UPAYA REKONSTRUKSI METODOLOGIS Oleh: Dr H Fuad Thohari, MA* Pendahuluan Diskursus bulan Qamariyah, terutama penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah merupakan persoalan klasik yang senantiasa aktual Klasik karena persoalan ini semenjak masa awal Islam sudah mendapatkan perhatian dan pemikiran cukup serius dari pakar hukum Islam (Fuqaha ) karena terkait erat dengan pelbagai ibadah dan melahirkan pendapat yang bervariasi Disebut aktual karena hampir di setiap tahun terutama menjelang bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah persoalan ini selalu muncul dan mengundang polemik sehingga nyaris mengancam pilar kesatuan dan persatuan umat Islam 1 Berdasarkan keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Kamis (23/07/2009) melalui Maklumat Nomor : 06/MLM/I0/E/2009, 1 Syawwal 1430 H jatuh pada hari Ahad Legi tanggal 20 September 2009 PP PERSIS, berdasarkan Surat Edaran bernomor 2015/JJ-C3/PP/2009 yang merujuk kepada Almanak Persis tahun 1430 H sebagai hasil perhitungan dan Rukyat Persis, isinya menetapkan: Iedul Fithri 1430 H; tanggal 1 Syawwal 1430 H jatuh pada hari Ahad, tanggal 20 September 2009 M Ijtimak akhir Ramadhan 1430 H, hari Sabtu tanggal 19 September 2009 pukul 0145 42 WIB Ketinggian Hilal waktu Maghrib di Pelabuhan Ratu: 5 24 8,3, di Jayapura 3 28 14,0 Bagaimana dengan pandangan PBNU? Keputusan PBNU yang dirilis situs resmi PBNU, kepastian hari raya Idul Fitri atau tanggal 1 Syawal 1430 H masih menunggu hasil ul hilal yang diadakan pada saat Matahari terbenam pada 29 Ramadhan atau 19 September 2009 Hasil ul hilal ini kemudian dilaporkan dalam Sidang Itsbat atau penetapan bersama Departemen Agama 1 / 12
Data dalam Almanak PBNU yang diterbitkan Pengurus Pusat Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) untuk Markaz Jakarta menunjukkan, posisi hilal atau bulan sabit pada saat diadakan ul hilal sudah mencapai ketinggian 5,38 derajat di atas ufuk Berdasarkan kriteria imkanur rukyah atau visibilitas pengamatan, hilal dalam ketinggian itu sudah mungkin untuk di Jika dapat di, dipastikan sidang itsbat akan menetapkan umur Ramadhan hanya 29 hari dan 1 Syawal jatuh pada hari Ahad tanggal 20 September 2009 Namun demikian, berbagai kemungkinan masih terjadi Jika hilal tidak terlihat, misalnya karena terhalang awan, akan dipakai kaidah istikmal atau penyempurnaan umur bulan Ramadhan menjadi 30 hari sehingga tanggal 1 Syawal akan jatuh pada hari berikutnya, Senin 21 September 2009 Tanggal 1 Ramadhan tahun 1430 H ini, jatuh pada hari Sabtu/tanggal 22 Agustus 2009 M, di mana umat Islam di Indonesia serempak memulai ibadah puasa Ramadhan 1430 H Kebersamaan ini mesti disyukuri, mengingat bangsa Indonesia tengah diancam disintegrasi, dan semakin rentannya pilar kesatuan beberapa ormas Islam akibat kepentingan politis Bukankah sangat mungkin akan muncul persoalan baru dan mengundang polemik yang tidak perlu, apabila penentuan awal Ramadhan dan hari Raya Idul Fitri tahun 1430 H ini tidak seragam, sebagaimana sering terjadi pada beberapa tahun lalu? Memang, selama sistem penanggalan Islam dengan muatan waktu ibadah yang disepakati dunia Internasional belum ada, pembicaraan mengenai penetapan awal bulan Islam (Qamariah ) terus akan mengemuka Diskursus ini, biasanya terfokus pada penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah Karena dalam ke tiga bulan tersebut, terdapat jadual ibadah umat Islam di seluruh dunia Kondisi ini acap kali sebagai pemicu beragamnya pelaksanakan awal Ramadhan dan hari Raya, yang dalam prakteknya menggunakan kalender bulan Qamariah berdasarkan penampakan hilal (bulan sabit pertama) sesaat matahari terbenam 2 2 / 12
Paradigma Metodologis Data historis mengenai penetapan awal Ramadhan --sebagaimana diungkap dalam beberapa riwayat Hadis-- diilustrasikan begitu sederhana sesuai kondisi riil masyarakat Arab yang tidak mengerti ilmu Astronomi dan Matematika, dan bahkan mayoritas buta huruf 3 Rosulullah saw telah membuat pedoman bagi umat Islam di Madinah pada tahun ke-2 Hijrah dan seterusnya, tentang cara memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan yang dilanjutkan dengan hari Raya Karena umur bulan Qamariah itu 29 atau 30 hari, maka penentuannya berdasarkan kriteria visibilitas hilal ( : melihat dengan mata telanjang), atau menggenapkan umur bulan Sya ban atau Ramadhan menjadi 30 hari apabila hilal tidak bisa di 4 Hal ini berarti, Nabi Muhammad saw tidak pernah menetapkan awal Ramadhan dan Idul Fitri jauh sebelum waktunya Prosedur penetapannya diputuskan setelah menerima berita Bahkan --menurut Ibn Abbas Rasulullah saw pernah memulai puasa Ramadhan hanya karena informasi seorang baduwi setelah disumpah 5 Beberapa ayat Al-Qur an menyatakan, peredaran bulan dan matahari bisa dijadikan pedoman untuk menentukan awal bulan Qamariah Dalam perkembangannya, Fuqaha (pakar Fiqih) berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat tersebut dikaitkan dengan teks Hadis, laju sains dan teknologi, serta kondisi riil masyarakat di sekitarnya 6 Silang pendapat prosedur penetapan awal Ramadhan dan hari Raya itu bermuara pada tiga paradigma metodologis, yaitu; 1 Prosedur penentuan awal Ramadhan dan hari Raya cukup menggunakan, 2 Penentuan awal Ramadhan dan hari Raya cukup dengan Astronomi; dan 3 Penentuan awal Ramadhan dan hari Raya berdasarkan yang didukung 3 / 12
Astronomi, dan Astronomi yang didukung Bagaimana dengan masyarakat Indonesia? Nampaknya tiga paradigma metodologis di atas dijumpai di sini dan negara tetangga Buktinya, 1 Rukyat dikonsumsi NU dan Brunei Darussalam, 2 Astronomi dipakai Muhammadiyah, Persis, dan Singapura; 3 Perpaduan dan Astronomi digunakan di Malaysia, MUI, dan DEPAG RI Menggantikan Rukyat? Saat ini, ternyata penentuan awal Ramadhan dan hari Raya tidak lagi dikatakan mudah dan sulit diterapkan di masyarakat karena terbentur perbedaan mazhab hukum (misalnya, ada yang menganggap tidak sah cara ), dan kepercayaan kepada pemimpin umat yang tidak tunggal Untuk mewujudkan kesatuan pelaksanaan awal Ramadhan dan hari Raya di seluruh dunia perlu adanya ijma (konsensus) ulama Suatu hal yang mungkin terjadi tetapi perlu usaha besar Secara teoritis, ada beberapa langkah yang disarankan untuk menuju kesatuan itu Pertama, pemakaian global (cara pemecahan yang memberikan kepastian dan keseragaman keputusan bagi semua negara); kedua, mengkonfirmasikan setiap kesaksian ul hilal, yang kriterianya tidak cukup sekedar sumpah; dan ketiga, mengadakan lembaga antar pemerintah sebagai otoritas tunggal yang ditaati 7 4 / 12
Gagasan ini secara teoritis amat baik 8 Tetapi bila dicermati lebih jauh, ternyata secara substansial akan terbentur pada tiga kendala, yaitu; Pertama, pengikut prosedural atau istikmal dalam menetapkan awal Ramadhan dan hari Raya merasa yakin sudah benar menjalankan syari at Islam Rukyat atau istikmal merupakan satu-satunya pedoman yang diajarkan Rasulullah saw Konsekwensinya, keyakinannya itu tidak bisa dirubah agar mengikuti dasar Astronomi Kedua, kendala internal ilmu Astronomi Menurut data historis, disiplin ilmu ini sudah dikenal lebih dari seribu tahun lalu sebelum Nabi Isa lahir yang dicangkok dari India, Yunani, Cina, dan Mesir Penulisannya dimulai sejak buku Sidhanta (berbahasa India) diterjemahkan Al-Fazari ke bahasa Arab di Baghdad pada tahun 771 M Selanjutnya dilakukan penterjemahan dari daftar Pahlevi yang disusun sejak periode Sasania Setelah itu, barulah diterjemahkan buku Yunani Almagest karangan Ptolomeus 9 Pada akhirnya, tabel ilmu ini kalau dikumpulkan dari dulu sampai sekarang, jumlahnya mencapai ribuan eksemplar yang dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu; (1) Ilmu Haqiqi Taqriby, (2) Ilmu Haqiqi Tahqiqy, (3) Ilmu Kontemporer Ironinya, hasil perhitungan dari tabel yang banyak jumlahnya itu, satu sama lain tidak sama persis Ketiga, hambatan itu terletak pada perbedaan prinsip pakar dalam menetapkan ketinggian hilal atau waktu ijti ma 5 / 12
( konjungsi ) yang dipakai dasar untuk menetapkan awal bulan Perbedaan dalam menetapkan ketinggian hilal atau waktu ijtima (konjungsi) ini melahirkan lima kelompok, yaitu: 1 Ahli yang memposisikan ilmunya sekedar pelengkap hukum syara Mereka berpendirian, sekalipun menurut hilal pada malam ke-30 tinggi di atas ufuq, tetapi tidak bisa dilihat dengan mata telanjang, maka malam itu belum ditetapkan sebagai bulan baru dan harus mundur sehari ( istikmal ) Sebaliknya, apabila ada berita visibilitas hilal pada malam ke-30, sementara menurut pakar hal itu mustahil terjadi --karena masih di bawah ufuq atau di atasnya tetapi masih teramat kecil, misalnya kurang dari 1 derajat--, dalam hal ini ada dua pendapat ulama Pertama, menolak berita itu Pendapat ini dikemukakan mutaakhirin mazhab Syafi i, antara lain: As-Subki, Imam Ramli, Syarwani, Imam Qalyubi, dll Kedua, menerima pendapat itu, asalkan diberitakan orang adil Pendapat ini dipelopori Ibn Qasim dan dipakai mayoritas fuqaha empat mazhab Alasannya, karena Nabi Muhammad saw setiap menerima berita visibilitas hilal tidak pernah melibatkan ilmu Bahkan beliau menerima berita orang awam (baca: A rabi ) dan dijadikan dasar untuk menetapkan awal atau akhir Ramadhan Kemungkinan, riwayat inilah yang dipedomani pemerintah Saudi Arabia dalam menetapkan awal Ramadhan, Hari raya, dan wuquf di Arafah Bagi orang Indonesia yang merasa ahli, sebaiknya memahami riwayat hadis ini, sehingga bila sewaktu-waktu pemerintah Arab Saudi Arabia menetapkan hari wuquf di Arafah tidak sesuai dengan kalkulasi nya, bisa berpedoman kepada riwayat hadis tersebut Kalau dalam konteks ini ahli 6 / 12
tersebut tetap ngotot berpedoman dengan kalkulasi data dan hatinya menolak ketetapan pemerintah Arab Saudi, maka dikawatirkan ibadah hajinya tidak sah 2 Ahli yang menggunakan kalkulasi nya untuk mengganti dasar atau isti kmal, tetapi masih mengaitkan dengan dasar tersebut Karenanya, ia mensyaratkan hasil bisa menggantikan apabila menurut perhitungan, hilal berada di atas ufuq dan mungkin di, misalnya ketinggian 3 derajat 3 Ahli yang menggunakan nya untuk mengganti dengan syarat hasil perhitungannya menunjukkan hilal berada di atas ufuq walaupun tidak mungkin di karena sangat rendah Ahli ini sudah meninggalkan dasar istikmal berpindah ke dasar lain, yaitu dari dilihatnya hilal menjadi wujudnya hilal Jadi, apabila saat matahari terbenam menurut sudah ada hilal walaupun tidak mungkin di malam itu sudah dikatagorikan bulan baru Lebih lanjut, kata syahida pada ayat 185 surat Al-Baqarah, mereka tafsirkan dengan aiqana, walaupun mayoritas mufassir memberi makna hadlara (berada di rumah, tidak musafir) 7 / 12
4 Ahli yang menggunakan nya untuk mengganti Dengan syarat, hasil hi sab tersebut menunjukkan telah terjadi ijtima (konjungsi ) sebelum matahari terbenam Walaupun --setelah matahari terbenam-- di atas ufuq tidak ada hilal sama sekali Ahli ini sudah meninggalkan dasar istikmal berpindah ke dasar lain, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa ketentuan antara satu hari dengan hari berikutnya dibatasi dengan terbenamnya matahari Dan perpindahan satu bulan dengan bulan berikutnya dibatasi dengan ijtima Kalau terjadi ijtima sebelum matahari terbenam, maka setelahnya sudah masuk hari dan bulan baru Mereka mendasarkan pendapatnya itu dengan ayat ke-39 surat Yasin 5 Ahli yang menggunakan nya untuk mengganti Dengan syarat, hasil kalkulasinya menunjukkan telah terjadi ijtima sebelum terbit fajar Ahli ini sudah meninggalkan dasar istikmal berpindah ke dasar lain, yaitu pendapat yang mengatakan, perpindahan satu bulan ke bulan berikutnya limitnya ijtima, dan puasa itu dimulai dari munculnya fajar Sehingga kalau terjadi ijtima sebelum fajar, maka waktu fajar dan setelahnya telah masuk bulan baru, baik untuk puasa Ramadhan maupun hari Raya Mereka mengaitkan pendapatnya dengan surat Al-Baqarah ayat 187 Perbedaan ahli dari nomor satu sampai lima di atas merupakan hambatan besar untuk menyeragamkan prosedur mengawali puasa dan hari Raya Di samping terbentur tiga hambatan di atas, ide ini berhadapan dengan kesulitan lain, yaitu masalah mathla Ulama dalam masalah ini, tidak bisa keluar dari wilayah kontroversi, yang substansi pendapatnya bermuara pada tiga kelompok Pertama, setiap daerah mempunyai 8 / 12
mathla sendiri dan nya tidak berlaku untuk daerah lain; dekat maupun jauh; kedua, bisa diberlakukan secara internasional (global), dan ketiga, hanya berlaku lokal (setempat) dan daerah lain yang berdekatan 10 Dalam menentukan awal Ramadhan dan Syawal --terlepas ada argumen kuat atau yang dinilai lemah-- masih ditolelir menggunakan salah satu dari tiga pendapat di atas Tetapi, apakah hal ini bisa dianalogkan dengan usaha penyeragaman hari Raya Nahar (hari raya Kurban: 10 D zulhijjah ) secara internasional, semata-mata berangkat dari asumsi, mathla itu bisa berlaku global? Tentu saja, hal ini tidak boleh terjadi hanya sekedar berdalih untuk mempersatukan persepsi umat Islam Ulama telah ijma bahwa pelaksanaan Idul Adha dikenai teori mathla lokal (negara Islam setempat) Atas dasar ini, pelaksanaan salat Idul Adha di Indonesia, misalnya tidak dibenarkan mengikuti negara lain yang berbeda mathla nya Ibn Abidin dalam kitabnya Hasyiah Raddu al Mukhtar telah menjelaskan masalah ini panjang lebar Dari substansi pendapatnya dapat disimpulkan bahwa persoalan Idul Adha tidak sama dengan penetapan awal Ramadhan dan Syawal Sebab dalam penetapan awal Ramadhan dan Syawal masalahnya puasa, sedang dalam Dzulhijjah (Idul Adha) masalahnya salat dan kurban ( nahar ) Untuk itu, ketentuannya harus kembali pada mathla lokal sebagaimana berlaku dalam salat maktubah 11 9 / 12
Rekonstruksi Metodologis Upaya mempersatukan umat Islam dalam memulai puasa Ramadhan dan Hari Raya memang perlu Sehingga konflik yang terjadi di tengah-tengah umat Islam bisa direduksi atau dihilangkan sama sekali Metode penetapan awal Ramadhan dan Syawal (hari Raya) yang dalam sejarah diilustrasikan hanya menggunakan al hilal pada gilirannya perlu direkonstruksi sesuai dengan semangat zaman Hanya saja, rasanya terlalu berlebihan kalau metode dijadikan dasar pengambilan keputusan dan bukan sekedar alat bantu, hanya karena anggapan semakin akuratnya Astronomi Bertitik tolak dari sebuah paradigma, yang benar tidak akan kontradiksi dengan kalkulasi, dan begitu sebaliknya Atas dasar ini, menyoal metode penetapan awal Ramadhan dan hari Raya dengan merekonstruksi metodologinya merupakan suatu kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi Nampaknya, penetapan awal Ramadhan dan hari Raya yang dilakukan MUI dan DEPAG RI berupa penggabungan antara dan layak diterima Namun demikian, semua pihak diharapkan terus melakukan telaah, kajian, dan penelitian ulang secara mendalam dan objektif dalam mencari kebenaran dan ke maslahat an Sehingga setiap legislasi hukum Islam dapat dipahami secara tepat dan mendudukkannya secara proporsional Walllahu A lam Bi Ash-Shawab 10 / 12
1 Ibrahim Hosen, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penetapan Awal Bulan Ramadhan, Syawal, Dan Dzulhijjah, Makalah Seminar Sehari Tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, (Jakarta: DEPAG RI, 1982), hal 1 2 Lihat statemen ini dalam tulisan Moedji Raharto yang berjudul, Awal Shaum Ramadhan 1418 H Mengapa Diharapkan Bertepatan dengan Akhir Tahun 1997? Republika, 23/12/1997 3 Riwayat itu sbb: عن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال ثم إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب الشهر هكذا وهكذا يعني مرة تسعة وعشرين ومرة ثلاثين Lihat: Muhammad bin Isma il Al-Bukhari, Al-Jami Al-Shahih, (Beirut: Dar Ibn Kasir al Yamamah, 1987), cet ke-3, juz ke-4, nomor hadis 1814 4 Riwayat itu sbb: عن محمد بن زياد قال سمعت أبا هريرة رضي الله عنه يقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غمي عليكم الشهر فعدوا ثلاثين Lihat, Muslim bin Hajjaj Al-Nisabury, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya At-Turas Al- Araby, tth), nomor hadis 1081 11 / 12
5 Riwayat itu sbb: إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال أبصرت الهلالأعرابعين ابن عباس قال ثم جاء الليلة فقال أتشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله فقال نعم قال قم يا بلال فأذن في الناس فليصوموا قد احتج البخاري بعكرمة واحتج مسلم بسماك وهذا حديث صحيح الإسناد متداول بين الفقهاء ولم يخرجاه Lihat, Muhammad Bin Abdullah Al-Hakim Al-Nisabury, Al-Mustadraq Ala As-Shahihaini, (Beirut: Dar Al-Kutub Al- Ilmiyah, 1990), cet ke-1, juz ke-1, hal 437, nomor hadis 1104 6 Lihat: Surat Al-An am, 6: 96, Yasin, 36: 39, Al-Baqarah, 2: 187, 189, dll 7 T Djamaluddin, Sifat Ijtihadiyah Penentuan Awal Ramadhan dan Hari Raya, Republika/23/ 12/1997 8 Sebagai pembanding, lihat: Moh Rodhi Sholeh, Rukyatul Hilal, (Jakarta: Pustaka Annizomiyah, 1992), hal 52-62 9 Musyrifah Sunanto, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Perkasa, 1991), cet ke-1, hal 61 10 Sayid Bakry, Hasyiyah Ianat Thalibin, (Beirut: Dar al-fiqr, tth), juz ke-2, hal 219 Lihat juga, Ibrahim Hosen, loc cit, hal 7 11 Ibn Abidin, Hasyiah Rad al-mukhtar, (Beirut: Dar al Fiqr, tth), juz ke-2, hal 393 12 / 12