Suka bolos, berkelahi dengan anak sini dan luar, suka minum-minum, suka merokok, pernah bantah guru

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial

BAB II LANDASAN TEORI. oleh orang dewasa maka akan mendapat sangsi hukum.

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan sekolah. Perkelahian tersebut sering kali menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

PENDAHULUAN. disebut sebagai periode pubertas, pubertas (puberty) adalah perubahan cepat pada. terjadi selama masa remaja awal (Santrock, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. bagi perubahan besar sebuah negara. Ujung tombak sebuah negara ditentukan

BAB I PENDAHULUAN. juga adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung

I. PENDAHULUAN. Keluarga adalah sekelompok individu yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perubahan. masa ini remaja banyak mengalami perubahan baik fisik maupun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya

BAB I PENDAHULUAN 1.5. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keluarga itu adalah yang terdiri dari orang tua (suami-istri) dan anak. Hubungan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kenakalan Remaja Ditinjau dari Tempat Tinggal Padat Penduduk. : Andri Sudjiyanto

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. peralihan dari satu tahap anak-anak menuju ke tahap dewasa dan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa

BAB I PENDAHULUAN. yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada usia ini individu

I. PENDAHULUAN. Anjarsari (2011: 19), mengatakan bahwa kenakalan adalah perbuatan anti. orang dewasa diklasifikasikan sebagai tindakan kejahatan.

BAB I PENDAHULUAN. perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa seorang individu mengalami peralihan dari

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan kemajuan zaman banyak dampak yang dialami manusia

HUBUNGAN POLA ASUH DEMOKRATIS DENGAN KENAKALAN REMAJA DI MA AL-AZHAR SERABI BARAT MODUNG BANGKALAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011),

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai

BAB I PENDAHULUAN. positif dan dampak negatif dalam kehidupan kita. Berbagai macam orang dari

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan suatu periode yang disebut sebagai masa strum and drang,

I. PENDAHULUAN. ialah menyediakan lowongan untuk menyalurkan dan memperdalam. bakat dan minat yang di miliki seseorang.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS ORANG TUA DAN KEMANDIRIAN DENGAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN MASALAH PADA REMAJA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

2015 UPAYA GURU PENJASORKES DALAM MENANGGULANGI KENAKALAN SISWA SMA/SMK SE- KECAMATAN MARGAHAYU KABUPATEN BANDUNG

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

keberhasilan belajar yang semakin tinggi dan tanggung jawab terhadap perilaku

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. untuk dibicarakan, dapat dilihat pada akhir akhir ini telah timbul akibat negatif

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia selalu membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal (Kartono, 2013:6).

BAB III METODE PENELITIAN

A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. adalah aset yang paling berharga dan memiliki kesempatan yang besar untuk

SKRIPSI IDENTIFIKASI FAKTOR PENYEBAB KENAKALAN REMAJA PADA SISWA SMP PGRI 4 KOTA JAMBI. Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PROBLEM PSIKOSOSIAL PADA REMAJA YANG ORANG TUA NYA MERANTAU NASKAH PUBLIKASI. Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tercermin dalam perilaku yang dianggap menimbulkan masalah di sekolah dan

BAB 1 PENDAHULUAN. perilaku agresi, terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta. Fenomena agresi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BABI. Kehidupan modem saat ini belum memungkinkan orangtua. sepenuhnya mencurahkan perhatian kepada anak. Kebutuhan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. pergolakan dalam dalam jiwanya untuk mencari jati diri.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan emosi, perubahan kognitif, tanggapan terhadap diri sendiri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sekolah, mengontrol diri dan bertanggungjawab serta berperilaku sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sosial. Dalam kenyataannya, kenakalan remaja merusak nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

I. PENDAHULUAN. masa sekarang dan yang akan datang. Namun kenyataan yang ada, kehidupan remaja

BAB I PENDAHULUAN. kenakalan remaja? Harapan remaja sebagai penerus bangsa yang menentukan

BAB I PENDAHULUAN. dengan masa remaja, kemudian masa dewasa. Masa remaja adalah masa. fisik, kognitif dan sosial emosional (Santrock, 2003).

I. PENDAHULUAN. Remaja sebagai bagian dari masyarakat merupakan mahluk sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemandirian yang dimiliki oleh setiap manusia berawal dari masa anak anak. Proses

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

I. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan suatu masa, dimana individu berjuang untuk tumbuh menjadi sesuatu,

BAB III METODE PENELITIAN. dan Effendi (1995) penelitian eksplanatory yaitu tipe penelitian untuk

BAB II LANDASAN TEORI Remaja, Karakteristik dan Tugas Perkembangannya. adolescence yang diadopsi dari bahasa latin adolescere yang artinya

BAB I PENDAHULUAN. dengan gejala-gejala lain dari berbagai gangguan emosi.

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan aset masa depan bagi suatu bangsa. Remaja di ibaratkan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selalu melakukan berbagai aktivitas yang rutin dalam menjalani

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah Dasar RSBI Kebon Jeruk 11 Pagi merupakan sekolah yang sudah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. proses perkembangan yang serba sulit dan masa-masa membingungkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB XII PERILAKU MENYIMPANG

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak, masa peralihan

A. LatarBelakangMasalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Petunjuk Kerja ini disusun sebagai panduan tata tertib peserta didik dan sanksi pelanggaran di SMPN 1 Mojokerto

BABI PENDAHULUAN. Kehidupan perkawinan akan terasa lebih lengkap dengan hadirnya anakanak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini, juvenile delinquency kian mengerikan di tengah masyarakat, padahal seorang remaja merupakan bibit pemegang kunci keberhasilan suatu negara di masa depan. Di Indonesia sendiri, pada tahun 2002 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah delinquency anak sebanyak 103.115 kasus, namun seperti peristiwa gunung es diduga angka delinquency dan permasalahan sosial lainnya sebenarnya berjumlah 10 kali lipat (nn, 2007, Keterampilan Sosial Pada Anak Menengah Akhir, para. 2-3). Sesuai dengan data yang terekam di Polwiltabes Surabaya sejak Januari-November 2007 tercatat 95 anak yang terlibat kejahatan mulai dari perkara narkoba, perampokan, pencurian, pemerasan, penipuan, penggelapan dan pemalsuan (Surya, 2007, Kenakalan Remaja; Setahun, 95 Anak Terlibat Kejahatan, para.1-5). Tindakan delinquency juga dilakukan oleh murid SMPK X, berikut ini hasil wawancara informan U pada tanggal 11 September 2009 saat ditanya tindakan delinquency yang dilakukannya: Suka bolos, berkelahi dengan anak sini dan luar, suka minum-minum, suka merokok, pernah bantah guru Hal ini juga diterangkan oleh Kepala Sekolah SMPK X bahwa beberapa murid melakukan delinquency, berikut ini hasil wawancara beliau pada tanggal 11 September 2009 : 1

2 Pacaran itu ya seperti anak melebihi dari apa yang sudah ditentukan... laki perempuan sampai ciuman di luar... minum ya minum anak sini... ow perkelahian pernah... bolos... iya laki-laki kebanyakan merokok... operasi coba HP operasi ternyata ada anak satu itu gambare porno.. tidak satu gambar ada 10 gambar seperti itu... Pernah mengajak temannya menonton film seperti itu berharihari lama-lama dia mengajak anak luar dia mengajak temen orang laki dua sama cewek dua ya main seperti itu Rata-rata pelanggaran yang banyak dilakukan siswa SMPK X dalam satu bulan, yaitu: - terlambat masuk pelajaran pada kelas VII sebesar 10%, kelas VIII sebesar 5%, dan kelas IX sebesar 7% - tidak memakai seragam, sepatu olah raga yang sudah ditentukan, baju yang tidak dimasukkan atau tidak memakai ikat pinggang, pakaian ketat atau tidak sesuai ketentuan dalam arti tidak lengkap pada kelas VII sebesar 10% dengan rincian perempuan sebesar 5% dan laki-laki sebesar 5%, kelas VIII sebesar 12% dengan rincian perempuan sebesar 4% dan laki-laki sebesar 8%, dan kelas IX sebesar 15% dengan rincian perempuan sebesar 5% dan laki-laki sebesar 10% - menerima atau mematikan HP, pager saat KBM pada kelas VII sebesar 7% dengan rincian perempuan sebesar 2% dan laki-laki sebesar 5%, kelas VIII sebesar 8% dengan rincian perempuan sebesar 2% dan laki-laki sebesar 6%, dan kelas IX sebesar 10% dengan rincian perempuan 3% dan laki-laki sebesar 7% - tidak mengikuti KBM atau membolos terjadi pada kelas IX sebesar 3% sedangkan untuk kelas VII dan VIII pihak sekolah berusah

3 menekan, pelanggaran tersebut banyak dilakukan oleh anak lakilaki - membawa rokok terjadi pada kelas IX sebesar 3% sedangkan untuk kelas VII dan VIII pihak sekolah berusaha menekan, pelanggaran tersebut banyak dilakukan oleh anak laki-laki - merokok terjadi pada kelas IX sebesar 3% sedangkan untuk kelas VII dan VIII pihak sekolah berusah menekan, pelanggaran tersebut banyak dilakukan oleh anak laki-laki Juvenile delinquency merupakan perilaku jahat (dursila) atau kejahatan/ delinquency anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang (Kartono, 2008: 6). Delinquency tidak dapat disamakan begitu saja dengan arti kejahatan (crime) yang biasa dilakukan orang dewasa, sebab perlu dibedakan sifat dan bentuk perbuatan seorang anak atau remaja dengan perbuatan dewasa karena perbuatan orang dewasa telah didasari oleh keputusan dan tanggung jawab penuh terhadap sosial dan pribadi sedangkan perbuatan seorang remaja disuatu pihak berada dalam masa mencari identitas diri, sedang mengalami perkembangan fisik dan mental yang belum stabil atau matang (Mulyono, 1986: 34). Sebelum anak berperilaku delinquency terlebih dahulu muncul sebuah intensi. Arti intensi adalah niatan untuk berperilaku tertentu (Azwar, 2003: 11). Intensi disini adalah intensi untuk melakukan juvenile delinquency. Timbulnya intensi pada remaja delinquency didorong oleh konflik batin sendiri yang kemudian mereka mempraktekkan konflik batinnya untuk mengurangi beban

4 tekanan jiwa sendiri lewat tingkah laku yang agresif, impulsif dan primitif. Oleh karena itu kejahatan mereka pada umumnya erat kaitannya dengan temperamen, konstitusi kejiwaan yang galau semrawut, konflik batin dan frustasi yang akhirnya ditampilkan secara spontan (Kartono, 2008:26-27). Kondisi keluarga yang tidak bahagia dan tidak beruntung, membuahkan masalah psikologis personal dan adjusment (penyesuaian diri) yang terganggu pada diri seorang anak-anak, sehingga mereka mencari kompensasi di luar lingkungan keluarga guna memecahkan kesulitan batinnya dalam bentuk perilaku delinquency (Kartono, 2008: 26). Maka diperlukan penanganan yang baik terhadap persoalan-persoalan keluarga sebab hal ini dapat memberikan pengaruh yang positif bagi prevensi kesehatan mental didalam setiap anggota keluarga dalam bentuk pengasuhan atau pola asuh yang diterapkan (Notosoedirdjo & Latipun, 2005:171). Pola asuh dapat membentuk remaja dapat menjalankan tugas-tugas perkembangannya serta dapat beradaptasi dengan lingkungan serta mengikuti semua norma yang ada didalam masyarakat. Menurut Maccoby & Martin (dalam Bee & Denise, 2007: 370-371) terdapat 4 tipe pola asuh orangtua yang memberikan dampak berbeda pada anak, yaitu: 1. Pola asuh tipe otoriter, yaitu disini orangtua menekankan ketaatan, rasa hormat dan peraturan pada anak untuk menuruti perintah mereka tanpa kompromi dan penjelasan sebelumnya. Dampaknya, prestasi anak menjadi kurang bagus di sekolah dan tingkat agresivitas anak tinggi. 2. Pola asuh tipe permissive-indulgent, yaitu pola asuh memanjakan. Orangtua memberikan kehangatan dan toleransi

5 tapi sedikit menggunakan kekuasaan. Dampaknya, prestasi anak menjadi kurang bagus di sekolah, dan anak bersifat agresif. 3. Pola asuh otoritatif, yaitu orangtua memberikan kontrol yang tinggi dan kehangatan yang tinggi, batasan situasi yang jelas, mengharapkan dan memperkuat sosial kematangan perilaku dan pada saat yang sama menanggapi untuk kebutuhan anak. Orangtua mendisiplinkan anak jika anak berperilaku tidak pantas. Anak yang dibesarkan pada keluarga ini mempunyai ciri harga diri yang tinggi, mandiri, patuh terhadap orangtua, peduli dengan orang lain, percaya terhadap kemampuan sendiri dan memperlihatkan keberhasilan di masa remaja. 4. Pola asuh tipe neglecting. Pada pengasuhan ini tidak terlihat adanya hubungan psikologis orangtua dan anak, orangtua tidak peduli dengan anak. Dampaknya kemungkinan besar terjadinya delinquency. Berdasarkan dari penjelasan di atas, lewat pola asuh orangtua dapat memberikan dampak yang berbeda-beda pada anak. Pola pengasuhan yang paling efektif atau yang mengandung risiko yang paling bisa dipertanggung jawabkan adalah pola pengasuhan otoritatif, dimana fokus pengasuhan pada anak namun masih diserai keberanian untuk mengendalikan anak (Prasetya, 2003: 32-33). Remaja yang mempersepsikan dirinya kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orangtua akan merasa dirinya tidak aman, merasa kehilangan tempat berlindung dan tempat berpijak, yang dikemudian hari mereka akan mengembangkan intensi untuk melakukan juvenile delinquency. Bila dibiarkan pada akhirnya remaja tersebut secara terang-terangan menunjukkan ketidakpuasan terhadap orangtuanya berupa tindakan mulai melawan atau

6 memberontak, merusak baik terhadap orangtua maupun terhadap dunia luar yang kelihatan tidak ramah baginya, tegasnya anak-anak yang merasa tidak bahagia dipenuhi banyak konflik batin serta mengalami frustasi terus-menerus akan menjadi sangat agresif dan memperlihatkan adanya intensi untuk melakukan juvenile delinquency dengan mengadakan serangan-serangan kemarahan ke dunia sekitar, menteror lingkungan, menggarong milik orang lain dan sebagainya, semua itu dilakukan sebagai tindak penyalur atau pelepas bagi semua ketegangan, kerisauan dan dendam hatinya (Kartono, 2008: 60-61). Kondisi keluarga yang tidak bahagia dan penerapan pola asuh yang salah dapat menyebakan delinquency ini didukung oleh kasus nyata di SMPK X, berikut ini pemaparan informan U saat di tanya tentang keluarganya pada tanggal 11 September 2009: Keluarga gak peduli, gak ada waktu sama saya doang, tidak ada kasih sayang, kontrol, jarang komunikasi, pernah ada tuntutan untuk pintar, supaya gak nakal dan bisa bermain sepak bola dan musik Selain informan U peneliti juga mewawancarai pada tanggal 11 September 2009 informan J yang melakukan delinquency yang salah satunya yaitu tidak pernah ada dirumah, berikut ini pemaparan informan J saat ditanya apakah ada kasih sayang dalam keluarga: Gak tau biasanya ke adik-adik aku...kurang tau saya mbak, saya kan gak pernah ada dirumah...lingkungan di daerahku itu kan gak enak mbak...itu gara-gara tetangga saya itu minta tanah saya kan mbak trus dilaporno

7 polisi, bertengkar ibu saya dimasukkan penjara dilaporno mangkanya saya marah Berikut ini wawancara pada tanggal 11 September 2009 terhadap informan J saat ditanya apakah ada kontrol dalam keluarga: Disuruh, dirumah po o gak usah keluarkeluar..ya bilang, gak enak di rumah males. Kenapa? Sama orang disini gak enak males, yo wes...ya kan dulu kan pernah dimarai, trus lo kan aku sudah besar, udah besar itu besok kalo kamu udah kelas 3 baru boleh kamu keluar-keluar terserah kamu Juvenile delinquency yang tidak ditangani dengan baik dapat berdampak pada kesehatan mental seorang anak sebagai dampak melakukan kenakalan remaja yang mana hal tersebut sering bermuara dari persoalan keluarga (Notosoedirdjo & Latipun, 2005: 172). Hal itu juga mengakibatkan permasalahan psikologis, sulit menyesuaikan diri dengan pendidikan dan bila kedepannya juga akan kesulitan untuk menyesuaikan dengan pekerjaan, memiliki perkawinan yang tidak stabil, serta cenderung akan bersikap keras dalam mengasuh anak-anaknya yang akhirnya akan membuat anak mereka mengalami gangguan perilaku, rendahnya keterampilan sosial yaitu kemampuan mengatur emosi dan kesulitan untuk menjalin interaksi yang efektif dengan orang lain dan lingkungannya. Remaja yang kurang mampu mengontrol emosi sulit untuk memahami perasaan dan keinginan orang lain dan kurang terampil dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial. Mereka sering ditolak oleh orangtua, teman sebaya dan lingkungan sehingga jaringan sosial

8 dan kualitas hubungan mereka dengan lingkungan menjadi rendah (2007, Keterampilan Sosial Pada Anak Menengah Akhir, para. 4-5). Berdasarkan uraian di atas maka menarik untuk diteliti sejauh mana hubungan antara persepsi remaja terhadap pola asuh otoritatif orangtua dengan intensi untuk melakukan juvenile delinquency. 1.2. Batasan Masalah Agar wilayah penelitian tidak meluas maka dilakukan pembatasan terhadap masalah yang diteliti sebagai berikut: 1. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi intensi untuk melakukan juvenile delinquency, tetapi dalam penelitian ini hanya ingin meneliti persepsi remaja terhadap pola asuh otoritatif orangtua yang diperkirakan berhubungan dengan intensi untuk melakukan juvenile delinquency. 2. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan kedua variabel, maka dilakukan penelitian yang bersifat korelasional yaitu persepsi remaja terhadap pola asuh otoritatif orangtua dengan intensi untuk melakukan juvenil delinquency. 3. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja usia antara 13 sampai dengan 18 tahun, berjenis kelamin laki-laki yang merupakan murid di SMPK X dan tinggal bersama orangtua. 1.3. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah penelitian dan batasan masalah diatas maka permasalahan pokok yang akan dibahas oleh peneliti dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut Apakah ada hubungan antara persepsi remaja terhadap pola asuh

otoritatif orangtua dengan intensi untuk melakukan juvenile delinquency?. 9 1.4. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara persepsi remaja terhadap pola asuh otoritatif orangtua dengan intensi untuk melakukan juvenile delinquency. 1.5. Manfaat Penelitian Dari penelitian yang dilakukan, diharapkan akan diperoleh manfaat sebagai berikut: - Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi atau sumbangan bagi pengembangan teori di bidang psikologi yang berkaitan dengan intensi untuk melakukan juvenile delinquency khususnya psikologi klinis, psikologi perkembangan dan psikologi sosial mengenai hubungan antara persepsi remaja terhadap pola asuh otoritatif orangtua dengan intensi untuk melakukan juvenil delinquency. - Manfaat Praktis 1. Bagi Orangtua a. Berguna untuk masukan bagi para orangtua dalam mengasuh anak agar dapat mengantisipasi terjadinya intensi untuk melakukan juvenile delinquency. b. Berguna untuk masukan informasi tentang dampak negatif yang ditimbulkan dari juvenile delinquency

10 c. Upaya promosi dan prevensi kesehatan mental didalam setiap anggota keluarga dalam bentuk pengasuhan atau pola asuh yang diterapkan. 2. Bagi Sekolah Berguna untuk masukan informasi kepada pihak sekolah agar dapat melihat faktor-faktor pencetus intensi untuk melakukan juvenile delinquency sehingga mencari langkah preventif agar tidak terjadi juvenile delinquency dan juga untuk melihat dampak yang ditimbulkan dari juvenile delinquency 3. Bagi Remaja Berguna untuk masukan informasi kepada remaja agar dapat melihat dampak yang ditimbulkan dari juvenile delinquency.