POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT

dokumen-dokumen yang mirip
PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN. Dr. Adang Agustian

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Kajian Kinerja dan Dampak Program Strategis Departemen Pertanian

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 37/Permentan/SR.130/5/2010 TENTANG PEDOMAN UMUM BANTUAN LANGSUNG PUPUK TAHUN ANGGARAN

PENCAPAIAN SURPLUS 10 JUTA TON BERAS PADA TAHUN 2014 DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMICS)

PENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi...

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016

PERAN SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL- PTT) DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI DI KABUPATEN PURBALINGGA

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, khususnya tanaman pangan bertujuan untuk meningkatkan

KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN PERTANIAN BUKAN SAWAH

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

RENCANA OPERASIONAL DISEMINASI HASIL PENELITIAN PENDAMPINGAN PROGRAM STRATEGIS KEMENTERIAN PERTANIAN DI SULAWESI SELATAN:

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian selalu dikaitkan dengan kondisi kehidupan

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

pelaksanaan pencapaian ketahanan pangan dan kemandirian pangan nasional.

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016

Gambar 3.6: Hasil simulasi model pada kondisi eksisting

KAJIAN POLA PENDAMPINGAN PROGRAM SL-PTT DI KABUPATEN LUWU PROPINSI SULAWESI SELATAN

BUPATI PASURUAN PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI PERTANIAN KABUPATEN PASURUAN TAHUN 2015

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG

Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (m-p3mi) Berbasis Padi Palawija

RANCANGAN DAN IMPLEMENTASI SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU PADI

PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG

BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 14 MARET 2012

PEDOMAN PELAKSANAAN PENUMBUHAN DAN PENGEMBANGAN PENYULUH PERTANIAN SWADAYA TAHUN 2016

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan dengan tujuan

FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD): Rekomendasi Kebijakan Penyempurnaan Pelaksanaan Program UPSUS Pajale ke Depan: Evaluasi UPSUS Pajale 2015

Peran Teknologi Pertanian dalam Meningkatkan Produktivitas Tanaman Jagung Senin, 22 Maret 2010

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Kerangka Pemikiran

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A

I. PENDAHULUAN. Dalam rangka pencapaian ketahanan pangan nasional, Pemerintah terus berupaya

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 80/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG

KE-2) Oleh: Supadi Valeriana Darwis

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PANEN RAYA PADI DI DESA SENAKIN KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

Abstrak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012

KATA PENGANTAR. Jakarta, 2015 Direktur Jenderal, Sumarjo Gatot Irianto Nip

PEDOMAN PELAKSANAAN Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, Kedelai dan Kacang Tanah Tahun 2010

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAJIAN ALTERNATIF MODEL BANTUAN BENIH DAN PUPUK UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI PANGAN

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2010

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016

I. PENDAHULUAN. sebagai dasar pembangunan sektor-sektor lainnya. Sektor pertanian memiliki

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU,

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL TANAMAN PANGAN Nomor : 6/HK.310/C/1/2013

PERATURAN WALIKOTA MOJOKERTO NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG

BUPATI MADIUN SALINANAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun (Persentase)

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT

KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI KUDUS,

RENCANA OPERASIONAL DISEMINASI HASIL PENELITIAN (RODHP) GUGUS TUGAS KALENDER TANAM TERPADU DI PROVINSI BENGKULU

Laporan Kinerja 2014 KATA PENGATAR

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

BAB I PENDAHULUAN. (BLBU SL-PTT) padi tahun 2012 di Kabupaten Barito Utara. Fokus penelitian

TENTANG REKOMENDASI PEMUPUKAN N, P, DAN K PADA PADI SAWAH SPESIFIK LOKASI

WALIKOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA,

GUBERNUR SULAWESI TENGAH

PERBANYAKAN BENIH SUMBER PADI DI SUMATERA UTARA MELALUI UPBS 2015

II. TINJAUAN PUSTAKA

KERAGAAN BEBERAPA VARIETAS UNGGUL JAGUNG KOMPOSIT DI TINGKAT PETANI LAHAN KERING KABUPATEN BLORA

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 072 TAHUN 2013 TENTANG

PERBANYAKAN BENIH SUMBER PADI DAN KEDELAI DI SUMATERA UTARA MELALUI UPBS

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG

PENDAHULUAN Latar Belakang

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG

KEMENTERIAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN SULAWESI TENGGARA PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG,

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

MODUL PTT FILOSOFI DAN DINAMIKA PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU KEDELAI

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Indonesia. Bagi perekonomian Indonesia kacang kedelai memiliki

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

KEBIJAKAN PENYULUHAN DALAM MENDUKUNG UPSUS PAJALE

KEBIJAKAN PENYULUHAN DALAM MENDUKUNG UPSUS PAJALE

WALIKOTA PROBOLINGGO

BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

I. PENDAHULUAN. sumber pangan utama penduduk Indonesia. Jumlah penduduk yang semakin

PENDAHULUAN Latar Belakang

Transkripsi:

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT Ir. Mewa Ariani, MS Pendahuluan 1. Upaya pencapaian swasembada pangan sudah menjadi salah satu program prioritas Pemerintah Indonesia sejak Presiden RI pertama. Sasaran pencapaian swasembada berkelanjutan untuk padi serta jagung, dan swasembada kedele, gula pasir, serta daging sapi di tahun 2014 ditetapkan oleh Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu sejak 2004. Khusus untuk beras, sejak 2010 ditetapkan sasaran baru, yaitu pencapaian surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014. Selanjutnya, Presiden Joko Widodo dengan Kabinet Kerjanya menetapkan pencapaian sasaran swasembada padi, jagung dan kedelai pada tahun 2017. 2. Untuk mencapai sasaran swasembada beras berkelanjutan mulai tahun 2008 Kementerian Pertanian melaksanakan program Peningkatan Produksi Beras Nasional atau disebut program (P2BN). Salah satu komponen penting program P2BN adalah kegiatan Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). Pada intinya SL-PTT bukan suatu teknologi baru usaha tani, tetapi suatu metoda atau pendekatan dalam diseminasi, pengembangan dan penerapan rekayasa inovasi teknologi disertai pendampingan intensif oleh penyuluh atau pendamping. Penerapan PTT didasarkan pada empat prinsip yaitu: (i) PTT merupakan cara mengelola tanaman dan sumber daya (lahan, air, unsur hara, organisme pengganggu tanaman) secara holistik dan berkelanjutan, (ii) memanfaatkan teknologi pertanian dengan memperhatikan unsur keterkaitan sinergis antar teknologi, (iii) memperhatikan kesesuaian teknologi dengan lingkungan fisik maupun sosial-ekonomi petani, dan (iv) penerapannya bersifat partisipatif, yang berarti petani turut serta menguji dan memilih teknologi sesuai dengan keadaan setempat dan kemampuan petani melalui proses pembelajaran. 3. Satu unit SL-PTT mencakup 25 hektar dengan 1 hektar diantaranya dijadikan Laboratorium Lapang (LL) yaitu sebagai tempat percontohan penerapan paket teknologi usaha tani rekomendasi, sekaligus tempat pembelajaran kelompok tani. Karena sebagai tempat percontohan, seluruh komponen teknologi yang direkomendasikan (seperti benih dan pupuk) disediakan Pemerintah dengan dosis secara penuh. Melalui kegiatan SL-PTT diharapkan produktivitas padi dapat 1

ditingkatkan: untuk padi inbrida sawah 0,75 ton/ha; padi hibrida 2,0 ton/ha; padi pasang surut 0,3 ton/ha; padi rawa lebak 0,3 ton/ha dan padi lahan kering/gogo 0,5 ton/ha. 4. Sampai tahun 2014, kegiatan SL-PTT padi telah diimplementasikan selama tujuh tahun dengan jumlah anggaran dan sumberdaya yang cukup besar serta melibatkan banyak kelompok tani dan petani. Namun demikian, belum pernah dilakukan evaluasi yang komprehensif dan transparan atas kenerjanya mulai dari perencanaan, implementasi, dan dampak atau pencapaian sasaran kegiatannya. Hasil Kajian 5. Laju pertumbuhan luas panen, produktivitas, dan produksi padi nasional selama 2009-2013 berfluktuasi dengan tren kenaikan per tahun masing-masing sebesar 1,84%, 0,76%, dan 2,59%. Sementara itu, dalam kurun waktu 2009-2014, rencana luas areal SL-PTT terus ditingkatkan dengan laju yang sangat tinggi yaitu 18,3% per tahun. Proporsi luas areal SL-PTT terhadap luas panen padi nasional meningkat cukup pesat dari 15,9% pada tahun 2009 menjadi 34,1% pada tahun 2014. Dari fakta tersebut dapat disimpulkan: (i) perencanaan luas areal SL-PTT tidak didasarkan hasil evaluasi pelaksanaan SL-PTT, namun lebih didasarkan pada ketersediaan anggaran, dan (ii) peningkatan produktivitas padi dari kegiatan SL-PTT tidak signifikan, tercermin dari laju pertumbuhan produktivitas yang tetap lamban walaupun proporsi luas SL-PTT terhadap luas panen nasional meningkat pesat. 6. Pulau Jawa dan Sumatera merupakan wilayah terluas dalam perencanaan areal program SLPTT masing-masing sebesar 33,1% dan 28,4% per tahun. Perencanaan ini tidak sesuai dengan konsep MP3EI, dimana Pulau Jawa dan Sumatera dirancang menjadi pusat pertumbuhan industri pengolahan, jasa, dan pertambangan. 7. Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat merupakan dua provinsi terluas yang mendapat alokasi rencana luas areal kegiatan SLPTT, masing-masing sebesar 9,65% dan 8,95%. Tingkat penerapan teknologi di kedua propinsi ini sudah jauh lebih baik dengan produktivitas per hektar lebih tinggi dari rata-rata nasional, sehingga harapan untuk mendapatkan tambahan hasil per hektar yang besar akan sulit diwujudkan (terbatas). Seharusnya kegiatan SL-PTT dilaksanakan di daerah yang produtivitasnya masih rendah (belum leveling off), yang pada umumnya berada di luar Jawa, terutama di Pulau Sulawesi yang menjadi koridor pangan (konsep MP3EI). Namun proporsi areal kegiatan SL-PTT di lokasi tersebut berkisar 0,99-2,49%, hanya Propinsi Sulawesi Selatan yang paling tinggi (8,37%). 2

8. Berbagai hal yang menyebabkan kegiatan SL-PTT belum mencapai sasarannya adalah: a. Dari aspek perencanaan seperti penentuan CPCL, penentuan kebutuhan tenologi PTT, dan kebutuhan sarana produksi tidak sepenuhnya mengikuti Pedoman Pelaksanaan PTT; b. LL tidak difungsikan secara optimal sebagai tempat percontohan keunggulan teknologi rekomendasi, serta tempat petani melihat dan membuktikan secara langsung praktek-praktek dan keunggulan teknologi tersebut; c. Terkait butir b, hal ini disebabkan terbatasnya jumlah peneliti dan penyuluh untuk mengawal dan mendampingi petani dalam mempraktekkan komponen teknologi PTT di lahannya sendiri; d. Kegiatan SL-PTT didisain sebagai proyek satu tahun yang dilakukan berulang setiap tahun, bukan dirancang sebagai kegiatan pemberdayaan petani secara berkelanjutan. Akibatnya, antara lain kegiatan di LL yang seharusnya dilaksanakan mendahului satu musim sebelumnya, dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan di lahan petani sendiri (SL) dalam satu unit SL-PTT. 9. Dalam implementasi kegiatan Sl-PTT, aparat pembina dan pendamping disibukkan dengan kegiatan pemberian bantuan fisik berupa benih dan pupuk untuk petani peserta LL dan peserta SL. Pemberian kepada petani SL tidak sesuai dengan dosis rekomendasi yang diujicobakan di lahan LL. Akibatnya, di beberapa tempat diperoleh kesan kegiatan SL-PTT adalah kegiatan pemberian bantuan benih dan pupuk, bukan pendampingan dan pemberdayaan petani. Ditinjau dari aspek perilaku sosial petani, hal ini dapat mengakibatkan: (a) Timbulnya ketergantungan petani akan pemberian bantuan dari Pemerintah untuk kegiatan usaha taninya, padahal pada dasarnya petani adalah entreuperneur atau pebisnis. Kegiatan bertani adalah (bagian) pekerjaannya sehari-hari untuk mendapatkan pendapatan dan kehidupan yang layak. Peran pemerintah yang diharapkan adalah memberikan kondisi berusaha yang kondusif, misalnya mendorong ketersediaan sarana produksi (benih, pupuk) tersedia secara enam tepat, membangun dan merehabilitasi jaringan irigasi agar air tersedia sepanjang waktu, dan bantuan untuk menanggulangi keadaan darurat akibat bencana (kekeringan, kebanjiran, serangan hama), dan (b) Timbulnya kekecewaan petani karena bantuan untuk petani SL hanya sebagian dari rekomendasi yang diterapkan di lahan sawah LL. 10. Sebagai contoh, Petani di Kecamatan Way Jepara, Lampung Timur memahami manfaat pemupukan setelah belajar di LL. Menurut mereka pemupukan berimbang 3

yang optimun adalah komposisi 5:3:2, yaitu untuk satu hektar dosis pemupukannya adalah 5 kuintal pupuk organik, 3 kuintal pupuk NPK dan 2 kuintal pupouk Urea. Namun petani SL mendapat bantuan tidak sesuai dengan dosis tersebut. Apabila dari awal pada kepada petani SL sudah diinformasikan tidak akan diberi bantuan, maka melalui proses RDKK kebutuhan pupuk dengan dosis tersebut akan dapat dipenuhi, karena petani berhak mendapatkan pupuk bersubsidi melalui proses penyusunan RDKK tersebut. 11. Keberhasilan kegiatan SL-PTT lebih banyak ditentukan oleh partisipasi petani dalam menerapkan teknologi usaha tani PTT di LL;pendampingan oleh penyuluh atau pendamping kepda petani dalam proses penerapan dan pembelajaran di LL dan SL; dan sikap petani untuk memahami, mau, dan mampu menerapkan inovasi teknologi seperti yang dikenalkan di LL. Dengan demikian, sebenarnya tanpa bantuan dari Pemerintah sekalipun, bila petani sudah menyakini dan tergerak untuk menerapkan teknologi introduksi hasil dari pembelajaran di LL serta petani meyakini teknologi tersebut memberikan manfaat dan keuntungan yang lebih tinggi dari teknologi yang mereka terapkan sebelumnya, maka petani akan menerapkan teknologi unggul tersebut secara penuh. 12. Pemerintah Daerah pada umumnya mendukung pelaksanaan kegiatan SL-PTT, antara lain ditunjukkan dengan alokasi dana dari APBD. Untuk Jawa Barat alokasi APBD tersebut relatif besar. Namun demikian, implementasi program SL-PTT di propinsi ini masih ditemukan beberapa permasalahan, diantaranya adalah: a. banyaknya komponen teknologi dan kurang efektifnya pelaksanaan LL, b. jumlah dan kualitas PPL terbatas serta kurang harmonisnya koordinasi antara Dinas Pertanian dengan Bakorluh, c. kinerja penyediaan benih tidak optimal (benih yang didistribusikan sering kali kurang tepat dalam hal: waktu, jumlah, varietas, maupun kualitasnya, d. status petani sebagai petani penggarap dan umur petani yang relatif tua, serta e. adopsi komponen teknologi yang diintroduksi di LL, pada kegiatan SL-PTT rendah. Saran Tindak Lanjut 13. Dalam rangka memperbaiki kinerja SL-PTT untuk mendukung tercapainya swasembada beras berkelanjutan ke depan, ada beberapa hal yang perlu segera untuk diperbaiki: 4

a. Sosialisasi pedoman pelaksanaan/teknis SLPTT sesegera mungkin dilaksanakan sebelum musim tanam tiba untuk mengurangi bias antara perencanaan dan pelaksanaan, b. memfungsikan LL sebagai lahan pembelajaran petani SL secara baik sesuai dengan konsep awal PTT, c. mendorong mobilisasi penyuluh swadaya, swasta, dan dari Perguruan Tinggi untuk mengawal dan mendampingi petani dalam menerapkan komponen teknologi PTT spesifik lokasi; d. menumbuhkan penangkar-penangkar lokal dalam dalam kawasan SL-PTT dalam penyediaan benih sesuai dengan keinginan petani, dan ini sejalan dengan program desa mandiri benih, dan e. membangun komunikasi, koordinasi, dan sinergi yang lebih baik lagi antara pemerintah pusat, daerah, dan pelaksana di lapangan. f. Sosialisasi program SL-PTT tidak cukup hanya kepada petani saja, akan tetapi juga kepada pemilik sawah yang lahannya digarapkan dan buruh tani (yang menangani jasa pengolahan lahan, tanam, menyiang dan panen) untuk membantu mengimplementasikan inovasi teknologi SL-PTT. 14. Sejalan dengan peningkatan produksi, maka aspek pengolahan, pemasaran, kelembagaan kelompok tani juga perlu dibangun dan diperbaiki agar petani dapat memperoleh manfaat yang lebih banyak dengan hadirnya program SL-PTT ini. Selain itu, untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi anggaran, perlu dikaji secara mendalam manfaat dan mudarat dari pemberian bantuan Pemerintah kepada petani non LL berupa pemberian sarana produksi yang volumenya tidak sesuai dosis. 15. Kelebihan dan kelemahan dalam implementasi porgram SL-PTT sejak tahun 2008 dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran yang berharga dalam upaya mensukseskan rencana Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP- PTT) pada tahun 2015. Kawasan GP-PTT sebaiknya tidak ditetapkan berdasarkan luasan areal, namun pada wilayah administrasi (kecamatan atau desa), sehingga akan lebih jelas dan memudahkan dalam koordinasi dan tanggung jawab operasionalnya. Perlu dipahami, peran Kepala Desa/Lurah atau Camat dalam melakukan koordinasi antar lembaga dan pembinaan terhadap masyarakat masih cukup signifikan. 5