta mendidik secara berpenglibatan. Gaya komunikasi pasif, mirip seperti gaya keibu-bapak-an gaya keibubapaan autoritarian dicirikan oleh sikap ibu-bapak yang high demandingness tetapi low responsiveness di mana ibu bapa meletakkan jangkaan tinggi terhadap anak-anak dengan mempraktik pendekatan kawalan, hukuman dan peraturan ketat yang tidak membenarkan anak-anak mempersoalkannya. Sedangkan gaya komunikasi agresif mirip seperti gaya keibubapaan permisif, ibu bapak dicirikan oleh sikap high responsiveness tetapi low demandingness yaitu bersikap terlalu lembut (lenient), memenuhi kehendak anak-anak dan tidak tradisional dengan menggangap anakanak sebagai individu yang matang dan boleh menentukan diri sendiri sehingga tidak wujud tekanan, kawalan atau peraturan mengenai tingkah laku yang baik dan dilarang secara kukuh. Anak dengan pola asuh permisif sulit mengontrol diri mereka, tidak mandiri, tidak taat dan memberontak ketika diminta untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan mereka.mereka juga terlalu
menuntut dan tergantung pada orang dewasa dan mereka menunjukkan kurang mampu menyelesaikan tugas di sekolah. Dengan adanya hal ini, peran penting dari gaya komunikasi yang dilakukan oleh orang tua kepada anak penting untuk perilaku dan perkembangan anak terutama pada remaja. Lebih lanjut, Rakhmat (Saad, 2003) mengungkapkan komunikasi dengan orangtua seyogyanya diwarnai oleh suatu prinsip saling menjalin komunikasi dan menjalin relasi yang dapat mendorong terjadinya hubungan yang sehat. Gaya komunikasi orangtua dengan anak perlu di bina dengan baik karena merupakan salah satu hal yang dapat membantu perlkembangan perilaku anak remaja. Berdasarkan uraian diatas mengenai pentingnya peran gaya komunikasi orangtua dengan anak memang sangat penting, maka dari situ muncul pertanyaan penelitian yang dibuat oleh peneliti yaitu, apakah ada hubungan antara gaya komunikasi orangtua dengan kecenderungan perilaku asertif pada remaja. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif adalah berupa angkaangka dan analisis menggunakan statistik (Sugiyono, 2007). Metode yang digunakan adalah kuantitatif dengan pendekatan correlational study, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengungkapkan hubungan korelasi antara variabel independen dan variabel dependen. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan cross sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara variabel independen dan dependen yang diukur sekaligus dalam waktu yang sama (Notoatmodjo, 2005). Sampel dalam penelitian ini adalah remaja SMP (Sekolah Menengah Pertama) di DKI Jakarta yang bersekolah di SMP negeri, baik lak-laki ataupun perempuan, yang berumur 11-14 tahun, masih aktif sebagai siswa SMP dan masih memilki kedua orangtua baik yang tinggal bersama atau berpisah. Sampel penelitian ini adalah berdasarkan remaja yang ada di Jakarta, yaitu Jakarta barat, Jakarta timur, Jakarta selatan, Jakarta pusat dan Jakarta utara. Pada proses teknik pengambilan sampel akan dilakukan dengan menggunakan metode kuesioner. Total keseluruhan yang digunakan dengan menggunakan metode kuesioner berjumlah 200 partisipan. Pengambilan sampel penelitian ini menggunakan teknik nonprobability sampling. Teknik pengambilan sample yang ditemukan atau ditentukan sendiri oleh peneliti atau menurut pertimbangan pakar. Kemudian digunakan uji normalitas dengan metode one sample Kolmogorov-Smirnov yaitu uji yang memiliki toleransi atau tingkat normalitas yang tinggi (Priyatno, 2014). Pada penelitian ini, didapatkan signifikansi untuk alat ukur gaya komunikasi orangtua dan perilaku asertif lebih dari 0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa data pada kedua alat ukur tersebut berdistribusi normal. Sehingga peneliti menggunakan analisis korelasi Pearson Correlation. HASIL DAN BAHASAN Profil Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Karakteristik responden dalam penelitian ini merupakan Remaja di DKI Jakarta laki-laki maupun perempuan, berusia 11-15 tahun, sebanyak 200 orang partisipan yang dikatagorikan ke dalam tiga kategori, yaitu jenis kelamin, usia dan domisili. Tabel menunjukan dari 200 responden, terdapat 91 remaja (45,5%) merupakan responden laki-laki, sedangkan 109 responden (54,5%) merupakan responden perempuan.
Tabel 4.1 Profil Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Laki-laki 91 45.5 45.5 45.5 Perempuan 109 54.5 54.5 100.0 Total 200 100.0 100.0 Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2015 Profil Responden Berdasarkan Usia Berdasarkan tabel dibawah ini, dapat dilhat bahwa komposisi responden berdasarkan usia terdiri dari 36 responden (18%) yang berusia 12 tahun, 107 responden (53,5%) berusia 13 tahun, dan 57 responden (28,5%) yang berusian 14 tahun). Tabel 4.2 Profil responden berdasarkan usia Usia Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent 12 tahun 36 18.0 18.0 18.0 13 tahun 107 53.5 53.5 71.5 14 tahun 57 28.5 28.5 100.0 Total 200 100.0 100.0 Sumber : Hasil dari pengolahan data, 2015
Profil Responden Berdasarkan Domisili Berdasarkan analisis data dibawah ini, rata-rata responden memilkiki frekuensi yang sama dari masing-masing wilayah sebnayak 40 responden dengan presentase 20% dari masing-masing wilayah, wilayah Jakarta selatan memiliki presentase sebanyak 20%, Jakarta Pusat 20%, Jakarta Timur 20%, Jakarta Barat 20% dan Jakarta Utara 20%, total keseluruhan yaitu 100%. Tabel 4.3 Profil responden berdasarkan usia Wilayah Frekuensi Presentase Jakarta Selatan 40 20% Jakarta Pusat 40 20% Jakarta Timur 40 20% Jakarta Barat 40 20% Jakarta Utara 40 20% Total 200 100%
SIMPULAN DAN SARAN Dalam penelitian ini terdapat tujuan yang ingin dicapai, yaitu ingin mengetahui apakah terdapat hubungan yang signifikan antara gaya komunikasi orangtua dengan kecenderungan perilaku asertif remaja di DKI Jakarta. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 200 remaja. Berdasarkan hasil pengambilan dan pengolahan data, diperoleh hasil bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara gaya komunikasi orangtua dengan kecenderunga perilakua asertif remaja. Hal ini juga ditunjukkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan dibahas dalam bab sebelumnya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Tidak ada hubungan antara gaya komunikasi orangtua yang pasif dengan kecenderungan perilaku asertif remaja. Hal ini berarti, berdasarkan sampel gaya komunikasi orangtua yang pasif di alat ukur gaya komunikasi orangtua tidak cukup untuk mempengaruhi perilaku asertif remaja. 2. Tidak ada hubungan antara gaya komunikasi orangtua yang agresif dengan kecenderungan perilaku asertif remaja. Hal ini berarti, berdasarkan sampel gaya komunikasi orangtua yang agresif di alat ukur gaya komunikasi orangtua tidak cukup untuk mempengaruhi perilaku asertif remaja. 3. Ada hubungan positif antara gaya komunikasi orangtua yang asertif dengan kecenderungan perilaku asertif remaja. Hal ini berarti, perilaku asertif remaja supported by gaya komunikasi orangtua. 4. Berdasarkan analisis tambahan, gaya komunikasi yang diterapkan oleh ayah lebih mempengaruhi perilaku asertif remaja dibandingkan dengan gaya komunikasi yang diterapkan oleh ibu. Dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan, dapat di tarik kesimpulan bahwa gaya komunikasi orangtua terhadap anak sangat mempengaruhi perilaku anak. Segala jenis komunikasi yang dilakukan oleh orangtua kepada anak akan membentuk suatu perilaku atau pengelolaan emosi yang berbeda-beda sesuai apa yang telah diajarkan oleh orangtua. Orangtua merupakan lingkungan pertama bagi anak yang sangat berperan penting dalam setiap perkembangan anak khususnya perkembnagan kepribadian dan emosi anak. Saran Teoritis Setelah penelitian yang telah dilakukan, peneliti memiliki beberapa saran teoritis dan praktis yang dapat digunakan dan dipertimbangkan untuk penelitian selanjutnya. Selain itu penelitian ini juga bisa menjadi referensi kepada para orangtua terhadap gaya komunikasi yang diterapkan kepada anak. Saran peneliti untuk penelitian selanjutnya,yakni: Dapat mempertimbangkan faktor lain selain perilaku asertif remaja dan gaya komunikasi orangtua (menggunakan lebih dari satu independent variable) untuk menganalisa fenomena bullying remaja (seperti, hubungan antara gaya komunikasi orangtua dengan resilience, krisis identitas terhadap perilaku asertif remaja dan gaya komunikasi terhadap perilaku asertif anak), Penelitian ini akan lebih informatif dan hasil dan saran akan lebih kuat jika menggunakan metode kualitatif dengan melakukan wawancara secara langsung kepada responden yang dijadikan subjek penelitian. Tujuan interview adalah untuk menggali lebih dalam faktorfaktor yang dapat di mempengaruhi kedua variabel di penelitian ini, yaitu gaya komunikasi orangtua dan perilaku asertif remaja. Berdasarkan hasil uji korelasi antara gaya komunikasi orangtua dan perilaku asertif, tidak ada hubungan antara gaya komunikasi pasif dan agresif terhadap perilaku asertif. Disarankan agar sample item pada alat ukur gaya komunikasi orangtua khususnya ada gaya komunikasi orangtua pasif dan agresif lebih di perbanyak. Disarankan mencari referensi lain terkait teori gaya komunikasi orangtua yang lebih appropriate dan updated.
Saran Praktis Bagi Para Orangtua Saran peneliti bagi para orangtua, yakni: Berdasarkan hasil penelitian, maka diharapkan bagi para orangtua dianjurkan agar sebaiknya menerapkan gaya komunikasi asertif kepada anak. Gaya komunikasi asertif cenderung berpusat dua arah, saling mengkomunikasikan dengan baik apa yang diinginkan orangtua terhadap anak, dan apa yang di inginkan anak terhadap orangtua. Dengan begitu komunikasi anak dan orangtua dapat terjalin dengan baik dan tidak terjadi salah paham antar keduanya. Hal ini dapat dilakukan dengan berbincang-bincang pada saat makan pagi ataupun makan malam. Cara lainnya adalah menggunakan akhir minggu atau hari libur untuk bersama-sama dengan keluarga. Walaupun dengan waktu yang sedikit, bila digunakan secara maksimal untuk berkomunikasi dan bertukar pikiran dapat menumbuhkan rasa saling pengertian. Antara orangtua dan remaja harus saling menerima satu sama lainnya agar tercipta hubungan yang harmonis. Bagi para orangtua tidak disarankan untuk menggunakan gaya komunikasi pasif dan agresif, karena dengan orangtua menggunakan gaya komunikasi pasif kepada anak, anak akan sulit memahami maksud dari orangtuanya, dan pesan yang disampaikan pun tidak akan di pahami oleh anak. Komunikasi ini tidak efektif karena dapat memberikan keuntungan kepada orang lain dan menyakiti diri sendiri (Gamble, 2005). Begitupun gaya komunikasi orangtua agresif, dengan menerapkan gaya komunikasi orangtua agresif orangtua biasanya cenderung tidak memperdulikan apa yang menjadi pendapat anak, sehingga anak terbiasa untuk selalu menuruti apa yang menjadi keinginan orangtua, biasanya gaya komunikasi agresif cenderung menggunakan physical punishment dalam berkomunikasi (Heffer, 2005), hal ini menimbulkan tidak jelasnya pesan yang ingin di sampaikan orangtua kepada anak. Oleh karena itu, gaya komunikasi orangtua agresif sangat tidak efektif karena ada pemaksaan hak kepada orang lain ( Effendy, 1989). Diharapkan kepada para orangtua agar menerapkan gaya komunikasi asertif secara konsisten antar pasangan (ayah dan ibu) agar dapat mempengaruhi kebiasaan pada anak
REFERENSI Aitken, L. R., Groth-Marnat, G. (2006). Psychological Testing and Assessment 12 th Edition. USA: Pearson. Anjar S. Dyah dan Satiningsih, 2013. Hubungan Antara Parenting Style Orang Tua Dengan Perilaku Asertif Pada Remaja. Character, Vol.01, No.02, 2013. Annisa, N. (2000). Komunikasi Orang Tua Remaja Dalam Mendukung Munculnya Perilaku Asertif (Studi Kualitatif Pada Remaja Pengguna Narkoba). Jakarta: Fakultas Psikologi UI. Baumrind, D. (1991). The influence of parenting style on adolescent competence and substance use. Journal Of Early Adolescence, 11 (1), 56-95. Baumrind, D. (1966). Effects of authoritative parental control on child behavior. Child Development, 37, 887-907 Cadha, N. K. (2009). Applied Psychometry. New Delhi: Sage Publication. Calhoun, J. F., Acocella, J. R. 1990. Psychology of Adjustment and Human Relationship. New York: McGraw Hill, Inc Fensterhem, H. & Baer, J. 1995. Jangan Bilang Ya Bila Anda Akan Menyatakan Tidak (Terjemahan). Jakarta: Gunung Jati. Fung Lan Young. (2010). A Study On The assertiveness and Academic Procrasination of English and Communication Students at A Private University. American Journal of Scientific Research, 62-72 (Issue 9). Gamble, T. Kwal. 2005. Communication Work. New York: The McGraw-Hill Companies. Gravetter, F. J., & Forzano, L. B. (2012). Research Method for the Behavioral Sciences. Canada: Wadsworth. Gunarsa YSD, editor. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: Gunung Mulia Heffer, C. (2005). The Language of Jury Trial. Retrieved from http://www.palgraveconnect.com Hersey, P., & Blanchard, K.H. (1978). The Family game:a Situational Approach to Effective Parenting. Sydney: Addison-Wesley Publishing Company. Hurlock, E.B. (1990). Developmental psychology: A lifespan approach. Boston:McGraw-Hill. Kasman, Rusdi. (2010). Program Bimbingan Pribadi-Sosial untuk Meningkatkan Kecerdasan Moral Siswa. Tesis Program Studi Bimbingan dan Konseling SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan. Maximo, S.I., Tayaban, H.S., Cacdac, G.B., Cacanindin, M.J.A., Pugat, R.J.S., Rivera, M.F., Lingbawan, M.C. (2011). Parents Communication Styles and Their Influence on the Adolescents Attachment, Intimacy and Achievement Motivation. International Journal of Behavioral Science. 6(1), pp. 59-72. Muhadjir, N. (1991). Metodologi Penelitian Kualitatif, Cetakan ke-3. Yogyakarta: Rake Sarasin. Moleong, L.J., 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif Cetakan ke-26. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Moh. Nazir. Ph.D, 2005, Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Bogor. Nasution, R. (2003). teknik sampling. diunduh pada tanggal 6 Juni 2013 dari http://library.usu.ac.id 10
Novalia & Dayakisni, T. (2013). Perilaku Asertif dan Kecenderungan Menjadi Korban Bullying. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan. 1(1). pp. 169-175. Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Nora, A.C Widuri, E.L. (2011). Komunikasi ibu dan anak dengan depresi pada remaja. Humanitas, 7(1) Olweus, D. (1993). Bullying at school: What we know and what we can do. Oxford: Blackwell. Papalia, old. (2001). Perkembangan Pada Remaja. Jakarta : Rineka Cipta. Rakhmat, J. (2009). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya Rakos, R.F. (1991). Assertive behavior : theory, research& training. New York: Routledge, Chapman & Hall Inc. Retnaningsih. (2007). Kontribusi Perilaku Asertif Terhadap Kecerdasan Emosi. Skripsi pada FPSI Universitas Gunadharma Jakarta: tidak diterbitkan. Rigby, K. (2007). Bullying in Schools. Melbourne: Australian Council for Educational Research. Riauskina, I.I., Djuwita, R., & Soestio, S. R. (2005). Gencet-gencetan di mata siswa/siswi kelas 1 SMA: Naskah kognitif tentang arti. Skenario, dan dampak gencet-gencetan. Jurnal Psikologi Sosial. Rostiana, M. (2008). Perbedaan Tingkat Asertif Ditinjau Dari Persepsi Remaja Terhadap Pola Asuh OrangTua. (Skripsi). Surabaya: Universitas Airlangga. Santrock, J,W, (2003). Adolscence: Perkembangan Remaja, Edisi ke enam. Jakarta: Erlangga. Santrock, J,W. (2002). Live Span Development (Edisi Kelima). Jakarta: Erlangga. Santrock, J,W. (2003). Adolescence (Edisi Keenam). Jakarta: Erlangga. Siswati., Widayanti, C. G. (2009). Fenomena bullying di sekolah dasar negeri di semarang. Jurnal Psikologi Undip Vol.5 No.2. fenomena bullying di sekolah dasar negeri di semarang. Soendjojo, D. (2009). Mengajarkan asertifitas pada remaja. Jurnal Psikologi. 4, (3), 5 7. Stewart, L Tubbs & Sylvia Moss. 1974. Human Communication: Human Communication: An Interpersonal Perspective. New York: Bantam Books. Triton, 2006. Riset StatistikParametrik, Penerbit Andi, Yogyakarta. Undang-undang No. 20 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1. Widodo (tambah referensi) Willis, L, & Daisley, J. (1995). The Assertive Trainer: A Practical Handbook Assertiveness of Trainers and Running Assertiveness Course. USA: Mc Graw Hill Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa) Foundation. Penelitan mengenai kekerasan di sekolah. Yusuf, Syamsu L.N, (2000). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung : PT Remaja Rosdakarya. 11