Gambar IV-1. Perbandingan Nilai Korelasi Antar Induk Wavelet Pada Daerah Homogen Untuk Level Dekomposisi Pertama

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV ANALISIS. Tabel IV-1 Perbandingan Nilai Korelasi Antar Induk Wavelet pada Daerah Homogen. Wavelet

BAB III PENGOLAHAN DATA

Pencocokan Citra Digital

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB III PENGOLAHAN DATA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III PENGOLAHAN DATA

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at:

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I. Pendahuluan I.1 Latar Belakang

EKSTRAKSI JALAN SECARA OTOMATIS DENGAN DETEKSI TEPI CANNY PADA FOTO UDARA TESIS OLEH: ANDRI SUPRAYOGI NIM :

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS

BAB II Tinjauan Pustaka

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan 4.2 Analisis Terhadap Peta Rupabumi yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at:

Konvolusi. Esther Wibowo Erick Kurniawan

Suatu proses untuk mengubah sebuah citra menjadi citra baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara.

BAB 1 PENDAHULUAN. berkaitan dengan pemprosesan sinyal suara. Berbeda dengan speech recognition

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

SAMPLING DAN KUANTISASI

Pendekatan Statistik Pada Domain Spasial dan Frekuensi untuk Mengetahui Tampilan Citra Yustina Retno Wahyu Utami 1)

KONSEP DASAR PENGOLAHAN CITRA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Jurusan Ilmu Komputer Fakultas Matematika dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Timor Leste terletak di antara garis lintang 8 dan 10 S, dan bujur 124

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Analisa Suara Jantung Normal Menggunakan Discrete Wavelet Transform (DWT) dan Fast Fourier Transform (FFT)

Pemampatan Citra. Esther Wibowo Erick Kurniawan

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN PROGRAM

Melalui persamaan di atas maka akan terbentuk pola radargram yang. melukiskan garis-garis / pola pendekatan dari keadaan yang sebenarnya.

1. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 3 PENGENALAN KARAKTER DENGAN GABUNGAN METODE STATISTIK DAN FCM

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dicolokan ke komputer, hal ini untuk menghindari noise yang biasanya muncul

BAB III ANALISIS DAN PERANCANGAN SISTEM

KULIAH 2 TEKNIK PENGOLAHAN CITRA HISTOGRAM CITRA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Otot adalah sebuah jaringan konektif dalam tubuh dengan tugas utamanya

Operasi-operasi Dasar Pengolahan Citra Digital

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

Pengolahan Citra Digital: Peningkatan Mutu Citra Pada Domain Spasial

Gambar 13 Pembangkitan ROI Audio dari 4.wav Dimulai dari Titik ke i = 1,2,,2L K, j = 1,2,,2 p.

Gambar 2.1 Perkembangan Alat Restitusi (Dipokusumo, 2004)

PENGENALAN POLA SIDIK JARI BERBASIS TRANSFORMASI WAVELET DAN JARINGAN SYARAF TIRUAN BACKPROPAGATION

Pendahuluan. Dua operasi matematis penting dalam pengolahan citra :

Epilog & Daftar Pustaka

ANALISA PERBANDINGAN METODE VEKTOR MEDIAN FILTERING DAN ADAPTIVE MEDIAN FILTER UNTUK PERBAIKAN CITRA DIGITAL

BAB II LANDASAN TEORI

KOMPRESI CITRA MEDIS MENGGUNAKAN METODE WAVELET

Distribusi Frekuensi

KAJIAN PENCOCOKAN CITRA (IMAGE MATCHING) SETELAH FILTERISASI DENGAN TRANSFORMASI WAVELET SATU DIMENSI

Kata kunci: Fourier, Wavelet, Citra

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN PROGRAM APLIKASI

GRAFIK KOMPUTER DAN PENGOLAHAN CITRA. WAHYU PRATAMA, S.Kom., MMSI.

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 3 ANALISA DAN PERANCANGAN

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. a. Spesifikasi komputer yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Pengembangan Aplikasi Presensi Sidik Jari dengan menggunakan Alihragam Wavelet dan Jarak Euclidean di Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

PERANCANGAN DAN PEMBUATAN PERANGKAT LUNAK KLASIFIKASI TEKSTUR DENGAN MENGGUNAKAN ANALISA PAKET WAVELET

7.7 Pelembutan Citra (Image Smoothing)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

Modifikasi Histogram

BAB II IDENTIFIKASI DAERAH TERKENA BENCANA MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH

Karakteristik Spesifikasi

REFERENSI. Dipokusumo, Bobby Diktat Kuliah Fotogrametri. Bandung : Penerbit ITB, 2004.

Analisa Hasil Perbandingan Metode Low-Pass Filter Dengan Median Filter Untuk Optimalisasi Kualitas Citra Digital

(IMAGE ENHANCEMENT) Peningkatan kualitas citra di bagi menjadi dua kategori yaitu :

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Meter Air. Gambar 2.1 Meter Air. Meter air merupakan alat untuk mengukur banyaknya aliran air secara terus

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN DAN PERANCANGAN SISTEM

Pemampatan Citra Pemampatan Citra versus Pengkodean Citra

IDENTIFIKASI SIDIK JARI MENGGUNAKAN DISCRETE WAVELET TRANSFORM DAN CANBERRA DISTANCE

KOMPRESI CITRA. Pertemuan 12 Mata Pengolahan Citra

BAB 3 PERUMUSAN PENELITIAN. Signal. Sparse Coding. Reconstruction. Reconstructed. Assessment

BAB III METODE YANG DIUSULKAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian terkait Gunung Merapi merupakan hal yang menarik untuk dilakukan. Berbagai metode digunakan untuk

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TI JAUA PUSTAKA

MATEMATIKA DI BALIK CITRA DIGITAL

ABSTRAK. PDF created with FinePrint pdffactory Pro trial version

BAB IV PREPROCESSING

BAB 3 ANALISA DAN PERANCANGAN

BAB II LANDASAN TEORI. Pengolahan Citra adalah pemrosesan citra, khususnya dengan menggunakan

EKSTRAKSI CIRI CITRA TELAPAK TANGAN DENGAN ALIHRAGAM GELOMBANG SINGKAT HAAR MENGGUNAKAN PENGENALAN JARAK EUCLIDEAN

Watermarking dengan Metode Dekomposisi Nilai Singular pada Citra Digital

Transkripsi:

BAB IV ANALISIS IV.1 Analisis Terhadap Hasil Pengolahan Data Gambar IV-1 menunjukkan peningkatan nilai korelasi dari sebelum transformasi wavelet dengan setelah transformasi wavelet pada level dekomposisi pertama. Peningkatan terbesar adalah saat menggunakan induk wavelet daubechies 2. Dari aspek waktu pengolahan antar induk wavelet tidak memiliki perbedaan yang besar dengan kisaran perbedaan ± 1 detik. Hasil semua induk wavelet di bawah batas nilai 0.7 dan nilai korelasi hasil transformasi wavelet lebih besar dari hasil sebelum transformasi wavelet. Gambar IV-1. Perbandingan Nilai Antar Induk Pada Daerah Homogen Untuk Level Dekomposisi Pertama Tabel IV-1. Perbandingan Nilai Dan Waktu Pengolahan Antar Induk Pada Daerah Homogen Untuk Level Dekomposisi Pertama Induk Sebelum Pasca Waktu Pengolahan (detik) HAAR 0.471 0.560 34.12 DB2 0.471 0.576 36.51 DB3 0.471 0.574 36.62 DB4 0.471 0.549 38.69 DB5 0.471 0.535 39.44 23

Gambar IV-2 menunjukkan peningkatan nilai korelasi dari sebelum transformasi wavelet dengan setelah transformasi wavelet pada level dekomposisi kedua. Peningkatan terbesar adalah saat menggunakan induk wavelet daubechies-2. Dari aspek waktu pengolahan antar induk wavelet tidak memiliki perbedaan yang besar dengan kisaran perbedaan ± 1 detik. Hasil semua induk wavelet di ambang batas nilai 0.7. Nilai korelasi daubechies-2 dan daubechies-3 bernilai 0.99 sehingga diasumsikan sangat cocok antar citra kiri dan citra kanan. Jika dibandingkan dengan hasil level dekomposisi pertama, maka didapatkan nilai korelasi yang lebih besar pada level dekomposisi kedua dengan perbedaan nilai korelasi rata-rata 0.25 dan perbedaan waktu pengolahan ± 14.5 detik. Gambar IV-2. Perbandingan Nilai Antar Induk Pada Daerah Homogen Untuk Level Dekomposisi Kedua Tabel IV-2. Perbandingan Nilai Dan Waktu Pengolahan Antar Induk Pada Daerah Homogen Untuk Level Dekomposisi Kedua Induk Sebelum Pasca Waktu Pengolahan (detik) HAAR 0.471 0.712 46.815 DB2 0.471 0.997 51.799 DB3 0.471 0.993 51.624 DB4 0.471 0.697 53.361 DB5 0.471 0.664 54.469 24

Gambar IV-3 menunjukkan peningkatan nilai korelasi dari sebelum transformasi wavelet dengan setelah transformasi wavelet pada level dekomposisi kedua. Peningkatan terbesar adalah saat menggunakan induk wavelet daubechies-2, daubechies-3 dan daubechies-4 dengan nilai korelasi 0.99. Dari aspek waktu pengolahan antar induk wavelet tidak memiliki perbedaan yang besar dengan kisaran perbedaan ± 1 detik. Hasil semua induk wavelet di ambang batas nilai 0.7. Nilai korelasi daubechies-2, daubechies-3 dan daubechies-4 bernilai 0.99 sehingga diasumsikan sangat cocok antar citra kiri dan citra kanan. Jika dibandingkan dengan hasil level dekomposisi pertama, maka didapatkan nilai korelasi yang lebih besar pada level dekomposisi kedua dengan perbedaan rata-rata 0.11 dan perbedaan waktu pengolahan ± 14.5 detik. Gambar IV-3. Perbandingan Nilai Antar Induk Pada Daerah Homogen Untuk Level Dekomposisi Ketiga Tabel IV-3. Perbandingan Nilai Dan Waktu Pengolahan Antar Induk Pada Daerah Homogen Untuk Level Dekomposisi Ketiga Induk Sebelum Pasca Waktu Pengolahan (detik) HAAR 0.471 0.874 59.981 DB2 0.471 0.999 65.818 DB3 0.471 0.999 66.070 DB4 0.471 0.992 68.425 DB5 0.471 0.768 70.206 25

Gambar IV-4 menunjukkan peningkatan nilai korelasi dari sebelum transformasi wavelet dengan setelah transformasi wavelet pada level dekomposisi kedua. Peningkatan terbesar adalah saat menggunakan induk wavelet haar. Dari aspek waktu pengolahan antar induk wavelet tidak memiliki perbedaan yang besar dengan kisaran perbedaan ± 1 detik. Hasil semua induk wavelet memiliki nilai korelasi ± 0.9.. Nilai korelasi sebelum dan sesudah transformasi wavelet bernilai lebih besar dari 0.7 sehingga diasumsikan sangat cocok antar citra kiri dan citra kanan. Nilai peningkatan nilai korelasi citra heterogen karena areaheterogen memiliki keunikan antar pixelnya sehingga lebih mudah untuk identifikasi perbedaan setiap area yang dikorelasikan. Gambar IV-4. Perbandingan Nilai Antar Induk Pada Daerah Heterogen Untuk Level Dekomposisi Pertama Tabel IV-4. Perbandingan Nilai Dan Waktu Pengolahan Antar Induk Untuk Level Dekomposisi Pertama Induk Sebelum Pasca 26 Waktu Pengolahan HAAR 0.884402 0.916712 34.56542 DB2 0.884402 0.916549 37.27629 DB3 0.884402 0.912577 38.05763 DB4 0.884402 0.904852 39.70449 DB5 0.884402 0.901407 40.91529

Gambar IV-5 menunjukkan peningkatan nilai korelasi dari sebelum transformasi wavelet dengan setelah transformasi wavelet pada level dekomposisi kedua. Peningkatan terbesar adalah saat menggunakan induk wavelet daubechies-2 dengan nilai korelasi 0.97 namun nilai tersebut tidak siknifikan karena nilai korelasi induk wavelet lainnya diatas 0.9. Dari aspek waktu pengolahan antar induk wavelet tidak memiliki perbedaan yang besar dengan kisaran perbedaan ± 2 detik. Jika dibandingkan dengan hasil level dekomposisi pertama, maka didapatkan nilai korelasi yang lebih besar pada level dekomposisi kedua dengan perbedaan rata-rata 0.03 dan perbedaan waktu pengolahan ± 15 detik. Gambar IV-5. Perbandingan Nilai Antar Induk Pada Daerah Heterogen Untuk Level Dekomposisi Kedua Tabel IV-5. Perbandingan Nilai Dan Waktu Pengolahan Antar Induk Pada Daerah Heterogen Untuk Level Dekomposisi Kedua Induk Sebelum Pasca Waktu Pengolahan (detik) HAAR 0.884402 0.957432 47.72503 DB2 0.884402 0.971963 52.67186 DB3 0.884402 0.948687 53.32626 DB4 0.884402 0.92168 55.26158 DB5 0.884402 0.940827 56.60491 27

Gambar IV-6 menunjukkan peningkatan nilai korelasi dari sebelum transformasi wavelet dengan setelah transformasi wavelet pada level dekomposisi kedua. Peningkatan terbesar adalah saat menggunakan induk wavelet daubechies-2 dan daubechies-3 dengan nilai korelasi 0.99. Dari aspek waktu pengolahan antar induk wavelet memiliki perbedaan yang besar dengan kisaran ± 3 detik. Nilai korelasi hasil transformasi memiliki nilai 0.9 sehingga diasumsikan sangat cocok antar citra kiri dan citra kanan. Jika dibandingkan dengan hasil level dekomposisi kedua, maka didapatkan nilai korelasi yang lebih besar pada level dekomposisi kedua dengan perbedaan ratarata 0.01 dan perbedaan waktu pengolahan ± 14 detik. Gambar IV-6. Perbandingan Nilai Antar Induk Pada Daerah Heterogen Untuk Level Dekomposisi Ketiga Tabel IV-6. Perbandingan Nilai Dan Waktu Pengolahan Antar Induk Pada Daerah Heterogen Untuk Level Dekomposisi Ketiga Induk Sebelum Pasca 28 Waktu Pengolahan (detik) HAAR 0.884402 0.947948 60.40957 DB2 0.884402 0.992412 65.53457 DB3 0.884402 0.992166 67.36721 DB4 0.884402 0.952732 70.65657 DB5 0.884402 0.944979 71.98701

Perbandingan hasil korelasi pada kolom data hasil korelasi dan data validasi terhadap induk wavelet pada citra homogen level dekomposisi pertama menunjukkan bahwa hasil korelasi transformasi wavelet hampir sama dengan korelasi sebelum transformasi wavelet. Perbandingan hasil korelasi pada baris data hasil korelasi dan data validasi terhadap induk wavelet pada citra homogen menunjukkan bahwa hasil korelasi transformasi wavelet lebih tinggi dari korelasi sebelum transformasi wavelet. Nilai terdekat dengan nilai validasi untuk citra homogen dengan level dekomposisi pertama adalah induk wavelet haar dan daubechies-2. Untuk selisih nilai kolom validasi, induk wavelet daubechies-3, daubechies-4 dan daubechies-5 memiliki nilai yang lebih rendah dari korelasi sebelum transformasi wavelet. Kolom Baris Gambar IV-7. Perbandingan data hasil korelasi dan data validasi terhadap induk wavelet pada citra homogen pada level dekomposisi pertama Perbandingan hasil korelasi pada baris data hasil korelasi dan data validasi terhadap induk wavelet pada citra homogen hasil dekomposisi level kedua menunjukkan bahwa hasil korelasi transformasi wavelet lebih tinggi dari korelasi sebelum transformasi wavelet untuk beberapa induk wavelet. Nilai terdekat dengan nilai validasi untuk citra homogen dengan level dekomposisi kedua adalah induk wavelet daubechies-3 dan daubechies-4. Untuk selisih nilai kolom validasi, induk wavelet haar dan daubechies-2 memiliki nilai yang lebih rendah dari korelasi sebelum transformasi wavelet. Selisih yang dihasilkan level dekomposisi kedua lebih kecil dari hasil level dekomposisi pertama yaitu perbedaan ± 5 pixel untuk baris maupun kolom. 29

Kolom Baris Gambar IV-8. Perbandingan data hasil korelasi dan data validasi terhadap induk wavelet pada citra homogen pada level dekomposisi kedua Perbandingan hasil korelasi pada baris data hasil korelasi dan data validasi terhadap induk wavelet pada citra homogen hasil dekomposisi level kedua menunjukkan bahwa hasil korelasi transformasi wavelet lebih tinggi pada bagian kolom dan perbandingan validasi pada baris lebih rendah untuk bagian kolom. Hasil keseluruhan pada level dekomposisi ketiga lebih rendah dari level dekomposisi pertama dan kedua. Kolom Baris Gambar IV-9. Perbandingan data hasil korelasi dan data validasi terhadap induk wavelet pada citra homogen pada level dekomposisi ketiga 30

Perbandingan hasil korelasi pada baris data hasil korelasi dan data validasi terhadap induk wavelet pada citra homogen hasil dekomposisi level kedua menunjukkan bahwa hasil korelasi transformasi wavelet lebih tinggi dari nilai validasi sebelum transformasi wavelet. Induk wavelet dengan selisih nilai terkecil adalah induk wavelet daubechies-4 dengan perbedaan ± 2 pixel. Nilai validasi yang dihasilkan citra heterogen lebih baik daripada nilai validasi yang dihasilkan citra homogen. Perbedaan antara hasil maksimal dari citra homogen dengan citra heterogen ± 4 pixel. Gambar IV-10. Perbandingan data hasil korelasi dan data validasi terhadap induk wavelet pada citra heterogen pada level dekomposisi pertama Perbandingan hasil korelasi pada baris data hasil korelasi dan data validasi terhadap induk wavelet pada citra homogen hasil dekomposisi level kedua menunjukkan bahwa hasil korelasi transformasi wavelet lebih tinggi dari korelasi sebelum transformasi wavelet untuk beberapa induk wavelet. Nilai terdekat dengan nilai validasi untuk citra homogen dengan level dekomposisi kedua adalah induk wavelet daubechies-2 dan daubechies-3. Untuk selisih nilai baris validasi, induk wavelet daubechies-4 dan daubechies-5 memiliki nilai yang lebih rendah dari korelasi sebelum transformasi wavelet. Hasil yang diperoleh level dekomposisi kedua lebih baik dari nilai korelasi yang diperoleh level dekomposisi pertama. 31

Gambar IV-11. Perbandingan data hasil korelasi dan data validasi terhadap induk wavelet pada citra heterogen pada level dekomposisi kedua Perbandingan hasil korelasi pada baris data hasil korelasi dan data validasi terhadap induk wavelet pada citra homogen hasil dekomposisi level ketiga menunjukkan bahwa hasil korelasi transformasi wavelet lebih tinggi dari korelasi sebelum transformasi wavelet untuk beberapa induk wavelet. Nilai terdekat dengan nilai validasi untuk citra homogen dengan level dekomposisi kedua adalah induk wavelet daubechies-2 dan daubechies-3. Secara keseluruhan hasil validasi level dekomposisi ketiga lebih kecil dari hasil dekomposisi pertama dan ketiga. Gambar IV-12. Perbandingan data hasil korelasi dan data validasi terhadap induk wavelet pada citra heterogen pada level dekomposisi ketiga 32

Perbandingan hasil korelasi pada kolom data hasil korelasi dan data validasi terhadap besar citra pencarian pada citra homogen menunjukkan bahwa hasil korelasi transformasi wavelet lebih kecil dengan korelasi sebelum transformasi wavelet kecuali pada besar citra pencarian 21x21 pixel dengan perbedaan 2 pixel. Perbandingan hasil korelasi pada baris data hasil korelasi dan data validasi terhadap level dekomposisi pada citra heterogen menunjukkan bahwa hasil korelasi transformasi wavelet hasil korelasi transformasi wavelet juga lebih besar dengan korelasi sebelum transformasi wavelet. Kolom Baris Gambar IV-13. Perbandingan data hasil korelasi dan data validasi terhadap besar citra pencarian pada citra homogen Perbandingan hasil korelasi pada kolom data hasil korelasi dan data validasi terhadap besar citra pencarian pada citra homogen menunjukkan bahwa hasil korelasi transformasi wavelet hampir sama dengan hasil korelasi sebelum transformasi wavelet. Perbandingan hasil korelasi pada baris data hasil korelasi dan data validasi terhadap level dekomposisi pada citra heterogen menunjukkan bahwa hasil korelasi transformasi wavelet hasil korelasi transformasi wavelet juga hampir sama dengan korelasi sebelum transformasi wavelet. 33

Kolom Baris Gambar IV-14. Perbandingan data hasil korelasi dan data validasi terhadap besar citra pencarian pada citra heterogen IV.2 Analisis Perbandingan Nilai wavelet secara keseluruhan meningkatkan nilai korelasi baik untuk citra homogen dan citra heterogen. Induk wavelet yang menghasilkan nilai korelasi terbaik adalah daubechies-3 untuk citra homogen dan heterogen pada semua level dekomposisi. Sedangkan pada perbandingan dengan nilai validasi induk wavelet daubechies-3 lebih dekat 1 pixel ke arah kolom pada citra heterogen untuk semua level dekomposisi. Secara keseluruhan daubechies-2 dan daubechies-3 memiliki nilai korelasi dan hasil validasi yang hampir sama. Hal ini dapat disebabkan karakteristik sinyal pada daerah penelitian mendekati karakter sinyal yang dibentuk induk wavelet daubechies-2 dan daubechies-3. Secara keseseluruhan transformasi wavelet belum bisa mendekati nilai validasi secara sempurna, yaitu berkisar ± 6 pixel untuk citra homogen dan ± 2 pixel umtuk citra heterogen. Sehingga hasil korelasi transformasi wavelet masih belum memadai untuk otomasi pencocokan citra dan membutuhkan metode tambahan untuk lebih mendekatkan hasil pencocokan citra. Induk wavelet daubechies-2 dan daubechies-3 dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keberhasilan pencocokan citra pada lokasi penelitian. Nilai validasi bukan nilai yang absolut karena bisa terdapat kesalahan operator dalam mengekstraksi data, sehingga masih terdapat kemungkinan posisi hasil transformasi wavelet lebih dekat menuju nilai sebenarnya atau lebih jauh dari nilai sebenarnya. 34

Kenaikan level dekomposisi meningkatkan nilai korelasi setiap kenaikan level dekomposisi. Namun saat dibandingkan dengan nilai validasi, level dekomposisi kedua memiliki selisih yang paling dekat dibandingkan level dekomposisi pertama dan ketiga. Hal ini dimungkinkan karena pada level dekomposisi pertama, sinyal masih dalam bentuk asli atau masih belum terurai menjadi frekuensi rendah dan frekuensi tinggi. Frekuensi tinggi dalam berbagai literatur diasumsikan sebagai derau (noise) sehingga pada level dekomposisi pertama masih memiliki derau yang menganggu proses pencocokan citra. Sedangkan pada level ketiga kenaikan selisih dengan nilai validasi disebabkan karena transformasi wavelet semakin menurunkan resolusi spasial setiap kenaikan level dekomposisi. SCA dan SCP pada penelitian ini 11x11 pixel, pada level kedua menjadi setengah resolusi citra awal yaitu 5x5 pixel dan pada level dekomposisi ketiga menjadi setengah resolusi citra hasil aproksimasi level kedua yaitu 2x2 pixel. Detail pada level dekomposisi ketiga banyak yang hilang sehingga menghilangkan keunikan dari citra hasil aproksimasi transformasi wavelet. Hilangnya keunikan dari citra dapat menyebabkan probabilitas kesamaan pada citra kiri dan kanan semakin besar sehingga posisi hasil pencocokan citra menjadi lebih menyebar. Penurunan resolusi citra ini merupakan masalah dari transformasi wavelet karena terdapat proses downsampling saat meng-aproksimasi level dekomposisi selanjutnya. Besar citra pencarian juga ikut meningkatkan niali korelasi, namun nilai terdekat dengan hasil validasi adalah pada besar citra pencarian 21x21 pixel yaitu ± 2 pixel. Keberhasilan pencocokan citra pada CP sebesar 21x21 dapat disebababkan area yang dicocokan lebih kecil sehingga probabilitas kecocokan citra menjadi lebih kecil. Pada CP yang lebih besar dari 21x21 pixel bisa terdapat area yang memiliki karakteristik spasial dan sinyal yang mirip tetapi merupakan objek yang berbeda. Area yang mirip tersebut dapat dianggap sebagai area yang sama pada citra yang bertampalan. Citra homogen dari sebelum transformasi wavelet menjadi lebih besar rentang histogram citranya setelah tanrsformasi wavelet sehingga keunikan dari citra dapat ditonjolkan (Gambar IV-15). Namun pada citra homogen penuh atau rentang derajat keabuan-nya sama akan sulit dicocokan karena keunikan pada area citra homogen tersebut tidak ada. Secara keseluruhan setiap kenaikan level akan semakin meningkatkan rentang histogram. Pencocokan dengan 35

transformasi wavelet dilakukan dengan mencocokan sinyal frekuensi pada citra kiri dan citra kanan sehingga detail citra dapat diekstrak untuk dikorelasikan. Citra heterogen dari sebelum transformasi wavelet menjadi lebih kontras secara spasial setelah transformasi wavelet (Gambar IV-18). Rentang histogram citra juga lebih melebar sehingga keunikan dari citra kiri dan citra kanan dapat ditonjolkan. Seperti pada citra heterogen setiap kenaikan level akan semakin meningkatkan rentang histogram citra dan pencocokan citra dengan transformasi wavelet dilakukan dengan mencocokan sinyal frekuensi citra kiri dan citra kanan. Secara keseluruhan tranformasi wavelet dapat meningkatkan keberhasilan pencocokan citra. Gambar IV-15. Hasil transformasi wavelet pada level dekomposisi pertama dengan daubechies-2 pada citra homogen 36

Gambar IV-16. Hasil transformasi wavelet pada level dekomposisi kedua dengan daubechies-2 pada citra homogen Gambar IV-17. Hasil transformasi wavelet pada level dekomposisi ketiga dengan daubechies-2 pada citra homogen 37

Gambar IV-18. Hasil transformasi wavelet pada level dekomposisi pertama dengan daubechies-2 pada citra heterogen Gambar IV-19. Hasil transformasi wavelet pada level dekomposisi kedua dengan daubechies-2 pada citra heterogen 38

Gambar IV-20. Hasil transformasi wavelet pada level dekomposisi ketiga dengan daubechies-2 pada citra heterogen IV.3 Analisis Perbandingan Waktu Pengolahan Induk wavelet tidak mempengaruhi waktu pengolahan terlalu besar, antar induk wavelet tidak memiliki perbedaan waktu pengolahan yang besar dengan kisaran perbedaan ± 2 detik. Sedangkan waktu pengolahan antar level dekomposisi meningkat ± 15 detik untuk setiap kenaikan level. Besar citra pencarian mempengaruhi lamanya waktu pengolahan, setiap peningkatan besar citra didapatkan kenaikan sekitar 100% dari besar citra pencarian yang lebih kecil. Perbedaan waktu pengolahan antar induk wavelet dapat disebabkan karena model induk wavelet yang berbeda-beda. Hal ini dapat menyebabkan proses penjendelaan dengan melibatkan perubahan skala dan translasi menjadi berbeda-beda. Waktu pengolahan pada induk wavelet haar dapat lebih cepat karena memiliki model yang lebih sederhana, berbeda dengan daubechies yang lebih rumit proses transformasi wavelet-nya. Waktu pengolahan setiap kenaikan level dekomposisi meningkat ± 15 detik. Peningkatan waktu tersebut disebabkan saat penurunan level dekomposisi transformasi wavelet harus menguraikan sinyal asli menjadi frekuensi rendah dan frekuensi tinggi. Penguraian tersebut di- 39

iterasi sampai level dekomposisi terakhir dilakukan. Sehingga harus ditentukan level dekomposisi yang optimal untuk pengolahan data dan memiliki resolusi spasial yang cukup untuk mengkorelasikan citra foto yang bertampalan. Perbedaan besar citra pencarian juga meningkatkan waktu pengolahan hingga 100%, untuk peningkatan besar citra pencarian 10x10 pixel. Perbedaan ini disebabkan bertambahnya total pergerakan SCA pada CP. Untuk CP dengan besar 21x21 pixel didapatkan total 121 kali pergeseran dan total pergerakan 441 kali pergeseran pada CP 31x31 pixel, 961 kali pergeseran pada CP 41x41 pixel, 1681 kali pergeseran pada CP 51x51 pixel, dan 2601 kali pergeseran pada CP 61x61 pixel. Sehingga semakin besar citra pencarian akan semakin memperlama waktu pengolahan data. 40