BAB V KESIMPULAN 5.1. Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum 2013 Konstruksi Identitas Nasional Indonesia tidaklah berlangsung secara alamiah. Ia berlangsung dengan konstruksi besar, dalam hal ini buku teks tematik teradu sebagai akibat dari perubahan kurikulum sekolah yang menggunakan kurikulum 2013. Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam konstruksi identitas nasional Indonesia saat ini. Kesatuan Indonesia bukan hendak menghilangkan identitas setiap komponen bangsa, tetapi harapannya agar semuanya menjadi warga negara Indonesia tanpa merasa terasing. Sikap saling menghormati identitas masingmasing dan kesediaan untuk tidak memaksakan pandangan sendiri tentang yang baik kepada siapapun merupakan syarat keberhasilan masa depan Indonesia. Oleh karena itu, kepluralistikan masyarakat Indonesia merupakan tantangan yang menuntut upaya sungguh-sungguh dalam bentuk transformasi kesadaran multikultural. Suatu kesadaran yang diarahkan kepada identitas nasional, integrasi nasional. Dengan demikian, kesatuan Indonesia dapat ditegakkan sejalan dengan teks ideal Bhinneka Tunggal Ika. Melalui sampul, terlihat upaya untuk memperlihatkan wajah keindonesiaan yang multikultur. Meskipun di dalamnya terdapat representasi yang menunjukkan berbagai bias dalam mendifinisikan keindonesiaan. Dalam konstruksi identitas nasional tersebut, terdapat persinggungan-persinggunangan antara mayoritas dan minoritas, pusat dan pinggiran, serta dominasi dan subordinat dalam sebuah ruang 118
bernama buku teks tematik terpadu kelas 1 SD kurikulum 2013. Buku tersebut menciptakan reproduksi kultural dan sosial. Modal-modal kultural dan simbolik kelas atas di reproduksi untuk sebuah legitimasi memertahankan dominasi nilainilai. Representasi gender, etnis/ras, dan kelas dalam penelitian ini dipengaruhi oleh konteks sosial politik yang terjadi di Indonesia. Analisis terhadap teks dalam buku tematik terpadu kurikulum 2013 menunjukkan terjadinya perubahan dan modifikasi dalam konstruksi dan representasi gender, etnis/ras, serta kelas dari kurikulum sebelumnya. Analisis juga menunjukkan bahwa representasi gender, etnis/ras, dan kelas memiliki kecenderungan untuk menjaga dan mempertahankan konstruksi identitas dominan dan hegemonik. Dalam konteks stereotipe gender, perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan telah memengaruhi anggota masyarakat untuk memberi persepsi identitas perbedaan peranan gender yang dalam sepanjang sejarah manusia menimbulkan adanya ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender. Perempuan lebih banyak muncul sebagai objek daripada subjek. Buku teks menempatkan perempuan sebagai pemikul simbolik identitas nasional. Secara politik, perempuan tidak banyak dilibatkan dan hanya diberi peran sebagai national embodiment atau perwujudan sebuah bangsa. Stereotipe gender dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori, yaitu: sifat/karakteristik perilaku dan/atau kondisi fisik, peran gender, nilai gender, dan status gender. Dalam hal peran gender, perempuan diberi label semata-mata berperan di kegiatan domestik, yaitu: mencuci pakaian, memasak, belanja, 119
mengasuh anak, dan lain sebagainya. Sebaliknya laki-laki diberi label peran semata-mata dalam kegiatan publik, seperti: pencari nafkah utama, pengurus dan/atau anggota kelompok/organisasi kemasyarakatan dan politik. Dalam nilai gender, perempuan dan laki-laki dilabeli dengan warna kesukaan, barang-barang kesukaan, dan posisi pekerjaan kesukaan. Anak perempuan dilabeli suka warna merah muda, maka berbagai barang atau asesoris milik perempuan seperti meja, alat tulis, baju dan sebagainya selalu dipilihkan berwarna merah muda; sebaliknya anak laki-laki dilabeli suka warna biru, maka berbagai barang atau asesoris milik laki-laki seperti meja, alat tulis, baju dan sebagainya selalu dipilihkan berwarna biru. Dalam hal jenis barang-barang mainan seperti boneka, alat memasak, alat rias dan sebagainya lebih cocok dilabelkan sebagai mainan milik anak perempuan, sebaliknya mobil-mobilan, pesawat, pistol-pistolan dan sebagainya lebih cocok dilabelkan sebagai mainan milik anak laki-laki. Demikian juga dalam hal posisi pekerjaan, perempuan dilabelkan cocok pada pekerjaan yang levelnya di bawah laki-laki. Berkaitan dengan status gender dalam keluarga, masyarakat, dan negara laki-laki diberi label bekerja sebagai pimpinan seperti sebagai: kepala keluarga, kepala desa/kelurahan, pengurus organisasi, direktur perusahaan dan sebagainya. Sebaliknya perempuan diberi label bekerja hanya sebagai anggota pengikut dan partisipan pasif dalam beragam kegiatan tersebut. Apa yang terjadi tersebut memperlihatkan kekuasaan selalu berada dan beroperasi pada suatu ranah tertentu. Kurikulum menjadi perspektif penting dalam meneropong produksi dan sirkulasi pengetahuan di masyarakat. Di dalamnya 120
terdapat berbagai agen yang memiliki modal baik modal ekonomi, simbolik, maupun kultural. Kurikulum merupakan sebuah ranah pertarungan berbagai agen dengan habitus dan modalnya masing-masing untuk memperjuangkan berbagai modal yang diperjuangkannya. Kurikulum merupakan sebuah ruang dimana berbagai symbol diproduksi,didistribusikan kepada setiap agen. Kurikulum bukanlah alat kekuasaan dominan yang diterima secara taken for granted. Tetapi, kurikulum secara total membentuk sebuah ruang tempat berlangsungnya arena pertarungan guna memperebutkan posisi dominan yang diperjuangkan. 5.2 Interdiskursivitas: Negara dan Politisasi Identitas Ke-Indonesia-an Lahirnya kurikulum 2013 mengindikasikan terjadnya kontestasi yang menyebabkan ketidaksetaraan dalam pendistribusian berbagai kapital. Akibatnya, melahirkan posisi dominan dari agen tertentu. Dengan demikian, tidak dipungkiri selalu terkondisikan adanya kekerasan simbolik (symbolic violence) terhadap agen tertentu oleh kelompok dominan. Maka, kurikulum juga dapat dipahami sebagai mekanisme melahirkan kepatuhan dan penjinakkan kepada guru serta murid dari pihak-pihak lainnya. Kurikulum juga menjadi bentuk kontrol yang lebih langsung yang se ring menjadi sasaran perhatian kekerasan simbolik terhadap agen. Agenagen yang terlibat dalam kon testasi kurikulum sangat di ten tukan oleh kekuatan simbolik (symbolic power) yaitu kekuasaan dalam mengendalikan simbol dan mengkonstruksi realitas melalui simbol-simbol tersebut. Kurikulum 2013 muncul ditengah menguatnya wacana pendidikan karakter. Keprihatinan akan berbagai bentuk degradasi moral generasi muda, dan 121
pandangan tentang semakin maraknya intoleransi dalam masyarakat. Di sanalah titik penting tentang masuknya paradigma untuk semakin menginternalisasi nilainilai yang berbasis agama. Namun, dalam konteks tersebut, ternyata justeru terjadi generalisasi nilai-nilai agama dominan. Persoalan tentang konstruksi identitas nasional Indonesia semakin berbenturan dengan banyak aspek. Di satu sisi sekolah berupaya mempertahankan keindonesiaan yang bersifat klasik, namun di sisi lain, perkembangan zaman menuntut sebuah upaya untuk mendefinisikan ke-indnesiaan secara ulang. Dominasi dan hegemoni peran Negara yang mulai surut sejak jatuhnya rezim Orde Baru, konflik identitas yang merujuk pada etnis, ideologi, agama, dan kebudayaan terasa semakin mewujud. Terbukanya peluang mengekspresikan identitas tersebut diikuti pula benturan antar nilai yang menjadi landasan eksistensi identitas. Kurikulum 2013 tetap memiliki kecenderungan untuk menebalkan identitas sosial, politik, budaya, agama, etnis dari sebuah konstruksi identitas ke-indonesiaan. Kesenjangan sosial, ketidaksetaraan relasi, dominasi yang kuat, yang semuanya bermuara pada kemapanan struktur sosial ekonomi dan tata hubungan yang timpang. Kurikulum 2013 menunjukkan tanda-tanda sebagai kembalinya kontrol Negara dalam menyikapi menguatnya eksresi secara bebas identitasidentitas yang berkembang dalam masyarakat di ruang publik. 122
5.3 Saran Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi berbagai pihak yang berkepentingan, mulai dari formulasi kebijakan (policy maker) yang dalam hal ini adalah Dirjen Dikdasmen sampai pada illustrator yang secara teknis menghasilkan produk gambar ilustrasi sebagaimana yang dimaksud. Sehingga kehadiran gambar ilustrasi pada buku teks SD yang lebih berperspektif gender, kelas, dan etnisitas, sebagai upaya internalisasi semangat relasi kesetaraan melalui dunia pendidikan, khususnya pendidikan dasar. Identitas yang mesti dikonstruksi dalam pendidikan adalah identitas yang tidak hanya mencakup perasaan seetnis atau segologan, melainkan kesadaran antar etnis. Dalam konteks ini politisasi identitas nasional lebih diarahkan menuju identitas hybrid. Politisasi islam masuk melalui berbagai peraturan di tingkat lokal di berbagai propinsi di Indonesia mesti disikapi dengan bijak sebagai upaya meredam radikalisasi agama. Penelitian ini selanjutnya juga dapat membuka ruang-ruang penelitian lebih lanjut untuk melihat interaksi serta dialektika konstruksi identitas ke-indonesia-an dalam dunia pendidikan. Selain itu, penelitian ini menggunggah kesadaran pembaca untuk memaknai konstruksi identitas secara kritis. 123