BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Chlamydia trachomatis di negara-negara maju seperti. Amerika Serikat dan Inggris sudah dianggap sebagai suatu masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran reproduksi, termasuk infeksi menular seksual masih

CHLAMYDIA TRACHOMATIS

KLAMIDIASIS. I. Definisi

BAB I PENDAHULUAN. lagi dan diubah menjadi PMS (penyakit menular seksual) karena seiring dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi genital non spesifik (IGNS) merupakan penyakit infeksi menular

FLOUR ALBUS/LEUKOREA A RI FUAD FAJRI

LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

Penyakit Radang Panggul. Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Veneral Disease ini adalah Sifilis, Gonore, Ulkus Mole, Limfogranuloma Venerum

BAB 1 PENDAHULUAN. jernih yang keluar, bercampur dengan bakteri, sel-sel vagina yang terlepas dan

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.2. Sifilis. Epididimitis. Kanker prostat. Keputihan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Infertilitas adalah kondisi yang dialami oleh pasangan suami istri. yang telah menikah minimal 1 tahun, melakukan hubungan sanggama

Mikroorganisme Penyebab Infeksi Pada Mata. Pendahuluan

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar belakang. Poin ke 5 dalam Milenium Development Goals (MDG) adalah

BAB I PENDAHULUAN. melalui hubungan seksual. PMS diantaranya Gonorrhea, Syphilis, Kondiloma

PENYAKIT MENULAR SEKSUAL DAN HIV / AIDS

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan, seseorang paling tepat dan murah apabila tidak menunggu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan modal awal seseorang untuk dapat beraktifitas dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pada wanita pekerja seks menunjukan bahwa prevelensi gonore berkisar antara 7,4% -

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gonore merupakan penyakit infeksi menular seksual. (IMS) yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae (N.

Duh Tubuh Vagina (Vaginal Discharge) Etiologi, Diagnosis dan Penatalaksanaan

Peranan berbagai modalitas diagnostik dalam deteksi Trichomonas vaginalis

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Beberapa Penyakit Organ Kewanitaan Dan Cara Mengatasinya

BAB I PENDAHULUAN. uterus. Pada organ reproduksi wanita, kelenjar serviks bertugas sebagai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. World Health Organization (WHO) mendefinisikan kesehatan adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN. yang disebut sebagai masa pubertas. Pubertas berasal dari kata pubercere yang

Kanker Serviks. 2. Seberapa berbahaya penyakit kanker serviks ini?

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kanamisin termasuk dalam golongan aminoglikosida. 14

SKDI 2012 INFEKSI MENULAR SEKSUAL

BAB 1 PENDAHULUAN. menunjukkan gejala (asimtomatik) terutama pada wanita, sehingga. mempersulit pemberantasan dan pengendalian penyakit ini 1

BAB 1 PENDAHULUAN. secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua hal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak semua manusia yang harus dijaga,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. individu mulai berkembang dan pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual

Seksualitas Remaja dan Kesehatan Reproduksi Rachmah Laksmi Ambardini Fakultas Ilmu Keolahragaan UNY

BAB 1 PENDAHULUAN. penanganan serius, dilihat dari tingginya prevalensi kasus dan komplikasi kronis

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. sosial secara utuh yang tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Keputihan atau fluor albus merupakan salah satu masalah yang banyak

BAB II Tinjauan Pustaka

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB V PEMBAHASAN. A. Lama Penggunaan KB IUD dan Kejadian Keputihan. 1 tahun masing-masing adalah sebanyak 15 responden (50%), sehingga total

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya

BAB I PENDAHULUAN. seksual disebut infeksi menular seksual (IMS). Menurut World Health Organitation

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

INFEKSI MENULAR SEKSUAL: DIAGNOSIS & TATALAKSANA

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan reproduksi menurut World Health Organization (WHO) adalah

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya umur harapan hidup sebagai salah satu tujuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pekerja seks komersial, pelacur, wanita tuna susila, sundal adalah beberapa

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tinggal dalam darah atau cairan tubuh, bisa merupakan virus, mikoplasma, bakteri,

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

BAB 1 PENDAHULUAN. Sifilis merupakan Infeksi Menular Seksual (IMS) yang disebabkan oleh

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah

BAB 1 PENDAHULUAN. sikap dan tekad kemandirian manusia dan masyarakat Indonesia dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. I.A. Latar Belakang. Hepatitis B merupakan penyakit infeksi menular. berbahaya yang disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB).

2015 GAMBARAN PENGETAHUAN SISWA SISWI KELAS XI TENTANG PENYAKIT MENULAR SEKSUAL DI SMA NEGERI 24 BANDUNG

BAB 1 PENDAHULUAN. bakteri anaerob dalam konsentrasi tinggi, (seperti : Bacteroides sp., Mobilluncus

BAB I PENDAHULUAN. di Amerika Serikat yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae, yaitu. kepada janin saat proses melahirkan pervaginam.

DEPARTMENT OF OBSTETRICS & GYNECOLOGY FACULTY OF MEDICINE, THE UNIV. OF NORTH SUMATRA MEDAN INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. disertai rasa gatal yang hebat pada kemaluan % wanita di Indonesia. akseptor kontrasepsi Keluarga Berencana (KB).

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kasus infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan

BAB 1 PENDAHULUAN. seksual. Kondisi yang paling sering ditemukan adalah infeksi gonorrhea,

BAB 1 PENDAHULUAN. bisa sembuh, menimbulkan kecacatan dan juga bisa mengakibatkan kematian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Badan kesehatan dunia World Health Organizationmemperkirakan bahwa

Faktor-faktor resiko yang Mempengaruhi Penyakit Menular Seksual

BAB 1 : PENDAHULUAN. utama masalah kesehatan bagi umat manusia dewasa ini. Data Organisasi Kesehatan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. karena hubungan seksual (Manuaba,2010 : 553). Infeksi menular

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya seperti sifilis, gonore, dan herpes. Ilmu pengetahuan yang semakin

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS. MODUL : Sindrom Discar Genital (Gonore dan Non Gonore)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

BAB I PENDAHULUAN menyepakati perubahan paradigma dalam pengelolaan masalah

BAB I PENDAHULUAN. (Emilia, 2010). Pada tahun 2003, WHO menyatakan bahwa kanker merupakan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. rahim yaitu adanya displasia/neoplasia intraepitel serviks (NIS). Penyakit kanker

MAKALAH. Di susun oleh MOHAMMAD SHIDDIQ SURYADI IIA

BAB 1 PENDAHULUAN. Vaginosis bakterial (VB) adalah suatu keadaan abnormal pada ekosistem

12/21/2011. Pendidikan Seks Remaja: Menuju Reproduksi Sehat. Pengertian. Karakteristik remaja

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kanker leher rahim adalah tumor ganas pada daerah servik (leher rahim)

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Chlamydia Infeksi Chlamydia trachomatis di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris sudah dianggap sebagai suatu masalah utama kesehatan masyarakat. Hal ini disebabkan infeksi Chlamydia ini merupakan infeksi menular seksual yang paling tinggi prevelensinya dibandingkan infeksi menular seksual lainnya. Selain itu infeksi Chlamydia ini umumnya bersifat asimptomatik sehingga penderita tidak menyadarinya dan tidak pergi untuk berobat (Tolan, 2008). Infeksi Chlamydia sebagai suatu penyakit menular seksual (STI = Sexually Transmitted Infection) dapat melibatkan beberapa organ, yaitu cerviks, urethra, salping, uterus dan epidydimis. Infeksi Chlamydia dapat menimbukan pelvic inflammatory disease (PID) yang dapat menyebabkan infertilitas dan kehamilan ektopik yang bisa berakibat fatal. Di Amerika

berbagai laporan infeksi Chlamydia merupakan satu penyebab tersering terjadinya infertilitas pada wanita. Sementara di Indonesia sampai saat ini belum ada data yang pasti mengenai infeksi Chlamydia serta hubungannya dengan infertilitas (CDC,2007; Tolan, 2008). Dalam jangka pendek maupun jangka panjang, infeksi Chlamydia yang tidak terobati dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius, baik pada pria dan wanita, demikian juga pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang telah terinfeksi. Infeksi Chlamydia juga dapat menyebabkan penyakit lain seperti conjunctivitis, pneumonia, Fitz-Hugh-Curtis syndrome (inflamasi dari liver capsule), dan trachoma yang dapat menyebabkan kebutaan. 2.2. Mikrobiologi Chlamydia 2.2.1. Morfologi Chlamydia merupakan bakteri obligat intraselular, hanya dapat berkembang biak di dalam sel eukariot hidup dengan membentuk semacam koloni atau mikrokoloni yang disebut Badan Inklusi (BI). Chlamydia membelah secara benary fision dalam badan intrasitoplasma. Chlamydia trachomatis berbeda dari kebanyakan bakteri karena berkembang mengikuti suatu siklus pertumbuhan yang unik dalam dua bentuk yang berbeda, yaitu berupa Badan Inisial yang terdiri dari Elementary Body (EB) dan Reticulate Body (RB). Badan elementer ukurannya lebih kecil (300 nm) terletak ekstraselular dan merupakan

bentuk yang infeksius, sedangkan badan retikulat lebih besar (1 um), terletak intraselular dan tidak infeksius. Morfologi inklusinya adalah bulat dan terdapat glikogen di dalamnya. Chlamydia trachomatis peka terhadap sulfonamida, memiliki plasmid, dan jumlah immunotypenya adalah 15 yaitu A-C menyebabkan trachoma, D-K menyebabkan infeksi saluran genital, dan L1-L3 menyebabkan lymphogranuloma venerum (Debra, 2008; CDC, 2006; Karmila, 2001). 2.2.2. Klasifikasi Klasifikasi ilmiah dari Chlamydia trachomatis adalah sebagai berikut: ordo Chlamydiales, famili Chlamydiaceae, genus Chlamydia dan spesies Chlamydia trachomatis 2.2.3. Siklus Hidup Secara singkat, siklus perkembangan Chlamydia trachomatis dapat dilihat dalam Gambar 2.1 dibawah ini. Chlamydia mempunyai siklus hidup yang unik, dimana terjadi pergantian antara siklus non-replicating elementary body yang infeksius dan siklus replikasi retikulat body yang tidak infeksius.

Gambar 1. Siklus Perkembangan Chamydia trachomatis Elementary body merupakan bentuk pathogen mirip seperti spora. Bakteri ini akan merangsang endocytosisnya setelah kontak dengan sel host yang potensial. Sekali memasuki sel, elementary body akan bertambah banyak sebagai hasil interaksinya dengan glikogen, dan merubahnya menjadi bentuk vegetatif, relikulate body. Bentuk retikulate membelah setiap 2-3 jam dan mempunyai masa inkubasi 7-21 hari dalam sel hostnya. Setelah pembelahan, berubah kembali menjadi bentuk elementary dan dilepaskan dari sel melalui exocytosis (Tolan, 2008; Karmila, 2001). 2.3. Epidemiologi Menurut WHO (2007) diperkirakan 4 juta kasus infeksi Chlamydia dilaporkan setiap tahunnya di Amerika Serikat dengan prevalensi secara

keseluruhan 5%. Pada kelompok berisiko prevelensinya lebih tinggi yaitu pada kelompok remaja wanita yang seksual aktif, dengan insidensi 10%. Prevalensi Chlamydia mencapai 14% pada remaja wanita Amerika Afrika usia 18-26 tahun dan 17% dari remaja ini dalam 12 bulan sebelumnya mempunyai riwayat terinfeksi gonorrhoe atau Chlamydia. Hampir 100.000 neonatus terpapar Chlamydia setiap tahunnya. Infeksi Chlamydia yang asimptomatik lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria yaitu 80% banding 50% (Kohl, et al, 2003). Namun wanita lebih mungkin mengalami komplikasi jangka panjang seperti chronic pelvic pain, PID dan infertilitas. Prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok umur remaja wanita usia 15-24 tahun yaitu 46% pada usia 15-19 tahun dan 33% pada usia 20 24 tahun. Mukosa vagina dan jaringan cervix pada wanita yang berusia muda bersifat immature sehingga ini menyebabkan mereka lebih rentan terhadap infeksi genitalia dibandingkan wanita yang lebih tua (WHO, 2007b). Infeksi Chlamydia sering dijumpai pada kelompok sosio-ekonomi lemah dan pada orang yang tinggal di kota. 2.4. Manifestasi Infeksi Chlamydia 2.4.1. Infeksi Ocular Chlamydia trachomatis dapat menyebabkan trachoma dan inclusión conjunctivitis. Trachoma ditandai dengan pengembangan folikelfolikel dan peradangan conjungtiva. Kornea menjadi keruh disertai banyak

pembuluh darah. Bila terjadi infeksi yang berulang-ulang umumnya dapat menyebabkan kebutaan. Inclusión conjunctivitis merupakan peradangan conjunctiva yang lebih ringan disertai adanya discharge yang purulen. (Debra, 2008; CDC, 2006; Karmila, 2001). 2.4.2. Infeksi Genital Beberapa strain Chlamydia trachomatis menyebabkan infeksi genital, termasuk nongonococcal urethritis pada pria dan acute salphingitis dan cervisitis pada wanita. Strain lain menyebabkan lymphogranuloma venerum, suatu lesi genital yang melibatkan kelenjar lymp regional (buboes) (Debra, 2008; CDC, 2006; Karmila, 2001). 2.4.3. Infeksi Saluran Pernafasan Chlamydia psittaci biasanya menyebabkan psitacosis, suatu penyakit seperti influenza. Chlamydia pneumoniae dapat menyebabkan pneumonia atipik pada manusia. Penyakit-penyakit pada manusia yang disebabkan oleh Chlamydia, dapat dilihat dalam Tabel 1 berikut: Tabel 1. Penyakit-penyakit yang Disebabkan Chlamydia

Gambar 2. Manifestasi Klinis Infeksi Chlamydia 2.5. Penularan Infeksi Chlamydia Chlamydia merupakan penyakit menular seksual yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual baik secara oral, anal dan vagina dengan pasangan yang terinfeksi serta penularan dari seorang ibu kepada bayinya saat persalinan.

2.6. Gejala-Gejala Infeksi Chlamydia Pada umumnya infeksi Chlamydia, biasanya tanpa gejala, atau pada orang yang terinfeksi dan memperhatikannya, dapat diketahui gejala-gejala tertentu dalam beberapa minggu atau bulan, tergantung keparahan dari infeksinya (severity) dan pengobatan yang dilakukannya. Bila tidak tertangani dengan baik, gejalanya bisa berbeda-beda. Gejala-gejala ini dapat berupa: a. Pada wanita pre-pubertas: adanya vaginal discharge dan berbau (vaginitis) b. Pada wanita post pubertas: adanya discharge dan bau yang berasal dari cerviks yang terinfeksi. c. Pada wanita dewasa: hampir 80% tidak ada gejala (asimptomatik). Wanita dapat membawa bakteri ini berbulan-bulan bahkan bertahun tanpa menyadarinya. Disinilah pentingnya skrining. Gejala dapat timbul dalam 3 minggu setelah terinfeksi, berupa: sakit perut bawah yang menetap, mild, milky, yellow mucus-like discharge dari vaginal, mual dan demam, sakit sewaktu buang air kecil, sakit sewaktu melakukan hubungan seksual, spotting diluar haid. d. Pada pria: rasa terbakar/panas sewaktu buang air kecil, discharge yang mild, sticky, milky atau mucus-like dari penis, sakit dan pembengkakan testis (yang bila tidak diobati dapat menimbulkan infertilitas). Infeksi pada pria ini sering disebut Non-Spesifik Uretritis (NSU) Chlamydia dapat menyebabkan (Bebear, 2009):

a. Cervicitis: Sekitar 5-13% wanita yang terinfeksi Chlamydia akan mengalami cervicitis. Chlamydia trachomatis menyerang epitel silindris mukosa cerviks. Tidak ada gejala-gejala yang khas membedakan cervicitis karena Chlamydia trachomatis dan cervicitis karena organisme lain. Pada pemeriksaan dijumpai duh tubuh yang mukopurulen dan cerviks yang ektopi. Pada penelitian yang menghubungkan cervicitis dengan ektopi cerviks, prevalensi cervicitis yang disebabkan Chlamydia trachomatis lebih banyak ditemukan pada penderita yang menunjukkan ektopi cerviks dibandingkan yang tidak ektopi. Penggunaan kontrasepsi oral dapat menambah resiko infeksi Chlamydia trachomatis pada cerviks, oleh karena kontrasepsi oral dapat menyebabkan ektopi cerviks. b. Endometritis Cervicitis oleh karena infeksi Chlamydia trachomatis dapat meluas ke endometrium sehingga terjadi endometritis. Tanda dari endometritis antara lain menorrhagia dan nyeri panggul yang ringan. Pada pemeriksaan laboratorium, Chlamydia dapat ditemukan pada aspirat endometrium. c. Salpingitis atau Pelvic Inflammatory Disease (PID) Merupakan penyebab utama infertilitas, kehamilan ectopic dan chronic pelvic pain. Sebagian besar kasus PID disebabkan oleh infeksi Chlamydia yang sering tanpa gejala, dimana pada tuba fallopi akan terjadi scar (tubal scarring) yang akan menutup saluran

tuba dan menghalangi terjadinya fertilisasi. Juga akan mempengaruhi jalannya sel telur yang telah dibuahi menuju uterus sehingga sel telur terimplantasi pada saluran tuba fallopi dan terjadilah tubal pregnancy (ectopic pregnancy). d. Perihepatitis (Fitz - Hugh - Curtis Syndrome) Infeksi Chlamydia trachomatis dapat meluas dari cerviks melalui endometrium ke tuba dan kemudian parakolikal menuju ke diafragma kanan. Beberapa dari penyebaran ini menyerang permukaan anterior liver dan peritoneum yang berdekan sehingga menimbulkan perihepatitis. Parenchym hati tidak diserang sehingga tes fungsi hati biasanya normal. 2.7. Chlamydia trachomatis dan Infertilitas Pada Wanita Pasien dengan suatu penyakit menular seksual tertentu merupakan suatu faktor yang dapat meningkatkan terjadinya infeksi penyakit menular seksual lainnya (co-infeksi). Untuk infeksi Chlamydia yang paling sering menjadi co-infeksinya adalah gonorrhea. Sekitar 40% wanita dan 20% pria yang terinfeksi Chlamydia, juga terinfeksi gonorrhea. Chlamydia dan gonorrhea merupakan penyebab infertilitas terbanyak yang sebenarnya dapat dicegah. Bila tidak ditangani dengan baik, sampai 40% wanita yang terinfeksi Chlamydia akan mengalami pelvic inflammatory disease (PID) (Kalantar, et al, 2007; WHO, 2007a). Seperti telah diketahui bahwa semua bentuk vaginitis dapat melibatkan cervicitis. Infeksi ini akan merubah ph mucus cerviks, yang

akan menggangu kemampuan sperma dalam proses pembuahan. Infeksi oleh bakteri lain dapat mempengaruhi kesuburan pasangan pada usia reproduksinya. Chlamydia trachomatis merupakan microorganisme yang potensial yang dapat menyebabkan masalah infertilitas terutama mengakibatkan tubal infertility pada wanita (Garaland, et al, 1990). Prevalensi pasangan infertile berbeda-beda bergantung pada pendefinisian pasangan infertile tersebut. Sekitar 10-15% pasangan tidak bisa hamil setelah satu tahun hubungan seksual dan akhir dari usia reproduksinya, 2-7% dari pasangan infertile ini tetap tidak mempunyai anak. Penyebab infertilitas ini dapat disebabkan oleh empat kategori utama yaitu: 1. Faktor Wanita, 2. Faktor Pria, 3. Faktor Wanita dan Pria (Kombinasi) dan 4. Faktor yang belum diketahui (Unexplained infertility). Sebenarnya sulit memastikan berapa besar persentase untuk tiap kategori (Gracia, et al, 2006). Namun secara umum dilaporkan bahwa hampir 35% kasus infertility disebabkan oleh faktor wanita, 30% disebabkan faktor pria, 20% disebabkan faktor kombinasi dan 15% oleh unexplained infertility (Gracia, et al, 2006). Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara infeksi Chlamydia trachomatis dengan terjadinya infertilitas. Suatu study dari Australia mendapatkan, prevalensi infeksi Chlamydia cukup tinggi yaitu 45% pada kelompok infertil dan dari kelompok infertil ini sebagian besar mengalami tubal occlusion (Evenden, et al, 2006). Di

India, 28% infeksi Chlamydia trachomatis dijumpai pada wanita infertil (Malik, et al, 2006; Townshend, et al, 2000) Selain adanya pelvic inflammatory disease (PID) dan endometriosis, faktor-faktor lain yang ada hubungannya dengan peningkatan resiko infertilitas meliputi adanya pengaruh lingkungan dan pekerjaan, efek toksis yang berhubungan dengan tembakau, marijuana, atau obat-obatan lainnya, latihan/exercise, diet yang tidak adekuat yang berhubungan dengan penurunan dan peningkatan berat badan yang ekstrim dan usia lanjut (Gracia, et al., 2006) 2.8. Vaginal discharge Vaginal discharge adalah suatu gejala umum yang muncul, dapat bersifat fisiologis ataupun patologis. Meskipun banyak kasus vaginal discharge tidak disebabkan oleh penyakit menular seksual dan memerlukan pengobatan, namun penyakit menular seksual dapat memberikan gejala vaginal discharge (WHO, 2007a). Cairan vagina fisiologis normal adalah berwarna putih atau jernih, nonoffensive discharge yang bervariasi sesuai siklus menstruasi. Sedangkan gejala-gejala discharge yang abnormal, meliputi: a. Cairan yang lebih banyak dari biasanya b. Cairan yang lebih kental dari biasanya c. Cairan seperti nanah (pus-like discharge) d. Cairan putih dan bergumpal (white and clumpy discharge)

e. Cairan yang berwarna keabuan, kehijauan, kekuningan dan sedikit berdarah (grayish, greenish, yellowish, or blood-tinged discharge) f. Cairan yang berbau amis (foul-smelling discharge; fishy or rotting meat) g. Cairan yang disertai darah, rasa gatal, rasa terbakar, ruam atau rasa sakit. Beberapa penyebab vaginal discharge, antara lain: a. Non-infective: 1) Physiological 2) Cervical polyps dan ectopy 3) Foreign bodies seperti retained tampon 4) Vulval dermatitis 5) Erosive lichen planus 6) Genital tract malignancy (cancer cervix, cancer uterus, ovarian cancer) 7) Fistulae b. Non-sexually transmitted infection: 1) Bacterial vaginosis 2) Candida infections (Candida albicans) c. Sexually transmitted infection: 1) Chlamydia trachomatis 2) Neisseria gonorrhoeae 3) Trichomonas vaginalis

Vaginal discharge yang fisiologis dapat terjadi pada masa usia reproduksi, fluktuasi kadar estrogen dan progesteron sepanjang siklus menstruasi mempengaruhi kualitas dan kuantitas mucus cervical, sehingga membuat perubahan cairan vagina. Pada awalnya ketika kadar estrogen rendah, mucus kental dan lengket. Saat kadar estrogen meningkat, mucus menjadi lebih jernih, basah dan lebih elastis. Setelah ovulasi, mucus kembali mengalami peningkatan kekentalan dan lebih lengket. Pada masa menopause jumlah normal cairan vagina menurun sejalan dengan penurunan kadar estrogen. Vaginal discharge pada infeksi Menular Seksual Infeksi Chlamydia trachomatis, Neisseria gonorrhoeae dan Trichomonas vaginalis dapat menimbulkan vaginal discharge tetapi bisa juga tidak ada gejala (asimptomatik). Infeksi menular seksual ini ada hubungannya dengan peningkatan risiko penularan HIV. a. Chlamydia trachomatis dapat menyebabkan vaginal discharge yang purulen dan banyak, tetapi 80% wanita tidak menunjukkan keluhan ini. Bila infeksi ini tidak diobati, maka sekitar 10-40% dapat menyebabkan pelvic inflammatory disease (PID). Oleh karena itu penegakkan diagnosa infeksi Chlamydia secara dini sangat penting. b. Neisseria gonorrhoeae juga dapat menyebabkan vaginal discharge yang purulen, tetapi hampir 50% wanita tidak mempunyai gejala sama sekali (asimptomatik). Gejala ringan lainnya seperti vaginal

discharge yang sedikit, dysuria dan intermenstrual bleeding. Infeksi gonorrhoeae juga berhubungan dengan pelvic inflammatory disease (PID). c. Trichomonas vaginalis dapat menyebabkan vaginal discharge warna kuning yang menyengat, yang sering berlebihan dan berbusa, disertai rasa gatal pada vulva dan rasa sakit, dysuria, abominal pain dan dyspareunia. Infeksi ini juga berhubungan partus prematur.tetapi infeksi ini juga kebanyakan bersifat asimptomatik. Pengobatan Infeksi Menular Seksual (Vaginal discharge) a. Chlamydia trachomatis; pemberian secara oral doxycycline 100 mg dua kali sehari selama 7 hari (kontrandikasi pada kehamilan); azithromycin 1 g dosis tunggal (WHO merekomendasikannya pada kehamilan). b. Gonorrhoea; pemberian secara oral cefixime 400 mg dosis tunggal atau ceftriaxone 250 mg intramuscular dosis tunggal. c. Trichomonas vaginalis; pemberian secara oral metronidazole 2 g dosis tunggal atau metronidazole 400-500 mg dua kali sehari selama 5-7 hari. Dalam penatalaksaan selanjutnya, pasangan pasien sebaiknya diidentifikasi, dilakukan screening dan diobati sehingga tidak terjadi reinfeksi dari pasangannya. 2.9. Metode Pemeriksaan Chlamydia trachomatis

Untuk menunjukkan adanya infeksi genital oleh Chlamydia. trachomatis bahan pemeriksaan harus diambil uretra atau cerviks dengan menggunakan swab kapas dengan tangkai metal. Pada wanita Chlamydia trachomatis lebih sering dapat diisolasi di cerviks dari pada uretra. a. Biakan Sampai tahun 1980-an diagnosis infeksi Chlamydia trachomatis terutama berdasarkan pada isolasi organisma dalam biakan sel jaringan. Ini merupakan metode tradisional untuk diagnosis laboratorium dan tetap sebagai metode pilihan untuk spesimen medikolegal dimana sensitivitas diperkirakan 80-90% dan spesifitasnya 100%. Yang dapat digunakan adalah sel-sel Mc. Coy yaitu sel-sel yaitu sel-sel fibroblas tikus (L-cells). Biakan sel dapat juga digunakan mencari bahan inklusi Chlamydia dengan bantuan grup spesifik fluorescein - labelled antibodi monoklonal terhadap Chlamydia trachomatis. Prosedur ini membutuhkan mikroskop fluorescens. b. Pemeriksaan Mikroskopik Pemeriksaan dalam gelas objek diwarnai dengan pewarnaan giemsa atau larutan jodium dan diperiksa dengan mikroskop cahaya biasa. Pada pewarnaan Giemsa, Badan Inklusi (BI) terdapat intra sitoplasma sel epitel akan nampak warna ungu tua, sedangkan dengan pewarnaan yodium akan terlihat berwarna coklat. Jika dibanding dengan cara kultur, pemeriksaan mikrosopik langsung ini sensitivitasnya rendah dan tidak dianjurkan pada infeksi asimtomatik.

c. Deteksi Antigen Langsung Dikenal 2 cara pemeriksaan antigen yaitu: 1) Direct Fluorescent Antibody (DFA) Cara ini merupakan test non-kultur pertama dimana Chlamydia trachomatis dapat ditemukan secara langsung dengan metode monoklonal antibodi yang dilabel dengan fluorescein. Dengan teknik ini Chlamydia bebas ekstraseluler yang disebut badan elementer (BE) dapat ditemukan. Kadang-kadang juga dapat ditemukan badan inklusi intrasitoplasmik. Cara ini tidak dapat membedakan antara organisme mati atau hidup, tetapi keuntungannya tidak membutuhkan biakan sel jaringan dan hasilnya dapat diketahui dalam 30 menit. 2) Enzym Immuno Assay (EIA) Banyak tes-tes yang tersedia saat ini menggunakan teknik ini. Tidak seperti DFA, EIA bersifat semiautomatik dan sesuai digunakan untuk memproses spesimen dalam jumlah besar. d. Serologik Tes serologik tidak digunakan secara rutin dan luas untuk diagnosa infeksi traktus genitalis Chlamydial kecuali untuk LGV, oleh karena dijumpai prevalensi antibodi pada populasi seksual aktif yang mempunyai resiko tinggi terhadap infeksi Chlamydia trachomatis, yaitu berkisar 45-60% dari individu yang diperiksa. Walaupun tidak selalu dijumpai pada setiap kasus infeksi genital tanpa komplikasi, antibodi terhadap Chlamydia

trachomatis biasanya timbul setelah infeksi dan dapat menetap selama bertahun tahun. Respon Ig M dapat dilihat pada infeksi episode pertama. Berbagai teknik serologik diaplikasikan untuk mempelajari infeksi clamydial antara lain: 1). Complement Fixation (CFT) CFT menggunakan antigen group Chlamydia untuk mendeteksi serum antibody terhadap semua anggota genus ini. Konsekuensinya, deteksi antibody terhadap antigen lipopolysacharida Chlamydial tidak dapat membedakan antara infeksi Chlamydia trachomatis dengan Chlamydia psittaci dan juga tidak cukup sensitif untuk deteksi antibodi terhadap Chlamydia pneumonia. 2). Microimmunofluorescence (MIF) MIF menggunakan antigen Chlamydial purifikasi tertentu yang ditempatkan diatas slide kaca bereaksi dengan serum penderita. Test ini sensitif dan spesifik, dimana pada sebagian besar kasus dapat memberikan informasi mengenai serotype infeksi Chlamydia trachomatis. Selain di serum, antibodi dapat juga ditemukan pada sekresi lokal tubuh lainnya seperti air mata dan sekresi genital. Antibodi Chlamydia trachomatis dapat diklasifikasikan menurut Ig (Ig M, Ig G dan Ig A) dengan teknik ini. Respon Ig M merupakan ciri infeksi akut dan terutama digunakan dalam diagnosis infant Chlamydial pneumonia. Hasil serologik Chlamydial biasanya diinterprestasikan sebagai berikut:

a) Infeksi akut ; titer Ig M > l : 8 dan/atau peningkatan 4 kali lipat atau lebih, atau penurunan titer Ig G. b) Infeksi kronik ; titer Ig G tetap tinggi > l : 256. e. Test DNA Chlamydia 1). DNA Hibridisasi (DNA Probe) Test ini sensitivitasnya kurang dibandingkan metode kultur yaitu 75-80% dan spesifitas lebih dari 99 %. 2). Nucleic Acid Amplification. Teknik amplifikasi nukleat yang terbanyak dipakai yaitu: Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Ligase Chain Reaction (LCR). Test ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi, dan dapat menggunakan non-invasif spesimen seperti urine untuk menskrining infeksi asimtomatik pada wanita maupun pria. Skrining Chlamydia trachomatis Berdasarkan hasil-hasil penelitian, mayoritas menyimpulkan dan merekomendasikan bahwa semua wanita usia dibawah 25 tahun sebaiknya dilakukan skrining infeksi Chlamydia trachomatis setiap tahun (Mishori, 2012).

Kriteria perilaku juga bisa dijadikan acuan untuk melakukan screening untuk wanita usia diatas 25 tahun, yaitu jumlah pasangan seksual, pasangan seksual lebih dari satu atau adanya pasangan baru dan riwayat infeksi sebelumnya. Oleh karena re-infection rates cukup tinggi dan terjadi dalam beberapa bulan, komplikasi ini dapat dikurangi dengan mengobati pasangan seksualnya. Screening ulangan dapat dilakukan kembali 4 6 bulan setelah infeksi awal. Data dari suatu penelitian randomized controlled trial tentang skrining Chlamydia menunjukkan bahwa program skrining ini dapat mengurangi insidensi PID sebesar 60%. Pengobatan Menurut rekomendasi Centers for Disease Control and Prevention (CDC) untuk pengobatan infeksi Chlamydia dapat digunakan azithromycin dan doxycycline sebagai obat pilihan pertama yang mempunyai efektivitas 95% dan eryromycin atau sulfa sebagai pilihan kedua, namun kurang efektif dan mempunyai efek tambahan. 2.10. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Infeksi Chlamydia Infeksi Chlamydia merupakan infeksi menular seksual yang pada umumnya tanpa gejala. Infeksi ini dapat ditularkan langsung melalui hubungan seksual baik secara vaginal, anal, ataupun oral. Beberapa

faktor diduga dapat mempengaruhi dan mempermudah terjadi infeksi Chlamydia ini, antara lain: a. Umur World Health Organization memperkirakan secara global lebih dari 340 juta kasus baru sifilis, gonorrhoe, Chlamydia dan trichomoniasis terjadi setiap tahun pada pria dan wanita umur 15 49 tahun (WHO, 2007b). Selama tahun 2007, CDC menyatakan bahwa lebih dari separuh kasus Chlamydia yang dilaporkan adalah wanita umur 18 26 tahun (CDC, 2007). Penelitian di Negeria, pada wanita yang telah menikah mendapatkan prevalensi infeksi Chlamydia lebih banyak pada kelompok umur 25-29 tahun dan umur 20 24 tahun (33%) dibanding kelompok umur lainnya (Mawak et al, 2011). b. Status Pernikahan dan Paritas Wanita yang telah menikah ternyata mempunyai prevalensi infeksi Chlamydia lebih tinggi dari pada wanita yang masih singel. Hal ini juga sejalan dengan meningkatnya jumlah paritas ibu, dan lamanya status perkawinan yang dijalani ini, dimana transmisi penyakit dapat terjadi dengan mudah antara suami dan istri. Namun hasil penelitian Al-Jiffri (2011), mendapatkan bahwa infeksi Chlamydia lebih banyak dijumpai pada kelompok ibu yang lama menikahnya < 5 tahun, hal diduga karena mereka ini merupakan kelompok seksual aktif. c. Sosial Ekonomi

Infeksi Chlamydia sering dijumpai pada kelompok sosio-ekonomi lemah dan pada orang yang tinggal di kota. Penelitian Nayab (2002) di Pakistan mengenai prevalensi infeksi saluran reproduksi menunjukkan bahwa kelompok wanita dengan status ekonomi yang rendah lima kali lebih berisiko terinfeksi dibanding kelompok wanita dengan status ekonomi yang lebih tinggi. d. Pasangan Seksual Memiliki pasangan seksual lebih dari satu atau berganti-ganti pasangan seksual merupakan faktor risiko untuk terinfeksi chlamidia. Perilaku seksual pasangan yang beresiko, jenis pekerjaan yang menyebabkan pasangan meninggalkan rumah untuk beberapa waktu juga menjadi faktor predisposisi infeksi Chlamydia (WHO, 2007b). e. Infeksi Menular Seksual Pasien dengan penyakit menular seksual tertentu merupakan suatu faktor yang dapat meningkatkan terjadinya infeksi penyakit menular sexual lainnya (co-infeksi). Penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara adanya riwayat penyakit menular seksual lainnya terhadap infeksi Chlamydia (Mawak et al, 2011). Oleh karena itu adanya infeksi Chlamydia juga dapat digunakan sebagai prediksi atau petunjuk adanya infeksi menular seksual lainnya.

Ko-infeksi infeksi Chlamydia yang paling sering adalah gonorrhea. Sekitar 40% wanita dan 20% pria yang terinfeksi Chlamydia, juga terinfeksi gonorrhea. f. Perilaku: Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Seperti diketahui ranah perilaku mencakup pengetahuan, sikap dan tindakan. Perilaku kesehatan seringkali dipengaruhi komponen-komponen tersebut. Telaah mengenai alasan di balik perilaku individu tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan komprehensif (teori perilaku individu). Salah satunya adalah Health Belief Model (HBM) yang menerangkan konsep perilaku dan hal-hal yang menyebabkan seseorang melakukan suatu tindakan. Teori Health Belief Model didasarkan pada pemahaman bahwa seseorang akan mengambil tindakan yang akan berhubungan dengan kesehatan. Teori ini dituangkan dalam lima segi pemikiran dalam diri individu, yang mempengaruhi upaya yang ada dalam diri individu untuk menentukan apa yang baik bagi dirinya, yaitu perceived susceptibility (kerentanan yang dirasakan/ diketahui), perceived severity (bahaya/ kesakitan yang dirasakan), perceived benefit of action (manfaat yang dirasakan dari tindakan yang diambil), perceived barrier to action (hambatan yang dirasakan akan tindakan yang diambil), cues to action (isyarat untuk melakukan tindakan). Hal tersebut dilakukan dengan tujuan self efficacy atau upaya diri sendiri untuk menentukan apa yang baik bagi dirinya.

Pengetahuan dan sikap sehubungan infeksi menular seksual akan mempengaruhi tindakan seorang individu dalam mengambil langkahlangkah pencegahan (likelihood of action) seperti penggunaan kondom, melakukan pemeriksaan sedini mungkin maupun mencari pengobatan. Pada kelompok risiko rendah, umumnya pengetahuan tentang infeksi Chlamydia masih rendah. Wanita yang pernah terpapar infeksi Chlamydia mempunyai pengetahuan yang lebih baik dibandingkan wanita yang belum pernah menderita infeksi Chlamydia. Kesadaran wanita tentang adanya infeksi Chlamydia masih rendah dibandingkan kesadaran mereka terhadap penyakit lainnya seperti HIV/AIDS dan gonorrhoe. Penelitian tentang persepsi seseorang terhadap risiko infeksi Chlamydia genital menunjukkan hanya 18.9% responden yang merasa terancam oleh infeksi Chlamydia, mayoritas responden tidak mengetahui apakah mereka berisiko terinfeksi atau tidak (Kellock et al, 1999). g. Pelayanan Kesehatan Penanggulangan infeksi menular seksual sering sebenarnya dapat dilakukan oleh pelayanan kesehatan tingkat dasar, namum penderita lebih memiliki preferensi untuk mencari pengobatan dari pelayanan kesehatan swasta yang dipercaya lebih bermutu tenaga kesehatannya, mudah terakses, dan tidak terstigmatisasi dibanding memanfaatkan pelayanan kesehatan primer seperti puskesmas (WHO, 2007a).

h. Sanitasi Penelitian di Vietnam, tentang infeksi saluran reproduksi menyatakan wanita Vietnam percaya terjadinya infeksi tersebut oleh karena sanitasi air yang jelek dan higiene personal yang kurang (Nguyen, 2002). Higiene personal dapat mempengaruhi lingkungan vagina, sehingga memudahkan infeksi secara endogen. Suatu penelitian di Pakistan menemukan bahwa wanita dengan higiene yang baik saat menstruasi dan frekuensi mandi yang lebih sering, secara signifikan resiko infeksi saluran reproduksinya lebih rendah (Nayab, 2002). 2.11. Pendekatan Syndromic Management Infeksi Menular Seksual World Health Organization (WHO) telah memperkenalkan suatu pendekatan dalam menegakkan diagnosa dan pengobatan terhadap infeksi menular seksual yang disebut sebagai syndromic management atau syndromic case management (WHO, 2007c). Syndromic management ini merupakan pendekatan sindromik yang menggunakan suatu alur diagnostik (flowchart) berdasarkan gejala-gejala atau keluhan pasien dan tanda-tanda dari hasil pemeriksaan. Pendekatan ini sangat mudah, oleh karenanya dapat digunakan pada sarana pelayanan kesehatan primer dimana tenaga kesehatan maupun fasilitas laboratorium yang tersedia masih terbatas.

Beberapa gambaran kunci dalam syndromic management adalah: a. Bersifat problem oriented (merespon apa keluhan pasien). b. Sangat sensitif dan dapat mendiagnosa adanya infeksi campuran. c. Dapat digunakan sebagai dasar pengobatan saat pasien pertama kali datang. d. Membuat pelayanan infeksi menular seksual mudah diakses di tingkat pelayanan primer. e. Menggunakan langkah-langkah yang logis berdasarkan flowchart. f. Melakukan edukasi dan konseling. Tujuan syndromic management ini adalah mengidentifikasi satu dari tujuh sindroma yang terdapat pada tabel dibawah ini dan penanganannya (WHO, 2007d).

Tabel 2. Tanda dan Gejala Utama Infeksi Menular Sexual dan Penyebabnya Sindroma Gejala Tanda Penyebab Paling Umum Vaginal discharge Urethral discharge Unusual vaginal discharge Vaginal itching Dysuria (pain on urination) Dyspareunia (pa in during sexual intercourse) Urethral discharge Dysuria Frequent urination Abnormal vaginal Discharge Urethral discharge (if necessary ask patient to milk urethra) Vaginitis: Trichomoniasis Candidiasis Cervicitis: Gonorrhoea Chlamydia Gonorrhoea Chlamydia Genital ulcer Genital sore Genital ulcer Syphilis Chancroid Genital herpes Lower abdominal pain Lower abdominal pain Dyspareunia Vaginal discharge Lower abdominal tenderness on palpation Temperature >38 Gonorrhoea Chlamydia Mixed anaerobes Scrotal swelling Inguinal bubo Neonatal conjunctivitis Scrotal pain and Swelling Painful enlarged inguinal lymph nodes Swollen eyelids Discharge Baby cannot open eyes Scrotal swelling Enlarged inguinal lymph nodes Fluctuation Abscesses or fistulae Oedema of the eyelids Purulent discharge Gonorrhoea Chlamydia LGV Chancroid Gonorrhoea Chlamydia

Berikut merupakan salah satu contoh flowchart atau alur diagnostik yang digunakan dalam syndromic management, diantaranya terhadap sindroma vaginal discharge. Gambar 3. Alur Diagnostik Sindroma Vaginal Discharge Namun pendekatan syndromic management untuk menegakkan diagnosa dan pengobatan terhadap infeksi menular seksual dalam aplikasinya masih banyak diperdebatkan kegunaannya (Clark et al., 2009). Beberapa penelitian menunjukkan kelemahan pendekatan tersebut, sehingga penelitian lainnya mencoba memodifikasi pendekatan syndromic management agar menemukan suatu pendekatan yang lebih tepat dalam menegakkan diagnosa dan pengobatan infeksi menular seksual maupun terhadap infeksi Chlamydia.

Untuk menegakkan diagnosis infeksi Chlamydia ini, berbagai pendekatan melalui penelitian-penelitian telah dilakukan untuk mendapatkan cara yang terbaik dalam menegakkan diagnosa dengan pendekatan yang sederhana dan tanpa pemeriksaan laboratorium yang sulit dan mahal. Penelitian di India, menggunakan pendekatan secara algoritme berdasarkan adanya keluhan vaginal discharge, risiko pasangan dan penilaian discharge ternyata tidak bermanfaat dalam memprediksi infeksi Chlamydia karena sensitivitasnya hanya 5% meskipun spesifisitasnya 93% (Vishwanath et al., 2000). Sedangkan penelitian di Peru, skreening untuk Chlamydia dan atau gonorrhoe dengan menggunakan pendekatan syndromic management yang meliputi keluhan dysuria dan atau genital discharge pada wanita, memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah yaitu 48,1% dan 44,4% (Clark et al., 2009). Berdasarkan konsep diatas, maka pendekatan syndromic management pada penelitian ini adalah suatu pendekatan diagnostik terhadap adanya infeksi Chlamydia berdasarkan gejala dan tanda yang meliputi ada tidaknya gejala gatal, nyeri perut bawah, sakit saat hubungan seksual, bau vaginal discharge, warna vaginal discharge, konsistensi vaginal discharge dan pemeriksaan spekulum untuk menilai ada tidaknya radang pada vagina dan cerviks. Penelitian di Turki dengan menggunakan algoritme syndromic management WHO tanpa pemeriksaan spekulum mendapatkan nilai sensitifitas 9% dan spesitifitas 96%, tetapi bila disertai pemeriksaan spekulum diperoleh nilai sensitivitas 47% dan spesifisitas 56% (Ronsmans et al., 1996).

Tanda utama adanya infeksi Chlamydia adalah adanya vaginal discharge (WHO, 2007b). Vaginal discharge tersebut umumnya bersifat berbau, mucopurulen dan berwarna kekuningan seperti mukus yang berasal dari cerviks yang terinfeksi. Penelitian infeksi Chlamydia di India mendapatkan 58% subjek mengalami vaginal discharge dan 32% mengalami sakit perut bagian bawah (Patel et al.,2010). 2.12. Sistem Informasi Geografis dan Kesehatan Masyarakat Sistem infromasi geografi adalah suatu perangkat untuk mengumpulkan, menyimpan, menampilkan dan mengkorelasikan data spasial fenomena geografis untuk dianalisis. Hasilnya dapat dikomunikasikan kepada pemakai data, bagi keperluan pengambilan keputusan. Sistem ini merupakan salah satu cara yang paling berguna dalam epidemiologi karena dapat digunakan untuk mengidentifikasi area geografi dan kelompok populasi yang memiliki risiko tinggi terhadap suatu penyakit atau kematian, yang memerlukan tingkat pencegahan yang tinggi, memerlukan informasi kesehatan dan pemantauan penyakit tertentu berdasarkan tempat dan waktu (Kulldorff dan Nagarwalla, 1995).

Dalam bidang kesehatan masyarakat, sistem informasi geografi ini secara lebih luas dapat dimanfaatkan untuk: (Cromley and McLafferty, 2002; Cromley, 2003; McLafferty, 2003). a. Menganalisa risiko dan penyebaran penyakit-penyakit menular. b. Menganalisa akses masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan, menentukan tempat pelayanan kesehatan. Peta distribusi layanan kesehatan (imunisasi, distribusi makanan). c. Menganalisa risiko atau bahaya-bahaya yang terdapat di lingkungan. d. Melakukan analisa spasial terhadap berbagai kecenderungan berjangkitnya suatu penyakit/masalah kesehatan lainnya. e. Mengeksplorasi ekologi vektor-vektor yang menyebarkan penyakit. f. Mencari distribusi dari variasi dari berjangkitnya suatu penyakit/masalah kesehatan lainnya. g. Analisa kebutuhan dan alokasi resource dari suatu komunitas, h. Peramalan kejadian epidemic dan monitoring penyakit. i. Visualisasi fasilitas kesehatan umum. 2.12.1. Komponen dan Sub Sistem SIG Suatu rangkaian kegiatan yang dilaksanakan untuk mendapatkan gambaran umum bumi (real world) sehingga dapat menyelesaikan masalah-masalah yang ada di muka bumi ini. Sebuah sistem yang diterapkan untuk mengelola sebuah informasi yang sifatnya geografis, sehingga pengelolaan itu menjadi lebih efisien : (a) penyimpanan

informasi itu bisa lebih tertib; (b) pemilahan (pengelompokan) yang konsisten; (c) pemanggilan (retrival) lebih cepat; (d) penambahan dan perbaikan menjadi lebih mudah. Kebijakan dan Prosedure Perangkat Keras manajemen Perangkat lunak SIG Data dan informasi Geografis Gambar 4. Komponen Dasar SIG a. Perangkat Keras (hardware), perangkat keras untuk SIG yang sering digunakan antara lain komputer (PC), mouse,digitizer, printer, pointer, scanner b. Perangkat Lunak (software), adalah berbagai program yang digunakan untuk mengoperasikan komputer agar dapat bekerja untuk tujuan spesifik, contohnya ArcView, MapInfo c. Manajemen, suatu proyek SIG dapat bekerja dengan baik diperlukan suatu manajemen dari orang-orang yang terlibat. Orangorang tersebut merupakan sumberdaya manusia (brainware). d. Data dan informasi geografi merupakan hasil dan bagian dari SIG, dimana kemampuan SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data serta informasi geografis.

e. Kebijakan atau prosedur adalah kebijakan serta prosedur dalam SIG agar hasil yang diperoleh sesuai dengan kebutuhan, yang pada dasarnya adalah penggunaan analisis spasial untuk suatu keperluan yang khusus. 2.12.2. Analisa Spasial Teknik dalam menganalisa secara spasial adalah dengan korelasi, yaitu membendingkan dua hal yang berbeda untuk melihat ada tidaknya hubungan sebab akibat. Analisa dalam SIG merupakan analisa secara keruangan, analisa spasial dan analisa secara geografis. Dalam menganalisa keruangan (spasial) biasanya berupa analisa dengan menggunakan pertanyaan What- Where How Why When. Sedangkan geografi melihat persamaan, perbedaan, penyebaran sesuatu di muka bumi. Wujud akhir dalam analisa dengan menggunakan SIG adalah studi tentang penyebaran sesuatu di muka bumi, serta penjelasan faktor-faktor yang menyebabkan penyebaran tersebut. a. Buffer Operasi ini dimaksudkan untuk membuat zone atau area penyangga dengan jarak yang diinginkan. Syarat yang harus dilakukan yaitu data yang sudah baik dan sudah ditransformasikan. Terdapat tiga jenis buffer untuk masing-masing tipe data (point, line, polygon).

Gambar 5. Buffer b. Overlay (Korelasi) Terdapat tiga macam dalam melakukan overlay yaitu union (gabungan), intersection (interseksi) dan identity (identitas). Gambar 6. Overlay b. Query Merupakan salah satu teknik dalam menganalisa dengan SIG, dimana dengan menggunakan teknik matematika yang melihat variabelvariabel dari penelitian, sehingga dihasilkan suatu peta tematik hasil dari perhitungan variabel-variabel. Gambar 7. Teknik Query

2.12. 3. Sistem Informasi Geografis Terhadap Infeksi Chlamydia di Kota Medan Dengan menggunakan sistem informasi geografis ini, infeksi Chlamydia di Kota dapat diketahui penyebarannya serta faktor-faktor risiko yang dapat digunakan dalam memprediksi terjadinya infeksi Chlamydia, dengan demikian dapat dilakukan tindak lanjut penanganannya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya manfaat sistem infromasi geografis. Hasil penelitian Michaud, et al pada tahun 2003 di Baltimore mendapatkan bahwa pemetaan pola penyakit ternyata efektif dalam usaha eliminasi penyakit syphilis dengan cara memfokuskan penjangkauan dan screening di area geografis yang terpapar penyebaran penyakit tersebut. Suatu penelitian infeksi menular seksual tentang penyebaran gonorrhoe di Baltimore mendapatkan bahwa daerah yang diketahui kasus gonorrhoenya tinggi ternyata tidak menunjukkan adanya hubungan dengan infeksi gonorrhoe yang berulang (Bernstein et al, 2004). Penelitian tentang kejadian demam dengue dan deteksi vektornya di Brazil, menunjukkan adanya risiko penularan dengue secara geografis dan temporal (de Melo, et al, 2012). Penelitian SIG oleh Sithiprasasna et al (2003), menunjukkan bahwa penggunaan SIG mampu memprediksi perubahan habitat nyamuk sebagai vektor penyakit malaria di Thailand.

Pada penelitian ini sistem informasi geografis akan digunakan untuk mapping tingkat kerawanan infeksi Chlamydia dan mapping serta analisis faktor risiko berdasarkan distribusi infeksi Chlamydia di Kota Medan. Mapping infeksi chlamidya ini berdasarkan peta wilayah Kota Medan yang terbagi atas 21 wilayah kecamatan dan sarana pelayanan kesehatan primer yang terdiri dari 39 puskesmas Induk (13 puskesmas rawat inap dan 26 puskesmas rawat jalan). Lokasi subjek penelitian yang menderita vaginal discharge akan ditentukan berdasarkan alamatnya dan dibuat koordinatnya sesuai data yang diperoleh dari alat GPS (Global Positioning System), demikian juga terhadap lokasi puskesmas di Kota Medan. Dengan menggunakan tehnik buffer dalam sistem informasi geografis, akan diketahui zona pelayanan kesehatan puskesmas tersebut terhadap distribusi infeksi Chlamydia di wilayah kerja puskesmas tersebut.

2.13. Kerangka Teori Kerangka teori pada penelitian ini didasarkan pada teori health belief model, seperti dibawah ini: Individual Modifying Likelihood of Perceptions Factors Action Anggapan seberapa serius keluhan vaginal discharge Tingkat kerentanan mendapatkan infeksi Chlamydia (Perceived Susceptibility/ Perceived Severity) Variabel demografi: Umur, jenis kelamin, suku, agama, pekerjaan, tingkat pendidikan Variabel Sosiopsikologis: Status sosial, status ekonomi, personality,tekanan sosial Variabel struktural: kontak dengan sumber infeksi, pengetahuan, sikap dan perilaku tentang Chlamydia Persepsi terhadap ancaman infeksi Chlamydia (Perceived Threat) Landasan untuk bertindak: informasi petugas kesehatan, media, tempat dan petugas pelayanan kesehatan (Cues to action) Persepsi keuntungan melakukan pemeriksaan terhadap keluhan Hambatan dalam screening Chlamydia: biaya, waktu, jarak (Perceived benefits or Perceived barrier) Penanganan infeksi Chlamydia (Likelihood of behaviour) Gambar 8. Kerangka Teori Berdasarkan Health Belief Model

2.14. Kerangka Konsep Penelitian Pada penelitian ini, kerangka konsep menunjukkan hubungan antar variabel yang akan diteliti yaitu penentuan adanya infeksi Chlamydia berdasarkan pendekatan syndromic management dan pemeriksaan PCR, serta pengukuran berbagai faktor risiko seperti Gambar 2.9 dibawah ini. Perilaku: Pengetahuan Sikap Tindakan ibu dengan vaginal discharge Sosiodemografi: Umur Paritas Tingkat pendidikan Tingkat pendapatan Riwayat aborsi Infeksi Chlamydia trachomatis Akses pelayanan kesehatan Higiene dan Sanitasi Karateristik Vaginal discharge: Bau Warna Konsistensi Gatal Sakit Perut Bawah Radang Vagina Radang Cerviks Wilayah tempat tinggal Karakteristik wilayah Gambar 9. Kerangka Konsep Penelitian

2.15. Hipotesis Penelitian 1. Faktor karakteristik sosiodemografi responden, faktor perilaku, higiene dan sanitasi, akses pelayanan kesehatan dan karakteristik/signs and symptoms dari vaginal discharge merupakan faktor risiko terhadap kejadian infeksi Chlamydia. 2. Faktor vaginal discharge dapat digunakan sebagai model pendekatan syndromic management dan pendekatan syndromic management terhadap keluhan vaginal discharge dapat digunakan sebagai pendekatan diagnostik infeksi Chlamydia. 3. Pendekatan spasial menggunakan sistem informasi geografi dapat menggambarkan probabilitas infeksi Chlamydia berdasarkan faktor risiko pada wilayah Kota Medan.