5 PENGEMBANGAN PEMASARAN HASIL TANGKAPAN

dokumen-dokumen yang mirip
VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang

5 KETERLIBATAN TENGKULAK DALAM PENYEDIAAN MODAL NELAYAN

BAB I PENDAHULUAN. adalah Pulau Nias. Luasnya secara keseluruhan adalah km 2. Posisinya

I. PENDAHULUAN. Wilayah laut dewasa ini mendapat perhatian cukup besar dari pemerintah dan

CONTRACT FARMING SEBAGAI SUMBER PERTUMBUHAN BARU DALAM BIDANG PETERNAKAN

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sektor perikanan dan kelautan terus ditingkatkan, karena sektor

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian global yang melanda perekonomian negara-negara di dunia dengan

BAB I PENDAHULUAN. ikan atau nelayan yang bekerja pada subsektor tersebut.

EXECUTIVE SUMMARY KEBIJAKAN PENDUKUNG KEBERLANJUTAN USAHA KECIL DAN MENENGAH (STUDI KASUS KABUPATEN BOGOR DAN KOTA MALANG)

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara dengan garis pantai terpanjang ke-4 di

7 SOLUSI KEBIJAKAN YANG DITERAPKAN PEMERINTAH TERKAIT SISTEM BAGI HASIL NELAYAN DAN PELELANGAN

BAB I PENDAHULUAN. terkadang UMKM seolah tidak mendapat dukungan dan perhatian dari. selama memiliki izin usaha dan modal cukup.

VII. IMPLEMENTASI MODEL

I. PENDAHULUAN. produksi hanya diterima petani setiap musim sedangkan pengeluaran harus

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. dimanfaatkan secara optimal dapat menjadi penggerak utama (prime mover)

Strategi Pengembangan UMKM dengan Mengatasi Permasalahan UMKM Dalam Mendapatkan Kredit Usaha

7 TINGKAT PEMANFAATAN KAPASITAS FASILITAS DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pengertian Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)

VI. KERAGAAN USAHATANI KENTANG DAN TOMAT DI DAERAH PENELITIAN

hampir selalu merujuk pada maksimalisasi profit. Perekonomian yang telah mendominasi kehidupan sosial membuat segala sesuatunya dinilai dengan

BAB I PENDAHULUAN. untuk konsumsi, investasi, atau modal usaha. Dalam pemenuhan kebutuhan itu,

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Modal tanah, tenaga kerja dan manajemen adalah faktor-faktor produksi,

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian hutang piutang ini dalam Kitab Undang-Undang Hukun Perdata

BAB II Kajian Pustaka. mampu diserap dari masyarakat dan disalurkan kembali kepada masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pertanian merupakan suatu jenis produksi yang berlandaskan pada

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. pada masa Orde Baru terjadi kegoncangan ekonomi dan politik. Perusahaan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG. Nomor : 08 Tahun 2015

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan usaha yang tergolong besar (Wahyu Tri Nugroho,2009:4).

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT. menjalankan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian mereka dapat

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh suatu bangsa dalam upaya untuk meningkatkan pendapatan dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaku bisnis di Indonesia sebagian besar adalah pelaku usaha mikro, kecil

BAB I PENDAHULUAN. perantara keuangan antara pihak yang memiliki dana dan pihak yang

I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

KEBIJAKAN MANAGEMEN RESIKO

1.I. Latar Belakang lkan tuna sebagai salah satu sumber bahan baku bagi perekonomian

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Menurut Sinungan (1991 : 46), tentang kredit sebagai berikut :

Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. Penggunaan amplas di Indonesia sudah lama dikenal oleh. masyarakat namun pada saat itu penggunaannya masih terbatas untuk

I. PENDAHULUAN. dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. membiayai usaha yang dijalankan. Peran bank bagi perkembangan dunia usaha. permodalan dan pengembangan usaha masyarakat.

2017/04/10 07:20 WIB - Kategori : Warta Penyuluhan SELAMAT HARI NELAYAN NASIONAL KE-57

BAB I PENDAHULUAN. udang, kakap, baronang, tenggiri, kerang, kepiting, cumi-cumi dan rumput laut yang tersebar

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi dunia usaha termasuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) saat

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pertama, Kedua, Ketiga, Keempat, Kelima, Keenam, Pertama, Kedua, Ketiga, Keempat, Kelima,

VI HASIL DAN PEMBAHASAN

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN

HASIL SURVEI KREDIT KONSUMSI A. Karakteristik Bank

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pendapatan yang merata. Namun, dalam

BUSINESS PLAN RUMAH PRODUKSI KEPITING SOKA

BAB I PENDAHULUAN. yang mencolok agar anak-anak tertarik untuk mengisinya dengan tabungan

BAB I PENDAHULUAN. sangat besar. Sektor sektor ekonomi yang menopang perekonomian di Indonesia

PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. pangan, dimana kebutuhan protein dunia dapat dipenuhi oleh sumber daya

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. Pasar modal merupakan salah satu alternatif pilihan sumber dana jangka panjang bagi

BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

BAB II KAJIAN PUSTAKA. (Mulyadi, 2010:5). Prosedur adalah suatu urutan pekerjaan klerikal

BAB I PENDAHULUAN. (growth). Pembangunan ekonomi yang mengalami pertumbuhan yaitu apabila tingkat

BAB I PENDAHULUAN. energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Tidak perlu di ragukan lagi

I. PENDAHULUAN. peran yang sangat strategis dalam mendukung perekonomian nasional. Di sisi lain

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Kekomplekkan ini telah menciptakan suatu sistem dan pesaing baru dalam dunia

Pengembangan BADAN USAHA MILIK DESA (BUM DESA) Dalam Mendukung Poros Maritim

Tabungan, Investasi dan Sistem Keuangan. Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Perikanan Tangkap

BAB I PENDAHULUAN. dan diperhadapkan dengan sumber pendapatan yang tidak mencukupi

dan produktivitasnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan IPS. Usaha

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Kasmir (2010:11) Bank adalah lembaga keuangan yang kegiatan. kemasyarakat serta memberikan jasa bank lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. pengaruh yang sangat besar dalam perekonomian nasional.

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat mendukung untuk pengembangan usaha perikanan baik perikanan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BUPATI POLEWALI MANDAR PROVINSI SULAWESI BARAT

ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA PEMASARAN SAYURAN BERNILAI EKONOMI TINGGI

Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

Transkripsi:

5 PENGEMBANGAN PEMASARAN HASIL TANGKAPAN 5.1 Pola Distribusi Hasil Tangkapan Hampir seluruh hasil tangkapan ikan dari Nunukan didistribusikan dan dipasarkan ke daerah Tawau Malaysia. Pola pendistribusian ini sangat terkait dengan pola permodalan nelayan. Nelayan-nelayan Nunukan mendapatkan permodalan dari Tauke Tawau melalui orang-orang kepercayaannya yang berperan sebagai pedagang pengumpul di sentra-sentra nelayan Nunukan. Tingginya ketergantungan terhadap pemodal dari Tawau, membuat mereka menciptakan situasi yang menyebabkan pengusaha lokal tidak berminat untuk investasi di Nunukan. Akibatnya hasil tangkapan tersebut masuk ke pedagang pengumpul yang selanjutnya didistribusikan ke Tawau. Dilihat dari serapan produksi, adanya pasar Tawau sangat menguntungkan pemasaran produk-produk dari Nunukan, karena pasar lokal tidak mampu menyerap produksi akibat terbatasnya populasi penduduk, sedangkan pasar dalam negeri lainnya relatif jauh sehingga menambah biaya operasional transportasi. Dalam konteks perdagangan, Tawau seperti terminal yang menampung berbagai komoditas/produk tidak hanya dari Nunukan tetapi juga dari berbagai wilayah di Indonesia seperti dari Bulungan, Tarakan, Nunukan, Berau dan lainnya. Pola distribusi hasil tangkapan ikan Nunukan disajikan pada Gambar 9. Secara keseluruhan, masyarakat Nunukan sangat tergantung pada perdagangan dengan Tawau, tidak hanya sebagai daerah pasar tetapi juga daerah pemasok terutama untuk kebutuhan sehari-hari. Karena kedekatan geografis dengan wilayah Malaysia dan kendala aksesibilitas Nunukan dengan wilayah Indonesia lain menyebabkan interaksi masyarakat Nunukan dengan masyarakat Tawau sedemikian intensif termasuk arus keluar masuk barang dari dan ke Nunukan.

58 Konsumen Nelayan Di Indonesia Pedagang Pengumpul Di Malaysia Tauke pelelangan Tauke Pabrik Industri Pengolahan Konsumen Gambar 9 Pola distribusi hasil tangkapan ikan dari Kabupaten Nunukan Gambar 9 menunjukkan bahwa aktifitas ekonomi perikanan yang berlangsung di Kabupaten Nunukan hanya sebatas pada penangkapan ikan yang selanjutnya dikumpulkan di pedagang-pedagang pengumpul. Sedangkan aktifitas ekonomi perikanan lainnya sebagian besar terjadi di Nunukan Malaysia mulai penjualan hasil tangkapan, pengolahan maupun ekspor produk olahan perikanan. Artinya bahwa perputaran ekonomi dan dampak pengganda aktifitas perikanan tangkap lebih banyak dinikmati oleh masyarakat Tawau. 5.2 Pola hubungan sosial masyarakat nelayan Dalam melakukan operasi penangkapannya, sebagian besar nelayan tidak mempunyai modal baik modal untuk investasi maupun operasional. Semua biaya untuk usaha tersebut mereka peroleh dari pedagang pengumpul yang ada di tempat konsentrasi nelayan masing-masing. Pinjaman tersebut meliputi biaya investasi (pengadaan kapal, mesin kapal dan alat tangkap) dan biaya operasional setiap kali melakukan trip penangkapan. Total kebutuhan dana untuk investasi

59 setiap unit penangkapan sekitar 10.000 ringgit atau 30 juta rupiah. Sedangkan biaya operasional berkisar antara 1.000 ringgit (3 juta rupiah) sampai 4.000 ringgit (12 juta rupiah). Pengembalian pinjaman dilakukan setiap kali melakukan trip penangkapan. Pertama, hasil penangkapan akan dipotong biaya operasional yang dipinjam oleh nelayan. Kedua, dana yang telah dipotong tersebut kemudian dibagikan kepada anak buah kapal dengan sistem yang berbeda setiap alat tangkapnya. Misalnya, untuk unit penangkapan rawai, pendapatan tersebut dibagi empat bagian : dua bagian untuk pemilik kapal dan dua bagian lagi untuk ABK yang berjumlah dua orang. Ketiga, dari bagian pemilik kapal akan dipotong 20 % lagi untuk mencicil biaya investasi yang diterima. Cicilan investasi maupun pemenuhan biaya operasional akan berlangsung sangat lama. Bahkan sampai unit penangkapan tersebut tidak bisa digunakan lagi, cicilan tersebut masih belum dapat dilunasi. Apabila hal tersebut terjadi, nelayan bisa mendapatkan pinjaman lagi dari pemilik modal dan utang yang tersisa akan ditambahkan ke utang baru yang diperolehnya. Oleh karena itu, hampir dapat dipastikan bahwa nelayan tidak akan terbebas dari jeratan utang tersebut. Apabila nelayan melakukan wanprestasi, maka unit penangkapan tersebut akan diambil oleh pedagang pengumpul dan cicilan yang selama ini dilakukan oleh nelayan menjadi hangus artinya cicilan tersebut tidak diperhitungkan lagi. Unit penangkapan tersebut selanjutnya oleh pedagang pengumpul dijual atau dialihkan kepada nelayan lain. Pedagang pengumpul sendiri sebenarnya hanya perantara. Mereka mendapatkan modal untuk disalurkan kepada nelayan dari para tauke yang ada di Tawau. Tauke Tawau dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu tauke kilang/perusahaan dan tauke pelelangan. Tauke kilang adalah tauke yang mempunyai pabrik baik pengolahan maupun cold storage. Tauke kilang di Tawau ini ada sekitar 8 orang. Sedangkan tauke pelelangan adalah tauke di pasar ikan yang menjual hasil tangkapan nelayan langsung kepada konsumen akhir. Hampir sebagian besar tauke pelelangan (80 %) adalah orang Melayu yang terdiri dari Melayu Malaysia dan orang Bugis dari Indonesia. Orang-orang Bugis yang menjadi tauke merupakan (1) Orang Bugis warga Negara Indonesia, (2) orang

60 Bugis yang mempunyai dua kewarganegaraan. Hal ini dimungkinkan karena bagi mereka yang telah bermukim di Malaysia selama 10 tahun berhak menjadi warga Negara Malaysia (3) orang Bugis berkewarganegaraan Indonesia tetapi beristrikan warga Negara Malaysia baik yang berasal dari suku Bugis maupun bukan. Secara skematik, pembagian tauke ini disajikan pada Gambar 10. Konsumen Akhir Industri Pengolahan Tauke Perusahaan (8 orang) Tauke Pelelangan Pedagang Pengumpul (8-10 orang/tauke) Nelayan Pemilik Unit Penangkapan (20-50 orang per Pedagang Gambar 10 Pembagian tauke Tawau Peredaran uang untuk usaha penangkapan yang ditangani oleh tauke Tawau ini sangat besar. Berdasarkan perhitungan dari data-data hasil wawancara diperoleh informasi bahwa total dana yang dikucurkan tauke kilang saja dapat mencapai 120 milyar rupiah untuk investasi dan 48 milyar untuk biaya operasional setiap trip penangkapannya. Apabila diasumsikan bahwa ABK setiap

61 unit penangkapan ikan berjumlah 3 orang, maka nelayan yang menggantungkan hidupnya ada sekitar 1200 nelayan. Peran tauke Tawau ini sangat besar bahkan sudah ada keterikatan yang sistemik sehingga nelayan tidak mungkin terlepas dari pengaruh tauke ini. Adanya keterikatan permodalan tersebut mengakibatkan nelayan tidak bisa menjual hasil tangkapannya kepada pihak lain selain kepada pedagang pengumpulnya. Harga yang terjadi ditentukan oleh pedagang pungumpul dan pemodal dari Tawau. Beberapa harga ikan di tingkat nelayan, pedagang pengumpul dan harga pasaran di Tawau disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Harga ikan di tingkat nelayan Nunukan, pedagang pengumpul dan Pasar Tawau Jenis ikan Harga pembelian dari nelayan Tingkat Harga (Rp) Harga jual ke Tawau Udang bintik 10.500 12.600 Harga pasaran di Tawau Udang tiger 78.000 90.000 120.000 Kuwe 12.000 18.000 27.000 Belanak 15.000 21.000 24.000 Kakap merah 18.000 24.000 27.000 Kerapu 18.000 24.000 30.000 Sumber : Hasil Wawancara dengan nelayan Dalam konteks hubungan tersebut, nelayan bukanlah pihak yang mendapatkan keuntungan yang relatif besar. Berdasarkan informasi harga yang disajikan pada Tabel 15 dan Tabel 16, margin harga paling besar dinikmati oleh para tauke yang berkisar antara 50 % sampai 125 % bila dibandingkan dengan harga di tingkat nelayan. Sedangkan bila dibandingkan dengan harga pembelian di tingkat pedagang pengumpul, maka margin keuntungan berkisar antara 12 % sampai 50 %. Meski margin yang diperoleh nelayan lebih kecil, tapi mereka tetap menjual hasil tangkapannya kepada para tauke Tawau. Disamping karena adanya keterikatan diantara mereka, juga harga jual hasil tangkapan tersebut masih relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan harga jual di wilayah lokal Nunukan maupun wilayah sekitarnya seperti Tarakan dan Balikpapan.

62 Tabel 16 Margin harga di tingkat nelayan, pedagang pengumpul dan Pasar Tawau Jenis ikan Margin harga di tingkat pengumpul dibandingkan di tingkat nelayan (%) Margin harga di tingkat pemodal dibandingkan di tingkat pengumpul (%) Margin harga di pasar Tawau dibandingkan dengan di tingkat nelayan (%) Udang bintik 20,00 42,86 71,43 Udang tiger 15,38 33,33 53,85 Kuwe 50,00 50,00 125,00 Belanak 40,00 14,29 60,00 Kakap merah 33,33 12,50 50,00 Kerapu 33,33 25,00 66,67 5.3 Pembahasan Interaksi sosial (proses sosial) merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan orang-orang perorangan, antar kelompokkelompok manusia dan antara orang perorangan dengan kelompok manusia (Gillin dan Gillin, 1954 dalam Soekanto (2000). Proses sosial inilah yang nantinya akan membentuk pola hubungan tertentu antar para pihak yang terlibat. Dalam konteks hubungan masyarakat nelayan dengan usaha penangkapan ikan di Kabupaten Nunukan, terdapat tiga pihak yang terlibat yaitu nelayan, pedagang pengumpul dan pemilik modal (tauke). Hubungan-hubungan ini menjadi unik karena ternyata para pihak tersebut dibatasi oleh wilayah administrasi negara yang berbeda dimana nelayan dan pedagang pengumpul merupakan Warga Negara Indonesia di Nunukan, sedangkan pemilik modal berasal dari Tawau Malaysia. Hal ini dipandang lebih kompleks karena tidak hanya terkait dengan pola hubungan tersebut, tetapi juga dengan sumberdaya ekonomi yang diusahakan yaitu perikanan tangkap dengan batas-batas administrasi pengelolaan dan peluang menghasilkan pendapatan negara dari hasil usaha tersebut. Sebagian besar usaha penangkapan yang dilakukan nelayan Nunukan masih berskala kecil. Penangkapan skala kecil sebagaimana disampaikan Pollnac dalam Cernea (1998) dicirikan dengan letaknya di daerah pedesaan dan pesisir, dekat

63 dengan pinggiran laut atau muara, nampak khas karena tumpang tindih dengan kegiatan lain seperti pertanian, peternakan dan udidaya ikan, biasanya sangat padat karya dan sesedikit mungkin menggunakan tenaga mesin, walaupun mungkin menggunakan perahu motor umumnya tidak menggunakan mesin, menggunakan teknologi primitif untuk penanganan dan pengolahan (beberapa diantaranya menggunakan es atau fasilitas kamar dingin) dengan akibat bahwa kerugian panenan sungguh berarti, memanen persediaan dengan biomass yang kecil dibandingkan dengan persediaan ikan laut dalam. Salah satu penyebab masih relatif miskin sebagian besar nelayan adalah masih terbatasnya akses modal bagi usaha penangkapan ikan mereka. Terlebih lagi bagi nelayan-nelayan di wilayah perbatasan seperti nelayan Kabupaten Nunukan dimana secara geografi pun akses terhadap wilayah lain di Indonesia \relatif terbatas. Oleh karena itu, adanya hubungan nelayan dengan pedagang pengumpul dan tauke dari Tawau dalam konteks usaha penangkapan ikan merupakan suatu keniscayaan. Pada satu sisi nelayan tidak mempunyai modal untuk melakukan usaha penangkapan ikan dan di sisi lain para tauke mempunyai kepentingan memutarkan dananya untuk mendapatkan keuntungan. Hampir sebagian besar nelayan Kabupaten Nunukan menggantungkan hidupnya dari pinjaman para Tauke. Adalah wajar apabila kemudian hubungan ini lebih dominan daripada hubungan nelayan baik dengan pemodal lain dari dalam negeri maupun dengan lembaga formal pemberi pinjaman seperti bank maupun non bank. Lembaga keuangan konvensional saat ini belum mampu mengimbangi pasokan modal dari para tauke Tawau. Ketidakberdayaan lembaga keuangan formal terutama disebabkan karena adanya informasi yang asimetrik (asymetrical information) dalam mengidentifikasi calon penerima pinjaman dan memonitor usaha mereka. Dalam konteks usaha perbankan yang menekankan pada aspek kepercayaan dan keyakinan akan kemampuan membayar, kedua aspek ini mutlak diperlukan. Lembaga keuangan formal mengatasi ketiadaan informasi dan ketidakmampuan melakukan monitoring ini dengan menggunakan perangkat agunan (collateral) kepada calon peminjam yang justru tidak dapat dipenuhi oleh nelayan.

64 Pola hubungan antara nelayan, pedagang pengumpul dan tauke dapat mengatasi permasalahan informasi asimetrik tadi. Para pelaku tersebut tidak hanya menerapkan satu sistem kontrak yaitu kontrak pinjam meminjam, tetapi menerapkan beberapa keterkaitan kontrak-kontrak (contract interlikages) yang diperlukan untuk memperkecil biaya-biaya transaksi yang diakibatkan oleh informasi yang asimetrik tadi. Berbeda dengan lembaga keuangan formal, para tauke melakukan transaksi tidak sebatas transaksi pinjam meminjam tetapi juga transaksi pemasaran dimana tauke melalui para pedagang perantaranya mempunyai kepastian mendapatkan hasil tangkapan dari nelayan. Keterkaitan pinjaman dan pemasaran ini merupakan salah satu karakteristik pasar perikanan yang memperlihatkan bahwa pasar persaingan sempurna tidak terjadi pada pasar produk ini (Charles, 2001). Beberapa asumsi dasar pasar persaingan sempurna tidak terpenuhi oleh pasar produk perikanan yaitu (i) jumlah penjual dan pembeli yang relatif banyak. Tidak ada satu individupun yang mampu mengontrol harga sehingga tidak ada kolusi antara penjual dan pembeli (ii) ada keseimbangan harga antara penawaran dan permintaan dan (iii) ketersediaan informasi yang cukup bagi semua pelaku. Oleh karena itu sistem pemasaran hasil tangkapan bersifat kontraktual antara nelayan dan pemilik modal. Dalam rangka memastikan dana digunakan sesuai dengan tujuannya, pemilik modal menempatkan pedagang pengumpul sebagai penseleksi maupun pemantau penggunaan modal yang diberikannya. Boleh jadi tauke Tawau tidak mengenal secara langsung nelayan-nelayan yang diberi pinjaman, tapi dia menempatkan orang kepercayaannya yaitu pedagang pengumpul untuk berinteraksi langsung dengan nelayan. Pedagang pengumpul ini adalah orangorang yang berasal dari kalangan nelayan atau non nelayan yang dikenal dan mengenal nelayan, bahkan tidak jarang dari mereka merupakan tokoh-tokoh masyarakat. Hal ini sangat memudahkan dalam proses pemantauan usaha. Prinsip yang digunakan dalam hubungan nelayan dan pedagang pengumpul ini adalah kepercayaan (trust). Insentif yang diperoleh pedagang pengumpul ini disamping dari komisi yang diberikan oleh tauke Tawau juga dari margin penjualan ikan hasil tangkapan nelayan.

65 Disamping itu, terdapat keterikatan sosial antara nelayan, pedagang dan tauke Tawau dimana mereka sama sama berasal dari suku Bugis Sulawesi Selatan. Orang-orang Bugis yang bearada di Tawau (dapat mencapai 70 % dari jumlah penduduk Tawau masih mempunyai keterikatan dengan kampung halamannya di Indonesia. Sebagaimana dikatakan Soekanto (2000) bahwa masyarakat pedesaan termasuk juga nelayan-nelayan Nunukan- mempunyai hubungan yang erat dan mendalam atas dasar sistem kekeluargaan. Keeratan hubungan ini kemudian dimanfaatkan dalam membangun hubungan antar pelaku perikanan tangkap. Dengan berbagai kelebihan tersebut, maka permasalahan informasi asimetrik (yang berupa informasi identifikasi nelayan calon peminjam dan pengawasan perilaku usaha para nelayan) dapat diatasi. Dengan demikian, persyaratan-persyaratan administrasi sebagaimana diberlakukan pada lembaga keuangan formal tidak ada seperti (i) para pemilik modal tidak mensyaratkan agunan untuk setiap transaksi (ii) penyediaan pinjaman yang tidak terbatas jumlahnya dan (iii) dapat melakukan transaksi kapan saja diperlukan tanpa aturanaturan administrasi yang berbelit. Pola hubungan sebagaimana yang disebutkan diatas merupakan pola hubungan yang optimal dilaksanakan. Pola hubungan ini banyak terjadi pada perikanan tangkap skala kecil. Memang dalam pola hubungan tersebut ada dua hal yang terjadi yaitu rendahnya pendapatan nelayan di satu sisi dan resiko yang tinggi yang ditanggung tauke pada sisi yang lain (Charles, 2001). Namun demikian, pola tersebut masih belum memberikan peluang bagi nelayan untuk berkembang lebih baik. Nelayan menanggung seluruh resiko kegagalan dari usaha penangkapannya sementara margin keuntungan terbesar ada pada pemilik modal. Para pemilik modal meski ada resiko dananya tidak kembali akibat kegagalan usaha penangkapan, tapi mereka dapat menutupinya dari penjualan hasil tangkapannya pada trip-trip penangkapan sebelumnya. Sedangkan bagi nelayan, mereka harus menanggung seluruh kerugian dan harus tetap membayar walaupun dengan cara mencicil dengan batas waktu yang lama. Oleh karena itu, upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan nelayan melalui berbagai skema pengaturan penangkapan hendaknya memperhatikan pola-pola hubungan ada.

66 Ketidakcermatan dalam menentukan sasaran dan metode yang digunakan akan menjadi kebijakan yang salah (misleading policy), yang tidak hanya nasib nelayan tidak akan beranjak dari kemiskinan tetapi justru memberikan keuntungan kepada pihak-pihak lain di luar nelayan Indonesia. Contoh kasus adalah kebijakan pemerintah tentang penggunaan pukat hela (PER.06/MEN/2008). Secara keseluruhan kebijakan tersebut akan sangat direspon positif oleh para pemilik modal dari Tawau. Hal ini karena memberikan peluang yang lebih besar bagi mereka dari hasil tangkapan nelayan menggunakan pukat hela tersebut. Namun demikian, dengan pola hubungan seperti disebutkan diatas, kebijakan ini tidak akan berdampak signifikan terhadap peningkatan pendapatan nelayan. Pengembangan pasar sangat penting dalam upaya mengembangkan industri perikanan tangkap. Hasil tangkapan nelayan hanya akan bernilai ekonomi apabila dipasarkan. Lebih dari itu pengembangan pasar dapat meningkatkan perekonomian. Charles (2001) mengatakan bahwa interaksi pemasaran ikan dan pengembangan ekonomi dapat dilihat dari tiga dampak yaitu (i) dampak pemasaran (peningkatan permintaan konsumen, perbaikan sistem distribusi, perbaikan akses pasar, peningkatan alternatif pekerjaan dan peningkatan pemberdayaan nelayan), (ii) dampak menengah (peningkatan produksi pada ikan yang belum dimanfaatkan, saluran pemasaran yang lebih baik, peningkatan ekspor/pertukaran luar negeri, pengurangan ketergantungan nelayan dan pedagang perantara berkurang yang menyebabkan peningkatan pendapatan nelayan), dan (iii) dampak pengembangan (kesempatan kerja yang lebih dan ketersediaan makanan, ketersediaan protein yang lebih, perbaikan keseimbangan pasar, penurunan kebutuhan terhadap kredit dengan suku bunga tinggi dan pembangunan masyarakat perikanan). Dalam konteks pemasaran hasil tangkapan di wilayah perbatasan, terdapat dua hal yang menjadi tujuan utama pemasaran yaitu adanya kepastian harga produk hasil tangkapan dan daya serap pasar terhadap produk hasil tangkapan. Selama ini hampir sebagian besar hasil tangkapan ikan dipasarkan ke wilayah Tawau Malaysia dalam bentuk segar. Namun demikian, harga hasil tangkapan tersebut dikendalikan oleh tauke di Tawau. Hal ini disebabkan adanya ketergantungan nelayan terhadap para pemilik modal tersebut melalui pedagang

67 pengumpul yang menjadi kepanjangan tangan tauke tersebut. Oleh karena itu ada beberapa kerugian yang dialami pihak Indonesia yaitu (i) nelayan mendapatkan bagian keuntungan yang relatif kecil. Margin keuntungan terbesar diperoleh para pemilik modal dari Tawau Malaysia, (ii) Nunukan tidak mendapatkan nilai tambah dari produk hasil tangkapan karena hampir sebagian besar hasil tangkapan dipasarkan dalam bentuk segar. Proses pengolahan pasca panen dilakukan oleh perusahaan-perusahaan perikanan di Tawau dan (iii) terdapat potensi kerugian negara akibat tidak diperolehnya pendapatan dari pemasaran produk perikanan ke Tawau. Namun demikian, di sisi lain pemasaran hasil tangkapan ke wilayah Tawau merupakan pilihan rasional untuk saat ini. Faktor kedekatan geografis, potensi pasar yang cukup besar sehingga mampu menyerap hasil tangkapan yang ada, maupun karena relatif jauhnya Nunukan dengan wilayah lain di Indonesia yang dapat dijadikan pasar ada merupakan alasan nelayan memasarkan produknya ke Tawau. Sehubungan dengan hal tersebut perlu ada skenario pengembangan pasar yang memberikan keadilan (fairness) dan dampak bagi pengembangan ekonomi wilayah Nunukan. Ketergantungan nelayan pada pemilik modal dari Tawau merupakan permasalahan mendasar dalam pengembangan pemasaran hasil tangkapan nelayan. Oleh karena itu upaya yang perlu dilakukan adalah menumbuhkan kemandirian dan posisi tawar nelayan ketika berhadapan dengan pedagang dan pemilik modal. Kemandirian merujuk pada pemahaman bahwa manusia sejati adalah mereka yang berada di tengah-tengah orang banyak dan tetap menjaga independensi atau ketidaktergantungan pada orang lain (Emerson 1996 dalam Mardin 2009). Dalam konteks nelayan Nunukan kemandirian dimaksud adalah keterbebasan mereka dari subordinasinya dengan pemilik modal ; dalam arti mereka mempunyai kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri dalam menjalankan usaha penangkapan ikan. Sedangkan posisi tawar merupakan kekuatan/kelebihan yang dimiliki sehingga mereka mampu mempengaruhi orang lain supaya menerima keinginannya. Kondisi nelayan Nunukan saat ini yang tidak mempunyai kemampuan yang menyebabkan mereka mempunyai kemandirian (permodalan, intelektualitas,

68 pemasaran dan lain-lain). Hal ini terjadi karena mereka menjalankan usaha secara individual. Oleh karena itu salah satu upaya yang perlu dilakukan dalam menumbuhkan kemandirian dan posisi tawar ini adalah mengumpulkan mereka dalam suatu wadah/perkumpulan. Wadah ini merupakan upaya penyatuan kekuatan nelayan dalam menghadapi mitra kerja mereka seperti pemodal dan pedagang.