BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang tua ingin anaknya menjadi anak yang mampu. menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam kehidupannya.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan istilah kunci yang penting dalam kehidupan manusia,

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, diantaranya dalam bidang pendidikan seperti tuntutan nilai pelajaran

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. daya yang terpenting adalah manusia. Sejalan dengan tuntutan dan harapan jaman

BAB I PENDAHULUAN. bentuk percakapan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun yang baik

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN MOTIVASI ANAK UNTUK BERSEKOLAH DI KELURAHAN SUKAGALIH KECAMATAN SUKAJADI KOTA BANDUNG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada

BAB I PENDAHULUAN. tuntutan keahlian atau kompetensi tertentu yang harus dimiliki individu agar dapat

Universitas Kristen Maranatha

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. menuntut perhatian serius bagi orang tua yang tidak menginginkan anak-anaknya. tumbuh dan berkembang dengan pola asuh yang salah.

BAB I PENDAHULUAN. Individu mulai mengenal orang lain di lingkungannya selain keluarga,

BAB I PENDAHULUAN. ilmunya dalam dunia pendidikan hingga tingkat Perguruan Tinggi. Dalam jenjang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan potensi ilmiah yang ada pada diri manusia secara. terjadi. Dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

Materi kuliah e-learning HUBUNGAN ORANG TUA DENGAN ANAK REMAJA oleh : Dr. Triana Noor Edwina DS, M.Si Dosen Fakultas Psikologi Universitas Mercu

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah salah satu bentuk pendidikan formal yang

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pendidikan formal merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan dan membentuk

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. oleh mahasiswa. Prestasi adalah hasil dari usaha mengembangkan bakat secara

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

BAB 1 PENDAHULUAN. Nasional yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan sebagai tempat mencetak sumber daya manusia yang berkualitas.

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat setiap orang berlomba-lomba

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan belajar mengajar berlangsung. Para guru dan siswa terlibat secara. Sekolah sebagai ruang lingkup pendidikan perlu menjamin

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

ANGKET KEPERCAYAAN DIRI SISWA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Guru berperan penting dalam proses pendidikan anak di sekolah, bagaimana

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, persaingan global semakin ketat, sejalan dengan telah berlangsungnya

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial; mereka tidak dapat hidup sendiri dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi era globalisasi, berbagai sektor kehidupan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan lebih lanjut ke perguruan tinggi ( Perguruan tinggi

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik, untuk membentuk Sumber Daya Manusia yang berkualitas.

BAB V PEMBAHASAN PENELITIAN. Ibtidaiyah (MI) Sekecamatan Gandusari Kabupaten Trenggalek

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun

BAB I PENDAHULUAN. dalam buku Etika Profesi Pendidikan). Pendidikan di Sekolah Dasar merupakan jenjang

LAMPIRAN 1. DATA VALIDITAS & RELIABILITAS ALAT UKUR

INVENTORI TUGAS PERKEMBANGAN SISWA SD. Berikut ini 50 rumpun pernyataan, setiap rumpun terdiri atas 4 pernyataan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Kepercayaan diri tentu saja mengalami pasang surut, seseorang mungkin merasa percaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. di masyarakat. Mahasiswa minimal harus menempuh tujuh semester untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. BAB II pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar

BAB 1 PENDAHULUAN. Era globalisasi dengan segala kemajuan teknologi yang mengikutinya,

BAB I PENDAHULUAN. menetap dari hasil interaksi dan pengalaman lingkungan yang melibatkan proses

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah salah satu bidang kehidupan yang dirasakan penting

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrayogi, 2014

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan formal di Indonesia setelah lulus Sekolah Dasar (SD). Di

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. Fakultas Psikologi merupakan salah satu fakultas unggulan di Universitas

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Di era globalisasi seperti sekarang ini mutlak menuntut seseorang untuk membekali

BAB I PENDAHULUAN. Potensi yang dimiliki individu dapat tumbuh dan berkembang secara

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanah dari Allah SWT, Setiap orang tua menginginkan anakanaknya

BAB I PENDAHULUAN. diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia selalu membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal tersebut kemudian diatur

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa

BAB I PENDAHULUAN. spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,

PENGARUH POLA ASUH ANAK TERHADAP PRESTASI ANAK

saaaaaaaa1 BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. mandiri, disiplin dalam mengatur waktu, dan melaksanakan kegiatan belajar yang

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan

BAB I PENDAHULUAN. Dunia saat ini sedang memasuki era baru yaitu era globalisasi dimana hampir

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun Dalam Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. proses belajar sejak manusia lahir hingga akhir hayatnya. Havighurst dalam Bimo

BAB I PENDAHULUAN. datang, jika suatu bangsa memiliki sumber daya manusia yang berkualitas

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai lembaga pendidikan formal, sekolah diharapkan mampu. memfasilitasi proses pembelajaran yang efektif kepada para siswa guna

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan

BAB I LATAR BELAKANG A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. usia 18 hingga 25 tahun (Santrock, 2010). Pada tahap perkembangan ini, individu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah bahkan sekolah dewasa ini di bangun oleh pemerintah agar anak-anak

BAB I PENDAHULUAN. Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang menjelaskan bahwa pendidikan

EKSPERIMENTASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELALUI STRATEGI PEER LESSONS DAN LEARNING START WITH A QUESTION (LSQ) PADA SISWA KELAS VII SMP

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

B A B PENDAHULUAN. Setiap manusia yang lahir ke dunia menginginkan sebuah kehidupan yang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejalan dengan tujuan pendidikan nasional maka dirumuskan tujuan pendidikan dasar, yakni memberi bekal kemampuan dasar kepada siswa untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan anggota umat manusia serta mempersiapkan siswa untuk mengikuti pendidikan menengah (pasal 3 PP nomor 28 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar). Sekolah dasar (disingkat SD) adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia. Sekolah dasar ditempuh dalam waktu 6 tahun, mulai dari kelas I hingga kelas IV. Pendidikan dasar merupakan fondasi untuk pendidikan selanjutnya, yaitu dari SMP hingga Perguruan Tinggi (www.sekolahdasar.com). Agar dapat mencapai tujuan pendidikan nasional dan pendidikan dasar, maka setiap sekolah dasar memiliki sistem pembelajarannya masing-masing. Selain itu, di Indonesia terdapat sekolah dasar yang dikelola oleh Negara dan ada yang dikelola oleh swasta. Saat ini yang akan dibahas adalah sekolah dasar yang dikelola oleh swasta. Page 1

2 Salah satu sekolah dasar yang dikelola oleh pihak swasta adalah Sekolah Dasar X di kota Bandung. Sekolah dasar X di kota Bandung adalah Sekolah Dasar Katolik swasta yang mendapat akreditasi A dan berada pada posisi 197 dari 594 sekolah dasar yang terakreditasi A di kota Bandung dengan nilai total 96(Badan Akreditasi, tanggal penetapan 28 Oktober 2011). Selain itu, dalam sistem pembelajaran Sekolah Dasar X di kota Bandung menggunakan sistem pembelajaran yang menjunjung tinggi kedisiplinan dan Entrepreneur (situs resmi dari SD X di Kota Bandung). Entrepreneur sendiri memiliki arti giat, mau berusaha, berani, dan penuh petualangan (www.yski.com). Ada pun menurut D.C. Mc Clelland (1961) Entrepreneur adalah seseorang yang memiliki kebutuhan tinggi untuk berprestasi. Jadi, pada sistem pembelajaran Entrepreneur siswa diharapkan terlibat secara aktif dan mereka merasa enjoy/fun dalam belajar (www.yski.com). Menurut salah seorang guru yang mengajar di SD X, dengan diberlakukannya sistem pembelajaran yang disiplin dan Entrepreneur maka siswa dituntut untuk dapat berprestasi khususnya secara akademik di sekolah. Guru tersebut pun mengatakan bahwa sekolah memberikan tuntutan yang lebih pada siswa-siswa kelas V. Alasannya adalah agar dapat mempersiapkan siswa-siswa kelas V untuk menempuh pembelajaran di kelas VI serta mempersiapkan secara dini siswa-siswa kelas V agar dapat siap menempuh ujian nasional di kelas VI. Selain itu, nilai raport kelas V adalah salah satu persyaratan dan pertimbangan kelulusan siswa saat mereka kelas VI nantinya. Oleh karena nilai rapot kelas V sangat mempengaruhi kelulusan siswa di kelas VI nantinya maka pihak sekolah

3 membutuhkan dukungan yang lebih dari pihak orangtua siswa, karena orangtua memiliki pengaruh yang besar terhadap prestasi siswa di sekolah. Salah satunya melalui pola asuh yang diberikan orangtua kepada siswa. Lewat pola asuh orangtua, siswa dapat menjadi bersemangat atau pun menjadi kurang bersemangat dalam belajar. Contoh siswa yang menjadi bersemangat untuk belajar adalah, siswa yang memiliki orangtua yang memberikan dukungannya kepada siswa dan memahami kemampuan siswa. Sedangkan contoh siswa yang menjadi kurang bersemangat dalam belajar adalah, siswa yang memiliki orangtua yang menuntut siswa untuk memperoleh nilai yang tinggi sedangkan kemampuan yang dimiliki siswa kurang memadai untuk memperoleh nilai yang diharapkan oleh orangtua siswa. Oleh karena itu, guru yang mengajar di SD X tersebut mengatakan pola asuh orangtua penting dalam membantu siswa-siswa kelas V untuk dapat berprestasi dan mempersiapkan diri untuk menempuh pembelajaran serta ujian nasional di kelas VI. Pola asuh orang tua sendiri memiliki pengertian, yaitu gambaran tentang sikap dan perilaku orangtua serta anak dalam berinteraksi, berkomunikasi selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Dalam kegiatan pengasuhan ini, orangtua akan memberikan perhatian, peraturan, disiplin, hadiah dan hukuman, serta tanggapan terhadap keinginan anaknya. Oleh karena itu, orangtua harus menjadi contoh yang baik kepada anak karena sikap, perilaku, dan kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anaknya yang secara sadar atau tidak sadar akan dihayati oleh anak dan menjadi kebiasaan pula bagi anak-anaknya. Penanaman sikap disiplin, menerima apa adanya, memberikan motivasi berprestasi, serta aspek

4 spiritual kepada anak diakui merupakan dasar pembentukan karakter anak berprestasi di sekolah (Santrock, 2002). Menurut Diane Baumrind pola asuh orangtua terdapat 4 jenis (Santrock, 2002), yaitu pola asuh Otoriter, pola asuh Otoritatif, pola asuh Permissive- Indulgent dan pola asuh permissive-indefferent. Pola asuh Otoriter ditandai dengan adanya paksaan dari orangtua kepada siswa untuk belajar agar dapat memperoleh prestasi di sekolah. Pola asuh Otoritatif ditandai dengan adanya dukungan orangtua lewat pengarahan belajar siswa. Sikap orangtua yang memberikan dukungan kepada siswa akan memberikan dampak, yaitu siswa merasa dihargai dan menjadi lebih termotivasi untuk berprestasi lebih baik lagi di sekolah. Orangtua yang menggunakan pola asuh Permissive-Indifferent ditandai dengan diberikannya kebebasan yang berlebihan dari orangtua kepada siswa dan cenderung sangat tidak terlibat dalam kehidupan siswa. Oleh karena orangtua sangat sibuk dengan kehidupannya sendiri, maka siswa menjadi tidak perduli dengan prestasinya di sekolah. Sedangkan Permissive-Indulgent ditandai dengan pengasuhan orangtua yang sangat terlibat dalam kehidupan siswa serta cenderung menuruti semua keinginan dari siswa. Penerapan pola asuh yang kurang tepat, dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa dan motivasi siswa untuk berprestasi di kelas. Setiap orangtua memiliki pola asuh yang berbeda-beda dalam mendidik dan memberikan dukungannya kepada siswa. Orangtua memiliki sikap-sikap tertentu dalam memelihara, membimbing, dan mengarahkan putra-putrinya. Sikap-sikap orangtua tersebut tergantung pada pola asuh yang digunakan oleh setiap orangtua.

5 Dalam mengasuh anak, orangtua bukan hanya mampu mengkomunikasikan fakta, gagasan, dan pengetahuan saja, melainkan membantu menumbuhkembangkan kepribadian anak. Artinya, siswa perlu mendapat perhatian pada saat belajar sehari-hari. Apabila siswa telah menunjukkan gejala-gejala, seperti malas belajar atau kurang berminat untuk belajar dan lebih banyak bermain dari pada belajar, berarti siswa kurang termotivasi untuk berprestasi di sekolahnya. Apabila gejala ini dibiarkan terus, maka akan menjadi masalah dalam mencapai keberhasilan belajar siswa di sekolah (Riyanto, 2002). Adapun pengertian dari motivasi berprestasi menurut David McClelland (1987), yaitu daya dorong yang terdapat dalam diri seseorang sehingga orang tersebut berusaha untuk melakukan suatu tindakan atau kegiatan dengan baik dan berhasil dengan predikat unggul. Motivasi sangat penting dalam kegiatan belajar, karena dengan adanya motivasi siswa menjadi terdorong untuk semangat belajar dan memperoleh prestasi di kelasnya. Apabila siswa kurang memiliki motivasi berprestasi maka akan melemahkan semangat siswa untuk belajar dan menghambat siswa memperoleh prestasi di kelas. Motivasi untuk berprestasi merupakan syarat mutlak dalam belajar, seorang siswa yang belajar tanpa atau kurang memiliki motivasi tidak akan berhasil dengan maksimal (David McClelland, 1987). Menurut David McClelland (1987) terdapat 5 aspek dari motivasi berprestasi, yaitu, menanggapi tantangan dalam kehidupan sehari-hari, ketekunan, tanggungjawab, kebutuhan untuk feedback, dan inovasi. Ada pula faktor yang memengaruhi motivasi berprestasi antara lain, faktor internal dan faktor eksternal.

6 Faktor yang termasuk dalam faktor internal adalah kepuasan saat mengerjakan suatu tugas dengan baik, tidak takut gagal, dan usaha dalam mengerjakan tugas. Sedangkan yang termasuk faktor eksternal adalah dukungan dari orang tua dan tingkat kesulitan dalam mengerjakan tugas (tantangan tugas). Menurut Deci (1975, Motivasi Human: McClelland; 1987) apabila pengaruh faktor eksternal yang berkaitan dengan pemberian kasih sayang, kehangatan, dan dukungan dari orang terdekat lebih besar dari pada faktor intrinsik, maka motivasi berprestasi yang diperoleh akan tinggi. Artinya, selain kepuasan dalam mengerjakan tugas, merasa tidak takut gagal, dan usaha dalam mengerjakan tugas, faktor eksternal yang berkaitan dengan pemberian kasih sayang, kehangatan, dan dukungan yang orang tua berikan memiliki pengaruh terhadap motivasi berprestasi siswa. Dari hasil survey ke 10 siswa kelas 5 SD X di kota Bandung. Terdapat seorang siswa yang mengatakan orangtuanya selalu mendukungnya dalam belajar, mendidiknya agar mandiri, tidak memberikan tuntutan yang tinggi, dan tidak memberikan hukuman kepada dirinya bila memeroleh nilai jelek saat ulangan harian ataupun ujian semester. Ia memeroleh nilai rata-rata raport 89 dan memeroleh rangking 3 pada saat ia kelas 4 karena motivasi terbesar yang ia memiliki berasal dari dalam dirinya. Alasannya karena ia merasa tidak puas dengan nilainya yang sekarang. Oleh karena itu, ia menjadi termotivasi untuk memeroleh nilai 90 untuk semua mata pelajaran dengan cara belajar tepat waktu dan mengurangi waktu bermain. Terdapat 2 siswa yang memeroleh nilai rata-rata raport 70 pada saat kelas 4, seorang siswa mengaku memiliki kesulitan untuk berkonsentrasi dalam belajar.

7 Sehingga orangtuanya tidak memberikan tuntutan yang tinggi kepadanya, asalkan siswa bisa menjalani proses belajar di sekolah dengan baik. Motivasi terbesar yang siswa peroleh untuk menunjukkan bahwa siswa pun mampu seperti temanteman yang lain serta mampu untuk membanggakan orangtua lewat nilai yang diperoleh, berasal dari dirinya sendiri. Oleh karena itu, siswa berusaha untuk belajar lebih giat lagi serta belajar untuk bisa berkonsentrasi dalam belajar. Sedangkan seorang siswa lagi mengatakan memiliki orangtua yang selalu menghukumnya bila siswa mendapatkan nilai jelek saat ulangan/ujian semester, ataupun perbuatan yang tidak diharapkan orangtuanya, walaupun menurutnya siswa tidak melakukan kesalahan. Hukuman yang biasa siswa terima bila melakukan kesalahan adalah hukuman fisik dan dimasukkan ke kamar mandi untuk beberapa jam. Sedangkan di sekolah, gurunya selalu memberinya semangat, sehingga siswa menjadi lebih termotivasi untuk belajar dan memperoleh nilai yang baik. Oleh karena itu, motivasinya untuk memperoleh prestasi di sekolah bukan berasal dari orangtuanya melainkan dari gurunya. Tujuh siswa lainnya mengatakan memiliki orang tua yang selalu memberikan motivasi disaat mereka memperoleh nilai jelek ketika ulangan harian atau ujian semester. Orangtua mereka selalu memberikan nasehat apabila mereka melakukan kesalahan, selalu ada disaat mereka dibutuhkan, serta tidak memberikan tuntutan yang terlalu tinggi dalam belajar karena yang terpenting mereka bisa mengikuti kegiatan belajar di sekolah dan dapat naik kelas. Motivasi terbesar mereka untuk mencapai prestasi ada yang berasal dari orangtua sebanyak 3 orang siswa, dari teman sebanyak 1 orang siswa, dari diri sendiri sebanyak 1 orang siswa, dari

8 orangtua dan diri sendiri sebanyak 1 orang siswa, serta dari orangtua dan guru sebanyak 1 orang siswa. Motivasi yang diberikan teman, orangtua, dan guru berupa dukungan dan semangat, sehingga membuat ketujuh siswa kelas V tersebut termotivasi untuk lebih giat belajar, mengurangi jam bermain, serta lebih bertanggungjawab dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Oleh karena itu, ke tujuh siswa tersebut memeroleh nilai rata-rata raport 75 pada saat kelas IV. Berdasarkan uraian yang ada di atas, dapat terlihat bahwa pola asuh orangtua dan motivasi berprestasi pada siswa kelas V SD X di kota Bandung itu bermacam-macam. Ada siswa yang menghayati orangtuanya memberikan dukungan, semangat, dan tidak memberikan tuntutan kepada siswa karena orangtua mengetahui kemampuan yang dimiliki siswa. Oleh karena itu, motivasi untuk berprestasi yang dimiliki sebagian besar berasal dari orangtua dan siswa menjadi lebih bersemangat untuk belajar. Ada siswa yang menghayati orangtuanya sering memberikan hukuman, tuntutan akan nilai tinggi saat ulangan/ujian semeater, dan sedikit dukungan yang orangtua berikan membuat siswa merasa motivasi untuk berprestasi menjadi berkurang. Berdasarkan penjelasan tersebut, peneliti menjadi tertarik untuk meneliti kontribusi penghayatan pola asuh orangtua terhadap motivasi berprestasi pada siswa kelas V SD X di kota Bandung.

9 1.2 Identifikasi Masalah Dari penelitian ini ingin diketahui apakah ada kontribusi penghayatan pola asuh orangtua terhadap motivasi berprestasi pada siswa kelas V SD X di kota Bandung. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud penelitian ini adalah untuk memeroleh data tentang penghayatan pola asuh orangtua dan data tentang motivasi berprestasi pada siswa kelas V SD X di kota Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan yang dari penelitian ini adalah untuk memeroleh gambaran mengenai kontribusi penghayatan pola asuh orangtua terhadap motivasi berprestasi pada siswa kelas V SD X di kota Bandung. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Ilmiah Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai kontribusi penghayatan pola asuh orangtua terhadap motivasi berprestasi pada siswa kelas V SD, sehingga dapat memberikan

10 sumbangan bagi perkembangan ilmu psikologi, khususnya di bidang Psikologi Pendidikan. Penelitian ini diharapkan memberikan masukan bagi pengembangan penelitian selanjutnya tentang kontribusi penghayatan pola asuh orangtua terhadap motivasi berprestasi pada siswa kelas V SD. 1.4.2 Kegunaan Praktis Sekolah dapat mengadakan ceramah untuk orang tua siswa V SD X di kota Bandung mengenai kontribusi penghayatan pola asuh orangtua terhadap motivasi berprestasi, agar orangtua dapat memotivasi siswa untuk berprestasi di sekolah. Memberikan informasi kepada sekolah dan para guru SD X di kota Bandung, mengenai kontribusi penghaytan pola asuh orangtua terhadap motivasi berprestasi pada siswa kelas V SD yang tinggal bersama orangtua agar dapat mengikut sertakan orangtua siswa kelas V SD untuk mempersiapkan siswa dalam ujian/ulangan harian dan membimbing siswa kelas V saat belajar di rumah. 1.5 Kerangka Pikir Siswa-siswa kelas V di SD X di kota Bandung diberi tanggungjawab yang lebih dari pihak sekolah. Tanggung jawabnya adalah mempersiapkan diri untuk mengikuti pembelajaran di kelas VI yang tingkatannya lebih sulit

11 dibanding di kelas sebelumnya, serta memperoleh nilai yang baik setiap semesternya agar dapat menabung nilai untuk kelulusan kelas VI, karena nilai rapot kelas V sangat mempengaruhi kelulusan di kelas VI,serta menjadi salah satu persyaratan kelulusan. Oleh karena itu, sekolah pun bekerjasama dengan orang tua siswa kelas V. Oleh karena itu, dibutuhkan motivasi berprestasi yang tinggi, agar siswa kelas V dapat memenuhi tanggungjawabnya. Motivasi berprestasi sendiri menurut David McClelland (1952) adalah adanya daya dorong yang terdapat dalam diri seseorang sehingga orang tersebut berusaha untuk melakukan suatu tindakan/kegiatan dengan baik dan berhasil dalam predikat unggul. Motivasi berprestasi dapat berasal dari dalam diri siswa ataupun berasal dari luar dirinya. Motivasi untuk berprestasi yang berasal dari luar dapat berasal dari keluarga khususnya orangtua, teman-teman sebanya, dan dari lingkungan sekitar siswa. Sedangkan motivasi untuk berprestasi yang berasal dari dalam diri siswa dapat diperoleh lewat jalan pikiran dan emosi yang dimiliki siswa. Jalan pikiran dan emosi yang dimiliki siswa akan mengakibatkan derajat motivasi berprestasi yang berbeda pada setiap siswa (McClelland, 1987). Menurut David McClelland (1987), motivasi berprestasi memiliki lima aspek, yaitu menanggapi tantangan dalam kehidupan sehari-hari, ketekunan, tanggungjawab, kebutuhan untuk feedback, dan inovasi. Aspek pertama adalah siswa menanggapi tantangan dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, dimana siswa yang memiliki motivasi untuk berprestasi tinggi memandang kesuksesan menjadi lebih mudah untuk dicapai apabila siswa merasa

12 tertantang dalam mencapai prestasi (O Conner, Atkinson, Horney; 1966; dalam Mc.Clelland, 1987). Contohnya, pada saat guru memberikan soal latihan yang terbilang sulit, siswa akan menyelesaikan tugas tersebut dan menganggap tugas tersebut sebagai tantangan yang harus diselesaikan. Aspek kedua adalah ketekunan, siswa yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi harus bertahan lebih lama ketika siswa menanggapi suatu tugas yang sulit (Freather, 1961; dalam Mc.Clelland, 1987). Contohnya, pada saat siswa mendapatkan banyak tugas yang terbilang sulit dari beberapa guru mata pelajaran, siswa tersebut dapat menyelesaikan semua tugas tersebut secara bertahap dan tidak mudah menyerah saat mengerjakan tugas tersebut. Aspek yang ke tiga adalah tanggungjawab. Siswa yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi akan memilih untuk bertanggungjawab secara pribadi untuk hasil yang telah ia buat, karena dengan bertanggungjawab siswa dapat merasa puas dengan hasil yang ia buat sendiri (McClelland, 1987). Contohnya, dalam mengerjakan ujian/ulangan harian. Siswa mengerjakan semua soal sendiri berdasarkan materi yang telah dipelajari sebelumnya, dan pada saat ujian/ulangan dibagikan siswa merasa puas dengan hasil yang ia peroleh. Aspek yang ke empat adalah kebutuhan untuk feedback. Siswa yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi akan merasa lebih senang apabila ia mendapatkan feedback atau umpan balik dari orang lain terhadap hasil yang telah ia kerjakan, untuk memperbaiki kesalahan yang diperbuat (McClelland, 1987). Contohnya, siswa yang memperoleh nilai ulangan jelek akan meminta

13 penjelasan kepada guru bagian mana saja yang salah dan jawaban yang benar seharusnya seperti apa. Aspek ke lima adalah inovasi. Siswa yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi akan mencari informasi untuk menemukan cara yang lebih baik dari sebelumnya. Cara yang akan ia gunakan akan melibatkan jalan yang berbeda dengan sebelumnya dan lebih pendek (McClelland, 1987). Contoh, dalam memecahkan persoalan matematika, siswa yang inovasi akan mencari cara penyelesaian yang berbeda dengan yang diajarkan oleh guru. Namun, menghasilkan jawaban yang sama dengan persoalan yang dikerjakan sesuai dengan cara penyelesaian yang guru ajarkan. Selain kelima aspek yang telah dijelaskan diatas, motivasi berprestasi dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain pola asuh. Pola asuh orangtua sendiri adalah gambaran tentang sikap dan perilaku orangtua serta siswa dalam berinteraksi, berkomunikasi selama mengadakan kegiatan pengasuhan (Santrock, 2002). Contoh sikap dan perilaku orangtua saat berinteraksi ataupun berkomunikasi dengan siswa lewat pola asuh, yaitu pada saat orangtua memberi batasan tingkah laku yang tidak boleh dilakukan oleh siswa (seperti berkata kasar), adanya tuntutan orangtua kepada siswa untuk memperoleh nilai bagus di sekolah, dan sikap yang tegas kepada siswa saat siswa melakukan kesalahan atau pelanggaran (contohnya, siswa memperoleh nilai jelek saat ulangan. Orangtuanya memberikan sanksi mengurangi waktu bermain siswa di rumah). Disisi lain orangtua pun memberikan perhatian terhadap kesejahteraan siswa (seperti pemberian kasih sayang), kesepakatan

14 terhadap kebutuhan siswa (contohnya: adanya kesepakatan antara orangtua dengan siswa, apabila siswa mendapatkan nilai rapot yang bagus maka orangtua akan membelikan mainan baru), kesediaan untuk meluangkan waktu dan melakukan kegiatan bersama siswa (contohnya: pada saat pulang kerja orangtua meluangkan waktu untuk membantu siswa dalam belajar atau mengerjakan PR), serta memberi dukungan agar siswa dapat termotivasi untuk berprestasi secara akademik di sekolah (contohnya: pada saat siswa mendapatkan nilai jelek saat ujian/ulangan, orangtua memberikan semangat kepada siswa agar pada saat ujian/ulangan berikutnya siswa dapat memperoleh nilai yang bagus). Sikap dan perilaku orangtua yang berbeda-beda tersebut dapat memunculkan pola asuh yang berbeda pula (Baumrind; dalam Maccoby, 1980). Menurut Diana Baumrind (1971) pola asuh terbentuk dari dua dimensi pola asuh, yaitu dimensi kontrol dan dimensi afeksi. Apabila dimensi kontrol tinggi dan aspek afeksi rendah, maka terbentuk pola asuh orangtua yang memberikan batasan dan tuntutan tinggi kepada anak, serta anak tidak boleh memberikan pendapat karena apa yang orangtua tentukan buat anak itu benar adanya. Sedangkan bila dimensi kontrol rendah dan dimensi afeksi rendah akan memunculkan pola asuh orangtua yang selalu mengabulkan apa saja keinginan dari anak dan memberikan kebebasan kepada anak, tanpa ada batasan-batasan yang orangtua buat untuk anak. Dan yang terakhir apabila dimensi kontrol tinggi dan dimensi afeksi tinggi akan memunculkan pola asuh orangtua yang demokratis, memberikan kebebasan kepada anak, tetapi ada

15 batasan-batasan yang orangtua buat untuk anak, serta memberikan kasih sayang dan rasa aman kepada anak agar anak dapat mandiri. Berdasarkan kedua dimensi tersebut Diana Baumrind (1971) menentukan terdapat empat jenis pola asuh orangtua, yaitu pola asuh Otoriter, pola asuh Otoritatif, pola asuh Permissive-Indifferent, dan pola asuh Permissive- Indulgent (Santrock, 2002 : 257-259). Pola asuh Otoriter adalah suatu gaya pengasuhan yang memberikan batasan dan hukuman kepada siswa dengan memberikan tuntutan kepada siswa untuk mengikuti perintah dan menghormati orangtua. Apabila siswa tidak mengikuti perintah ataupun tuntutan dari orangtua, maka orangtua akan memberikan sanksi sebagai hukuman. Dalam berdiskusi pun orangtua memberikan batasan kepada siswa untuk memberikan pendapat (Santrock, 2002; 257). Contohnya, orangtua menuntut siswa untuk memperoleh nilai ulangan ataupun ujian diatas 70. Apabila siswa mendapatkan nilai dibawah 70 maka orangtua akan memarahi siswa ataupun memberi siswa sanksi yang lebih berat seperti dipukul. Pola asuh Otoritatif adalah gaya pengasuhan orangtua yang memberikan dorongan kepada siswa untuk mandiri, tetapi masih diberi batasan atas tindakan siswa. Maksudnya, orangtua mendidik siswa untuk lebih mandiri dalam belajar ataupun dalam mengambil keputusan. Namun, orangtua tidak langsung melepaskan siswa begitu saja. Orangtua tetap mengawasi dan menuntun siswa (Santrock, 2002; 258). Contohnya, orangtua mengajarkan siswa untuk belajar sendiri tanpa disuruh. Apabila siswa lupa untuk belajar

16 maka orangtua akan mengingatkan siswa untuk belajar ataupun mengerjakan PR. Pola asuh Permissive-Indifferent adalah gaya pengasuhan dimana orangtua sangat tidak terlibat dalam kehidupan siswa. Siswa yang memiliki orangtua dengan tipe pengasuhan ini mengembangkan perasaan bahwa orangtua lebih mementingkan urusan atau kepentingannya sendiri dibandingkan kepentingan siswa (Santrock, 2002; 258). Contohnya, sekolah mengundang orangtua siswa untuk menghadiri pertemuan orangtua untuk membicarakan adanya kelas tambahan untuk siswa yang mengalami kesulitan dalam beberapa mata pelajaran. Pada saat siswa mengatakan kepada orangtuanya, tanggapan orangtuanya adalah menolak untuk datang ke sekolah dengan alasan sibuk dengan pekerjaan di kantor. Sedangkan pola asuh Permissive-Indulgent adalah gaya pengasuhan dimana orangtua sangat terlibat dalam kehidupan siswa, tetapi menetapkan sedikit kendali terhadap siswa. Siswa yang mendapatkan pengasuhan ini umumnya memiliki kendali yang kurang dalam dirinya. Akibatnya siswa tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya dan selalu mengharapkan kemauannya dituruti (Santrock, 2002; 258-259). Contohnya, pada saat siswa disuruh oleh orangtuanya untuk belajar dahulu baru bermain, tetapi siswa bersikeras untuk bermain dahulu baru belajar. Siswa merasa di sekolah sudah belajar sehingga saat sampai di rumah siswa lebih memilih bermain. Walaupun orangtuanya memberikan penjelasan kalau belajar di rumah itu dapat membantunya untuk lebih memahami materi yang telah diajarkan di

17 sekolah, tetapi siswa tersebut tetap memilih bermain dahulu baru belajar hingga siswa menangis dan merengek meminta agar keinginannya dipenuhi. Akhirnya orangtuanya mengabulkan keinginan anaknya, walaupun pada akhirnya siswa tidak belajar karena kecapaian bermain. Dengan adanya pola asuh yang berbeda-beda siswa akan memiliki kontrol diri yang berbeda pula tergantung komunikasi, pengontrolan, dan kehangatan yang orangtua berikan. Dengan kontrol diri, siswa dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk dilakukan (Maccoby, 1980). Berdasarkan karakteristik tiap pola asuh yang telah dijelaskan, akan memberikan penghayatan yang berbeda-beda terhadap siswa. Sama halnya dengan penghayatan siswa terhadap kelima aspek motivasi berprestasi. Pertama karakteristik pola asuh Otoriter terhadap kelima aspek motivasi berprestasi. Pola asuh Otoriter memiliki karakteristik, yaitu orangtua yang selalu menuntut siswa untuk memperoleh nilai yang tinggi, menghukum siswa bila memperoleh nilai jelek atau melakukan kesalahan, dan memberi aturanaturan yang harus siswa taati. Dampaknya adalah siswa menjadi takut dihukum oleh orangtuanya, sehingga bertanggungjawab terhadap tugas yang diberikan karena bila tugasnya tidak dikerjakan atau dikumpulkan siswa merasa takut bila dihukum oleh guru. Siswa takut bila mendapatkan hukuman dari guru, maka orangtua akan dipanggil, dan ia juga akan mendapatkan hukuman lagi dari orangtuanya. Siswa membutuhkan feedback dari guru atas tugas yang telah dikerjakan, tertantang untuk menyelesaikan tugas, serta tekun dalam mengerjakan tugas agar siswa dapat memperoleh nilai tinggi sehingga

18 dapat memenuhi tuntutan dari orangtua. Siswa kurang inovasi dalam mengerjakan tugas karena siswa akan mengunakan cara yang telah diajarkan guru saja dalam menyelesaikan tugas karena takut salah dan dimarahi oleh guru bila menggunakan cara lain serta siswa sudah terbiasa mengikuti aturan dan batasan yang orang tua berikan di rumah. Kedua, karakteristik pola asuh Otoritatif adalah orangtua yang memberikan rasa aman, dukungan/dorongan, dan kasih sayang yang membuat siswa menjadi berani untuk mandiri dalam belajar, mengerjakan tugas, maupun saat bertanya kepada guru saat siswa mengalami kebingungan dalam memahami materi. Dampaknya terhadap siswa adalah siswa menjadi termotivasi untuk bertanggungjawab dalam mengerjakan tugas, berani meminta feedback dari guru atas tugas yang telah dikerjakan, tekun dalam menyelesaikan tugas, berani menyelesaikan tantangan dalam tugas, dan dalam mengerjakan tugas siswa tidak hanya menggunakan cara yang diajarkan oleh guru saja. Ketiga, karakteristik pola asuh Permissive-Indifferent adalah orangtua yang memberikan kebebasan kepada siswa dan lebih mengutamakan pekerjaannya sendiri. Dampaknya terhadap siswa adalah siswa menjadi merasa tidak diperhatikan, terbiasa mencari cara sendiri untuk mengatasi kesulitannya, kurang mendapat pengarahan dari guru. Siswa terdorong untuk mengerjakan atau menyelesaikan tugas dengan cara yang berbeda dengan yang telah diajarkan guru, kurang bertanggungjawab dalam menyelesaikan tugas, kurang tertantang dalam mengerjakan tugas yang sulit, kurang peduli

19 dengan feedback yang guru berikan, dan kurang tekun dalam menyelesaikan tugas. Keempat, karakteristik pola asuh Permissive-Indulgent adalah orangtua yang memberikan kebebasan kepada siswa, tetapi terdapat sedikit batas yang orangtua berikan. Dampaknya, siswa menjadi kurang bertanggungjawab dengan tugasnya, kurang tekun dalam mengerjakan tugas, peduli dengan feedback yang guru berikan, kurang dapat menggunakan cara lain selain yang diajarkan oleh guru dalam mengerjakan tugas, dan kurang tertantang dalam menyelesaikan tugas yang sulit. Selain ke lima aspek, motivasi berprestasi memiliki dua faktor yang mempengaruhi motivasi belajar pada siswa, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor yang termasuk dalam faktor intrinsik adalah kepuasan saat mengerjakan tugas dengan baik, tidak takut akan kegagalan, dan adanya usaha dalam mengerjakan tugas. Sedangkan yang termasuk faktor ekstrinsik adalah adanya dukungan dari orang lain (seperti dukungan dari orangtua, guru, ataupun teman sebaya) dan tingkat kesulitan dalam mengerjakan tugas (tantangan tugas). Kedua faktor tersebut dapat mempengaruhi motivasi siswa untuk berprestasi di sekolah secara akademik (McClelland, 1987). Dari kedua variabel tersebut akan dilihat apakah ada kontribusi dari penghayatan pola asuh orangtua terhadap motivasi berprestasi pada siswa kelas V SD X di kota Bandung yang tinggal bersama orangtua.

20 Faktor yang mempengaruhi Motivasi Berprestasi: Intrinsik Kepuasan saat mengerjakan suatu tugas dengan baik Tidak takut gagal Usaha dalam mengerjakan tugas Ekstrinsik Dukungan dari orang lain Tingkat kesulitan dalam mengerjakan tugas (tantangan tugas) Siswa Kelas 5 SD X Di Kota Bandung Penghayatan Tentang Pola Asuh (Kontribusi) Motivasi Berprestasi Otoriter Otoritatif Permissive- indifferent Permissive- indulgent 1. Menanggapi tantangan dalam kehidupan seharihari 2. Ketekunan 3. Tanggungjawab 4. Kebutuhan untuk feedback 5. Inovasi Bagan 1.1 Kerangka Pikir

21 1.6 Asumsi Penghayatan Pola asuh orangtua yang berbeda-beda akan memunculkan penghayatan pada siswa kelas V SD X di kota Bandung yang berbeda pula. Pola asuh orangtua yang berbeda akan memunculkan motivasi berprestasi yang berbeda pula pada setiap siswa kelas V SD X di kota Bandung. Dukungan, kasih sayang, dan rasa aman yang orangtua berikan akan memunculkan motivasi berpresasi tinggi pada siswa kelas V SD X di kota Bandung. Orangtua yang kurang memberikan kasih sayang, dukungan, dan kepercayaan kepada siswa akan memunculkan motivasi berpresasi rendah pada siswa kelas V SD X di kota Bandung. 1.7 Hipotesis 1. Terdapat kontribusi penghayatan pola asuh orangtua Otoriter terhadap motivasi berprestasi pada anak kelas V SD X di kota Bandung. 2. Terdapat kontribusi penghayatan pola asuh orangtua Otoritatif terhadap motivasi berprestasi pada anak kelas V SD X di kota Bandung. 3. Terdapat kontribusi penghayatan pola asuh orangtua Permissive- Indifferent terhadap motivasi berprestasi pada anak kelas V SD X di kota Bandung. 4. Terdapat kontribusi penghayatan pola asuh orangtua Permissive-Indulgent terhadap motivasi berprestasi pada anak kelas V SD X di kota Bandung.