BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang, banyaknya pengadaan fasilitas umum, perbaikan infrastruktur, pembangunanpembangunan dan pemekaran daerah yang dilakukan oleh pemerintah, hal ini tentu saja tidak bisa dilakukan tanpa adanya kontribusi langsung dari masyarakat. Salah satu contoh kontribusi langsung yang dilakukan masyarakat ialah dengan pembayaran pajak. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang- Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. 1 Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan terbesar bagi kas negara, yang mana sangat berpengaruh terhadap perkembangan perekonomian, melaui pajak yang diperoleh dari masyarakat, negara dapat membiayai berbagai program pemerintahan yang dilaksanakan untuk mensejahterakan rakyatnya. Untuk itu kesadaran dalam membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang telah diatur sangat penting dipahami oleh masyarakat. Data membuktikan hingga 31 Agustus 2015 penerimaan pajak mencapai Rp. 589,270 triliun, jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 1 Mardiasmo, 2005, Perpajakan (edisi revisi), Andi Ofset, Yogyakarta, hlm. 1 1
2 2014, realisasi penerimaan pajak pada tahun 2015 mengalami pertumbuhan yang sangat baik pada sektor tertentu. Penerimaan pajak penghasilan (Pph) Non migas, sebagai satu satunya jenis pajak yang bertumbuh, mencatatkan pertumbuhan 9,46% dibandingkan periode yang sama di tahun 2014. Berdasarkan data yang tercatat pada Direktorat Jendral Pajak (DJP) sampai dengan 31 Agustus 2015 penerimaan PPh non migas mencapai Rp. 320,997 triliun. Pertumbuhan PPh non migas merupakan suatu anomali ditengah penurunannya pertumbuhan sektor pajak lainnya, Pajak Penghasilan sebagai salah satu instument pertumbuhan kesejahteraan dan sisi kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak. 2 Berdasarkan data tersebut, kesadaran hukum masyarakat pada saat ini untuk membayar pajak termasuk tinggi. Salah satu contoh penerimaan pajak terbesar ialah dari Pajak Penghasilan non migas yaitu peralihan hak atas tanah dan bangunan. Peralihan hak atas tanah merupakan suatu Perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak dari suatu pihak ke pihak lain. Menurut peraturan perundang-undangan setiap pelaksanaan peralihan hak atas tanah dikenakan pajak, berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan yang menyatakan bahwa : Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang 2 Anonym, Rabu, 16 September 2015 14:55, Realisasi Penerimaan Pajakper 31 Agustus 2015, diakses dari http://www.pajak.go.id/content/realisasi-penerimaan-pajak-31-agustus- 2015, tanggal 26 Februari 2016 pukul 03.45 WIB
3 berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan bentuk apapun, termasuk :. Bagi pihak penjual dan pembeli yang mengalihkan hak atas tanahnya dikenakan pajak, berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan yaitu Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Jadi dalam perundang-undangan sudah jelas diatur bahwa setiap peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan pajak untuk penjual dan pembeli. Bagi pihak penjual dikenakan Pajak Penghasilan (yang selanjutnya disingkat PPh) yang diperoleh dari penjualan tanah dan/atau bangunan, sedangkan dari pihak pembeli dikenakan pajak berupa Bea Peroleha Hak Atas Tanah dan/atau bangunan (yang selanjutnya disingkat dengan BPHTB). Dalam hal pembayaran oleh pembeli berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Pajak yang terutang dibayar ke kas Negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh menteri dengan Surat Setor Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Dalam hal ini pembayaran oleh pembeli dapat dilakukan di Dinas Pendapatan Daerah (DISPENDA).
4 Peralihan hak atas tanah harus dibuat dihadapan PPAT berdasarkan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 : Peralihan hak atas tanah, yang dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan Peraturan Perundang Undangan yang berlaku. Demi menjaga kemungkinan agar tidak terjadinya penundaan pembayaran pajak, biasanya pembayaran pajak yang menjadi kewajiban penjual maupun pembeli dalam pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan tersebut dilakukan pada hari dan tanggal akta jual belinya ditandatangani oleh para pihak di hadapan PPAT, selain itu juga demi menjaga kepastian pembayaran pajak oleh para pihak. Sebagai bentuk pelayanan terhadap masyarakat maka PPAT menerima titipan pembayaran pajak BPHTB atau PPh dari para pihaknya untuk disetorkan. PPAT bertanggung jawab dalam jabatannya untuk menyetorkan pajak yang telah di titipkan padanya. Sebagai PPAT yang menjalankan jabatannya serta melaksanakan tugasnya diwajibkan memberikan pelayanan kepada para pihaknya dengan tetap menghormati dan menjunjung tinggi kode etik profesi serta senantiasa menghayati dan mengingat sumpah jabatannya. Peraturan yang dibuat pemerintah terkait pajak dalam hal ini peralihan hak atas tanah begitu lengkap, dengan begitu diharapkan dapat memudahkan masyarakat dalam pemenuhan pembayaran pajak. Namun, dalam prakteknya
5 ada saja masyarakat yang mencoba melakukan penghindaran pajak (tax avoidance) dengan cara tidak memberitahukan secara jujur tentang nilai transaksi kepada PPAT, akibat dari perbuatan tersebut maka instansi pemerintah akan memperlambat proses peralihan hak dan juga akibat perbuatan tersebut menimbulkan kecurigaan adanya kerjasama antara para pihak dengan PPAT dalam penghindaran pajak. Disamping itu ada juga para pihak yang jujur menyatakan nilai transaksi dan mengikuti sesuai prosedur yang ditetapkan pemerintah dengan mengatakan nilai transaksi yang sebenarnya kepada PPAT akan tetapi, pada saat berkas tersebut telah masuk ke Instansi perpajakan untuk di validasi, berkas tersebut di tolak. Pada pembayaran pajak tersebut ada dua instansi yang memegang peranan yaitu Kantor Pelayanan Pajak Pratama dan Dinas Pendapatan daerah (DISPENDA), kedua instansi ini bertugas melakukan validasi terhadap peralihan hak atas tanah. DISPENDA merupakan proses pertama dalam validasi, apabila lolos maka selanjutnya instansi berikutnya yaitu Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP Pratama). Setelah pajak penjual dan pembeli sudah di validasi oleh DISPENDA dan KPP Pratama, maka PPAT selanjutnya akan menerbitkan Akta Jual Beli (AJB). Dalam prakteknya apabila DISPENDA melakukan validasi belum tentu pada tahap selanjutnya yaitu KPP Pratama akan melakukan validasi nilai transaksi yang diajukan, dengan kata lain menolak terhadap nilai transaksi tersebut, padahal sesama Instansi Perpajakan seharusnya memiliki
6 standar atau kebijakan yang sama dalam penilaian objek pajak transaksi dan regulasi yang saling mendukung penetapan nilai pajak terhadap nilai transaksi. Pada peralihan hak atas tanah ini tentunya sudah memenuhi unsur Pasal 1320 KUHPerdata (asas konsensuil) dan sudah dilakukan di depan pejabat umum dalam hal ini PPAT, akan tetapi mengapa hal tersebut bisa dikesampingkan oleh instansi lain dan dinilai adanya usaha untuk menghindari pajak oleh para pihak dan PPAT. Apabila dalam pelaksanaan pembayaran pajak tersebut terdapat penghindaran pajak (tax Avoidance) oleh para pihak seperti yang terurai diatas tentu secara umum akan merugikan Pemerintah daerah dan juga PPAT yang membuat akta jual beli tersebut, karena bisa saja PPAT akan dituduh sebagai aktor intelektual dalam penghindaran pajak tersebut. Selanjutnya juga akan berpengaruh juga bagi citra PPAT yang akan berujung pada denda administratif atau bahkan sampai pada sanksi pidana yang akan di tanggung oleh PPAT tersebut. Dari uraian latar beakang diatas penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan terkait PERLINDUNGAN PPAT TERHADAP PERBEDAAN PENETAPAN VALIDASI PAJAK JUAL BELI PERALIHAN HAK ATAS TANAH OLEH DINAS PENDAPATAN DAERAH DAN KANTOR PELAYAN PAJAK PRATAMA DI KABUPATEN SLEMAN
7 B. Rumusan Masalah 1. Apa saja faktor penentu validasi pajak peralihan hak jual beli dalam praktek? 2. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi PPAT terhadap perbedaan penetapan validasi pajak jual beli peralihan hak atas tanah oleh Dinas Pendapatan Daerah Dengan dan Kantor Pelayan Pajak Pratama? C. Tujuan penelitian Tujuan yang diharapkan daripenelitian ini adalah : 1. Untuk menganalisis faktor-faktor penentu dalam validasi peralihan hak jual beli dalam praktek. 2. Untuk menganalisis perlindungan PPAT terhadap perbedaan penetapan validasi pajak jual beli peralihan hak atas tanah oleh Dinas Pendapatan Daerah dan Kantor Pelayan Pajak Pratama. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian ilmiah bagi akademisi, praktisi hukum serta perkembangan ilmu pengetahuan dibidang hukum khususnya di bidang Hukum Kenotariatan. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini dapat memberikan tambahan wawasan dan sumbangan pemikiran, khususnya bagi PPAT dalam pelaksanaan pembayaran Pajak Penghasilan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
8 serta masyarakat pada umumnya serta memberikan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan. E. Keaslian Peneltian Sebelum melakukan penelitian ini, penulis terlebih dahulu telah melakukan penulusuran kepustakaan, kemudian ditemukan beberapa penelitan mengenai PPAT dalam hubungannya dengan BPHTB, yaitu : 1. Judul Peranan dan Perlindungan PPAT dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Kota Yogyakarta, 3 dengan rumusan masalah sebagai berikut : 1) Bagaimana peran PPAT dalam pembayaran Bea Perolehan Hak Atas tanah dan/atau Bangunan? 2) Bagaimana Perlindungan hukum bagi PPAT yang melakukan pemungutan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas tanah dan/atau Bangunan dengan menggunakan NJOP PBB pada dasarnya? Penelitian ini mengkaji tentang peranan serta perlindungan terhadap PPAT dalam pemungutan pajak BPHTB dan juga pemungutan pembayaran menggunakan NJOP. Tesis ini menitik beratkan kepada perlindungan PPAT serta kajian terhadap Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan. 2. Judul Implementasi Dasar Besaran Pajak Penghasilan (PPh) Terhadap Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan yang dibuat oleh 3 Siddiq Muhammad, Program Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, 2012
9 PPAT di Kota Yogyakarta, 4 dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1) Bagaimanakah implementasi dasar besaran Pajak Penghasilan (PPh) terhadap pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dibuat oleh PPAT di kota Yogyakarta? 2) Apakah yang menjadi kendala dalam mengimplementasikan dasar besaran Pajak Penghasilan (PPh) terhadap pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dibuat oleh PPAT di kota Yogyakarta? Penelitian ini mengkaji tentang regulasi peraturan mengenai penetapan besaran Pajak Penghasilan atas Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan yang dibuat dihadapan PPAT. Tesis ini menitik beratkan terhadap kajian mengenai Pajak Penghasilan dan juga peranan PPAT. Berdasarkan penelitian diatas terdapat kesamaan yaitu mengenai peranan PPAT dalam peralihan hak atas tanah dan juga sebagai pejabat yang berwenang, dan juga terdapat kesamaan mengenai kajian terhadap Pajak Peralihan Hak atas Tanah, akan tetapi yang menjadi perbedaan tesis ini diantara kedua tesis tersebut ialah tesis ini mengkaji tentang kebijakan penentuan pajak dalam hal ini validasi jual beli Peralihan Hak Atas Tanah yang di tetapkan oleh dua instansi yang berbeda sehingga dalam prakteknya sering terjadi perbedaan 4 Vita Damrsari Mardi Astuti, Program Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, 2011
10 penilaian terhadap objek peralihan hak atas tanah yang berdampak bagi PPAT dan juga para pihak. Berdasarkan penelitian kepustakaan, khususnya di lingkungan perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada penulis tidak menemukan tesis karya mahasiswa yang mengangkat tema dan judul yang sama dan belum pernah dilaksanakan oleh peneliti lain, dengan demikian penulis berpendapat bahwa penelitian ini adalah asli. Namun demikian, sekiranya pernah dilakukan penelitian-penelitian terdahulu yang membahas mengenai perlindungan PPAT dan Penetapan PPh dan BPHTB maka penelitian-penelitian terdahulu tersebut jelas sangat bermanfaat bagi penelitian ini, besar kemungkinan bahwa pada bagian tertentu pada penelitian ini juga merupakan kelanjutan dari penelitian tersebut dan semoga penelitian ini dapat melengkapinya.