Gambar 1. Rata-rata Proporsi Tiap Jenis Subsidi Terhadap Total Subsidi (%)

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL PEMERIKSAAN BPK ATAS KETEPATAN SASARAN REALISASI BELANJA SUBSIDI ENERGI (Tinjauan atas subsidi listrik)

DUKUNGAN PEMERINTAH TERHADAP PT. PLN (PERSERO)

SUBSIDI LISTRIK DAN PERMASALAHANNYA

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI INEFISIENSI BBM

Pemanfaatan Dukungan Pemerintah terhadap PLN dalam Penyediaan Pasokan Listrik Indonesia

Subsidi BBM pada APBN. Komposisi Subsidi pada APBN 55% 50% 44% 44% 43% 35% 33% 33% APBN APBN LKPP LKPP LKPP APBN. Perkembangan Subsidi BBM ( )

Kenaikan TDL Konferensi Pers. Jakarta, 29 Juni 2010

PENURUNAN TARIF LISTRIK SEBAgAI DAmPAK TURUNNyA. David Firnando Silalahi Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan

APAKAH SUBSIDI BBM BEBAN BERAT BAGI APBN?

PENDAHULUAN. Latar Belakang

EFISIENSI OPERASIONAL PEMBANGKIT LISTRIK DEMI PENINGKATAN RASIO ELEKTRIFIKASI DAERAH

ANALISIS ATAS TEMUAN BPK MENEKAN SUBSIDI LISTRIK DENGAN DUKUNGAN BERBAGAI KEBIJAKAN PENDUKUNG

Jakarta, 3 Desember 2009 Divisi Monitoring & Analisis Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW)

TAMBAHAN SUBSIDI LISTRIK RP 24,52 TRILIUN

EVALUASI KRITIS TERHADAP KEBIJAKAN SUBSIDI LISTRIK PADA PT PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA (PERSERO)

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SUBSIDI BBM DALAM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

LAPORAN SINGKAT KOMISI VI DPR RI B I D A N G PERINDUSTRIAN, PERDAGANGAN, KOPERASI DAN UKM, BUMN, INVESTASI, BSN DAN KPPU

Rencana Pengembangan Energi Baru Terbarukan dan Biaya Pokok Penyediaan Tenaga Listrik Dialog Energi Tahun 2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 16/PUU-XIV/2016 Subsidi Energi (BBM) dan Subsidi Listrik dalam UU APBN

Tanya Jawab Seputar PLN, Menyongsong 2013

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

STUDI PEMBANGUNAN PLTA KOLAKA 2 X 1000 KW UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN LISTRIK DI KABUPATEN KOLAKA SULAWESI TENGGARA

KAJIAN EVALUASI RISIKO FISKAL ATAS KEBIJAKAN PSO DAN PEMBENTUKAN HOLDING COMPANY

Studi Pembangunan PLTGU Senoro (2 x 120 MW) Dan Pengaruhnya Terhadap Tarif Listrik Regional di Sulawesi Tengah

5. GAMBARAN UMUM KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat modern saat ini tidak bisa dilepaskan dari energi listrik.

Bidang Studi Teknik Sistem Tenaga Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

I. PENDAHULUAN. Listrik sekarang telah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat karena

SUBSIDI BBM : PROBLEMATIKA DAN ALTERNATIF KEBIJAKAN

Satria Duta Ninggar

BEBAN SUBSIDI BBM DALAM APBN TAHUN 2013

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SUBSIDI PUPUK DALAM RAPBN-P 2014

Catatan Atas Harga BBM: Simulasi Kenaikan Harga, Sensitivitas APBN dan Tanggapan terhadap 3 Opsi Pemerintah

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI SAL DALAM RAPBN I. Data SAL

DI INDONESIA TAHUN Pada bagian ini akan diuraikan mengenai gambaran umum kelistrikan di

STRATEGI EFISIENSI PEMBIAYAAN PEMERINTAH UNTUK MEMACU PELAKSANAAN KONSERVASI ENERGI PADA SEKTOR KETENAGALISTRIKAN. Khalif Ahadi dan M.

PENYERAPAN ANGGARAN DALAM APBN

OLEH :: INDRA PERMATA KUSUMA

ANALISIS KEUANGAN PT. PLN (Persero)

ANALISA PERUBAHAN NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP DOLLAR AMERIKA DALAM RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perusahaan merupakan suatu wadah bagi sekumpulan orang untuk

RUANG FISKAL DALAM APBN

KEBIJAKAN DAN ALOKASI ANGGARAN SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK TAHUN 2013

Insentif fiskal dan Instrument Pembiayaan untuk Pengembangan Energi Terbarukan dan Pengembangan Listrik Perdesaan

PENGHAPUSAN SUBSIDI LISTRIK MELALUI PENYESUAIAN TARIF TENAGA LISTRIK SECARA BERTAHAP UNTUK GOLONGAN TERTENTU

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011

SAL SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF SUMBER PEMBIAYAAN DALAM APBN

REALISASI BELANJA NEGARA SEMESTER I TAHUN 2012

SOLUSI KEBIJAKAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN GAS DOMESTIK

BIAYA MODAL/ CAPITAL COST BIAYA TETAP (O & M)

MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA S..A...LINAN

Kebijakan Pemerintah Di Sektor Energi & Ketenagalistrikan

Pengendalian Konsumsi BBM Bersubsidi

Kenaikan Harga Minyak Mentah Dunia 1

Dr. Unggul Priyanto Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Alokasi Biaya Overhead Menggunakan Metode Tradisional. 1. Departemen Operasi. 2. Departemen Permeliharaan

Disampaikan pada Seminar Membuka Sumbatan Investasi Efisiensi Energi di Indonesia: Tantangan dan Peluang Kebijakan dan Regulasi

1. PENDAHULUAN PROSPEK PEMBANGKIT LISTRIK DAUR KOMBINASI GAS UNTUK MENDUKUNG DIVERSIFIKASI ENERGI

MENTEHIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALIN AN PERATURAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 162 /PMK.02/2017

IV. GAMBARAN UMUM. Badak, dan kilang Tangguh. Ketiga kilang tersebut tersebar di berbagai pulau

Pengaturan Berbasis Kinerja (Performance Based Regulatory/PBR) pada Subsidi Listrik

2015, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Energi

Disampaikan pada Seminar Nasional Optimalisasi Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan Menuju Ketahanan Energi yang Berkelanjutan

Data yang disajikan merupakan gabungan antara data PLN Holding dan Anak Perusahaan,

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN ENERGI NASIONAL

VIII. EFISIENSI DAN STRATEGI ENERGI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

Tanya Jawab Seputar Tarif Tenaga Listrik 2015

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI

Mencari Harga BBM Yang Pantas Bagi Rakyat Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Besarnya konsumsi listrik di Indonesia semakin lama semakin meningkat.

2 b. bahwa penyesuaian Tarif Tenaga Listrik Yang Disediakan Oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perusahaan Listrik Negara sebagaimana dimaksud dala

SEMINAR ELEKTRIFIKASI MASA DEPAN DI INDONESIA. Dr. Setiyono Depok, 26 Januari 2015

2013, No makro yang disertai dengan perubahan kebijakan fiskal yang berdampak cukup signifikan terhadap besaran APBN Tahun Anggaran 2013 sehingg

listrik di beberapa lokasi/wilayah.

PENELAAHAN BESARAN SUBSIDI BIODIESEL. Agus Nurhudoyo

F A C T S H E E T S B Kebijakan Realokasi Anggaran

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

JIKA SUBSIDI BBM DIPATOK RP PER LITER

PLN Dari 1973 Sampai 2005

KEBIJAKAN & RPP DI KEBIJAKAN & RPP BIDANG ENERGI BARU TERBARUKAN BARU

I Putu Surya Atmaja. Proceeding Seminar Tugas Akhir

Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) 2012

ANALISIS MASALAH BBM

Tabel 3.1. Indikator Sasaran dan Target Kinerja

penerangan dan juga proses produksi yang melibatkan barang-barang elektronik dan alatalat/mesin

BAB I PENDAHULUAN. pada tahun 2014 meningkat sebesar 5,91% dibandingkan dengan akhir tahun 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

LEMBARAN DAERAH KOTA TARAKAN TAHUN 2010 NOMOR 1 PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. listrik yang semakin meningkat sehingga diperlukan energy alternatif untuk energi

Analisis Krisis Energi Listrik di Kalimantan Barat

ISSN : NO

Pidato Presiden RI tentang Pelaksanaan Penghematan Energi Nasional, Jakarta, 29 Mei 2012 Selasa, 29 Mei 2012

V. PENGEMBANGAN ENERGI INDONESIA DAN PELUANG

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN NEGARA. APBN Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4848)

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. Berdasarkan hasil analisis hasil estimasi mode l subsidi harga listrik da n hasil

KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK

I. PENDAHULUAN. dalam menjalankan aktivitas ekonomi suatu negara. Seiring dengan pertambahan

Transkripsi:

SUBSIDI LISTRIK (Tinjauan Dari Aspek Ketersediaan Bahan Bakar) I. Pendahuluan S ubsidi listrik diberikan sebagai konsekuensi penentuan rata-rata harga jual tenaga listrik (HJTL) yang lebih rendah dari biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik. Tujuan pemberian subsidi listrik tersebut adalah untuk menjaga ketersediaan listrik bagi industri, komersial dan pelayanan masyarakat serta menjamin terlaksananya investasi dan rehabilitasi sarana dan prasarana penyediaan tenaga listrik. Subsidi listrik merupakan subsidi yang diberikan pemerintah dalam jumlah yang tidak kecil, terbukti dalam tujuh tahun terakhir (2005-2011) rata-rata proporsi subsidi listrik sebesar 26 persen dari keseluruhan nilai subsidi yang dikeluarkan pemerintah (Gambar 1). Sebagai salah salah satu komponen subsidi energi, subsidi listrik menempati urutan kedua terbesar setelah subsidi bahan bakar minyak (BBM) (tabel 1). Gambar 1. Rata-rata Proporsi Tiap Jenis Subsidi Terhadap Total Subsidi (%) 6% 1% 7% 26% 1% 0% 0% 7% 0% 52% Subsidi BBM Subsidi Listrik Subsidi Pangan Subsidi Pupuk Subsidi Benih PSO Subsidi Bunga Kredit Program Subsidi Minyak Goreng Subsidi Pajak Subsidi Kedele Subsidi Lainnya Sumber : data Pokok APBN 2011 rev-1

Tabel 1. Besar Tiap Jenis Subsidi, 2005-2011 (Rp milyar) Jenis Subsidi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Proporsi Tiap Jenis Subsidi thd Total Subsidi (X/Y) Subsidi BBM 95,598.5 64,212.1 83,792.3 139,106.7 45,039.4 88,890.8 95,914.2 87,507.7 51.88% Subsidi Listrik 8,850.6 30,393.3 33,073.5 83,906.5 49,546.5 62,800.0 40,700.0 44,181.5 26.19% Subsidi Pangan 6,356.9 5,320.2 6,584.3 12,095.9 12,987.0 13,925.1 15,267.0 10,362.3 6.14% Subsidi Pupuk 2,527.3 3,165.7 6,260.5 15,181.5 18,329.0 18,411.5 16,377.0 11,464.6 6.80% Subsidi Benih 147.7 131.1 479.0 985.2 1,597.2 2,263.5 120.3 817.7 0.48% PSO 934.6 1,795.0 1,025.0 1,729.1 1,339.4 1,375.0 1,877.5 1,439.4 0.85% Subsidi Bunga Kredit Program 149.0 286.2 347.5 939.3 1,070.0 2,856.4 2,618.2 1,180.9 0.70% Subsidi Minyak Goreng 0.0 0.0 24.6 225.7 0.0 - - 35.8 0.02% Subsidi Pajak 6,200.6 1,863.8 17,113.6 21,018.2 8,173.6 18,434.4 14,750.0 12,507.7 7.42% Subsidi Kedele 0.0 0.0 0.0 103.3 0.0 - - 14.8 0.01% Subsidi Lainnya 0.0 264.4 1,514.0 0.0 0.0 - - 254.1 0.15% total subsidi Sumber: Data Pokok APBN 2011-rev 1 Rata-rata (X) 120,765.30 107,431.80 150,214.40 275,291.50 138,082.20 201,263.00 187,624.30 168,667.5 (Y) Tabel 2 menunjukkan proporsi subsidi listrik terhadap belanja pemerintah pusat cenderung meningkat dari hanya 0,77% pada tahun 2004 menjadi 8,04% pada tahun 2010. Secara ratarata subsidi listrik menghabiskan sekitar 6 persen belanja pemerintah pusat. Kondisi ini menunjukkan bahwa subsidi listrik cukup membebani pemerintah pusat. Tabel 2. Proporsi Subsidi Listrik terhadap Belanja Pemerintah Pusat (Rp milyar) % thd Subsidi Belanja Tahun belanja listrik pempus pempus 2004 2,316.65¹ 300,036.20¹ 0.77% 2005 8,850.60 361,155.20 2.45% 2006 30,393.30 440,032.10 6.91% 2007 33,073.50 504,623.30 6.55% 2008 83,906.50 693,356.00 12.10% 2009 49,546.50 628,812.40 7.88% 2010 62,800.0² 781,533.60 8.04% 2011³ 40,700.00 836,578.20 4.87% Sumber: Nota Keuangan APBN-P dan Data Pokok APBN 2011- rev 1, diolah Cat: ¹ APBN-P, ² Siaran Pers Kementerian ESDM ³APBN Gambar 2. Trend Subsidi Listrik dan Belanja Pemerintah Pusat, 2004-2011 (Rp milyar) 900,000.00 800,000.00 700,000.00 600,000.00 500,000.00 400,000.00 300,000.00 200,000.00 100,000.00 0.00 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 belanja pempus Subsidi listrik Secara nominal, dalam delapan tahun terakhir besarnya subsidi listrik juga cenderung meningkat. Kenaikan yang cukup tajam terjadi di tahun 2008 sebesar 45%. Faktor utama yang mengakibatkan besarnya subsidi listrik tersebut adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dimana pembangkit PLN masih banyak yang menggunakan BBM. Dengan demikian, untuk menurunkan subsidi listrik pemerintah dan PLN harus melakukan upaya-upaya Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR RI I 2

menurunkan BPP tenaga listrik melalui diversifikasi energi primer di pembangkitan tenaga listrik, salah satunya melalui optimalisasi penggunaan gas 1. Hal tersebut didukung oleh adanya temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Indonesian Corruption Watch (ICW). Pemeriksaan BPK atas PLN dan anak perusahaannya yang dilakukan pada tahun 2007 2009 antara lain menemukan adanya inefisiensi atau pemborosan puluhan triliun rupiah karena tidak adanya dukungan kebijakan energi dari pemerintah. Hal senada juga dikemukakan oleh ICW. ICW menemukan adanya inefisiensi biaya produksi listrik Perusahaan Listrik Negara (PLN) kurun waktu 2002-2008 sebesar Rp 158,557 triliun atau Rp 22,651 triliun per tahun. Inefisiensi tersebut terkait dengan tidak adanya dukungan pemerintah dalam penyediaan bahan bakar pembangkit listrik dan tidak adanya kesungguhan pemerintah dalam kebijakan harga pasokan bahan bakar pembangkit listrik 2. Temuan-temuan tersebut berujung pada naiknya biaya pokok penyediaan tenaga listrik. Hal ini disebabkan PLN terpaksa menggunakan bahan bakar minyak untuk mengoperasikan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan gas turbin PLTGU yang di disain dual firing (dapat dioperasikan dengan BBM dan gas). Persoalan bahan bakar, terutama bahan bakar minyak merupakan beban utama bagi PLN. Biaya bahan bakar dan pelumas menghabiskan lebih dari 50 persen pendapatan PLN. Pada tahun 2008 tercatat bahan bakar minyak (BBM) masih menjadi unsur biaya terbesar dengan 83,32% dari seluruh biaya pembelian energi primer untuk produksi tenaga listrik. Padahal jika diteliti biaya BBM tersebut hanya berkorelasi 27,72% dari total produksi GWh. Jika harga BBM naik, Biaya Pokok Penyediaan (BPP) energi listrik pun akan merayap tinggi 3. Inilah persoalan mendasar yang harus segera ditangani guna mengurangi beban operasi PLN yang pada akhirnya berujung pada pengurangan subsidi yang harus dibayarkan pemerintah. II. Efisiensi Biaya Bahan Bakar dan Penghematan Subsidi Listrik T idak terpenuhinya kebutuhan gas PLN, diantaranya karena ada pembatasan penyerahan hasil eksplorasi dari kontraktor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) memaksa PLN lebih kreatif menggunakan bahan bakar yang tersedia untuk mengoperasikan mesin-mesin pembangkitnya yang berbahan bakar gas 4. Akibatnya biaya operasi PLN membengkak karena untuk menutupi defisit gas, PLN selama ini menggunakan bahan bakar minyak yang harganya jauh lebih mahal. Kebutuhan gas PLN tahun 2010 sebesar 640,64 MMBTU sementara gas yang terpenuhi hanya 266,9 MMBTU, sisanya 373,73 MMBTU belum terpenuhi. Jumlah ini sama dengan 59,79 juta barel minyak 5. 1 Yusuf Suryanto; Subsidi Listrik di Indonesia, http://umum.kompasiana.com/2010/02/12/subsidilistrik-di-indonesia/; tanggal posting 12 Februari 2010, tanggal akses 3 Januari 2011. 2 http://regional.kompas.com/read/2009/12/03/1524238/wuih...inefisiensi.pln.capai.rp.158.557.triliun 3 Epsdin Alhanif; Langkah menurunkan Subsidi Listrik;ttp://epsdin.wordpress.com/2010/05/16/ langkah-menurunkan-subsidi-listrik/, tanggal posting 16 Mei 2010, tanggal akses 20 Desember 2010. 4 Pasal 22 ayat (1) Undang-undang No 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi mengamanatkan pembatasan penyerahan hasil eksplorasi minyak dan gas bumi dari kontraktor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (DMO) maksimal 25%. 5 Pri Agung Rakhmanto, ReforMiner Institute; Pasokan Gas Oke, Subsidi Hemat Rp 30 Triliun; http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2010/06/30/brk,20100630-259775,id.html; tanggal posting 30 Juni 2010, tanggal akses 29 Desember 2010. 1 bbl = 6,29 MMBTU. Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR RI I 3

Berdasarkan data kebutuhan gas yang belum terpenuhi dan harga rata-rata minyak (Rp5.186,76/liter) serta gas alam (Rp37.998,48/MSCF), maka dengan tetap menggunakan mesin pembangkit yang dimiliki PLN saat ini, hasil perhitungan menunjukkan bahwa PLN akan dapat menghemat sekitar 70% biaya bahan bakarnya jika kebutuhan gas PLN untuk PLTGU dapat terpenuhi secara maksimal (tanpa menambah modal untuk investasi pembangunan pembangkit yang baru). Sekedar perbandingan, biaya yang dibutuhkan akibat penggunaan minyak untuk menutupi defisit gas tidak akan tertutupi oleh besarnya subsidi listrik yang diberikan pemerintah setiap tahunnya (tabel 3). Tabel 3. Subsidi dan Inefiensi Biaya Bahan Bakar (Rp juta) Biaya yang dibutuhkan Tahun Bi. Bahan bakar Subsidi Listrik % akibat defisit gas 2004 24,491,052.00 17,143,736.40 2,316,650.00 740.02% 2005 37,355,450.00 26,148,815.00 8,850,600.00 295.45% 2006 63,401,080.00 44,380,756.00 30,393,300.00 146.02% 2007 65,559,977.00 45,891,983.90 33,073,500.00 138.76% 2008 107,782,838.00 75,447,986.60 83,906,500.00 89.92% 2009 76,235,072.00 53,364,550.40 49,546,500.00 107.71% Sumber: Statistik PLN 2009, Data Pokok APBN 2011, diolah Hasil perhitungan menunjukkan, bahwa dengan asumsi biaya bahan bakar merupakan 55% biaya operasi dan menggunakan harga jual PLN yang sama, maka penghematan biaya bahan bakar sekitar 70% akibat terjaminnya ketersediaan gas akan menghasilkan sekitar 40% pengurangan subsidi listrik. Hal ini disebabkan kalangan menengah atas tidak perlu diberikan subsidi karena harga jual yang ditetapkan PLN sudah menutupi biaya produksi listrik/ kwh (table 4). Tabel 4. Jenis Pelanggan dan Perhitungan Pengurangan Subsidi Biaya Harga jual Subsidi Produksi Volume penjualan Jenis pelanggan PLN (Rp Listrik (Kwh) (Rp/Kwh) triliun) (Rp/Kwh) Rumah tangga Bi. Prod. Listrik setelah penghematan (Rp/Kwh)* Hasil perhitun gan Kecil 450 VA 418 1.163 13,13 17,624,161,073.8 715.25 Negatif Kecil 900 VA 609 1.163 9,48 17,111,913,357.4 715.25 Negatif Sedang I (1.300VA) 675 1.163 3,94 8,073,770,491.8 715.25 Negatif Sedang II (2.200 VA) 679 1.163 2,48 5,123,966,942.1 715.25 Negatif Menengah (2.200-6.600 VA) 797 1.163 1,37 3,743,169,398.9 715.25 Positif Kaya > 6.600 VA 1.33 1.163-715.25 0.00 Bisnis Bisnis besar (> 200 VA) 811 839 1,91 68,214,285,714.3 515.99 Positif Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR RI I 4

Industri Sedang (2.200 VA) 805 1,163 1,22 3,407,821,229.1 715.25 Positif Menengah (>2.200 VA) 641 839 10,92 55,151,515,151.5 515.99 Positif Besar ( > 30.000 VA) 529 718 4,37 23,121,693,121.7 441.57 Positif Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/06/21/eb/mbm.20100621.eb133899.id.html, tanggal posting 21 Juni 2010, tanggal akses 3 Januari 2010, diolah. Cat : negatif berarti masih merlukan subsidi, positif berati tidak perlu subsidi Dengan demikian, terjaminnya ketersediaan bahan bakar yang diperlukan PLN menjadi suatu hal yang mendesak untuk menurunkan biaya operasi PLN. Penghematan biaya operasi ini pada akhirnya akan menurunkan subsidi yang harus diberikan pemerintah. Kebijakan inilah yang dinilai banyak pihak merupakan jawaban dari beratnya beban anggaran pemerintah, dan bukan kenaikan tarif dasar listrik. III. Penerima Subsidi Listrik P eraturan Menteri Keuangan Nomor 111/ PMK.02/2007 menyebutkan bahwa subsidi listrik diberikan kepada pelanggan dengan golongan tarif yang harga jual tenaga listrik rataratanya lebih rendah dari BPP tenaga listrik pada tegangan di golongan tarif tersebut. Dengan demikian hampir seluruh pelanggan mendapatkan subsidi listrik. Hasil kajian Badan Kebijakan Fiskal, Departemen Keuangan menunjukkan bahwa 56% subsidi listrik tahun 2007 dinikmati oleh kelompok pelanggan rumah tangga dan sisanya terbagi antara industri, bisnis, pemerintah dan lain-lain (gambar 3). Gambar 3. Distribusi Subsidi Berdasarkan Golongan pelanggan 9% 4% 4% 56% 27% Rumah tangga Industri Bisnis Pemerintah Lain-lain Sumber Badan Kebijakan Fiskal dalam Nota Keuangan APBN 2009 Berdasarkan tabel 4, tidak seluruh subsidi dinikmati oleh kalangan ekonomi menengah ke bawah. Hasil perhitungan menunjukkan sekitar 30 40% subsidi listrik dinikmati kalangan menengah ke atas. Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR RI I 5

IV. Ketidakhematan PLN 4.1. Penggunaan unit pembangkit berbahan bakar minyak yang tidak efisien Tabel 5. Pembangkit dan Biaya Operasi Tahun 2009 Jenis Pembang kit Kapasitas Terpasang (MW) Jml Unit pmba ngkit Energi yang diproduksi *(GWh) Bahan Bakar BIAYA OPERASI RATA-RATA PER KWH (Rp/KWH) Pemeli haraan Penyusutan Aktiva Lainlain PLTA 3.508 201 10306.91 11,88 22,62 82,27 5,07 17,65 139,48 PLTU 8.764 49 52963.84 518,00 20,49 52,24 2,27 5,31 598,31 PLTG 2.571 63 8674.48 1.198,24 114,63 97,71 3,23 8,89 1.422,71 PLTGU 7.371 59 34746.69 667,35 18,84 47,52 3,09 2,99 739,79 PLTP 415 9 3504.47 560,79 12,09 48,50 2,40 15,09 639,87 PLTD 2.981 4626 10431.8 2.324,89 213,56 85,28 11,16 61,63 2.696,52 Sumber: Statistik PLN 2009 * Terdiri dari energi yang dihasilkan sendiri dan energi yang berasal dari sewa genset Tabel 5 menunjukkan : 1. Hingga tahun 2009 lebih dari 90 persen unit pembangkit yang dimiliki PLN merupakan unit pembangkit berbahan bakar minyak (PLTD). 2. Kapasitas terpasang dari unit pembangkit berbahan bakar minyak tersebut hanya 2.981 MW, dibawah kapasitas terpasang jenis pembangkit lainnya. Artinya walaupun dalam jumlah unit yang terbesar namun kapasitas maksimum yang dimilikinya tidak melebihi kapasitas maksimum jenis pembangkit lainnya. 3. Energi yang dihasilkan dari unit pembangkit jenis ini juga tidak besar, hanya 8,65 persen dari keseluruhan energi yang mampu dihasilkan PLN sementara biaya operasi yang harus dikeluarkan cukup tinggi, yaitu Rp2.696,52/ KWh. Biaya operasi mesin pembangkit berbahan bakar minyak ini merupakan yang terbesar diantara biaya operasi mesin pembangkit jenis lain, dengan demikian energi listrik yang dihasilkan dari mesin pembangkit jenis ini menjadi yang termahal. 4. Dilihat dari jenis biaya operasional yang dikeluarkan, biaya pemeliharaan untuk unit pembangkit berbahan bakar minyak juga yang terbesar diantara unit pembangkit jenis lain. Hal ini menunjukkan bahwa mesin pembangkit berbahan bakar minyak cenderung lebih cepat mengalami kerusakan dan menurunkan kemampuan mesin (derating) pembangkit. Kondisi ini sangat mempengaruhi operasional PLN dalam menjalankan usahanya. Dengan biaya operasional yang tinggi maka PLN tidak akan mampu mencetak laba operasi tanpa bantuan subsidi pemerintah. Ketergantungan ini semakin memberatkan anggaran negara karena nilai subsidi listrik yang harus dikeluarkan negara terus meningkat setiap tahun. Pega wai Jml T Inefisiensi pembangkit PLTGU dual firing abel 6 menunjukkan 2,4 persen unit pembangkit yang dimiliki PLN berbahan bakar gas dan/ atau campuran gas dengan minyak. Meskipun dalam jumlah yang tidak besar, namun Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR RI I 6

praktik penggunaannya berpengaruh dominan terhadap inefisiensi biaya operasi PLN. Untuk PLTGU, dioperasikan dengan menggunakan minyak disamping gas sebagai bahan bakarnya, namun dalam praktiknya lebih banyak menggunakan minyak karena ketersediaan gas sangat minim. Demikian juga halnya dengan PLTG. Hal itu membawa konsekuensi tersendiri, yaitu membengkaknya biaya produksi PLN. Berikut perbandingan biaya produksi antara penggunaan minyak dan gas: Tabel 6. Perbandingan Biaya Produksi Pembangkit Memakai Minyak dan Gas Perhitungan biaya produksi Asumsi : Beroperasi 80% waktu dalam 1 tahun, dan 10 jam kerja dalam 1 Hari Biaya Operasi Rp.2.696,52 / Kwh Memakai minyak Rp.1.422,71/KWH Daya 7.370 MW 7.370 MW Bi. produksi 1 Tahun = 0,8 X 360 X 10 X 2.696,52 X 7370 X 1000 = 57,235 triliun Sumber : Permasalahan Sektor Ketenagalistrikan, Ahmad Daryoko Memakai gas = 0,8X 360 X 10 X 1.422,71 X 7.370 X 1000 = 30,198 Triliun Dari perhitungan tersebut diketahui biaya produksi dengan menggunakan gas hanya sekitar 52,8% dari biaya produksi dengan menggunakan minyak. V. Kesimpulan 1. Biaya bahan bakar merupakan komponen terbesar dari biaya operasi PLN. Tidak terpenuhinya kebutuhan gas menyebabkan PLN menggunakan bahan bakar minyak untuk mengoperasikan pembangkitnya yang berbahan bakar gas. Dukungan kebijakan energi pemerintah yang lebih berpihak pada pemenuhan kebutuhan dalam negeri (DMO), maka dengan tetap menggunakan mesin pembangkit yang dimiliki PLN saat ini, hasil perhitungan menunjukkan bahwa PLN akan dapat menghemat sekita 70% biaya bahan bakarnya jika kebutuhan gas PLN untuk PLTG dan PLTGU dapat terpenuhi secara maksimal (tanpa menanbah modal untuk investigasi pembangunan pembangkit yang baru). 1. Terjaminnya ketersediaan bahan bakar yang riil dibutuhkan PLN dalam kondisi operasi optimal, menjadi suatu hal yang mendesak untuk menurunkan biaya bahan bakar dalam komponen biaya operasi PLN. Penghematan sekitar 70% biaya bahan bakar pada akhirnya akan menurunkan sekitar 40% subsidi listrik yang harus diberikan pemerintah. Kebijakan inilah yang dinilai banyak pihak merupakan jawaban dari beratnya beban anggaran pemerintah, dan bukan kenaikan tarif dasar listrik. 2. Tidak seluruh subsidi listrik dinikmati oleh kalangan ekonomi menengah ke bawah. Hasil perhitungan menunjukkan sekitar 30 40% subsidi listrik dinikmati kalangan menengah ke atas. Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR RI I 7