IRGSC Policy Brief No 009, December 2013

dokumen-dokumen yang mirip
IRGSC Analysis No 005/2014 Research and analysis from the Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC)

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan pendapatan di Indonesia. Usaha kecil yang berkembang pada

ANALISIS PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI DI PROPINSI SULAWESI TENGGARA 1) Muhammad Nur Afiat 2) ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan industri.pengembangan Industri kecil merupakan salah satu jalur

BAB I PENDAHULUAN. untuk memajukan dan perluasan berbagai sektor haruslah sejajar dengan

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. RPJPD Kabupaten Lamandau I - 1

PERAN PEREMPUAN DALAM PERKEMBANGAN INDUSTRI KECIL (Studi Kasus: Perempuan dalam Industri Batik di Kabupaten Banyumas) TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

Gambaran Keamanan Pangan di Nusa Tenggara Timur: Pembahasan Penemuan Formalin dalam Ikan yang beredar di Provinsi NTT. Nike Frans

BAB I PENDAHULUAN jiwa (Central Intelligence Agency (CIA),2017). Indonesia merupakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Bab I. Pendahuluan. kategori tersebut dapat digolongkan menjadi pekerja informal. Berdasarkan data BPS

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan penggunaan waktu (Boediono, 1999). pada intinya PDB merupakan nilai moneter dari seluruh produksi barang jadi

PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi dan pemerataan distribusi hasil-hasil pembangunan, UMKM juga berperan dalam penyerapan tenaga kerja.

Strategi Pemberdayaan Lembaga Keuangan Rakyat BPR

BAB I PENDAHULUAN. perikanan. Selain itu sektor industri juga merupakan salah satu sektor ekonomi

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2015

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Perluasan Lapangan Kerja

BAB IV INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH DI KABUPATEN BOGOR Perkembangan Industri Kecil dan Menengah

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Menghadapi perkembangan pariwisata di Bali, komponen komponen. berproduktivitas tinggi. Bukanlah suatu pekerjaan yang

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI BALI TRIWULAN III TAHUN 2015

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN GARUT TAHUN

PENDAHULUAN Latar Belakang

PEMODELAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN UMKM INOVATIF

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2016

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar

Trade. PERDAGANGAN Trade

KEBERADAAN BULOG DI MASA KRISIS

Trade. PERDAGANGAN Trade

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI BALI TRIWULAN III TAHUN 2016

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI BALI TRIWULAN I TAHUN 2016

2015 PENGARUH PERILAKU KEWIRAUSAHAAN DAN DIFERENSIASI PRODUK TERHADAP PENDAPATAN

Jakarta, 3 November 2008

I. PENDAHULUAN. Krisis yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1997 telah mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. yang ditawarkannya pun semakin beraneka ragam. Setiap Pelaku usaha saling

BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri

BAB I PENDAHULUAN. Banjir lumpur panas Sidoarjo, dikenal dengan sebutan Lumpur Lapindo atau

BAB I PENDAHULUAN. yang membutuhkan dana dengan cara memperjualbelikan sekuritas. Tempat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang UMKM merupakan unit usaha yang sedang berkembang di Indonesia dan

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI BALI TRIWULAN IV TAHUN 2015

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI BALI TRIWULAN II TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. informasi (e-commerce), dan akhirnya ke ekonomi kreatif (creative economy).

BAB IV GAMBARAN OBYEK PENELITIAN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG FEBRUARI 2017

Peran Kelembagaan dalam Mitigasi Bencana di Indonesia. Oleh: Rudi Saprudin Darwis

IV.C.6. Urusan Pilihan Perindustrian

LISTRIK DAN AIR MINUM Electricity and Water Supply

LISTRIK DAN AIR MINUM Electricity and Water Supply

BPS PROVINSI LAMPUNG LAMPUNG

BAB I PENDAHULUAN. sedang berkembang akan mengalami pertumbuhan lebih lambat dari pada yang. tumpuan harapan bagi pembangunan (Purnama, 2013).

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan prosesnya yang berkelanjutan

H. AZWIR, S.Sos AMRAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat.

BAB I PENDAHULUAN. (Sinambela, 2009). Pada dasarnya tujuan didirikannya suatu perusahaan adalah

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH TAHUN 2014

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM

BAB VI USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (UMKM)

EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN INDIVIDU PERAN KEPALA DAERAH DALAM MENGURANGI TINGKAT KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN

LISTRIK DAN AIR MINUM Electricity and Water Supply

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sukirno (2000) dalam analisis

BAB I PENDAHULUAN. daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan potensi, aspirasi

BAB I PENDAHULUAN. terutama negara sedang berkembang seperti Indonesia. Kemiskinan terjadi tatkala

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BABl PENDAHULUAN. penting bagi perekonomian nasional. Hal ini dikarenakan aktifitas ekonomi

Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 Di Provinsi Sulawesi Barat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pembangunan nasional, industri memegang peranan yang sangat

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Acuan Kebijakan

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR PROVINSI BALI TRIWULAN I TAHUN 2017

2015 PENGARUH MOD AL KERJA D AN PERILAKU KEWIRAUSAHAAN TERHAD AP PEND APATAN

ELASTISITAS PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA INDUSTRI KECIL DI KABUPATEN LAMONGAN TAHUN

NARASI MENTERI PERINDUSTRIAN RI Pembangunan Industri yang Inklusif dalam rangka Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar elakang Penelitian Agus Sartono (2001:487)

BAB I PENDAHULUAN. tertarik di bidang bisnis selalu memikirkan dan berusaha untuk melakukan bisnis

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Batas Kemiskinan, Jumlah dan Persentase Masyarakat Miskin ( ) Presentase Penduduk Miskin. Kota& Desa Kota Desa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BPS PROVINSI LAMPUNG LAMPUNG

BAB I PENDAHULUAN nilai tukar rupiah jatuh sekitar 15 persen (Hussein: 2014). Nilai tukar rupiah

BAB I PENDAHULUAN. Usaha Kecil Menengah (UKM) sangat berperan penting dalam

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG FEBRUARI 2016

PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI

BAB I PENDAHULUAN. memegang peran penting di hampir semua negara berkembang. Berdasarkan data

BAB I PENDAHULUAN. banyak, masih dianggap belum dapat menjadi primadona. Jika diperhatikan. dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian.

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG AGUSTUS 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Rizky Aprillian Utami, 2013

BAB I PENDAHULUAN. pula orang yang menganggur, maka semakin dirasakan pentingnya dunia wirausaha.

BAB 1 PENDAHULUAN. UKM, pengangguran akibat angkatan kerja yang tidak terserap dalam dunia kerja

Transkripsi:

IRGSC Policy Brief No 9, December 213 Research and analysis from the Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) www.irgsc.org Stagnasi dan Perkembagan Industri Pengolahan di NTT Sebuah Assessment Awal Perkembangan Industri Pengolahan di NTT Jonatan A. Lassa, Randy Banunaek and Maklon Killa Pendahuluan Perkembangan industri menengah dan besar di NTT mengalami stagansi bahkan menurun secara jangka panjang. Yang bertambah adalah industri-industri kecil dengan sektor yang tidak imbang. Sayangnya dalam kaca mata yang lain, dapat dikatakan bahwa industri-industri skala kecil tidak naik kelas ke level menengah-atas. Ibarat murid yang tahan kelas selama 3 tahun tertinggal di SD. Sedngkan kelas menengah-atas sebagian besar mengalami drop-out. Tanpa membaca data dengan analisis trend jangka panjang, kita tidak bisa tahu persis apakah kita maju atau mundur. Sebagai misal, bila anda membaca draft RPJMD NTT 213-218, bisa dilihat bahwa target penguatan industri kecil untuk naik kelas ke industri menengah/besar adalah 1 pertahun. Baselinenya adalah angka 25 perusahaan menengah dan besar di tahun 212. Jadi bila di akhir masa jabatan Frenly, terdapat 3-32 unit industri kelas menegah-besar, maka Frenly dinyatakan berprestasi. Itu lumrah. Masalahnya adalah persoalan industri di NTT tidak seperti yang ada bayangkan. Berikut adalah hasil analsisi awal sebagai proses yang 'kebetulan' terutama ketika kami melihat data-set hasil digitasi data-data pembangunan NTT selama 3 tahun terakhir sejak Juni 213. Industri pengolahan skala menengah-besar di NTT Di tahun 1985, terdapat 24 perusahaan menengah dan besar (dengan indikasi 2-1 atau lebih karyawan). Terdapat pertumbuhan terjadi secara berarti di dalam kurun waktu - 1 P a g e IRGSC Policy Brief No 9, December 213

di mana lebih dari 4an industri menengah-besar sempat bertahan di NTT. Imbas krisis ekonomi di tahun 1998, banyak industri menengah dan besar yang gulung tikar. Butuh waktu 1 tahun untuk bangkit di tahun 29 di mana terdapat 43 perusahaan menengahbesar atau mencapai level tahun. Namun di tahun 21, industri-industri skala menengah dan besar jatuh bebas ke angka 28 [Figure 1] Secara umum, ukuran industri pengolahan menengah-atas NTT di tahun 1985 adalah 57 karyawan/unit industri pengolahan. Sedangkan di tahun 211, ukurannya turn menjadi 55. Terlihat sedikit kenaikan di tahun 199an namun secara umum ada kecenderungan menurun dari sisi ukuran. Trend serupa terjadi di Kabupaten Sikka di mana tahun 1985, industri serupa memiliki rata-rata 67 pekerja per unit perusahaan, sedangkan di tahun 211, turun menjadi 6 [Figure 2]. Industri kelas menengah-atas antara mengalami kemunduran atau stagnasi yang ditunjukan oleh pertumbuhan negatif dan fluktuatif selama hampir 3 tahun. Menarik dicermati bahwa NTT mungkin tidak terlalu kondusif bagi industri menengah-besar karena berbagai faktor (infrastruktur, energi, ekonomi biaya tinggi dsb.). Industri pengolahan skala kecil di NTT Untuk industri skala kecil (ukuran 4 tenaga kerja per unit industri pengolahan/ perusahaan) ditingkat propinsi belum tersedia data yang memadai. Sedangkan di tingkat Kabupaten, dapat kita pelajari dari Kabupaten Sikka, di mana data 3-4 tahun menunjukan masa-masa suram di tahun 2-27. Momentum 'bersejarah' terjadi ketika industri skala kecil di Sikka yang biasanya hanya berjumlah 11an di tahun 25-27 meningkat 1 kalilipat di tahun 28 (atau meroket dari total 1132 unit di tahun 26/27 menjadi 6255 di tahun 28. Tahun 211/212, total industri skala kecil di Sikka mencapai 7285 unit usaha. (Jumlah kombinasi formal and informal) [Figure 3] Entah baik atau buruk, perkembangan industri kecil di Sikka mengalami ketidakseimbangan yang extrim. Di tahun 28, 89% industri kecil di Sikka datang dari kelompok Sandang terutama tenun ikat dan benang celup [Figure 4]. Jadi di tahun tersebut, 5563 dari total 6255 industri kecil yang terdata di Sikka adalah kelompok Sandang (tenun ikat dan benang celup). Di tahun 211/212, dari total 7285 industri kecil di Sikka, 5929 adalah industri Sandang yang sama. (Figure 5) Angka ini termasuk industri penjual pakaian jadi yang jumlahnya dapat diabaikan dalam kasus ini. Jadi tingkat pertumbuhan industri di Sikka disebabkan oleh meningkatnya industri Sandang di Sikka dalam 5 tahun terakhir. Kita tahu bahwa pasar tenun ikatlah yang mendorong bisnis benang celup. Karena itu, bila data industri sandang di keluarkan, maka yang terjadi di Sikka 2 P a g e IRGSC Policy Brief No 9, December 213

selama kurun waktu 28-211 adalah rata-rata 889 industri atau jauh berada dari rata-rata periode 1994-1996 yakni 1195 unit industri kecil/menengah. Sedangkan dalam 25 tahun terakhir, puncak kenaikan industri kecil non-sandang justru terjadi di tahun 1996/1996 dan bukan saat ini. Kecuali industri makanan dan sandang (Figure 5), jenis industri lainnya seperti industri keatif (kerajinan) skala kecil semakin merosot dalam 15 tahun terakhir dengan sedikit perbaikan di tahun 211/212. Walau dalam skala 2 tahun, rata-rata industri kreatif (kerajinan) di lima tahun terakhir hanya 89 unit atau kalah dibanding tahun 1994-1996 yakni 124 unit. Sayangnya, kinerja ini mungkin bersifat jangka pendek dan bertahan selama insentif dipertahankan. Bila terjadi kejutan negatif pada permintaan (demand), maka secara otomatis permintaan tenun ikat menurun dan dengan sendirinya industri benang celup menghilang Sedikitnya dua teori bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena ini. Teori pertama adalah bahwa meningkatnya industri kecil yang hanya bertumpu pada insentif-insentif jangka pendek yang bersifat sementara. Meningkatnya alokasi dan transfer finansial ke desa-desa dan munculnya intervensi serempak di desa-desa termasuk Anggur Merah dan programprogram pemberdayaan yang menargetkan kelompok perempuan, cenderung untuk mendorong industri tenun ikat. Terkadang, proyek-proyek pemberdayaan perempuan dan pembangunan pedesaan direduksi menjadi pembuatan tenun ikat semata. Kedua, Mungkin saja karena Dinas Perindustrian lebih sensistif dalam pendataan pada kelompok-kelompok Sandang sehingga data yang diperoleh BPS merupakan data yang 'bias' terhadap kelompok Sandang? Sedikit ganjil bila pemberdayaan ekonomi desa maupun ide tentang penanggulangan bencana serta pemberdayaan masyarakat (perempuan) di berbagai tempat di NTT, baik lewat proses top down ataupun bottom up, berakhir pada ide tenun ikat. Mengapa tidak? Benar. Tetapi juga mungkin saja ini indikasi stagnasi ide dan ketiadaan invasi. Melihat semakin bangkitnya sektor pariwisata di Flores terutama setelah tertatih lebih dari 2 tahun akibat tsunami dan gempa Flores, seharusnya di jadikan momentum yang diarahkan untuk mempertahankan tren industri tenun ikat karena ancaman pada industri ini semakin terliht terutama ketika produk garmet dengan sistim teknologi printing motif-motif daerah juga telah membanjiri kota-kota di NTT [Lihat data yang lebih detail di www.irgsc.org/pubs/pb/ntt-industries-time-series-data.pdf]. 3 P a g e IRGSC Policy Brief No 9, December 213

1985 1986 1987 1988 1989 1991 1992 1994 1996 2 21 22 23 24 25 26 27 28 29 21 211 Penutup Sulit memprediksikan keberlanjutan model pengembangan industri kecil yang berat sebelah dan tidak seimbang seperti ini. Yang pasti, pembangunan pedesaan lewat sektor industri kecil maupun pemberdayaan perempuan, tidak harus direduksikan dengan pengembangan industri tenun ikat semata. Karena itu, studi lanjutan terkait konteks makro dan mikro terkait industri pengolahan di NTT diperlukan. Ditambahkan bahwa studi tentang pentingnya struktur insentif dan dimensi kelembagaan terkait industri pengolahan di NTT perlu dikembangkan. Kita juga belum memahami secara memadai tentang bagaimana industri-industri kelas menengah atas bertahan terhadap tantangan dan risiko-risiko external. Yang pasti, industri-industri skala kecil perlu naik kelas ke level menengah-atas, jangan lagi tahan kelas di SD selama 3 tahun. Sedangkan industri kelas menengah-atas, juga perlu lebih berdaya lenting terhadap berbagai kejutan dan risiko. 25 2 15 1 5 Figure 1. Trend in big and medium industries in NTT 1985-211 24 24 26 26 33 43 41 41 3 28 28 31 31 43 28 25 5 45 4 35 3 25 2 15 1 5 NTT: # Labor in big-medium industry sector NTT: # Unit of big and medium industries Trend Serapan Tenaga Kerja Sektor Industri NTT 4 P a g e IRGSC Policy Brief No 9, December 213

1993 21 23 25 27 29 211 1985 1986 1987 1988 1989 1991 1992 1994 1996 2 21 22 23 24 25 26 27 28 29 21 211 Avg size of M-B industry in NTT [# Labor] Avg size of small industry in SIKKA [ # Labor] Figure 2. Labor size of small and medium-big industries in NTT 8 7 6 5 4 2.6 2.6 2.2 2.2 3.8 3.8 3.8 3.4 3.4 2.6 4 3.5 3 2.5 2 3 1.5 2 1. 1. 1 1.5 - Labor size of NTT medium-big industry [average] Labor size of SIKKA Small industry [average] Labor size of SIKKA medium-big industry [average] Trend in labor size of NTT M-B industries Figure 3 Trend of Small Industries in Sikka district [Formal and Informal] 8 7 6 5 4 3 2 1 281 32 341 254 357 347 354 331 347 353 286 286 276 298 339 4 35 3 25 2 15 1 5 # industry (informal) # industry (formal) Trend # inudstry (informal) Trend # industry (formal) 5 P a g e IRGSC Policy Brief No 9, December 213

1985 1987 1989 1991 1993 21 23 25 27 29 211 1996 1998 2 21 22 23 24 25 26 27 28 29 21 211 # Labor in food industry sector Unit of food industry in SIKKA Figure 4 Trend in small industry in SIKKA - food industry 1996-211 25 2 15 681 633 622 624 628 481 495 51 9 844 8 7 6 5 1 4 3 5 179 179 179 129 2 1 # of Labor in Food Industry Sector in SIKKA # Unit of Food Industry in SIKKA Figure 5. Fraction of Small Industry in Sikka 1985-211 1% 9% 8% 7% 6% 5% 4% 3% 2% 1% % 42% 61% 43% 42% 37% 51% 5% 45% 45% 57% 59% 6% 89% 88% 88% 81% 2% Pengelolaan makanan Percetakan, Kimia dan Bahan Bangunan barang-barang dari logam Pengelolahan Klpk. Sandang dan kulit Kerajinan dan Umum Other Remarks. This is a working in progress. Comments are welcome. Please send your comments to jonatan.lassa@irgsc.org 6 P a g e IRGSC Policy Brief No 9, December 213