HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi Bahan Tumbuhan Sumber Insektisida Nabati Hasil ekstraksi menggunakan metode maserasi yang terbanyak diperoleh dari biji S. mahagoni, diikuti daun T. vogelii, biji A. muricata, dan rimpang A. purpurata (Tabel 1). Ekstrak yang diperoleh dari biji S. mahagoni berbentuk campuran cairan kental berwarna coklat muda transparan dan padatan yang berwarna coklat muda bertekstur lunak. Ekstrak daun T. vogelii berbentuk cairan kental dan lengket berwarna hijau tua pekat. Ekstrak biji A. muricata berupa cairan kental berwarna coklat tua transparan. Ekstrak rimpang A. purpurata berbentuk campuran cairan kental berwarna coklat kemerahan transparan dan padatan yang berwarna coklat kemerahan pekat dan lengket. Tabel 1 Sumber ekstrak Bobot dan persentase rendemen hasil ekstraksi bahan tumbuhan menggunakan metode maserasi Bobot awal (g) Bobot akhir (g) a Rendemen (%) b A. muricata 200 12.25 6.12 A. purpurata 200 10.12 5.06 S. mahagoni 200 39.42 19.71 T. vogelii 200 17.64 8.82 a Bobot akhir merupakan bobot ekstrak kasar yang diperoleh setelah filtrat diuapkan. b Nilai rendemen diperoleh menggunakan rumus: (bobot akhir/bobot awal) x 100%. Pada proses ekstraksi menggunakan metode fermentasi, beberapa perubahan tampak pada larutan selama proses fermentasi, antara lain terjadi perubahan warna larutan, timbul gelembung udara di antara bahan tumbuhan sumber ekstrak, dan terjadi pengentalan larutan (Tabel 1). Warna larutan yang menjadi keruh menunjukkan selulosa telah terdegradasi dan larut dalam akuades. Terjadinya pengentalan larutan menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri. Timbulnya gelembung udara menunjukkan telah dimulainya proses fermentasi (Weimer dan Zeikus 1977). Warna sediaan ekstrak yang diperoleh umumnya berwarna coklat,
19 kecuali ekstrak S. mahagoni berwarna oranye kecoklatan. Kepekatan warna tiap ekstrak meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi bahan tumbuhan dalam larutan. Volume yang didapat setiap ekstrak menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi bahan tumbuhan dalam larutan. Tabel 2 Karakteristik larutan bahan tumbuhan sumber insektisida nabati selama dan sesudah proses ekstraksi menggunakan metode fermentasi Sumber ekstrak Konsentrasi (%) Warna Karakteristik larutan Volume setelah Gelembung Udara a Kekentalan a penyaringan (ml) A. muricata 1 Coklat muda - +++ 45.0 5 - +++ 44.0 10 - ++ 36.5 20 - ++ 22.5 A. purpurata 1 Coklat susu + + 46.0 S. mahagoni 1 Oranye 5 + + 38.0 10 ++ - 32.0 20 ++ - 21.5 ++ ++ 49.0 5 kecoklatan ++ ++ 41.0 10 ++++ +++ 36.0 20 +++++ +++ 26.5 T. vogelii 1 Coklat tua ++ ++ 48.0 5 ++ ++ 37.5 10 +++ + 32.0 20 ++++ + 20.0 a Tanda + menunjukkan jumlah gelembung udara dan tingkat kekentalan larutan. Semakin banyak tanda + yang dimiliki suatu ekstrak, semakin banyak gelembung udara yang terlihat dan semakin tinggi tingkat kekentalannya. Perbandingan Keefektifan Ekstrak Insektisida Nabati Perbandingan Pengaruh Insektisida Nabati terhadap Mortalitas S. litura Pengaruh tiap ekstrak terhadap persentase mortalitas larva instar pertama S. litura ditunjukkan pada Tabel 3. Perlakuan yang dapat menyebabkan kematian serangga uji 80% pada konsentrasi tertinggi adalah ekstrak A. muricata dan S. mahagoni maserasi. Sebaliknya, perlakuan yang menyebabkan kematian
20 < 50% pada konsentrasi tertinggi adalah ekstrak A. purpurata maserasi maupun fermentasi dan A. muricata fermentasi. Perlakuan yang menyebabkan kematian serangga uji 50% sampai 79% (sedang) adalah ekstrak T. vogelii maserasi maupun fermentasi dan S. mahagoni fermentasi. Tabel 3 Sumber ekstrak Perbandingan efek mortalitas ekstrak insektisida nabati dengan dua metode ekstraksi yang berbeda terhadap larva instar pertama S. litura Konsentrasi (%) Maserasi Metode ekstraksi Mortalitas Konsentrasi (%) a (%) Fermentasi Mortalitas (%) a A. muricata 1 90a 20 4cd 0.5 76a 10 8cd 0.25 50b 5 14cd 0.125 26c 1 12cd Kontrol 0d Kontrol 0d A. purpurata 1 38a 20 28ab 0.5 30ab 10 24ab 0.25 20abc 5 16bc 0.125 12bc 1 10bc Kontrol 2c Kontrol 0c S. mahagoni 1 86a 20 56bc 0.5 60b 10 34de 0.25 40cd 5 28de 0.125 18ef 1 18ef Kontrol 0f Kontrol 0f T. vogelii 1 62a 20 60a 0.5 48ab 10 44abc 0.25 34bc 5 28bc 0.125 24e 1 18cd Kontrol 0d Kontrol 0d a Mortalitas kumulatif pada 72 jam sejak awal perlakuan (JSAP). Untuk setiap rataan mortalitas yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
21 Pada perlakuan ekstrak A. muricata, perlakuan dengan ekstrak fermentasi kurang aktif dalam memberikan efek mortalitas terhadap serangga uji. Hal ini terlihat dari persentase mortalitas tertinggi yang dihasilkan sebesar 14%, sedangkan perlakuan dengan ekstrak maserasi mencapai 90%. Pada perlakuan ekstrak A. purpurata, persentase mortalitas tertinggi yang dihasilkan perlakuan ekstrak fermentasi cenderung tidak berbeda nyata dengan ekstrak maserasi, yaitu masing-masing sebesar 38% dan 28%. Pada perlakuan ekstrak S. mahagoni, perlakuan dengan ekstrak fermentasi menghasilkan persentase kematian sebesar 56% yang berbeda nyata dengan ekstrak maserasi yaitu 86%. Pada perlakuan ekstrak T. vogelii maserasi maupun fermentasi, persentase mortalitas tertinggi yang diperoleh kedua perlakuan tidak berbeda nyata yaitu masing-masing sebesar 60% dan 62%. Tabel 4 menunjukkan nilai LC (lethal concentration) ekstrak insektisida nabati yang digunakan dalam perlakuan. Penghitungan nilai LC hanya dilakukan pada ekstrak yang menghasilkan kematian serangga 50% pada saat pengujian. Nilai LC merupakan tolok ukur toksisitas suatu bahan. Tabel 4 Penduga parameter toksisitas ekstrak insektisida nabati terhadap larva instar pertama S. litura Jenis ekstrak a ± Gb a b ± GB a LC 50 (SK 95%) a A. muricata maserasi 1.317 ± 0.188 2.167 ± 0.316 (%) LC 95 (SK 95%) a (%) 0.247 1.416 (0.193 0.303) (0.966 2.720) S. mahagoni maserasi T. vogelii maserasi T. vogelii fermentasi 0.992 ± 0.174 2.193 ± 0.322 0.294 ± 0.151 1.131 ± 0.277 1.031 ± 0.192 0.903 ± 0.206 0.353 1.985 (0.284 0.437) (1.300 4.122) 0.549 15.617 (0.381 1.004) (4.467 516.316) 13.841 961.915 (8.543 32.721) (189.232 52 704.178) S. mahagoni fermentasi 1.021 ± 0.192 0.765 ± 0.204 21.597 3048.310 a a = intersep regresi probit, b = kemiringan regresi probit. GB = galat baku, SK = selang kepercayaan.
22 Berdasarkan nilai LC 50 dan LC 95, ekstrak A. muricata maserasi paling aktif terhadap larva instar pertama S. litura dengan nilai LC 50 dan LC 95 berturut-turut 0.25% dan 1.42%; diikuti ekstrak S. mahagoni maserasi (0.35% dan 1.98%) dan ekstrak T. vogelii maserasi (0.55% dan 15.62%). Untuk ekstraksi dengan metode maserasi, dari nilai LC 50 dan persentase rendemen yang dihasilkan dari ekstrasi maserasi (Tabel 1), dapat diketahui jumlah bahan tumbuhan sumber ekstrak kering yang dibutuhkan untuk menghasilkan kematian serangga sebesar 50%. Untuk ekstraksi biji A. muricata dibutuhkan bahan tumbuhan sebanyak 4.03 g, untuk biji S. mahagoni sebanyak 1.79 g, dan untuk daun T. vogelii sebanyak 6.22 g. Dari jumlah tersebut dapat diketahui bahwa pada ekstrasi biji A. muricata maserasi membutuhkan bahan tumbuhan kering lebih banyak daripada biji S. mahagoni, walaupun nilai LC 50 -nya lebih rendah. Untuk ekstraksi dengan metode fermentasi dengan masa perendaman 48 jam, dari nilai LC 50 dapat diketahui bahwa selama proses ekstraksi dibutuhkan biji S. mahagoni sebanyak 21.58 g dan daun T. vogelii sebanyak 13.84 g. Dari jumlah tersebut, diketahui bahwa pada ekstraksi menggunakan metode fermentasi dengan masa inkubasi 48 jam membutuhkan bahan tumbuhan ekstrak lebih banyak untuk menghasilkan persentase mortalitas yang sama dibandingkan dengan metode maserasi. Perbandingan Pengaruh Insektisida Nabati terhadap Penghambatan Makan S. litura Pengaruh penghambatan makan tiap ekstrak terhadap larva instar pertama S. litura ditunjukkan pada Tabel 5. Perlakuan yang dapat menyebabkan penghambatan aktivitas makan 75% pada konsentrasi tertinggi adalah ekstrak T. vogelii dan S. mahagoni maserasi. Sebaliknya, perlakuan yang menyebabkan penghambatan makan < 50% pada konsentrasi tertinggi adalah ekstrak A. purpurata maserasi maupun fermentasi. Perlakuan yang menyebabkan persentase penghambatan makan serangga uji 50% sampai 70% (sedang) adalah ekstrak A. muricata maserasi maupun fermentasi, S. mahagoni fermentasi, dan T. vogelii fermentasi.
23 Tabel 5 Perbandingan efek penghambatan makan ekstrak insektisida nabati dengan dua metode ekstraksi yang berbeda Sumber ekstrak Konsentrasi (%) Metode ekstraksi Maserasi Fermentasi Penghambatan makan (%) a pada Konsentrasi Penghambatan makan (%) a pada 24 JSAP 48 JSAP 72 JSAP (%) 24 JSAP 48 JSAP 72 JSAP A. muricata 1 62.16a 31.80abc -3.71c 20-4.36c -1.61c -4.62c 0.5 52.79ab 14.62bc 0.69c 10-2.18c 1.50c -1.81c 0.25 39.35abc 7.71c -4.50c 5 5.67c 0.53c -3.95c 0.125 15.86bc 5.22c -4.70c 1-1.60c -4.57c -4.25c A. purpurata 1 18.80ab 35.73a -4.54b 20 9.72ab 14.25ab 1.82ab 0.5 16.95ab 27.70ab -6.48b 10 8.33ab 11.53ab -4.72b 0.25 13.11ab 24.19ab -6.81b 5 7.77ab 7.91ab -4.47b 0.125 8.53ab 0.98ab -5.72b 1 1.23ab 2.06ab -1.51b S. mahagoni 1 77.98ab 79.81a -5.04ij 20 59.25abcd 57.75abcd 0.86hij 0.5 60.17abcd 69.32abc -6.07ij 10 52.40bcde 49.17cde -6.87j 0.25 50.63cde 57.59abcd 1.14hij 5 33.76def 29.96efg -4.72ij 0.125 29.09efg 44.22cdef 6.00ghij 1 26.67efgh 21.03fghi -4.65ij T. vogelii 1 61.93abcd 82.93a 20.69fgh 20 50.15cde 49.08cde 0.29h 0.5 49.87cde 77.91ab 14.72fgh 10 27.69efgh 31.25efg 3.01h 0.25 37.12def 67.34abc 9.61fgh 5 11.46fgh 19.27fgh 1.74h 0.125 32.16efg 57.15bcde 7.05gh 1 4.79gh 18.51fgh 0.46h a Nilai penghambatan makan yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%. JSAP = jam sejak awal perlakuan. Kemampuan makan tiap larva pada perlakuan dengan ekstrak maserasi = 4.47 mm 2, sedangkan perlakuan dengan ekstrak fermentasi = 2.87 mm 2. 23
24 Pada perlakuan ekstrak A. muricata, perlakuan dengan ekstrak fermentasi menghasilkan penghambatan aktivitas makan yang kurang baik. Hal ini terlihat dari persentase penghambatan makan tertinggi yang dihasilkan sebesar 5.67% pada 24 jam sejak awal perlakuan (JSAP), sedangkan perlakuan dengan ekstrak maserasi mencapai 62.16% pada 24 JSAP. Pada perlakuan ekstrak A. purpurata, perlakuan dengan ekstrak maserasi menunjukkan hasil yang cenderung lebih tinggi dengan persentase penghambatan makan sebesar 35.73% pada 24 JSAP, sedangkan ekstrak fermentasi sebesar 14.25% pada 48 JSAP. Pada perlakuan ekstrak S. mahagoni, perlakuan dengan ekstrak maserasi menghasilkan persentase pernghambatan makan lebih tinggi dengan nilai yang berbeda nyata yaitu sebesar 79.81% pada 48 JSAP, sedangkan ekstrak fermentasi sebesar 59.25% pada 24 JSAP. Pada perlakuan ekstrak T. vogelii, perlakuan ekstrak maserasi dan fermentasi menghasilkan persentase penghambatan makan yang berbeda nyata juga. Persentase penghambatan makan tertinggi pada perlakuan dengan ekstrak maserasi sebesar 82.93% pada 48 JSAP, sedangkan ekstrak fermentasi sebesar 50.15% pada 24 JSAP. Luas permukaan daun yang dimakan pada daun kontrol perlakuan maserasi dan fermentasi ternyata menunjukkan nilai yang berbeda nyata; baik pada 24, 48, maupun 72 JSAP (Tabel 6). Hal yang sama juga terlihat pada daun yang diberi ekstrak tumbuhan. Secara keseluruhan, terlihat bahwa luas permukaan daun yang dimakan serangga uji pada perlakuan fermentasi lebih rendah daripada maserasi. Pada perlakuan menggunakan ekstrak A. muricata, S. mahagoni, dan T. vogelii; perbedaan luas permukaan daun yang dimakan secara nyata mulai terlihat pada 48 JSAP; sedangkan pada ekstrak A. purpurata baru terlihat pada 72 JSAP. Perbedaan ini masih terlihat pada 72 JSAP untuk semua perlakuan. Hal ini diperkirakan karena pada daun perlakuan yang diberi ekstrak fermentasi tercium bau amonia (terlihat pada 12 JSAP), teramati serangga uji sebagian besar tidak berada pada permukaan daun, melainkan berada di atas alas tisu atau pada tutup cawan. Perbedaan ini menunjukkan bahwa adanya massa bakteri selulolitik dalam ekstrak tumbuhan dapat menurunkan luas permukaan daun yang dimakan larva instar pertama S. litura hingga 60.43%.
25 Tabel 6 Perbandingan luas permukaan daun yang dimakan larva instar pertama S. litura antara perlakuan menggunakan ekstrak maserasi dan fermentasi Perlakuan Metode ekstraksi Luas permukaan daun yang dimakan tiap larva (mm 2 ) a 24 JSAP b 48 JSAP b 72 JSAP b Kontrol maserasi 4.467a 4.425a 4.296a fermentasi 2.870b 2.815b 2.596b A. muricata maserasi 2.982a 4.111a 4.807a fermentasi 2.714a 3.181b 2.478b A. purpurata maserasi 2.713a 2.859a 3.824a fermentasi 2.627a 2.666a 3.005b S. mahagoni maserasi 2.245a 1.744a 2.341a fermentasi 1.858a 1.253b 1.409b T. vogelii maserasi 2.508a 2.196a 3.679a fermentasi 2.069a 1.362b 2.759b a Setiap luas permukaan daun yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%. b JSAP = jam sejak awal perlakuan. Pembahasan Umum Berdasarkan persentase mortalitas yang diperoleh, diketahui bahwa ekstrak A. muricata fermentasi kurang aktif dibandingkan dengan ekstrak A. muricata maserasi. Pada ekstrak A. purpurata dan S. mahagoni fermentasi, walaupun dapat memberikan efek mortalitas dan penghambatan makan terhadap larva instar pertama S. litura, persentase keduanya tidak setinggi ekstrak maserasi. Persentase mortalitas yang dihasilkan perlakuan ekstrak T. vogelii fermentasi cenderung tidak berbeda nyata dengan ekstrak maserasi. Berdasarkan persentase penghambatan makan yang diperoleh, diketahui bahwa semua ekstrak fermentasi kurang aktif dibandingkan dengan ekstrak maserasi. Kurang efektifnya ekstrak tumbuhan yang dihasilkan melalui metode fermentasi adalah kurang diperhatikannya faktor-faktor yang mempengaruhi selama proses fermentasi. Faktor tersebut antara lain tingkat keasaman (ph), suhu, dan jenis substrat termasuk jenis pelarut yang digunakan (Haug 1980).
26 Dalam penelitian ini, selama proses fermentasi tidak dilakukan pengaturan terhadap tingkat keasaman dan suhu dari larutan bahan tumbuhan sumber ekstrak yang digunakan. Mengenai jenis substrat yang digunakan, diduga yang menyebabkan proses fermentasi berjalan kurang maksimal adalah adanya senyawa-senyawa tertentu yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri atau kerja kompleks enzim yang dihasilkan. Pada ekstraksi biji A. muricata dan S. mahagoni, hal ini diduga karena kedua bahan tersebut mengandung asam lemak tak jenuh. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hwang et al. (2001), diketahui bahwa penambahan asam lemak tak jenuh, seperti arachidonic acid dan oleic acid pada proses fermentasi selulosa oleh mikroba dari sistem pencernaan sapi dapat menurunkan produksi gas dalam substrat, tingkat keasaman substrat, dan jumlah bahan yang terdegradasi. Hal ini dikarenakan asam lemak tak jenuh tersebut bersifat toksik terhadap mikroba yang digunakan. Awan et al. (1980) melalui penelitiannya membuktikan bahwa dalam minyak biji A. muricata terkandung asam lemak tak jenuh sebesar 71.93%, sedangkan biji S. mahagoni sebesar 0.88% untuk oleic acid dan 9.12% untuk arachidic acid (Majid et al. 2004). Berdasarkan nilai-nilai tersebut, diketahui bahwa asam lemak tak jenuh yang terkandung dalam biji A. muricata lebih banyak daripada biji S. mahagoni. Hal ini berarti biji A. muricata lebih bersifat toksik terhadap bakteri yang digunakan. Hal ini terlihat selama proses fermentasi, pada larutan A. muricata tidak terlihat adanya gelembung udara yang menunjukkan bahwa proses fermentasi tidak terjadi. Setelah dilakukan penyimpanan ekstrak selama 24 jam, terlihat larutan menjadi encer dan jernih kembali pada larutan dengan taraf konsentrasi 10% dan 20%. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri awalnya masih bisa tumbuh walaupun terhambat. Pada ekstraksi biji S. mahagoni, masih terjadi proses fermentasi jika dilihat dari banyaknya gelembung udara yang terbentuk karena asam lemak tak jenuh yang terkandung lebih rendah. Pada penelitian yang lain, disebutkan bahwa ekstrak minyak biji S. mahagoni murni sebanyak 20 µl dapat menghambat pertumbuhan bakteri penyebab penyakit, seperti Shigella dysenterial,
27 Salmonella typhi, dan S. aureus dengan zona hambat berturut-turut 13, 15, dan 2 mm (Majid et al. 2004). Pada ekstraksi rimpang A. purpurata, diketahui bahwa selama proses fermentasi gelembung udara yang terlihat tidak sebanyak ekstrak yang lain dan larutan yang mengalami pengentalan hanya pada konsentrasi 1% dan 5%. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan bakteri selulolitik dalam substrat terhambat sehingga bahan yang terdegradasi rendah. Terutama pada larutan dengan konsentrasi bahan tumbuhan sebesar 10% dan 20%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sukandar et al. (2009), diketahui bahwa minyak atsiri rimpang A. purpurata pada konsentrasi 20% (w/v) dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas bakteri Bacillus subtilis, Pseudomonas aerugonisa, dan Staphylococcus aureus dengan diameter zona hambat berturut-turut 17.6, 17.6, dan 19.5 mm. Hal ini diduga karena di dalam rimpang A. purpurata terdapat senyawa antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri, seperti sineol dan dodekatriena. Terkait dengan jenis pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi fermentasi, akuades yang digunakan merupakan pelarut yang bersifat non polar. Pelarut non polar hanya akan menarik senyawa yang bersifat non polar juga. Hal ini diduga menjadi sebab ekstrak fermentasi menjadi kurang efektif dibandingkan dengan ekstrak maserasi. Penambahan pelarut organik yang bersifat polar (etanol, metanol, dll.) diharapkan dapat melarutkan senyawa yang bersifat polar sehingga didapatkan ekstrak yang lebih efektif karena mengandung senyawa metabolit sekunder dengan jenis yang lebih banyak.