Contextblindness Penyandang autisme adalah individu yang tidak asosial Judul asli: Autisten zijn niet asosial Wawancara dengan pakar autisme Belgia Peter Vermuelen Oleh : Priscilla Keeman Talent Jaargang 12, no 4, juli 2000. Peter Vermeulen, Pedagog Belgia adalah seorang tenaga ahli di bidang autisme. Ia baru saja menerbitkan satu buku terbarunya dengan judul dalam bahasa Vlaams - Belgia Contextblindheid (Contextblindness). Saya melihat ada overlap yang sangat besar dalam bentuk reaksi antara autisme dan gifted. Apa saja gejala-gejala yang ditampilkan oleh autisme? Diagnosa autisme dapat kita jumpai dalam DSM-IV, yang terdiri dari tiga gejala: kesulitan dalam perkembangan relasi sosial; kesulitan dalam komunikasi; serta rigiditas dalam perilaku dan minat. Ketiga gejala itu merupakan gejala pada kelompok autisme yang tergabung dalam autism spectrum disorder (ASD). Dahulu seringkali orang memberikan label pada individu gifted yang mempunyai juga gejala gangguan autisme dengan label asperger syndrome. Tetapi dengan label asperger syndrome itu maka secara fundamental individu gifted tidak lagi dibedakan dengan autisme. Karena itu lah kita menemukan label gangguan autisme yang menjadi semakin banyak. Dalam hal mengamati gejala masalah ini, kita perlu juga melihat gejala perkembangan inteligensinya, misalnya bagaimana ciri khas dari gaya berpikir penyandang autisme. Para penyandang autisme adalah individu yang mengalami kesulitan dengan pengolahan informasi yang masuk ke otak. Terutama informasi yang samar-samar, bagaimana cara memberikan makna dalam fungsi dan konteksnya. Keadaan ini disebut contextblindness. Apa sebenarnya contextblindness itu? Dalam upaya menerima informasi dari luar, individu non-autisme akan menseleksi mana informasi yang memang dapat digunakan olehnya. Untuk melakukan ini semua, kita menggunakan perangkat yang disebut perangkat konteks. Kita juga akan menggunakannya apabila informasi itu mempunyai dua atau lebih makna. Berpikir yang harafiah inilah yang kita maksud dengan contextblindness. Di Vlaanderen (Belgia yang berbahasa Belanda), kita sering berkata: Merangkak cepat ke belakang kursi. Maksudnya bukan kemudian kita memintanya merangkak di belakang kursi, apalagi malah memintanya ia tetap duduk di kursi sebagai ganti permintaan merangkak di belakang kursi. Begitu juga jika seseorang meminta Apakah Anda mempunyai waktu semenit untuk saya? Bukan berarti bahwa kita harus memberinya waktu hanya semenit untuknya, tetapi maksudnya waktu sebentar saja. Bagi penyandang autisme, hal-hal seperti di atas, adalah hal sangat sulit baginya. Apabila seorang guru berkata pada murid-muridnya: Anak-anak, ayo kita kerja! maka buat seorang penyandang autisme akan mengalami kesulitan apa maksudnya. Si anak akan memahaminya
secara harafiah saja. Si anak akan secara harafiah memaknainya, dan juga akan melakukannya dengan cara-cara yang sama. Contoh lain misalnya dengan cara mengatakan: Mari kita mengisi jawaban pada lembar pertanyaan, tetapi sementara itu sebelumnya guru akan menuturkan dulu sebuah cerita sebelum anak mengisinya, dan anak-anak harus mendengarkan cerita itu terlebih dahulu. Bagi seorang anak autisme juga akan segera mengartikan secara kaku bahwa kerja = lembar isian, untuk selajutnya ia tidak memperhatikan yang lain lagi. Bagaimana dengan gifted yang juga mempunyai gejala autisme? Gaya berpikir autisme yang khas juga dapat kita temukan pada semua anak-anak gifted dengan berbagai tingkatan. Beda yang terbesar pada autisme yang cerdas dengan autisme yang kurang cerdas adalah pada autisme yang cerdas akn lebih cepat melihat apabila ada sesuatu yang tidak sesuai. Ia akan dengan susah payah mencari jalan yang benar. Seorang anak autisme yang cerdas akan terus menerus bertanya untuk mendapatkan kejelasan. Bila seorang anak autisme dengan keterbatasan kecerdasan, akan tidak mampu memahami, dan Anda pun dengan putus asa melihatnya, lalu Anda akan berkata: aduh, ia sama sekali tidak mengerti. Pada anak autisme yang mempunyai kecerdasan yang di atas rata-rata, ia akan banyak bertanya, dan mungkin juga disertai dengan memaksa-maksa: ia akan mencoba memaknainya dengan cara pemahamannya sendiri secara paksa. Pada akhirnya juga akan menghasilkan pemahaman yang seolah-olah kekanakan atau tidak sopan. Anak-anak autisme autisme dengan kecerdasan di atas rata-rata adalah anak yang pandai. Mereka memahami berbagai hal dan mempunyai kemampuan yang baik dalam menggunakan bahasa. Pada kelompok autisme yang mempunyai masalah dalam kecerdasannya tidak akan berkata: Apa yang kamu katakan itu, bagiku tidak logis. Pada anak yang cerdas, dapat mengatakan seperti itu. Namun seringkali guru tidak mengetahui bahwa si anak yang kelihatan tidak sopan itu sebenarnya hanya karena ia ingin mencari jawab yang jelas bagi dirinya. Begitu juga anak-anak gifted kelihatan lebih pintar dari rata-rata anak apabila dilihat oleh orang dewasa. Kelihatannya ada hal-hal yang mirip antara autisme dan gifted. Bagaimana tepatnya? Saya melihat ada kesamaan antara autisme dan gifted dalam hal memberikan reaksi. Tetapi reaksi seorang penyandang autisme akan sama dengan siapa saja: anda merasa kesendirian, serasa tidak mempunyai kontak dengan orang lain. Hal yang sangat khas dalam membedakannya adalah dari gaya berpikirnya. Inilah yang membedakan antara seorang individu gifted dengan individu autisme yang cerdas. Anda bisa mencobanya, misalnya mintalah mereka menggambar seekor tupai bermain di pantai. Maka seorang anak gifted akan berkata: Tupai tidak hidup di pantai... Dalam hal ini seorang anak austime yang cerdas akan mengalami kesulitan untuk berkomentar seperti itu. Nah itulah yang disebut dengan contextblindness. Dengan kata lain kita dapat mengatakan bahwa seorang penyandang autisme akan mengalami kesulitan dalam membaca konteks. Sedang dalam kepala seorang anak gifted justru
sebaliknya, ia sangat banyak mempunyai kemampuan membaca konteks, dan sangat kompleks. Hal kedua yang membedakannya adalah juga pada faktor kreativitas dalam upaya menggambarkan informasi yang masuk. Pada kelompok gifted akan mempunyai gambaran yang banyak dan luas, hal ini karena pada kelompok gifted mempunyai kreativitas yang tinggi. Seringkali orang tua anak autisme mengatakan bahwa ia melihat bahwa anaknya mempunyai kreativitas yang baik, padahal sebetulnya itu bukan kreativitas yang orijinal, sebetulnya karena ia dilatih-latih, maka ia dapat mengolah informasi secara sistematis. Mereka tidak bekerja dengan kreativitas, begitu juga dengan bersosialisasi. Saya pernah mendengar cerita dari seorang gadis yang mengetahui begitu banyak tentang masalah olahraga tenis. Di Belgia kami mempunyai dua pemain tenis yang sangat baik, dan gadis ini sangat kagum terhadapnya. Karena begitu antusiasnya ia pada masalah tennis, sampai-sampai ibunya ingin memasukkannya ke les tenis. Tetapi ia tak mau. Ia tidak tertarik untuk bermain tenis, ia hanya ingin mengumpulkan data tentang berbagai masalah tenis. Anak gadis ini mempunyai kehidupan dunia yang berbeda dengan orang tuanya. Maka bagi saya mendatangkan pertanyaan, apa yang harus kita lakukan dalam kaitannya dengan memangun relasi dengan autisme? Masalah terbesar adalah terletak pada membangun kontak sosial timbal balik. Pada semua bentuk autisme kita akan mendapatkan kekurangan untuk kontak sosial timbal balik ini. Namun kita bisa membuat sesuatu yang berbeda sehingga kita tetap masih dapat membangun kontak dengannya. Hal pertama yang harus kita lakukan adalah, kita harus memberikan informasi yang jelas. Dengan cara ini bukan berarti kita harus menumpahkan waktu lebih sedikit untuk penyandang autisme untuk menjelaskan apa yang terjadi di sekitarnya. Bisa kita bayangkan, jika sedang sakit, pasti kita juga akan menjadi seseorang yang kurang sosial. Maksudnya agar kita bisa mempunyai waktu lebih banyak terhadap tubuh kita yang sedang sakit. Itulah sebabnya mengapa seorang autisme dalam mencari kejelasan menjadikannya kurang waktu untuk berinteraksi secara sosial. Bukan juga bahwa si anak tidak mempunyai perasaan, tetapi bagi mereka untuk membangun relasi dengan lingkungan merupakan pekerjaan yang sulit baginya. Seringkali juga justru menjadi kacau. Misalnya jika kakek meninggal, seluruh keluarga tengah bersedih, maka cucu yang autisme ini bisa saja ia berpikir bahwa kakek kan memang sudah tua. Sebaliknya, dapat juga terjadi saeorang murid autisme menjadi sangat repot padahal sementara hal itu bagi kita hanya kegiatan sampingan yang tak berarti. Misalnya pada saat pelajaran sejarah, pada saat itu juga tinta bolpennya habis. Ia akan menjadi sangat panik karena tinta bolpennya habis, pada pelajaran sejarah itu ia selalu menggunakan bolpen yang satu itu. Padahal di dalam tasnya masih ada enam bolpen lainnya. Tetapi ia tetap hanya mau menggunakan yang satu itu, yang tintanya sudah habis. Nah, hal seperti itu dapat menjadikannya sebuah situasi dramatis baginya. Seperti halnya dengan anak-anak dengan spektrum autisme, mereka semua mengalami kesulitan dalam mmemahami bagaimana perasaan orang lain. Ia sendiri juga mengalami
kesulitan memahami perasaannya sendiri. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa: Seorang penyandang autisme tidak merasakan bahwa ia kesepian, tetapi benar ia bisa merasakan bahwa ia kesendirian, karena ia mengalami kesulitan memahami apa artinya perasaan kesepian. Masalah selanjutnya adalah seorang penyandang autisme tak mempunyai insight Pernah suatu kali salah satu dari penyandang autisme ini bercerita pada saya: Kadang saya tidak mengerti bagaimana perasaan saya. Menurut saya hal itu sungguh menyedihkan. Karena bukan saja ia tidak bisa memahami rangsangan dan informasi dari luar, tetapi juga memahami perasaannyapun mengalami kesalahan. Ia berpikir bahwa, orang yang depresif adalah karena pada jam-jam sekitar 10.30 merasakan sangat tidak nyaman. Nampaknya ia tidak mengenali apa artinya rasa lapar yang seringkali muncul di sekitar jam-jam itu. Untuk kata-kata Bagaimana rasanya jika kita jatuh cinta adalah suatu hal yang sangat sulit baginya. Seringkali para penyandang autisme ini juga sangat tidak sensitif. Karena itu kita harus memberinya waktu agar ia mampu memprosesnya dahulu. Apakah Anda mempunyai tips untuk para guru dan orang tua? Terutama agar komunikasi menjadi baik, yang terpenting jelaskan dengan tegas tentang halhal: apa, kapan, dan dimana. Sementara untuk untuk anak gifted bisa ditambah dengan 6 elemen lain, terutama hal-hal yang menyangkut pada kata: mengapa. Bagi autisme, semuanya haruslah logis, karena itu gunakan kata-kata yang logis. Dengan begitu ia mampu mengambil apa yang kita sajikan. Suatu kali saya memberi pelajaran dalam sebuah kelompok. Saya memberi sebuah perintah: Gambar apa yang tengah kalian pikirkan. Serta merta saya mendapat pertanyaan: Mengapa saya harus mengerjakan itu? Jawabnya tentu, karena hal itu suatu hal yang menyenangkan. Bagi seorang penyandang autisme tentu hal ini tidak ada alasannya. Namun kita disini dapat melihat, apa perbedaan antara autisme dan gifted, bagaimana kita berpikir dan bagaimana yang lain berpikir. Kebersamaan dalam bersosialisasi tentu saja bukan sesuatu yang hanya terdiri dari faktor yang logis. Tetapi seringkali penyandang autisme seolah benar dalam kelogisannya itu. Karena itu kadang kita merasakan bahwa hal itu benar, padahal ia tidak bermaksud secara pribadi menyerang atau menyakiti kita. Ia tidak mengkritik kita secara pribadi. Seringkali seorang anak autisme berkali-kali bertanya karena ia menginginkan kejelasan yang logis menurutnya, atau karena kita memang berbuat kesalahan. Tetapi bukan karena ia membenci kita. Hal itu karena ia hanya menggunakan logika. Seringkali juga berkaitan dengan hal-hal yang sangat detil yang padahal menurut kita tidak penting. Contohnya, saya mendapatkan surat dari seorang penyandang autisme berkaitan dengan buku saya dengan judul Brein bedriegt. Ia menulis sebagai berikut: Buku bagus, tetapi gambarnya tidak benar. Itu bukan gambar symfoni, tetapi harmoni orkestra. ia menjelaskan secara panjang lebar bedanya harmoni orkestra dan symfoni. Padahal hanya menyangkut sebuah contoh ilustrasi yang penjelasannya dalam buku itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan symfoni ataupun orkestra.
Para penyandang autisme pada umumnya benar-benar berpikir dalam dunia yang sangat sempit. Akhirnya saya berkesimpulan bahwa autisme dan gifted mempunyai masalah yang sama... Beberapa minggu lalu, seseorang melaporkan pada saya, bahwa ia bekerja dengan seorang penyandang schizophrenia, ia bercerita bahwa pada penyandang schizophrenia juga bisa dikenali adanya gejala yang sama dengan autisme. Artinya kita tidak bisa mengatakan bahwa contextblindness hanya dimiliki oleh autisme. Ada banyak sekali kesamaan yang overlap antar berbagai anak-anak yang bergangguan, bila dilihat secara umum. Apabila kita melihat dari sisi penanganan, maka apa yang kita namakan sebagai penanganan autisme dapat juga digunakan untuk yang lain. Namun masih perlu diingat, banyak diantara elemen-elemen yang juga bukan merupakan spesifik autisme. Banyak anak, sekalipun bukan autisme, juga membutuhkan penjelasan yang tegas, dapat diramalkan, dan komunikasi yang konkrit. Penutup: Apa yang harus kita ketahui tentang autisme? Ada dua hal yang sangat penting. Seringkali pada autisme seringkali merasa takut yang berakhir pada munculnya gangguan sosial. Pada kenyataannya, masalah gangguan persepsi dan masalah berpikir menyebabkan terjadinya masalah gangguan sosial. Penyandang autisme sebenarnya bukan seseorang yang asosial, tetapi mengalami kesulitan membaca perilaku sosial. Karena alasan itulah, maka sangat penting artinya bagaimana menangani penyandang autisme adalah dengan cara memberikan informasi sejelas mungkin. Perilaku kita juga harus dapat diramalkan. Dalam praktiknya, kita harus selalu mengatakan apa yang akan kita lakukan. Dengan kata lain: kita harus memberi subjudul dalam setiap tindakan kita. Kemarin saya melakukan observasi di sekolah anak-anak autisme yang cerdas. Pada suatu saat saya bermain playstation dengan seorang anak laki, sementara itu saya tahu bahwa saya bisa sewaktu-waktu juga dipanggil oleh kelompok yang lain. Karena saya sudah tahu, saya selalu memberikan penjelasan apa yang akan saya lakukan. Saya katakan pada mereka, bahwa sekarang saya bisa bermain sama-sama dengan mereka, tetapi bisa jadi nanti saya tidak bisa menyelesaikan permainan karena saya dipanggil oleh kelompok yang lain. Karena anak-anak ini mengalami kesulitan dalam konteks, maka saya harus menjelaskan hal ini kepada mereka. Hal ini adalah hal yang super penting. Sebab dengan kontak yang baik, maka 90 persen dari kontak itu akan terbentuk, karena adanya kejelasan. Catatan (dari Julia Maria van Tiel). Contextblindness adalah teori yang kini dikemukakan untuk menjelaskan perilaku autisme. Semua penyandang autisme mengalami masalah dalam konteks atau mempunyai contextblindness. Namun bukan berarti bahwa semua yang mengalami gangguan konteks adalah autisme. Karena penyandang schizophrenia juga mengalami gangguan konteks.
Faktor contextblindness inilah yang dapat membedakan antara kelompok autisme yang cerdas (PDDNOS maupun Asperger) dengan kelompok anak gifted. Seringkali terjadi kesalahan, anak gifted yang mempunyai juga gejala seperti autisme diberi label autisme PDDNOS atau Asperger. Teori contextblindness saat ini sudah digunakan untuk menjelaskan perilaku autisme, setelah ketiga teori yang telah dibangun sebelumnya ternyata gagal untuk menjelaskan perilaku autisme. Ketiga teori itu adalah: 1. Theory of Mind 2. Centrale Coherence Theory 3. Executive function Theory Sumber: Vermuelen, P (2009) : Autisme als contextblindheid, EPO & ACCO uitgeverij, Assen.