BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (KBBI 2003:588). 2.1.1 Gangguan Berbahasa Gangguan berbahasa digunakan sebagai istilah umum yang luas untuk melukiskan perilaku berbahasa tertentu yang tidak normal dan digunakan juga sebagai sebuah deskripsi untuk merujuk kepada sebuah entitas diagnostik yang dapat menerangkan hakikat perilaku berbahasa itu. Istilah ini juga digunakan oleh orangorang yang menemukan si anak dalam berbagai situasi yang memerlukan kemahiran berbahasa dalam beragam interkasi dan situasi, seperti berbicara dan memahami pembicaraan, mengikuti instruksi, menyampaikan pesan-pesan kepada orang lain, dan sebagainya (Simanjutak 2009: 248). 2.1.1 Kalimat Kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai intonasi final dan secara aktual maupun potensial terdiri atas klausa. Salah satu bentuk dari pembagian kalimat adalah kalimat dasar. Kalimat dasar disebut juga kalimat inti. Kalimat dasar adalah pola kalimat yang merupakan dasar dari struktur suatu bahasa, dan yang ditandai oleh (a) bentuk yang paling sederhana, dimana
subjek dinyatakan dengan nomina, kejadian dinyatakan dengan verba, dan abstraksi dinyatakan dengan adjektiva, adverbia, atau verba tertentu, (b) ungkapan yang paling kecil keambiguannya dalam segala hubungan, dan (c) bentuk eksplisit mencakup semua informasi (Kridalaksana 1984:83). 2.1.2 Spektrum Autisme Kasus penyakit spektrum autisme atau sering disebut autisme saja mula-mula ditemukan oleh Dr. Hans Asperger, seorang psikiater Austria pada tahun 1944 dan beliau sebagai ahli penyakit kejiwaan menyebut pola penyakit itu sebagai autistic psychopathy. Kemudian istilah ini diubah menjadi sindrom Asperger untuk menghormati penemunya dan juga untuk mencegah kesalahpahaman karena orang cenderung menyamakan istilah psychopathy ini dengan sociopathic behavior (perilaku penyakit sosial). Pada tahun 1943, Dr. Leo Kanner, seorang dokter Austria yang lain menulis artikel mengenai kasus yang sama dan beliau memakai istilah infantile autism (autisme anak-anak). Dr. Kanner menulis artikel ini di Amerika, karena beliau telah hijrah ke sana pada tahun 1942 dan menjadi warga negara Amerika. Autisme yang ditemukan Asperger sekarang disebut sindrom Asperger, sedangkan autisme yang ditemukan Kanner disebut autisme tipe Kanner. Namun sekarang autisme tipe Kanner ini telah terkenal sebagai penyakit autistik (autistic disorder). Agar tidak terjadi kesimpangsiuran, ahli-ahli kedokteran telah mengadopsi sebuah nama yang menyatukan kedua nama, yaitu sindrom Asperger dan autisme tipe Kanner, menjadi penyakit spektrum autisme (autism spectrum disorder) karena
penyakit ini merupakan sekumpulan kelainan bahasa dan agar jelas, bahwa penyakit ini memiliki banyak jenis bergantung pada keparahan penyakit ini, namun semuanya memiliki beberapa simtom bersama, dan simtom bersama yang paling menonjol ialah penarikan diri dari interaksi sosial (Simanjuntak 2009: 249). Selanjutnya (Simanjuntak 2009: 249) juga mengemukakan ciri-ciri spektrum autisme itu sebagai berikut: 1. Tidak ada kontak mata dengan orang di sekelilingnya. 2. Anak akan mengelakkan pandangan mata seseorang, sekalipun seseorang itu berusaha melihat matanya. 3. Anak akan mengguncang badannya ke kiri ataupun ke kanan atau anak akan membenturkan kepalanya ke tembok kalau sedang marah. 4. Terdapat kerusakan bahasa, penyimpangan-penyimpangan ujaran. 5. Anak tidak memiliki empati terhadap orang lain. 6. Anak tidak peduli pada interaksi sosial dan inilah ciri bersama yang paling menonjol. 7. Anak susah meniru apapun. 8. Anak kehilangan komponen pragmatik bahasa, yaitu anak mengalami kesukaran memahami metafora, sering menafsirkannya secara literal (Simanjuntak, 2009). 2.2 Landasan Teori 2.2.1 Neurolinguistik
Neurolinguistik adalah sebuah ilmu dari hasil kerjasama di antara neurologi dan linguistik. Neurologi merupakan ilmu yang mengkaji fungsi dan kerusakan sarafsaraf otak dan linguistik ilmu yang mengkaji struktur bahasa. Kerjasama ini muncul, karena ternyata pemerolehan bahasa dan kerusakan bahasa (penyakit bertutur), seperti afasia, gagap, autisme, stroke, dan sebagainya, termasuk bidang kedua disiplin ini. Jadi, neurolinguistik adalah ilmu baru yang mengkaji struktur bahasa, kelahiran bahasa, pemerolehan bahasa, pengajaran bahasa, kerusakan bahasa dan mekanisme sereberum (struktur otak) yang mendasari bahasa. Tugas utama neurolinguistik adalah untuk menerapkan data-data klinis penyakit bertutur (afasia) untuk memaparkan mekanisme fisiologi dan neurofisiologi yang mendasari penyakit bertutur itu, agar dapat merumuskan sebuah pandangan yang menyeluruh mengenai patologi bahasa dan ucapan. Pada umumnya, neurolinguistik dianggap sebagai penerapan metode dan model linguistik kepada pengkajian kerusakan bahasa dan ucapan sebagai akibat dari kerusakan korteks otak. Otak sangat berperan penting dalam proses berbahasa. Pusat bahasa terdapat dalam hemisfer kiri otak. Hemisfer kiri terbagi atas Medan Broca dan Medan Wernicke. Kedua medan ini memiliki peran yang sangat penting. Jika daerah hemisfer kiri ini mengalami gangguan, akan terjadi kerusakan bahasa, baik secara artikulasi atau produksi ujaran, maupun pemahaman makna. Kerusakan pada Medan Broca ditandai dengan berkurangnya jumlah ujaran, gangguan artikulasi, kelambanan, dan kesulitan menghasilkan ujaran. Kerusakan pada Medan Wernicke ditandai dengan lancarnya penderita dalam mengucapkan arus
ujaran, tetapi ujarannya tidak mengandung arti atau tidak mengandung informasi, dan juga tidak dapat memahami kalimat-kalimat yang didengarnya. Jadi, apabila terjadi kerusakan pada Medan Broca, penderita tidak sempurna atau tidak dapat sama sekali memproduksi kalmat-kalimat, sedangkan kerusakan yang terjadi pada Medan Wernicke menyebabkan penderita tidak dapat memahami kalimat-kalimat yang didengarnya (Simanjuntak 2009:258). 2.2.2 Sintaksis Istilah sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang berarti dengan dan kata tattein yang berarti menempatkan. Jadi, secara etimologi sintaksis berarti menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat (Chaer 2007:206). Dalam pembahasan sintaksis yang biasa dibicarakan adalah 1) Struktur sintaksis, mencakup masalah fungsi, kategori, dan peran sintaksis; serta alat-alat yang digunakan dalam membangun struktur itu, 2) Satuan-satuan sintaksis yang berupa kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana, 3) Hal-hal lain yang berkenaan dengan sintaksis, seperti masalah modus, aspek, dan sebagainya. 2.2.3 Kalimat Kalimat adalah satuan bahasa terkecil berupa susunan kata-kata yang teratur dalam wujud lisan dan tulisan yang mengungkapkan pikiran yang utuh. Dalam wujud lisan kalimat diucapkan dengan suara naik turun dan keras lembut, disela jeda, dan diakhiri dengan intonasi akhir. Dalam wujud tulisan, kalimat dimulai dengan huruf
kapital dan diakhiri dengan tanda titik (.), tanda Tanya (?), dan tanda seru (!) (Chaer 2007: 240). Kalimat terbagi dalam beberapa bentuk dan salah satunya adalah kalimat dasar. Kalimat dasar ialah kalimat yang memenuhi syarat gramatikal (mempunyai subjek, predikat, atau dan objek serta pelengkap) dan kalimat itu belum mengalami perubahan. Perubahan itu dapat berupa penambahan unsur seperti penambahan keterangan kalimat ataupun keterangan subjek, predikat, objek, ataupun pelengkap. Perubahan itu dapat juga berupa penukaran unsur (S-P P-S); atau berupa perubahan bentuk dari aktif ke pasif. Di samping itu, perubahan yang dimaksud itu termasuk peniadaan unsur tertentu, seperti kalimat yang terdiri atas subjek saja, predikat saja, atau objek saja, bahkan keterangan saja (Sugono 1983: 97). Berdasarkan ciri-ciri yang dimilikinya, kalimat dasar dapat dibedakan ke dalam delapan pola, yaitu 1. S P O K Subjek Predikat Objek Keterangan (1) Diana Mengirimkan makalah (2) Anak itu melemparkan koran (3) Dia meletakkan sepedanya (4) Rini mengeluarkan kuitansi Verba dwitransitif kepada panitia ke pintu rumah Ani. di teras depan. dari laci mejanya. Fprep Pola 1 adalah kalimat dasar yang mempunyai unsur subjek, predikat, objek, dan keterangan. Subjek berupa nomina atau frasa nominal, predikat berupa verba
dwitransitif, objek berupa nomina atau frasa nominal, dan keterangan berupa frase berpreposisi. 2. S P O Pel Subjek Predikat Objek Pelengkap (5) Ratna Meminjami Saya sepeda. (6) Johan mengirimi ibunya uang. (7) Saya membayari dia semangkok bakso. (8) Martha membelikan adiknya kamus kecil. (9) Paman membuatkan anaknya rumah. Verba dwitransitif Pola 2 adalah kalimat dasar yang mempunyai unsur subjek, predikat, objek, dan pelengkap. Subjek berupa nomina atau frasa nominal, predikat berupa verba dwitransitif, objek berupa nomina atau frasa nominal, dan pelengkap berupa nomina atau frasa nominal. 3. S P O Subjek Predikat Objek (10) Manusia mengenal kebudayaan. (11) Hukum itu melindungi kebenaran. (12) Kita memerangi kemiskinan. Verba Transitif Pola 3 adalah kalimat dasar yang mempunyai unsur subjek, predikat, dan objek. Subjek berupa nomina atau frasa nominal, predikat berupa verba transitif, dan objek berupa nomina atau frasa nomina. 4. S P Pel Subjek Predikat Pelengkap (13) Planet itu Menyerupai bintang.
(14) Mereka (15) Negara kita kehilangan berdasarkan Verba semitransitif/ Intransitif uang. pancasila. Pola 4 adalah kalimat dasar yang mempunyai unsur subjek, predikat, dan pelengkap. Subjek berupa nomina atau frasa nominal, predikat berupa verba semitransitif atau verba transitif, dan pelengkap berupa nomina atau adjektiva pola 4 ini sebenarnya kurang memiliki ciri sintaksis yang mantap seperti sebelumnya. Namun, contoh-contoh pola 4 itu kurang terbuka. Dengan kata lain, predikat tipe ini terbatas, sedikit ditemukan verba pengisi predikat kalimat dasar pola 4 itu dalam menggunakan bahasa. 5. S P K Subjek Predikat Keterangan (16) Dia Berasal dari Malang. (17) Kami berdomisili di permukiman baru (18) Gagasan ini terdapat dalam buku ekonomi (19) Cincin ini terbuat publik. emas. Verba dwiintransitif Fprep Pola 5 adalah kalimat dasar yang mempunyai unsur subjek, predikat, dan keterangan. Subjek berupa nomina atau frasa nominal, predikat berupa verba dwiitransitif, dan keterangan berupa frasa berpreposisi. Verba predikat yang memerlukan keterangan ini tidak memiliki ciri bentuk yang khas, kehadiran keterangan lebih dituntut oleh ciri semantik (makna) verba predikat karena ada verba bentuk ber- dan ter- yang tidak memerlukan keterangan (lihat Pola 6).
6. S P (P: Verba) Subjek (20) Bumi (21) Matahari (22) Peluncuran itu Predikat berputar. terbit. tertunda. Verba intransitive Pola 6 adalah kalimat dasar yang mempunyai unsur subjek dan predikat. Subjek berupa nomina atau frasa nominal dan predikat berupa verba transitif, tidak ada objek, pelengkap, ataupun keterangan yang wajib. 7. S P (P: Nomina) Subjek (23) Komodo itu (24) Ayah (25) Beta (26) Kami Predikat binatang. pengusaha. penyanyi. seniman. Nomina/Frasa Nominal Pola 7 adalah kalimat dasar yang mempunyai unsur subjek dan predikat. Subjek berupa nomina atau frasa nominal dan predikat juga berupa nomina atau frasa nominal. Nomina predikat biasanya mempunyai pengertian lebih luas daripada nomina subjek. Binatang mempunyai pengertian lebih luas daripada komodo, pengusaha mempunyai pengertian lebih luas daripada ayah. Penyanyi mempunyai lebih luas daripada beta, seniman mempunyai pengertian lebih luas daripada kami. 8. S P (P: Adjektiva) Subjek (27) Bumi ini (28) Kancil itu Predikat bulat. cerdik.
(29) Harimau itu buas. Adjektiva Pola 8 adalah kalimat dasar yang mempunyai unsur subjek dan predikat. Subjek berupa nomina atau frasa nominal dan predikat berupa adjektiva. Unsur predikat itulah yang membedakan pola 8 dari pola 7 dan pola 6. Jadi, pola 6, pola 7, dan pola 8 sebenarnya mempunyai kesamaan, yaitu terdiri atas subjek dan predikat (tidak ada objek ataupun pelengkap). Perbedaan ketiga pola itu terletak pada unsur pengisi predikat. Pengisi predikat kalimat dasar pola 6 adalah verba intransitif, pengisi predikat kalimat dasar pola 7 adalah nomina, dan pengisi predikat kalimat dasar pola 8 adalah adjektiva. 2.2.4 Gangguan Berbahasa Haron (1997) mengelompokkan gangguan berbahasa (kecacatan artikulasi) yang dihasilkan oleh para penderita gangguan berbahasa ke dalam empat macam tipe, yakni substitiussion (pertukaran unsur bahasa), distortion (salah urut unsur bahasa), omission (pelesapan atau penghilangan unsur bahasa), dan addition (penambahan unsur bahasa). 2.3 Tinjauan Pustaka Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, dan pendapat (sesudah menyelidiki atau mempelajari). Pustaka adalah kitab, buku, buku primbon (KBBI 2007:912). Berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan, maka ada sejumlah sumber yang relevan untuk dikaji dalam penelitian ini. Adapun sumber tersebut adalah:
Rajagukguk (2012), dalam skripsinya yang berjudul Kalimat Inti Bahasa Indonesia pada Penderita Afasia Broca, menyimpulkan bahwa kalimat inti bahasa Indonesia penderita Afasia Broca berbeda dengan kalimat inti bahasa Indonesia pada manusia normal. Kalimat inti yang diucapkan oleh penderita tidak sempurna. Penderita Afasia Broca mengucapkan kalimat inti dengan mengucapkan hanya bagian yang paling inti dari sebuah kalimat yang hendak diucapkan, sehingga apabila kalimat yang diucapkan adalah kalimat yang lebih dari dua kata, penderita akan memilih untuk mengucapkan kata pada bagian tengah kalimat yang biasanya merupakan inti dengan menghilangkan kata pada bagian awal dan akhir kalimat. Gustianingsih (2009) dalam judul disertasi Produksi dan Komprehensi Bunyi Ujaran Bahasa Indonesia pada Anak Penyandang Autistic Spectrum Disorder menyimpulkan bahwa anak autistik sering melakukan penyimpangan pada awal dan akhir kata, mengindikasikan bahwa anak autistik mengalami gangguan inisiasi (initiation disorder) dan mengalami kesulitan untuk menuntaskan ujaran. Anak autistik ini sering mengulang-ulang ujarannya dan akhirnya tidak tuntas. Rastika (1992), dalam skripsinya yang berjudul Kemampuan Berbahasa Lisan Siswa-Siswi Tunarunggu di SLB Bagian B YPPLB menyimpulkan bahwa kemampuan berbicara memegang peranan yang penting dalam kehidupan manusia. Di samping berfungsi sebagai alat komunikasi, dengan bahasa kita juga dapat melihat kepribadian seseorang dan latar belakang pendidikannya. Kemampuan berbahasa lisan akan dapatberkembang dengan baik apabila sarana-sarana yang diperlukan untuk berbahasa lisan dapat berfungsi dengan semestinya tanpa suatu
ketidaksempurnaan. Namun bukan berarti mereka yang menderita gangguan khusus tertutup kemungkinan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa lisannya. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa penelitian terhadap gangguan berbahasa pada penyandang spektrum autisme sudah pernah dilakukan sebelumnya. Akan tetapi penelitian tentang kalimat dasar pada Penyandang Spektrum Autisme belum pernah dilakukan. Dari pernyataan di atas terlihat jelas bahwa seseorang yang mengalami gangguan pada otaknya akan mengalami kesulitan dalam mengeluarkan setiap kata-kata yang akan disampaikan kepada orang lain. Sebaliknya, orang lain juga mengalami kesulitan untuk memahami bahasa lisan yang diucapkan oleh penderita tersebut karena keduanya memiliki hubungan timbal balik.