BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakangMasalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan salah satu upaya bagi pemerintah untuk mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. wewenang pelaksanaan pemerintahan diserahkan kepada daerah itu sendiri secara

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA 2016

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional guna

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Implementasi desentralisasi menandai proses demokratisasi di daerah

BAB V PENUTUP. Sebagai daerah yang miskin dengan sumber daya alam, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. terutama negara sedang berkembang seperti Indonesia. Kemiskinan terjadi tatkala

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu indikator kemajuan suatu negara tercermin pada kemajuan bidang

BAB I PENDAHULUAN. kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, yang diukur melalui elemen Pendapatan Asli Daerah (PAD). Diharapkan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009)

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah (Mardiasmo, 2002 : 50). Pengamat

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

ALOKASI PUPUK UREA UNTUK KOMODITI HORTIKULTURA TAHUN 2015 Satuan: Ton

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. keagenan didefinisikan sebagai sebuah kontrak antara satu atau lebih (prinsipal)

BAB I PENDAHULUAN. bentuk penerapan prinsip-prinsip good governance.dalam rangka pengaplikasian

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. (United Nations Development Programme) sejak tahun 1996 dalam seri laporan

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. fisik/fasilitas fisik (Rustiadi, 2009). Meier dan Stiglitz dalam Kuncoro (2010)

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu

BAB I PENDAHULUAN. Competitiveness Report Seperti halnya laporan tahun-tahun sebelumnya,

BAB I PENDAHULUAN. dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KABUPATEN PESISIR SELATAN 2016

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dan kesehatan. Dari sudut pandang politik, ini terlihat bagaimana. kesehatan yang memadai untuk seluruh masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

PROFIL KEMISKINAN DI KABUPATEN PESISIR SELATAN 2016

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

Penutup. Sekapur Sirih

BAB I PENDAHULUAN. Manusia (IPM), pembangunan manusia didefinisikan sebagai a process

BAB I PENDAHULUAN. dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya

Sumatera Barat. Jam Gadang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

TAHUN 2016 HASIL PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA AKREDITASI SEKOLAH/MADRASAH PROVINSI SUMATERA BARAT

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHUALUAN. dengan gerakan pembangunan nasioanal. Pembangunan nasional merupakan

BAB I PENDAHULUAN. bagi bangsa ini. Tuntutan demokratisasi yang diinginkan oleh bangsa ini yaitu

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 21 TAHUN TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan daerah, dan kurang melibatkannya stakeholder di daerah. Kondisi

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

BAB 1 PENDAHULUAN Hal ini berdasarkan dikeluarkannya Undang Undang No. 22 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu, pembangunan merupakan syarat mutlak bagi suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan atau berkembangnya suatu daerah adalah tidak terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. diamanatkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. memberikan proses pemberdayaan dan kemampuan suatu daerah dalam. perekonomian dan partisipasi masyarakat sendiri dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan khususnya pembangunan manusia dapat dinilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pada September 2000 sebanyak 189 negara anggota PBB termasuk

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. dimana satu orang atau lebih (principal) terlibat dengan orang lain (agent) untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. daerahnya sendiri, pada tahun ini juga tonggak sejarah reformasi manajemen

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang. Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan yang diharapkan itu adalah kemajuan yang merata antarsatu

BAB I PENDAHULUAN. bersama yang diterjemahkan sebagai kesejahteraan hidup. Secara ekonomi

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat terealisasi, maka beberapa

BAB I PENDAHULUAN. mengenai pemerintah kabupaten/kota dan UU Nomor 25 tahun 1999 mengenai

BAB I PENDAHULUAN. multidimensi, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek. hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi.

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan dan kebutuhan masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. kepentingan manajer (agen) ketika para manajer telah dikontrak oleh pemilik

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan UU. No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa

DISUSUN OLEH : BIDANG STATISTIK DAN PENGENDALIAN PEMBANGUNAN BAPPEDA PROVINSI SUMATERA BARAT Edisi 07 Agustus 2015

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan ekonomi. Adanya ketimpangan ekonomi tersebut membawa. pemerintahan merupakan salah satu aspek reformasi yang dominan.

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan daerah lain di pulau Jawa yang merupakan pusat dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI SUMATERA BARAT

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BERITA RESMI STATISTIK

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

WALIKOTA PEKANBARU PROVINSI RIAU PERATURAN WALIKOTA PEKANBARU NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

I. PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakangMasalah Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan pemerintah daerah dan masyarakat bersama-sama membangun daerahnya sendiri. Otonomi daerah adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya dalam pemanfaatan potensi-potensi di daerahnya. Pembentukan desentralisasi fiskal ini bertujuan meningkatkan dan meratakan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kemandirian daerah mengelola daerahnya dan mengurangi subsidi pemerintah, serta melakukan pembangunan yang merata untuk setiap daerah. Terdapat beberapa faktor dalam keberhasilan pelaksanaan desentralisasi fiskal, yaitu sumber daya manusia yang berkualitas sebagai penyelenggara pemerintahan daerah, keuangan daerah yang dikelola dengan baik, teknologi yang memadai, dan manajemen yang baik dalam mengelola daerah serta menjalankan kebijakan sesuai dengan peraturan yang berlaku (Kaho, 2001). Beberapa dekade terakhir desentralisasi fiskal diterapkan di berbagai belahan dunia. Sebagai contoh, desentralisasi pengambilan kebijakan fiskal dan administrasi publik di negara- negara Amerika Latin, dan reformasi ekonomi dari sentralistik menjadi desentralisasi di negara- negara Asia. Bird dan Vaillancourt dalam Kwon (2003) mengemukakan beberapa argumen mengapa desentralisasi fiskal banyak diadopsi oleh negara-negara di dunia karena desentralisasi fiskal diyakini mampu meningkatkan kinerja sektor publik. Oates (1999) dalam teori Fiscal Federalism menyatakan bahwa penentuan barang publik dengan desentralisasi dapat meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas alokasi sumber daya. Alasannya adalah: 1) pemerintah daerah dapat menyesuaikan letak geografis yang tepat bagi barang publik di daerah 2) pemerintah daerah mempunyai posisi yang lebih baik dalam mengenal pilihan dan kebutuhan daerah 3) tekanan dari persaingan antar wilayah akan memotivasi pemerintah daerah untuk inovatif dan akuntabel kepada penduduknya. Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya perubahan pola hubungan yang terjadi antara pemerintah pusat dan daerah setelah diberlakukannya Undang-undang (UU) nomor 22 tahun 1999 dan UU no.25 tahun 1999 yang kemudian UU tersebut disempurnakan menjadi UU nomor 32 tahun 2004 dan UU nomor 33 tahun 2004. Pada prinsipnya desentralisasi bertujuan pada efisiensi sektor publik dalam produksi dan distribusi pelayanan,

meningkatkan kualitas pembuatan keputusan dengan menggunakan informasi lokal, meningkatkan akuntabilitas dan meningkatkan kemampuan respon terhadap kebutuhan dan kondisi lokal (Giannoni, 2002). Hal inilah yang mendorong desentralisasi diserahkan dan dilaksanakan pemerintahan daerah yakni kabupaten/kota. Desentralisasi akan membawa pemerintah lebih dekat dengan rakyat dan mendorong mereka untuk lebih terlibat (Mills, 1994). Desentralisasi fiskal diarahkan untuk menunjang terwujudnya pelayanan publik terhadap masyarakat daerah sampai pada tingkatan paling kecil yaitu desa. Desentralisasi fiskal dilakukan karena pemerintah daerah lebih memahami kondisi daerahnya sampai tingkat paling kecil. Sehingga daerah bisa segera menangani dengan cepat apabila terjadi permasalahan. Pelayanan public yang diberikan pemerintah daerah kepada masyarakat bisa berupa pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan dan sebagainya. Pelaksanaan desentralisasi fiscal menyebabkan daerah harus mampu membiaya daerahnya melalui pendapatan daerah. Struktur geografis Indonesia yang terdiri dari banyak pulau menyebabkan pendapatan tiap daerah berbeda-beda. Perbedaan pendapatan tiap daerah menyebabkan ketimpangan, sehingga pemerintah pusat mengalokasikan dana APBN untuk dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dalam membantu daerah untuk melaksanakan desentralisasi. Saat ini, isu pokok bukan lagi pada bagaimana menciptakan sistem transfer sehingga sumber dana untuk daerah (terutama daerah miskin) berjumlah relatif cukup memadai dan antara daerah satu dengan lainnya dibuat tidak terlalu timpang. Isu pokok sekarang adalah bagaimana mengarahkan daerah, terutama daerah-daerah yang tidak kaya untuk bisa menggunakan APBD nya secermat mungkin dan berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat (Hirawan, 2007). Beberapa penelitian mengatakan bahwa desentralisasi akan meningkatkan efisiensi dalam penggunaan dan pengalokasian anggaran, sehingga kebutuhan-kebutuhan masyarakatdapat dengan baik di sediakan oleh pemerintah. Namun dalam beberapa penelitian dikatakanbahwa desentralisasi fiskal yang dapat meningkatkan efisiensi anggaran itu hanya berjalanpada negara-negara yang telah maju. Sedangkan dalam kasus negara-negara berkembang haltersebut belum terjadi dengan baik. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk membuktikanargumen mengenai desentralisasi di negara berkembang seperti Indonesia.

Pendidikan dianggap penting dibandingkan bidang-bidang pemerintahan lain yang disebutkan pada pasal 11 ayat 2 Undang-Undang No. 25 Tahun 1999. Di abad 21 ini, pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan selalu menjadi prioritas. Tanpa pendidikan yang memadai dan baik,suatu negara tidak akan memiliki tunas bangsa yang bermutu tinggi untuk menjadi penerus. Seperti yang dikemukakan oleh Tim UNESCO (2001). Suatu negara tidak dapat dinyatakan berhasil apabila belum mendidik rakyatnya. Dalam hal ini menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan pelayanan publik di bidang pendidikan dalam implementasi desentralisasi fiskal di era otonomi ini. Dalam rangka memenuhi penyediaan pelayanan publik di bidang pendidikan, pemerintah daerah telah mengalokasikan belanja pendidikan melalui belanja urusan pendidikan. Belanja urusan pendidikan merupakan urusan wajib yang harus diselenggarakan oleh pemerintah daerah dan berhak diterima secara minimal oleh masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) 2003. Sebagai parameter tingkat kemajuan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasifiskal dapat dilihat melalui indikator kinerja pemerintah daerah yaitu melalui angkapartisipasi sekolah pada tingkat pendidikan menengah. Kondisi ini akan menunjukkansejauhmana respon positif pemerintah daerah yang dapat dilihat dari alokasi belanja urusanpendidikan dapat terserap oleh masyarakat dalam bentuk output dan outcome bidangpendidikan khususnya angka partisipasi sekolah pada tingkat pendidikan menengah. Penelitian ini dilakukan karena semakin tingginya tuntutan masyarakat agar pemerintah memperhatikan kebutuhannya, terutama pendidikan yang kini menjadi kebutuhan utama bagi masyarakat dan bahkan menjadi prioritas nasional. Terlebih lagi, pendidikan merupakan salah satu dimensi pengukuran dalam Indeks Pembangunan Manusia ( IPM ) atau Human Development Index (HDI). IPM merupakan indeks kemajuan sosial dan ekonomi negara-negara yang diukur dari tiga dimensi, yaitu dimensi pendidikan, dimensi kesehatan dan dimensi standar hidup. Komponen Indeks Pembangunan Manusia dimensi pendidikan dengan memakai metode baru Indonesia adalah angka rata-rata lama sekolah dan angka harapan lama sekolah. Hal inimengikuti standar baru pengukuran United Nation Development Program (UNDP). Terdapat beberapa penelitian yang mengaitkan otonomi daerah maupun desentralisasi fiskal terhadap pendidikan di Indonesia. Misalnya penelitian Bakti (2012) dengan judul penelitian Analisis Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Angka Melek Huruf dan Angka

Partisipasi Sekolah Perempuan di Kabupaten/Kota Provinsi DIY, dan Oktara (2010) dengan penelitian yang berjudul Efek Otonomi Anggaran Terhadap Pendidikan : Studi Kasus Pada Lima Provinsi di Indoneaia. Disamping penelitian-penelitian tersebut di atas terdapat pula penelitian yang dilakukan di luar negeri, misalkan oleh Qing dan Shi (2010) yang berjudul Fiscal Decentralization and Public Education Provision in China yang meneliti hubungan antara hubungan desentralisasi fiskal dan penyediaan pendidikan publik, dan penelitian penelitian Busemenyer (2007) yang berjudul The Impact of Fiscal Decentralization on Education and Other Types of Spending. Penelitian ini berbeda dengan penelitian penelitian sebelumnya dalam dua hal. Pertama,penelitian ini melihat dampak desentralisasi fiskal terhadap Komponen Indeks Pembangunan Manusia dimensi pendidikan yang menggunakan metode baru berupa angka rata-rata lama sekolah serta angka harapan lama sekolah. Kedua, dimensi pendidikan IPM tersebut dipisahkan antara laki-laki dan perempuan sehingga dapat dilihat perbedaan pencapaian dalam pembangunan manusia antara laki-laki dan perempuan yang selanjutkan dikaitkan dengan Indeks Pembangunan Gender. Indeks ini memiliki komponen yang sama dengan IPM namun terdapat pembedaan pencapai pembangunan antara laki-laki dan perempuan. Desentralisasi dan hak perempuan mempunyai hubungan yang positif. Keduanya dibutuhkan untuk memperluas proses demokratisasi dimana perempuan terorganisir dalam civil society dan secara politik tergambar pada semua tingkat pemerintahan (Beall, 2007). Akses pada sumber daya dan pelayanan untuk pembangunan adalah beberapa cara untuk menilai dampak dari desentralisasi fiskal. Apakah penekanannya pada meningkatkan masyarakat yang demokratis atau membuat penyediaan layanan lebih responsif dan efisien, pengujian terbesarnya adalah apakah kualitas hidup orang-orang miskin meningkat sebagai hasil dari akses layanan yang lebih besar dan peningkatan akses untuk dan mengendalikan sumber daya untuk pembangunan. Dari beberapa penelitian dapat dilihat bahwa tren global desentralisasi sumber daya dan tanggung jawab ke daerah berdampak positif untuk perempuan. Logika yang digunakan adalah hubungan gender di kebanyakan bagian dunia masih melihat perempuan sebagai pihak yang bertanggungjawab pada urusan rumah tangga. Desentralisasi bisa menjadi sarana untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dan meningkatkan hak-hak perempuan. Salah satu

tujuan pembangunan manusia di Indonesia adalah mencapai kesetaraan gender dalam upaya meningkatkan kualitas sumberdaya pembangunan manusia, tanpa membedakan laki-laki atau perempuan. Berdasarkan data dalam MDG s Report tahun 2007 menyatakan, meskipun telah banyak kemajuan pembangunan yang dicapai, namun kenyataan menunjukkan bahwa kesenjangan gender (gender gap) masih terjadi di sebagian besar bidang. Berbagai upaya dilakukan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan peran perempuan agar mereka tidak tertinggal dibandingkan laki-laki. Seperti yang sebelumnya diasumsikan bahwa desentralisasi menyediakan kesempatan yang besar pada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, dapat juga diasumsikan bahwa wilayah lokal pemerintahan juga sesuai untuk partisipasi perempuan. (Mukhopadhyay,2005) Gambar1.1. Perkembangan Indeks Pembangunan GenderMenurutkabupaten/Kota Provinsi Sumatera Barat Tahun 2010-2014 SUMATERA BARAT Kota Pariaman Kota Payakumbuh Kota Bukit Tinggi Kota Padang Panjang Kota Sawah Lunto Kota Solok Kota Padang Kota Pasaman Barat Dharmas Raya Solok Selatan Pasaman Limapuluh Koto Agam Padang Pariaman Tanah Datar Sijunjung Solok Pesisir Selatan Kepulauan Mentawai Kabupaten 75,00 80,00 85,00 90,00 95,00 100,00 105,00 2014 2013 2012 2011 2010 Sumber : BPS Provinsi Sumatera Barat (data diolah) Dari gambar 1.1 dapat terlihat mayoritas nilai IPG kabupaten/kota di Sumatera Barat < 100. Nilai IPG < 100 menunjukkan bahwa adanya ketimpangan gender dalam pembangunan manusia di kabupaten/kota Provins Sumatera Barat. Daerah dengan ketimpangan gender terbesar adalah Kabupaten Dharmasraya dan Pasaman Barat. Kota Padanf dan Kota Bukittinggi memiliki skor IPG tertinggi sebesar 99,15 dan 98. Skor IPG yang hampir mendekati 100 tersebut menandakan bahwa di kota-kota tersebut hampir tidak ada ketimpangan dalam pembangunan manusianya.

Berikut disajikan angka rata-rata lama sekolah yang menggambarkan jumlah tahun yang digunakan penduduk dalam menjalani pendidikan formal. Gambar1.2. PerkembanganAngkaRata-rata Lama Sekolahlaki-lakiMenurutKabupaten/Kota Provinsi Sumatera Barat tahun 2010-2014(dalam tahun) SUMATERA BARAT Kota Pariaman Kota Payakumbuh Kota Bukit Tinggi Kota Padang Panjang Kota Sawah Lunto Kota Solok Kota Padang Kota Pasaman Barat Dharmas Raya Solok Selatan Pasaman Limapuluh Koto Agam Padang Pariaman Tanah Datar Sijunjung Solok Pesisir Selatan Kepulauan Mentawai Kabupaten 0 2 4 6 8 10 12 2014 2013 2012 2011 2010 Sumber : BPS Provinsi Sumatera Barat (data diolah) Terlihatangkarata-rata lama sekolahlaki-laki di kotalebihbesardarikabupaten selama 10 banding 8 tahun. Kota Padang merupakandaerahdenganangkarata-rata lama sekolahtertinggi selama 11 tahunsedangkankabupatenkepulauanmentawaiadalahdaerahdenganangkalama lama sekolahterendahselamatujuhtahun. Hal ini berarti penduduk Kota Padang rata-rata menempuh pendidikan hingga bangku Sekolah Lanjutan Tingkat Atas(SLTA). Sedangkan rata-rata lakilaki di Kepulauan Mentawai hanya menempuh pendidikan hingga kelas satu Sekolah lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Gambar1.3. PerkembanganAngkaRata-rata Lama SekolahPerempuanMenurutKabupaten/Kota Povinsi Sumatera Barat Tahun 2010-2014 (dalam tahun)

SUMATERA BARAT Kota Pariaman Kota Payakumbuh Kota Bukit Tinggi Kota Padang Panjang Kota Sawah Lunto Kota Solok Kota Padang Kota Pasaman Barat Dharmas Raya Solok Selatan Pasaman Limapuluh Koto Agam Padang Pariaman Tanah Datar Sijunjung Solok Pesisir Selatan Kepulauan Mentawai Kabupaten 0 2 4 6 8 10 12 2014 2013 2012 2011 2010 Sumber : BPS Provinsi Sumatera Barat (data diolah) Dari gambar dapat dilihat bahwa setiap tahunnya angka rata-rata lama sekolah perempuan di tiap kabupaten/kota terus mengalami peningkatan. Angkarata-rata lama sekolahperempuan di kotalebihlamadarikabupaten selama 10 banding 7 tahun. Kota Bukittinggimerupakandaerahdenganangkarata-rata lama sekolahterlama sebesar 11 tahunsedangkabupatenkepulauanmentawaiadalahdaerahdenganangkarata-rata lama sekolahterendahyakni selama lima tahun. Artinya penduduk perempuan di Bukittinggi ratarata menempuh pendidikan hingga jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Sedangkan di Kabupaten Kepulauan Mentawai rata-rata penduduknya tidak menamatkan Sekolah Dasar (SD). Dari gambar 1.2 dan 1.3 dapat dilihat bahwa rata-rata sekolah laki-laki lebih lama dari perempuan. Hal ini menunjukkan masih adanya ketimpangan gender dalam pembanguna manusia di Provinsi Sumatera Barat khususnya dalam bidang pendidikan. Secara teoritis, desentralisasi fiskal dapat memberikan dampak yang baik atau buruk bagi efisiensi dan kesetaraan dalam sudut pandang gender. Dampak dari desentralisasi fiskal tergantung terhadap desain mekanisme institusi, yang dimana hubungan antara tingkat desentralisasi dan bagaimana kebijakan desentralisasi dalam aturan transfer keuangan pemerintah pusat, mengikuti dengan fungsi dan kesepakatan finansial pada tingkat daerah dan hubungan institusi. Prinsip dari subsidi negara bahwa desentralisasi fiskal baik untuk efisiensi dan kesetaraan dalam ekonomi pada pendekatan dan rasionalisasi bahwa pemerintah daerah

yang lebih dekat kepada penduduk lebih efisien dalam menentukan layanan publik daripada pemerintah di tingkat yang lebih tinggi. Pemikiran ini dipegang dalam pembangunan gender, dimana pemerintah daerah mempunyai informasi yang lebih baik dalam preferensi dan kebutuhan gender. (Chakraborty, 2010) Upaya peningkatan peranan perempuan dan kesetaraan gender hanya dapat dicapai jika perempuan dan laki-laki memiliki akses yang baik pada pendidikan dan sumber informasi lain. Dengan tingkat pendidikan yang baik, orang memiliki tingkat wawasan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih baik, sehingga lebih mampu melihat dan memanfaatkan peluang yang ada untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidupnya. Melalui pendidikan, perempuan dan laki-laki akan memiliki jalan untuk ikut serta dalam kehidupan bermasyarakat dengan baik. Kesempatan memperoleh pendidikan yang setara adalah hak asasi yang melekat pada perempuan sebagai warga negara agar dapat meningkatkan pengetahuan, keterampilan, kecakapan dan keahlian, sehingga dapat memberikan kontribusi yang sama untuk memacu pembangunan. Indonesia sendiri memulai perhatian dan komitmennya terhadap kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan semenjak dikeluarkannya Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional. Indikator pencapaian kesetaraan gender menurutunited Nation Development Program(UNDP) adalah angka harapan lama sekolah dan rata-rata lama sekolah. Angka harapan lama sekolah diukur untuk penduduk usia 7 tahun ke atas. Harapan lama sekolah dapat digunakan untuk mengetahui kondisi pembangunan sistem pendidkan di berbagai jenjang yang ditunjukkan dalam bentuk lamanya pendidikan yang diharapkan dapat dicapai oleh setiap anak. Sementara rata-rata lama sekolah mengukur jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk dalam menjalani pendidikan formal. Diasumsikan bahwa dalam kondisi normal rata-rata lama sekolah suatu wilayah tidak akan turun. Cakupan penduduk yang dihitung rata-rata lama sekolah adalah penduduk berusia 25 tahun ke atas karena pada usia tersebut sebagian besar orang telah menyelesaikan semua tingkat pendidikannya.. Pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini telah menunjukkan kemajuan di berbagai bidang, namun dirasakan masih mengandung kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, pandangan tentang perbedaan dalam kesempatan dan perlakuan yang ditekankan atas dasar diskriminasi gender yang mengakibatkan kerugian bagi perempuan dalam kedudukan maupun perannya sebagi mitra sejajar laki-laki.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis mengambil judul DampakDesentralisasi Fiskal Terhadap Komponen IPM Dimensi Pendidikan dan Kaitannya Dengan Kesetaraan Pembangunan Gender Di Sumatera Barat 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Berapa besar dampak desentralisasi fiskal terhadap komponen IPM dimensi pendidikan Rata-rata Lama Sekolah ( Laki-laki, Perempuan, dan Laki-laki dan Perempuan) di Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat 2010-2014? 2. Berapa besar dampak desentralisasi fiskal terhadap komponen IPM dimensi pendidikan Angka Harapan Lama Sekolah ( Laki-laki, Perempuan, dan Laki-laki dan Perempuan) di Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat 2010-2014? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat: 1. Seberapa besar dampak desentralisasi fiskal terhadap komponen IPM dimensi pendidikan Rata-rata Lama Sekolah ( Laki-laki, Perempuan, dan Laki-laki dan Perempuan) di Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat 2010-2014. 2. Seberapa besar dampak desentralisasi fiskal terhadap komponen IPM dimensi pendidikan Angka Harapan Lama Sekolah ( Laki-laki, Perempuan, dan Laki-laki dan Perempuan) di Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat 2010-2014. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan ilmiah dan dapat dijadikan referensi tentang implimentasi Desentralisasi Fiskal terhadap Rata-rata Lama Sekolah dan Angka Harapan Lama Sekolah di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Barat 2010-2014. 1.5 Sistematika Penulisan Sebagai gambaran umum dari penelitian ini, penulis memaparkan sistematika penulisan yang terdiri dari:

Bab I: Pendahuluan Bab ini merupakan bagian dari pendahuluan yang berisikan tentang latar belakang alasan mengapa memilih penelitian ini, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup serta sistematika penulisan. Bab II: Tinjauan Literatur Bab II ini adalah tinjauan literatur. Pada Bab ini penulis menjelaskan mengenai pertumbuhan ekonomi, pembangunan manusia, hubungan pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan manusia. Pada bagian ini juga dijelaskan komponen yang terdapat pada indeks pembangunan manusia. Selain itu pada bab ini juga dijelaskan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya terkait hubungan pertumbuhan ekonomi dengan indeks pembangunan manusia. Bab III: Metodologi Penelitian Membahas tentang daerah penelitian, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, metode analisis data, serta definisi variabel Bab IV: Gambaran Umum Bab ini menggambarkan secara singkat tentang pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Barat serta perkembangan indeks pembangunan manusia beserta komponennya selama periode pengamatan. Bab V : Hasil dan Pembahasan Bagian ini membahas proses hasil dan analisis dari variabel-variabel yang diteliti serta juga membahas bagai mana pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Bab VI : Penutup Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan berdasakan hasil analisis data dan pembahasan. Dalam bab ini juga berisi saran-saran yang direkomendasikan kepada pihak-pihak tertentu atas dasar temuan.