BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengganggu aktivitas sosial (Bousquet, et.al, 2008). Sebagian besar penderita

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

BAB I PENDAHULUAN. bahan kimia atau iritan, iatrogenik, paparan di tempat kerja atau okupasional

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB I PENDAHULUAN. bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1. manifestasi klinis tergantung pada organ target. Manifestasi klinis umum dari

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi merupakan penyakit peradangan pada. sistem pernapasan yang disebabkan oleh reaksi alergi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. Mekanisme alergi tersebut akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK GAMBARAN ALERGEN PASIEN RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

BAB 1 PENDAHULUAN. imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. Rinitis alergika merupakan penyakit kronis yang cenderung meningkat

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PROFIL PASIEN RHINITIS ALERGI DI RUMAH SAKIT PHC SURABAYA TAHUN 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis alergi (RA) merupakan rinitis kronik non infeksius yang paling

KUESIONER PENELITIAN RINITIS ALERGI

RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSU PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER Elia Reinhard

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. dermatitis yang paling umum pada bayi dan anak. 2 Nama lain untuk

BAB V PEMBAHASAN. anak kelas 1 di SD Negeri bertaraf Internasional dan SD Supriyadi sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. timbul yang disertai rasa gatal pada kulit. Kelainan ini terutama terjadi pada masa

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

BAB II LANDASAN TEORI. ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta. pemahaman mengenai patologi, patofisiologi, imunologi, dan genetik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang berbatas pada bagian superfisial kulit berupa bintul (wheal) yang

BAB 1 PENDAHULUAN. immunoglobulin E sebagai respon terhadap alergen. Manifestasi yang dapat

128 Rinitis Alergi pada Anak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi,

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan adanya gejala-gejala nasal seperti rinore anterior atau posterior, bersinbersin,

HUBUNGAN ANTARA RIWAYAT ALERGI KELUARGA, LAMA SAKIT DAN HASIL TES KULIT DENGAN JENIS DAN BERATNYA RINITIS ALERGI ARTIKEL

DI RT 06 RW 02 DESA KUDU KELURAHAN BAKI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAKI I SUKOHARJO

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. imun. Antibodi yang biasanya berperan dalam reaksi alergi adalah IgE ( IgEmediated

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yaitu terjadinya kerusakan jaringan tubuh sendiri (Subowo, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. Reaksi alergi dapat menyerang beberapa organ dan pada setiap kelompok usia.

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA

BAB I PENDAHULUAN. paru-paru. Penyakit ini paling sering diderita oleh anak. Asma memiliki gejala berupa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang Permasalahan. Alergen adalah zat yang biasanya tidak berbahaya

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa nematoda menjadikan manusia sebagai pejamunya. Beberapa

BAB 1 PENDAHULUAN. kemudian akan mengalami asma dan rhinitis alergi (Djuanda, 2007). inflamasi dan edukasi yang kambuh-kambuhan (Djuanda,2007).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis) 2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)

I. PENDAHULUAN. Dermatitis Atopik (DA) merupakan penyakit inflamasi kulit kronik, berulang. serta predileksi yang khas (Patrick, 2008).

BAB 3. METODA PENELITIAN. Tenggorok sub bagian Alergi dan Imunologi. Waktu penelitian : tahun

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI. Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari

BAB I PENDAHULUAN. ISPA adalah suatu infeksi pada saluran nafas atas yang disebabkan oleh. yang berlangsung selama 14 hari (Depkes RI, 2010).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Maria Ulfa Pjt Maria Lalo Reina Fahwid S Riza Kurnia Sari Sri Reny Hartati Yetti Vinolia R

Transkripsi:

5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Rinitis Alergi Istilah alergi dikenalkan oleh Von Pirquet pada tahun 1906 untuk mendeskripsikan fenomena dari hewan dan manusia yang mengembangkan respon perubahan terhadap substansi asing setelah berulang kali terpapar.oleh karena itu, istilah alergi menjadi terbatas untuk reaksi imun yang merangsang reaksi membahayakan terhadap substansi yang tidak membahayakan,yaitu hipersensitivitas atau imunitas. Atopi didefinisikan sebagai alergi yang diakibatkan oleh imunoglobulin E (IgE); yang ditandai dengan perkembangan dari IgE spesifik setelah paparan terhadap alergen (antigen) walaupun dalam jumlah kecil pada sebagian besar individu yang memiliki turunan sifat genetik. (Wytske,1991) Rinitis secara umum didefinisikan sebagai dua atau lebih gejala dari: sumbatan hidung, hidung berair (rhinorrhea), bersin atau gangguan penghiduan selama lebih dari 1 jam dalam sehari. Ada beberapa jenis dari Rinitis, umumnya dibagi menjadi 3 kategori utama: 1) Rinitis infektius 2) Rinitis alergi 3) Rinitis non-alergi. (Martinez, L.,2009) Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut(soepardi, 2007). Definisi menurut WHO ARIA (allergic rhinitis and its impact on asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh Ig E. Sedangkan menurut Kimihiro Okubo (2011) dari Jepang rinitis alergi adalah penyakit alergi tipe I dari mukosa nasal,dengan gejala bersin paroksismal berulang, ingus berair, dan sumbatan hidung. Rinitis alergi sering dikenal sebagai alergi hidung, hipersensitivitas hidung, dan pollinosis.pollinosis adalah rinitis

6 alergi musiman yang merupakan salah satu dari klasifikasi rinitis alergi. Pollinosis biasanya memiliki komplikasi konjungtivitis alergi. 2.2. Klasifikasi Rinitis Alergi Klasifikasi rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,yaitu: 1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal alergi musiman, hanya ada di negara 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepung sari (pollen) dan spora jamur. 2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi musim, dan dapat terjadi sepanjang tahun. Penyebab paling sering ialah alergen inhalan dan alergen ingestan. Penyebab tersering pada orang dewasa adalah alergen inhalan.(soepardi, E.A.,2007) Pada saat ini yang sering digunakan adalah klasifikasi ARIA berdasarkan waktu terjadinya rinitis alergi dapat dibedakan menjadi dua yaitu, rinitis alergi berselang (intermittent allergic rhinitis) dan rinitis alergi menetap (persistent allergic rhinitis).rinitis alergi berselang terjadi <4 hari per minggu atau <4 minggu. Sedangkan rinitis alergi menetap terjadi >4 hari per minggu dan >4 minggu. ARIA juga mengklasifikasikan rinitis alergi berdasarkan tingkat keparahan yaitu sebagai berikut: rinitis alergi ringan (mild allergic rhinitis) dan rinitis alergi sedang-berat (moderate-severe allergic rhinitis). Pada rinitis alergi ringan, penderita dapat tidur dengan nyenyak, tidak terdapat gangguan aktivitas seharihari maupun pekerjaan ataupun sekolah, serta tidak memiliki gejala yang mengganggu.sedangkan pada rinitis alergi sedang-berat penderita harus memiliki salah satu atau lebih gejala sebagai berikut: tidur yang terganggu, gangguan aktivitas sehari-hari, gangguan pekerjaan ataupun sekolah, serta memiliki gejala yang mengganggu.

7 2.3. Epidemiologi Rinitis Alergi Rinitis alergi tersebar di seluruh negara maju maupun negara berkembang.dengan prevalensi 10-15% dari seluruh populasi dunia menurut Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA).Menurut American Academy of Allergy Asthma & Immunology (AAAAI) berdasarkan dataworld Health Organization (WHO)rinitis alergi menyerang 10% - 30% populasi di dunia. Sedangkan di asia pasifik sendiri dilaporkan oleh Wong et al.bahwa pada kelompok dewasa muda, gejala rhinoconjunctivitismenduduki peringkat menengah menurut skala global.namun, negara dengan prevalensi tertinggi adalah Hongkong dan Thailang (Bangkok).Pada kelompok anak-anak berumur 6-7 tahun, Asia-Pasifik menduduki peringkat ketiga tertinggi untuk kejadian rhinoconjunctivitis berulang.berdasarkan pola global, prevalensi penyakit alergi, asma, dan rhinoconjunctivitis lebih tinggi daripada negara berkembang, seperti Korea, Jepang, Hongkong dan Singapura.Prevalensi terendah dari gejala asma dilaporkan pada Negara yang kurang berkembang, seperti Indonesia, beberapa daerah di Negara Malaysia, dan sebagian besar daerah Negara China. Tabel 2.1 Gejala Rhinoconjunctivitis pada anak Asia berumur 13-14 tahun berdasarkan kuesioner ISAAC fase 1 dan fase 3: rata-rata perubahan prevalensi tahunan. (sumber: Wong et al., 2013) Kota/Negara Rhinoconjunctivitis Alor Setar 16.3 (-0.06%) Bangkok 23.9 (+1.41%) Beijing 10.2 (+0.33%) Filipina 11.0 (-0.61%) Chiang Mai 17.2 (+0.26%) Guangzhou 10.7 (+0.33%) Hong Kong 22.6 (-0.21%) Indonesia 4.8(-0.08%) Jepang 17.6 (+0.34%) Klang Valley 19.8 (+0.87%) Kota Bharu 12.5 (+0.46%) Seoul 11.9 (+0.24%) Singapura 16.5 (+0.20%) Taiwan 17.8 (+1.02%) Mean 15.1 (+0.32%)

8 Tabel 2.1 Gejala Rhinoconjunctivitis pada anak Asia berumur 6-7 tahun berdasarkan kuesioner ISAAC fase 1 dan fase 3: rata-rata perubahan prevalensi tahunan. (sumber: Wong et al., 2013) Kota / Negara Rhinoconjunctivitis Alor Setar 4.2 (+0.09%) Bangkok 13.4 (+0.58%) Chiang Mai 6.2 (+0.24%) Hong Kong 17.7 (+0.67%) Indonesia 3.6 (-0.04%) Jepang 10.6 (+0.35%) Klang Valley 6.2 (+0.21%) Kota Bharu 4.2 (+0.06%) Seoul 9.0 (-0.38%) Singapura 8.7 (+0.02%) Taiwan 24.2 (+1.37%) Mean 10.6 (+0.18%) Data dari salah satu penelitian terbesar yang dilakukan oleh Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA)menyatakan bahwa prevalensi rinitis alergi di Asia-Pasifik sebesar 8.7%. Hasil tersebut didapatkan dari penelitian yang dilakukan dengan screening terhadap 33.000 keluarga di Australia, China, Hongkong, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, dan Vietnam. Dari screening tersebut ditemukan sejumlah 1.200 orang dewasa dan anak-anak yang didiagnosa dengan Rinitis Alergi. (Wong et al.,2013) 2.4. Faktor Resiko Rinitis Alergi Penelitian sebelumnya dengan menggunakan instrumen kuesionerthe European Community Respiratory Health Study II ( ECRHS II) menyatakan bahwa insiden rinitis alergi berkurang seiring bertambahnya jumlah saudara, bertambahnya paparan terhadap hewan peliharaan sebelum umur 5 tahun dan bermukim di lingkungan perkebunan. Sedangkan merokok pada saat hamil dan pada masa anak-anak menambah resiko rinitis alergi pada subjek atopi sehingga rinitis alergi akan menetap sepanjang hidupnya. (Matheson dkk., 2011) Samar Ghazal dkk. (2007) dalam penelitiannya di Negara Pakistan menyatakan bahwa faktor resiko yang berhubungan dengan rinitis alergi adalah sebagai berikut: jenis kelamin perempuan (51,1%) lebih beresiko daripada pria (44,8%) ; sering olahraga (51,4%) lebih beresiko daripada yang tidak berolahraga

9 secara rutin (41,8%) ; perokok pasif (55,4%) lebih beresiko daripada perokok aktif (17,6%). 2.5. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis Rinitis Alergi Mekanisme terjadinya rinitis alergi berkaitan erat dengan reaksi hipersensitivitas tipe I. Reaksi hipersensitivitas tipe I disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi, timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen. Istilah alergi yang pertama kali digunakan Von Pirquet pada tahun 1906 diartikan sebagai reaksi penjamu yang berubah bila terpajan dengan bahan yang sama untuk kedua kalinya. Urutan kejadian reakti tipe I adalah sebagai berikut: 1. Fase sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (FcƐ-R) pada permukaan sel mast dan basofil. 2. Fase aktivasi yaitu waktu yang terjadi akibat pajanan ulang dengan antigen yang spesifik, sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. 3. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast sebagai aktivitas farmakologik. Gambar 2.1 Reaksi Tipe I. Antigen memasang sel B untuk membentuk IgE diikat oleh sel mast/basofil melalui reseptor Fc. Apabila tubuh terpajan ulang dengan antigen yang sama, maka antigen tersebut akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast/basofil. Akibat ikatan antigen-ige. Sel mast/basofil mengalami degranulasi dan melepas mediator yang preformed antara lain histamin yang menimbulkan gejala hipersensitivitas tipe I. (Sumber: Imunologi dasar, Karnen garna Baratawijaya,2002)

10 Rinitis alergi berkaitan dengan inflamasi pada mukosa saluran pernafasan bagian atas (yakni mukosanasalis, tuba eustachius, dan sinus) dan mata. Pada kasus yag berat, pasien juga memiliki gejala sistemik. Interaksi kompleks antara alergen yang terinhalasi atau iritan, imunoglobulin E (IgE), dan mediator inflamasi adalah penyebab dari inflamasi. Individu yang rentan pada rinitis alergi akan menghasilkan IgE spesifik sebagai respon terhadap protein tertentu. IgE menyebabkan sel mast untuk melepaskan berbagai mediator, seperti: histamin, triptase, kimase, kinin, leukotrien, prostaglandin, dan heparin. Mediator inflamasi yang dilepaskan sel mast menyebabkan vasodilatasi segera, kongesi nasal, bersin dan gatal. Mediator - mediator inflamasi tersebut juga menyebabkan pengerahan sel inflamasi lainnya (yakni makrofag, eosinofil, neutrofil, dan limfosit), yang menyebabkan respon lambat yang dapat terjadi dalam beberapa jam atau hari dan adakalanya menyebabkan gejala sistemik (seperti malaise dan kelelahan)(e.t. Bope dan R. D. Kellerman,2013). 2.6. Diagnosis Rinitis Alergi Rinitis alergi perlu dibedakan dari jenis rinitis yang lain. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat pada umumnya sudah cukup untuk menegakkan diagnosis awal dan memulai terapi. (P.G.Konthen dkk.,2008) 2.6.1. Anamnesis Gejala utama meliputi: hidung tersumbat, keluar seperti sekret hidung yang encer, bersin bersin, rasa gatal di hidung, langit langit, sekitar mata dan telinga. Beberapa penderita mengeluhkan mata merah dan lakrimasi. Gejala nasal dan okuler menjadi petunjuk untuk membedakan rinitis alergi dan rinitis kronis lainnya. Gejala tambahan (sekunder) yang didapatkan pada penderita tertentu meliputi penjalaran inflamasi pada tuba eustachii, telinga tengah, dan sinus paranasalis; mengakibatkan rasa penuh di telinga, gangguan pendengaran, serta nyeri kepala.postnasal drip dapat menyebabkan nyeri tenggorokan dan batuk kronis. (P.G.Konthen dkk.,2008)

11 Menurut kriteria evaluasi anamnesis ARIA, diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan apabila terdapat gejala utama sebagai hidung berair dengan ingus encer. Gejala utama tersebut dapat bersamaan dengan satu atau lebih gejala sebagai berikut: bersin, sumbatan hidung, gatal pada hidung, atau konjungtivitis (mata merah dan gatal). Apabila seseorang memenuhi kriteria diatas diperlukan pemeriksaan diagnostik lebih lanjut untuk mendapatkan diagnosa pasti Rinitis Alergi. (ARIA, 2008) 2.6.2. Pemeriksaan fisik Pada inspeksi terdapat garis gelap periorbital (allergic shinners) akibat poolingdarah vena kronis. Anak anak sering kali menggosok gosok hidungnya dengan telunjuk karena gatal (allergic salute). Konjungtiva tampak kemerahan dengan encer atau gelatinous. Rhinoscopy anterior menunjukkan concha nasalis inferior dan medius pucat dan membengkak disertai eksudat encer. (P.G.Konthen dkk.,2008) 2.6.3. Pemeriksaan penunjang Bila diagnosis masih diragukan maka pemeriksaan laboratorium diharapkan dapat membantu. Tes tusuk kulit Pemeriksaan ini lebih sensitif dan memungkinkan pemeriksaan dengan alergen lebih bervariasi. IgE spesifik (RAST) Hanya dianjurkan pada penderita dengan dermatitis yang luas atau dermatografisme. Pemeriksaan darah tepi Pada hitung jenis lekosit dan hitung jenis eosinofil terjadi peningkatan eosinofil darah tepi. Pemeriksaan ini tidak dapat digunakan untuk menyaring karena rinitis alergi dapat terjadi tanpa peningkatan eosinofil, sebaliknya didapatkan pada rinitis nin alergi (NARES). (P.G.Konthen dkk.,2008)

12 2.7. Penatalaksanaan Rinitis Alergi Pada guideline ARIA dicantumkan beberapa tujuan penatalaksanaan dari rinitis alergi adalah sebagai berikut: Tidur yang tidak terganggu Kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, termasuk pekerjaan dan kehadiran sekolah, tanpa keterbatasan atau gangguan, dan kemampuan untuk sepenuhnya berpartisipasi dalam olahraga dan aktivitas kesenangan Tidak ada gejala yang menganggu Tidak atau efek samping minimal dari pengobatan rinitis alergi Penatalaksanaan rinitis alergi terdiri atas 3 kategori utama dari pengobatan, yaitu: 1. Pengandalian lingkungan dan penghindaran alergen 2. Penatalaksanaan secara farmakologi 3. Imunoterapi 2.7.1 Pengendalian Lingkungan dan Penghindaran Alergen Pengendalian lingkungan dan penghindaran alergen meliputi penghindaran terhadap alergen yang diketahui (substansi spesifik yang dapat merangsang hipersensitivitas yang dimediasi IgE pada pasien) serta penghindaran terhadap alergen non spesifik, misalnya iritan ataupun perangsang. (Sheikh,2013) 2.7.2 Farmakoterapi Penderita dengan gejala Rinitis Alergi berselang (intermitten) dapat diobati secara adekuat dengan antihistamin oral, dekongestan, atau keduanya bersamaan. Penggunaan rutin dari steroid sediaan semprot tidak dianjurkan untuk penderita dengan gejala Rinitis Alergi kronis. Penggunaan sehari-hari dari antihistamin, dekongestan, atau keduanya dapat dipertimbangkan daripada atau sebagai tambahan dari steroid nasal. Antihistamin generasi kedua (yaitu golongan nonsedatif) biasanya lebih dianjurkan untuk menghindari efek sedatif dan efek samping lainnya. Antihistamin tetes mata (untuk gejala pada mata), intihistamin intranasal sediaan semprot, intranasal cromolyn (mast cell stabilizer), dan

13 kortikosteroid oral jangka pendek (terbatas hanya untuk episode berat dan akut) mungkin juga dapat digunakan sebagai obat simtomatik. (Sheikh,2013) 2.7.3 Imunoterapi (desensitisasi) Imunoterapi mengandung resiko karena reaksi alergi sistemik berat dapat terjadi. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan resiko dan keuntungan dari imunoterapi dibandingkan resiko dan keuntungan dari pengobatan lainnya. Terdapat beberapa jenis imunoterapi, misalnya Sublingual Immunotherapy (SLIT) dan Subcutaneous Immunotherapy (SCIT) Indikasi imunoterapi lebih dianjurkan pada penyakit berat, respon yang kurang terhadap pilihan pengobatan lainnya, dan adanya faktor pemberat ataupun komplikasi. Imunoterapi biasanya dikombinasikan dengan pengobatan farmakoterapi dan pengendalian lingkungan. Terdapat juga kontraindikasi dari imunoterapi. Imunoterapi hanya boleh dilakukan oleh individu yang telah terlatih, yang dapat melaksanakan tindakan pencegahan yang tepat, dan seseorang yang berpelengkapan untuk menanggulangi kejadian yang tidak diinginkan. (Sheikh,2013) 2.8. Komplikasi Rinitis Alergi Terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penederita rinitis alergi bila tidak dilakukan penatalaksanaan secara benar, misalnya: progresi menjadi eksaserbasi asthma, gangguan pertumbuhan fasial, hyposmia, protrusi gigi seri, malocclusion, nasal polyps, efusi telinga tengah (gangguan pendengaran), sinusitis, dan gangguan tidur. (D.A.D.Guzman et al., 2013)