Gambar 1 Kerangka pemikiran 2 TINJAUAN PUSTAKA. Lanskap Sejarah

dokumen-dokumen yang mirip
PELESTARIAN LANSKAP SEJARAH KOTA BAUBAU SEBAGAI KOTA PUSAKA INDONESIA DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA RAY MARCH SYAHADAT

Upaya Memahami Sejarah Perkembangan Kota dalam Peradaban Masa Lampau untuk Penerapan Masa Kini di Kota Pusaka Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Sejarah 2.2 Kriteria Lanskap Sejarah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman

Warisan Alam (Natural Heritage) menurut Konvensi UNESCO adalah:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PRESERVASI DAN KONSERVASI (Pelestarian Bangunan dan Lingkungan) Oleh: Jonny Wongso, ST, MT

Kota Pusaka Dunia. 1. Kota Pusaka Dunia 2. Konvensi dunia tentang pusaka budaya dan pusaka alam 3. Penetapan Kota Pusaka Dunia oleh UNESCO

Dasar Kebijakan Pelestarian Kota Pusaka 1. Tantangan Kota Pusaka 2. Dasar Kebijakan terkait (di Indonesia) 3. Konvensi Internasional

ABSTRAK. Kata Kunci : Ruang publik, Yaroana Masigi, Pelestarian

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. 1. Karakteristik Fisik Eksisting Ruang Publik Yaroana Masigi

Pusaka Kota dan Kota Pusaka

BAB III METODE PENELITIAN. dengan paradigma rasionalistik. Metodologi kualitatif merupakan prosedur

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA

ARAHAN KONSEP PERANCANGAN KAWASAN KONSERVASI BENTENG MARLBOROUGH KOTA BENGKULU TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta AM. Titis Rum Kuntari /

TINJAUAN PUSTAKA Estetika

PEDOMAN REVITALISASI KAWASAN PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR 18/PRT/M/2011

STUDI PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA TEGAL MELALUI PENDEKATAN MORFOLOGI KOTA TUGAS AKHIR. Oleh : PRIMA AMALIA L2D

BAB IV KESIMPULAN. Secara astronomi letak Kota Sawahlunto adalah Lintang Selatan dan

BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang

Jumlah Penduduk. sebesar 2,37 per tahun. Jumlah Penduduk. dengan laju laju pertumbuhan sebesar 2,30 per tahun

AGENDA AKSI DEKADE KETIGA GERAKAN PUSAKA INDONESIA DASA WARSA Tema "Pusaka untuk Kesejahteraan Rakyat"

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung memiliki sejarah yang sangat panjang. Kota Bandung berdiri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STUDI POLA MORFOLOGI KOTA DALAM PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA DI KABUPATEN KENDAL TUGAS AKHIR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. tinggi dari tahun sebelumnya. Angka itu diatas pertumbuhan ekonomi nasional

Gambar 4. Lokasi Penelitian

BAB I: PENDAHULUAN Latar Belakang Latar Belakang Proyek

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

BUDAYA LOKAL SEBAGAI WARISAN BUDAYA DAN UPAYA PELESTARIANNYA )

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lanskap Sejarah

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS

KAJIAN PELESTARIAN KAWASAN BENTENG KUTO BESAK PALEMBANG SEBAGAI ASET WISATA TUGAS AKHIR. Oleh : SABRINA SABILA L2D

PERUBAHAN FASADE DAN FUNGSI BANGUNAN BERSEJARAH (DI RUAS JALAN UTAMA KAWASAN MALIOBORO) TUGAS AKHIR. Oleh: NDARU RISDANTI L2D

BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I CERITA TENTANG GUNUNG DAN AIR. (profesi). Pada perancangan kali ini, diberikan tema umum Symbiosis and

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

Ternate Kota Pusaka Maulana Ibrahim

PERKAMPUNGAN TUA DI TENGAH KOTA, Upaya Mewujudkan Kawasan Bantaran Sungai sebagai Kawasan Budaya Berjatidiri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kota selalu menjadi pusat peradaban dan cermin kemajuan suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan

Materi ke-13 9/7/2014 DASAR EKOLOGI PADA PENGELOLAAN LANSKAP DAN IMPLEMENTASINYA TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN. suku, agama, dan adat istiadat yang tak pernah luput dari Anugerah sang

P E M E R I N T A H KABUPATEN KUTAI TIMUR

KAJIAN POLA STRUKTUR RUANG KOTA LASEM DITINJAU DARI SEJARAHNYA SEBAGAI KOTA PANTAI TUGAS AKHIR. Oleh: M Anwar Hidayat L2D

BAB I PENDAHULUAN. sepatutnyalah potensi Sumberdaya Budaya (Culture Resources) tersebut. perlu kita lestarikan, kembangkan dan manfaatkan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Abito Bamban Yuuwono. Abstrak

BERITA NEGARA. No.1486, 2013 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN. Indonesia. Warisan Budaya Takbenda. Pelaksanaan.

BAB I PENDAHULUAN. Kota merupakan salah satu wilayah hunian manusia yang paling kompleks,

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan kawasan bersejarah kerap diiringi dengan perubahan fungsi dan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Museum merupakan tempat yang sangat bernilai dalam perjalanan

BAB I PENDAHULUAN. ternilai harganya, baik yang berupa budaya materi (tangible) maupun budaya non materi

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II KAJIAN LITERATUR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kasus Proyek

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro

Research Development Roadmap Pusat Studi Perencanaan Pembangunan Regional Universitas Gadjah Mada

BAB V A. KESIMPULAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan untuk penyusunan karya

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

BAB 7. PENCAPAIAN PELAKSANAAN AKSI HINGGA TAHUN

PROGRAM JANGKA PENDEK: - Peningkatan kapasitas P3KP - Pengelolaan secara internal

TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Budaya

2016, No pengetahuan dan teknologi tentang keanekaragaman hayati yang harus disosialisasikan kepada masyarakat, perlu membangun Museum Nasiona

BAB V ARAHAN PELESTARIAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI AGA DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Deskripsi Judul

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam lingkup sosio-kultural yang lebih sempit, salah satu manfaat

KONFERENSI PERPUSTAKAAN DIGITAL INDONESIA 2008 BERBAGI PENGALAMAN DALAM PEMBANGUNAN MUATAN LOKAL TENTANG PUSAKA BALI

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Sejarah dapat diartikan sebagai kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada

SURAT PERNYATAAN KATA PENGANTAR... DAFTAR GAMBAR v DAFTAR TABEL vii ABSTRAK viii ABSTRACT. ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioregion

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ashriany Widhiastuty, 2013

Undang-undang untuk mengatur pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan tinggalan purbakala. Oleh Junus Satrio Atmodjo

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

BAB I PENDAHULUAN. MPS Kabupaten Pesawaran Latar Belakang

BAB I: PENDAHULUAN Latar Belakang Latar Belakang Proyek.

PENJELASAN ATAS QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR : 14 TAHUN 2002 TENTANG KEHUTANAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Direktorat Jenderal Kebudayaan 2014

BAB I PENDAHULUAN PENELITIAN ARTEFAK ASTANA GEDE. dan terapit oleh dua benua. Ribuan pulau yang berada di dalam garis tersebut

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 66 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN CAGAR BUDAYA PROVINSI JAWA TIMUR

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PENGELOLAAN KOTA PUSAKA INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

4 Gambar 1 Kerangka pemikiran 2 TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Sejarah Lanskap merupakan bentang alam yang memiliki karakteristik tertentu dan keberadaannya dinikmati oleh panca indera manusia (Simonds dan Starke 2006). Lanskap sejarah secara sederhana dapat dinyatakan sebagai bentukan lanskap tempo dulu dan merupakan bentuk fisik dari keberadaan manusia di atas bumi ini (Harris dan Dines 1988). Lanskap sejarah merupakan bagian dari peninggalan kebudayaan dalam periode waktu tertentu. Manusia menciptakan pola fisik yang merupakan hasil kebudayaan yang diekspresikan melalui nilai dan sikap dalam bentuk peninggalan

artefak. Bentuk peninggalan ini menjadi suatu bukti yang membantu memahami suatu motif kesejarahan (Lennon dan Mathews 1996). Lanskap sejarah adalah sebuah makna. Makna tersebut dapat digolongkan menjadi dua yaitu makna individual dan makna komunitas. Makna individual yaitu makna berupa memori, hasrat, kebahagian, ataupun melankolis seseorang pada suatu tempat pada periode waktu tertentu. Sedangkan makna komunitas sama seperti dengan makna individual tetapi diyakini sama oleh suatu kelompok atau komunitas. Keunikan lanskap sejarah yaitu pemaknaannya dapat secara individu, kelompok, ataupun individu dan kelompok (Melnick 2008). Pusaka dan Warisan Terdapat dua istilah yang sering didengar bahkan menimbulkan kebingungan dalam memproteksi peninggalan bersejarah di Indonesia, yaitu pusaka dan warisan. Pusaka dan warisan jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, keduanya mengacu pada kata heritage. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2013), pusaka adalah harta benda peninggalan orang yang telah meninggal, warisan, barang yang diturunkan dari nenek moyang. Selanjutnya, warisan berasal dari kata waris yang artinya sesuatu diwariskan, seperti harta, nama baik, dan harta pusaka. Pusaka menurut Piagam Pelestarian dan Pengelolaan Pusaka Indonesia Tahun 2003 meliputi pusaka alam, pusaka budaya, dan pusaka saujana. Pusaka alam adalah bentukan alam yang istimewa. Pusaka budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa dari lebih 500 suku bangsa di tanah air Indonesia, secara sendiri-sendiri, sebagai kesatuan bangsa Indonesia dan dalam interaksinya dengan budaya lain sepanjang sejarah keberadaannya. Pusaka budaya mencakup pusaka berwujud (tangible) dan pusaka tidak berwujud (intangible). Pusaka saujana adalah gabungan pusaka alam dan pusaka budaya dalam kesatuan ruang dan waktu (Kota Pusaka 2013). Penggunaan kata pusaka dalam kegiatan konservasi dimaksudkan untuk benar-benar memproteksi peninggalan-peninggalan bersejarah. Istilah warisan juga sesungguhnya memiliki kesamaan tetapi terdapat pemikiran bahwa warisan itu dapat dibagi dan dapat dijual sehingga menjadi kecil dan dapat habis sedangkan pusaka, akan dijaga sebaik-baiknya bahkan terus diturunkan ke generasi selanjutnya. Baik pusaka maupun warisan sesungguhnya hanyalah sebuah istilah. Meskipun berbeda dalam penyebutan dan makna filosofis yang tergantung di dalamnya, namun penyebutan pusaka maupun warisan mempunya tujuan yang sama yakni melindungi kebudayaan baik benda maupun tak benda, agar dapat memantapkan jatidiri bangsa. Pelestarian Lanskap Menurut UU Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010, pelestarian ialah upaya untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Pelestarian berasal dari kata lestari yang artinya tetap seperti keadaan semula, tidak berubah, kekal. Menurut Mimura, pelestarian adalah perlindungan dari kemusnaan atau kerusakan, 5

6 pengawetan, konservasi. Pelestarian adalah memperhatikan bangunan yang dimiliki nilai sejarah dan juga mempersoalkan berbagai nilai kemasyarakatan seperti benteng kota yang akrab dikatakan tata perumahan tradisional, maupun kerakyatan, kegiatan masyarakat, dan memelihara kebersihan lingkungan, pesta adat, keagamaan, dan budaya (Antonius 2013). Tindakan pelestarian dibedakan menjadi enam yaitu preservasi, konservasi, rehabilitasi, restorasi, rekonstruksi, dan rekonstitusi. Preservasi ialah kegiatan mempertahankan suatu lanskap tanpa menambah maupun mengurangi bagiannya. Konservasi ialah kegiatan pencegahan bertambahnya kerusakan yang biasanya terdapat penggantian maupun penambahan. Rehabilitasi merupakan tindakan meningkatkan suatu standar yang bersifat lebih modern dengan tujuan memperkenalkan dan mempertahankan karakter sejarah. Restorasi merupakan pengembalian sebagaimana kondisi awal apabila terjadi sedikit kerusakan. Rekonstruksi yaitu kegiatan menciptakan kembali seperti kondisi awal karena kondisi eksisting sudah tidak ada lagi. Terakhir, rekonstitusi yaitu kegiatan menempatkan atau mengembalikan suatu kawasan sejarah yang sesuai dengan kondisi saat ini (Harris dan Dines 1988). World Heritage World heritage dapat dibedakan menjadi menjadi cultural heritage, natural heritage, dan mixed cultural and natural heritage (World Heritage Centre 2005). Cultural heritage dapat berupa: 1. Monumen: karya arsitektur, karya patung monumental, dan lukisan, elemen atau struktur yang bersifat arkeologis, prasasti, gua tempat tinggal dan kombinasi fitur, yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni, atau ilmu pengetahuan. 2. Kelompok bangunan: kelompok bangunan yang terpisah atau terhubung, karena arsitekturnya, homogenitas atau tempat dalam lanskap, yang memilki nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni, atau ilmu pengetahuan. 3. Situs: karya manusia atau karya gabungan alam dan manusia, dan daerah termasuk situs arkeologi yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sejarah, estetika, poin etnologis, atau pandangan antropologi. Selanjutnya, natural heritage dapat berupa: 1. Fitur alam yang terdiri dari formasi fisik dan biologis atau kelompok formasi tersebut, yang memiliki nilai universal luar biasa dari titik pandang estetika atau sains. 2. Formasi geologi dan fisiografi yang merupakan habitat spesies terancam hewan dan tumbuhan nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang ilmu pengetahuan, atau konservasi. 3. Situs alam atau daerah alam yang digambarkan nilai universal luar biasa dari sudut pandang ilmu pengetahuan, konservasi, atau keindahan alam. Untuk properti dianggap sebagai mixed cultural and natural heritage jika memenuhi sebagian atau seluruh definisi dari kedua warisan budaya dan alam. Dalam penetapannya sebagai world heritage, minimal terdapat satu dari sepuluh kriteria yang dirangkum dalam World Heritage Convention.

Pada kasus perkotaan, World Heritage Centre (2005) menyatakan bahwa kelompok perkotaan yang memenuhi syarat menjadi prasasti di World Heritage List dikelompokkan ke dalam tiga utama kategori. Kategori pertama yaitu kotakota yang tidak lagi dihuni, tetapi menyediakan perubahan arkeologi sebagai bukti dari masa lalu. Umumnya pada kategori ini kota tersebut memenuhi kriteria keaslian dan konservasi oleh negara dapat relatif mudah dikontrol. Kategori kedua yaitu kota-kota bersejarah yang masih dihuni dan sifatnya dapat dikembangkan dan akan terus berkembang di bawah pengaruh sosial-ekonomi dan perubahan budaya. Situasi yang membuat penilaian keaslian kota pada kategori ini lebih sulit dan setiap kebijakan konservasi lebih problematis. Kategori terakhir yaitu kotakota baru dari abad kedua puluh yang memiliki kesamaan dengan kedua kategori sebelumnya. Organisasi perkotaan jelas dikenali dan keaslian mereka bisa dipungkiri, namun masa depan kota ini cenderung tidak jelas karena perkembangan mereka sebagian besar tak terkendali. Kota Pusaka Kota merupakan salah satu lingkungan kehidupan manusia. Kota sebagai ruang hidup yang dapat dikatakan paling kompleks karena perkembangannya dipengaruhi oleh aktivitas pengguna perkotaan yang dinamis karena dipengaruhi oleh tuntutan zaman dan tuntutan hidup. Perkembangan kota cenderung menekankan pada segi ekonomi (Mulyandari 2011). Sebagaimana dilansir dari Kota Pusaka (2013), kota pusaka bermakna kota yang memiliki kekentalan sejarah yang bernilai dan memiliki pusaka alam, pusaka budaya berwujud dan pusaka budaya tidak berwujud, serta rajutan berbagai pusaka tersebut secara utuh sebagai aset pusaka dalam wilayah/kota atau bagian dari wilayah/kota yang hidup, berkembang, dan dikelola secara efektif. Maksud dari dicanangkannya kota pusaka yakni untuk mewujudkan reformasi di bidang perencanaan dari tataran perencanaan RTRW ke arah aksi implementasi konkrit yang berbasis kekuatan ruang kota dengan nilai-nilai pusaka di dalamnya sebagai tema utama. Program ini juga dimaksudkan untuk mendorong diakuinya Kota Pusaka Indonesia sebagai Kota Pusaka Dunia oleh UNESCO. Kota Pusaka memilki tujuan untuk mewujudkan ruang kota yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berbasis rencana tata ruang, bercirikan nilainilai pusaka, melalui transformasi upaya-upaya pelestarian menuju sustainable urban (heritage) development dengan dukungan dan pengelolaan yang handal serta penyediaan infrastruktur yang tepat menuju Kota Pusaka Dunia. Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP) diprioritaskan kepada kota/kabupaten anggota Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) mengingat kota/kabupaten tersebut sekurang-kurangnya telah memiliki komitmen dan kepedulian dalam melindungi kekayaan pusaka alam, budaya, dan saujana yang dimilikinya yang ditunjukkan disusunnya RTRW dan heritage map. Di dalam jaringan inilah, para anggota JKPI secara bersama-sama berupaya mencari jalan dan langkah-langkah nyata dalam mendaya-upayakan kekayaan pusaka bangsa menjadi aset yang bernilai jual tinggi, baik dimata bangsa Indonesia maupun di mata bangsa-bangsa lain di dunia. Tujuan didirikannya jaringan ini adalah untuk menjaga kelestarian benda cagar budaya peninggalan 7

8 sejarah di Indonesia dan memiliki peran penting didalam melindungi, menata dan melestarikan aset-aset pusaka Indonesia. Dari puluhan kabupaten/kota yang tergabung dalam JKPI, terpilih 26 kabupaten/kota yang menyatakan komitmennya dalam mendukung P3KP. Sebanyak 26 kabupaten/kota tersebut kemudian dibagi menjadi tiga kelompok yakni kelompok A, B, dan C yang pada intinya disesuaikan dengan tingkat pemahaman pusaka, kelengkapan dan kedalaman substansi proposal, kesiapan dan keseriusan daerah di dalam melaksanakan program P3KP (yang telah dan akan dilaksanakan), dan kompetensi SDM daerah terkait. Penjabaran ketiga kelompok tersebut sebagai berikut: 1. Kota dan kabupaten kelompok A yang telah memiliki kesiapan dan pengalaman dalam pengelolaan kawasan pusaka dan kepadanya akan diberikan fasilitasi penyusunan Rencana Manajemen Kota Pusaka (Heritage City Management Plan), fasilitasi awal dukungan pemangku kepentingan, dan fasilitasi kampanye publik. 2. Kota dan kabupaten kelompok B yang sudah memiliki identifikasi kawasan pusaka namun pengelolaannya masih terbatas dan kepadanya akan diberikan pendampingan capacity building tingkat lanjut agar pada tahun berikutnya siap menerima fasilitasi penyusunan Rencana Manajemen Kota Pusaka (Heritage City Management Plan). 3. Kota dan kabupaten kelompok C yang masih pada tahap persiapan dan kepadanya akan diberikan pendampingan capacity building tingkat dasar dan kemudian dipersiapkan untuk memperoleh fasilitasi capacity building tingkat lanjutan. Kota Baubau Kota Baubau merupakan salah satu kota yang berada di Provinsi Sulawesi Tenggara. Sebagai salah satu kota pusaka, Baubau masuk dalam kelompok A. Secara legal, Kota Baubau terbentuk menjadi daerah otonom dan mandiri lepas dari kabupaten induk (Kabupaten Buton) berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2001. Meskipun terbilang masih muda, Kota Baubau sesungguhnya memiliki catatan sejarah yang panjang, yang tidak bisa dipisahkan dengan kota lama yang mendahuluinya. Sejarah Kota Baubau dimulai pada periode tahun 1226-1246 dengan dibangunnya pemukiman awal berupa dua buah kampung di daerah yang kini dikenal dengan kawasan Benteng Keraton Buton. Pada periode selanjutnya, permukiman berkembang dan akhirnya menjadi empat buah kampung. Pada periode tahun 1332-1511 ditandai dengan terbentuknya Kerajaan Buton dan empat perkampungan tersebut menjadi ibukota kerajaan (Azizu et al.2010). Hal tersebut didukung melalui salah satu kalimat dalam Negarakertagama pada tahun 1365 yang menyebut Butun (atau Buton) sebagai salah satu bagian wilayah Majapahit. Pada periode waktu tersebut hingga tahun 1900an, yang dikenal bukanlah Kota Baubau melainkan Negeri Butuni (Butun, Butung, atau Buton) (Adji 2013). Pada periode tahun 1511-1634 ditandai dengan berubahnya sistem pemerintahan dari kerajaan menjadi kesultanan. Perkembangan empat kampung tersebut selanjutnya menjadi sembilan kampung. Periode tahun 1634-1928 dibangun benteng yang mengelilingi Keraton Buton (Azizu et al. 2010). Kawasan

Benteng Keraton sebagai pusat pemerintahan kesultanan tidak berubah pada masa pemerintahan Hindia Belanda, namun terjadi pergeseran center of network yang terletak di sekitar pantai yang merupakan pusat pemerintahan dan administrasi pemerintah Hindia Belanda dijalankan. Pergerseran pusat kota dari wilayah Benteng Keraton Buton dari atas bukit menuju pantai berjarak sekitar 2 km. Inilah asal muasal penyebutan Kota Baubau yang dalam bahasa daerah setempat berarti kota baru (Rabani 2012). Pada perkembangan selanjutnya, wilayah administrasi Buton yang berpusat di Baubau ditetapkan sebagai ibukota Afdeling Sulawesi Timur pada tanggal 11 September 1911. Penetapan ini dimuat dalam Lembaran Negara (Staatblad) tahun 1911 Nomor 606. Penetapan ini kian memperlancar dinamika ekonomi dan perubahan fisik ekologis kota Baubau. Secara fisik, kondisi ini ditandai dengan dibangunnya infrastruktur dan fasilitas kota oleh Belanda (Fahimuddin 2011). Pada tahun 1952, terbentuk Kabupaten Sulawesi Tenggara di Provinsi Sulawesi Selatan Tenggara. Ibukota Kabupaten ini berada di Kota Baubau (Fahimuddin 2011). Pada periode tahun 1950an ini, terjadi gejolak dari daerahdaerah di Sulawesi untuk memekarkan diri atas dasar tuntutan sejarah kerajaan masa lalu. melalui UU No. 29 tahun 1959 Kabupaten Sulawesi Tenggara mekar menjadi empat kabupaten salah satunya Kabupaten Buton yang beribukota di Kota Baubau (Said 2011). Pembentukan Kota Baubau sebagai daerah otonom yang memisahkan diri dari Kabupaten Buton terjadi pada tahun 2001. Pada awalnya Kota Baubau terdiri atas empat kecamatan yakni Kecamatan Wolio, Kecamatan Betoambari, Kecamatan Sorawolio, dan Kecamatan Bungi (Baja 2012). Dalam perkembangannya, terbentuk lagi empat kecamatan yakni Kecamatan Murhum, Kecamatan Kokalukuna, Kecamatan Lea-Lea, dan Kecamatan Batupoaro. Luas wilayah Kota Baubau adalah 221.00 km 2. Luas wilayah tersebut terbagi ke dalam 8 kecamatan, yaitu Kecamatan Betoambari 27,89 km 2, Kecamatan Murhum 4.90 km 2, Kecamatan Batupoaro 1.55 km², Kecamatan Wolio 17.33 km 2, Kecamatan Kokalukuna 9.44 km 2, Kecamatan Sorawolio 83.25 km 2, Kecamatan Bungi 47.71 km 2, dan Kecamatan Lea-Lea 28.93 km 2. Luas wilayah Kota Baubau yakni 0.221 km 2 dengan panjang garis pantai sebesar 42 km (BPS Kota Baubau 2013). Batas wilayah Kota Baubau adalah: (1) sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Kapontori, Kabupaten Buton; (2) sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton; (3) sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Pasarwajo, Kabupaten Buton; dan (4) sebelah barat berbatasan dengan Selat Buton. Kondisi topografi Daerah Kota Baubau pada umumnya memiliki permukaan yang bergunung, bergelombang dan berbukit-bukit. Kota Baubau memiliki pula sungai yang besar yaitu sungai Baubau yang membatasi Kecamatan Wolio dengan Kecamatan Murhum dan Kecamatan Batupoaro (BPS Kota Baubau 2013). Berdasarkan hasil proyeksi sensus penduduk tahun 2010 yang dilaksanakan BPS, penduduk Kota Baubau tahun 2012 berjumlah 142 576 orang. Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk, maka kepadatan terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2012 kepadatan penduduk meningkat menjadi 645 orang per km 2. Kepadatan tertinggi terdapat di Kecamatan Batupoaro sebesar 17 384 orang per km 2, sedangkan Kecamatan Sorawolio dengan luas wilayah terbesar justru 9