PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

dokumen-dokumen yang mirip
Assalamu alaikum warahmatullah wabarakatuh, selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua,

GAGASAN PEMBENTUKAN LEMBAGA PENGKAJIAN DAN PEMASYARAKATAN KONSTITUSI. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

KOMISI YUDISIAL BARU DAN PENATAAN SISTEM INFRA-STRUKTUR ETIKA BERBANGSA DAN BERNEGARA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

BAB II TINJAUAN UMUM PENEGAKKAN HUKUM DAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

KONSTITUSI EKONOMI (Ekonomi Pasar, Demokrasi, dan Konstitusi) Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. 1

FUNGSI ANGGARAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT 1. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. 2

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan

PENGENALAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PENDIDIKAN KESADARAN BERKONSTITUSI 1 Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. 2

Peraturan Daerah Syariat Islam dalam Politik Hukum Indonesia

PENGUJIAN UU TERHADAP UUD. Riana Susmayanti, SH. MH

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 54/PUU-X/2012 Tentang Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA

Kuasa Hukum Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Maret 2015.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

DIMENSI POLITIS AND YURIDIS KETETAPAN MPR NO. XXXIII/MPRS/1967. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

Pengujian Peraturan Perundang-undangan. Herlambang P. Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga 30 Oktober 2017

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959)

PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

ANALISIS UUD 1945 SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN. Pasal 19 s/d 37. Tugas untuk memenuhi Mata Kulia Pendidikan Kewarganegaraan

TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN MAKALAH DEMOKRASI PANCASILA INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 104/PUU-XIV/2016 Keterwakilan Anggota DPD Pada Provinsi Baru Yang Dibentuk Setelah Pemilu 2014

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 56/PUU-XIV/2016 Pembatalan Perda Oleh Gubernur dan Menteri

CITA-CITA NEGARA PANCASILA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XI/2013 Tentang Sosialisasi UUD 1945 Oleh Pimpinan MPR

REFORMULASI PROSES REKRUITMEN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI INDONESIA Oleh: Meirina Fajarwati * Naskah diterima: 03 Juni 2016; disetujui: 27 Juni 2016

BEBERAPA CATATAN TENTANG LEMBAGA-LEMBAGA KHUSUS DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN NEGARA 1. (Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya

KONSTITUSI KEBUDAYAAN DAN KEBUDAYAAN KONSTITUSI. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

I. PENDAHULUAN. Kedaulatan rakyat menjadi landasan berkembangnya demokrasi dan negara republik.

TAFSIR KONSTITUSI TERHADAP SISTEM PERADILAN DIINDONESIA* Oleh: Winarno Yudho

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 membawa perubahan mendasar terhadap konstitusi

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 99/PUU-XIV/2016 Korelasi Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu dan Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak Tertentu

S a o l a CP C N P S N Te T s e Wa W w a a w s a a s n a Ke K b e a b n a g n s g a s a a n

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA

WAWASAN NUSANTARA. Dewi Triwahyuni. Page 1

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

BAB I PENDAHULUAN. susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan

Soal LCC 4 Pilar kehidupan berbangsa dan bernegara :)

LATIHAN SOAL PENDIDIKAN PANCASILA IPB 111 UNIT MATA KULIAH DASAR UMUM

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 57/PUU-XV/2017

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

Komisi Yudisial. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 25 Juni 2008

BAB II LANDASAN PEMBANGUNAN HUKUM TAHUN

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 32/PUU-XIV/2016 Pengajuan Grasi Lebih Dari Satu Kali

AMANDEMEN II UUD 1945 (Perubahan tahap Kedua/pada Tahun 2000)

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : RANTI SUDERLY

PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan,

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

EKSISTENSI PANCASILA DALAM KONTEKS MODERN DAN GLOBAL PASCA REFORMASI

5. Kosmas Mus Guntur, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon V; 7. Elfriddus Petrus Muga, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon VII;

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 36/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Pancasila; sistem filsafat dan ideologi Negara

PUSANEV_BPHN KEBIJAKAN ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah di Provinsi Aceh

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 15/PUU-XIII/2015

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-XIII/2015 Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Hukuman Mati

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

Dua unsur utama, yaitu: 1. Pembukaan (Preamble) ; pada dasarnya memuat latar belakang pembentukan negara merdeka, tujuan negara, dan dasar negara..

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCABUTAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

PUTUSAN MK DAN PELUANG PENGUJIAN KEMBALI TERHADAP PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK. Oleh: Muchamad Ali Safa at

Presiden dan Wakil Presiden dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia. Herlambang P. Wiratraman 2017

RINGKASAN PUTUSAN.

Transkripsi:

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. A. PANCASILA DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM 1. Penegakan Hukum Penegakan hukum mengandung makna formil sebagai prosedur untuk menjamin tegaknya peraturan perundang-undangan, dan sekaligus makna materiel dalam arti upaya menegakkan nilai-nilai keadilan sebagai roh yang terdapat dalam aneka norma hukum. Upaya penegakan norma hukum itu dapat berupa langkah-langkah untuk menjamin tegaknya norma hukum itu (i) dalam penjabaran norma pelaksanaan sebagaimana tercermin dalam norma hukum yang lebih rendah atau lebih operasional, dan (ii) pelaksanaan atau penerapan norma hukum itu berupa tindakan-tindakan nyata dalam peristiwa hukum yang konkrit. Undang-Undang sebagai produk legislative (legislative act), misalnya, dapat dilaksanakan melalui peraturan pelaksanaan oleh eksekutif atau executive act, dan dapat pula dijalankan dalam tindakan praktik melalui executive action. Dengan demikian, UU (Undang-Undang) dilaksanakan dengan membentuk PP (Peraturan Pemerintah) sebagai pelaksanaannya, dan dengan menjalankan kegiatan kenegaraan atau pemerintahan yang ditentukan oleh UU itu. Jika dalam kedua jenis pelaksanaan norma hukum berdasarkan UU itu terdapat pelanggaran atau penyimpangan, maka di setiap negara hukum modern, selalu disediakan mekanisme untuk menindaknya atau menyelesaikan penyimpangan yang terjadi melalui proses hukum, baik melalui peradilan (in-court settlement) atau pun melalui mekanisme luar pengadilan (out of court settlement). Jika pelanggaran itu terjadi dalam ranah tindakan konkrit, maka upaya peradilan yang tersedia adalah mekanisme peradilan biasa, yaitu peradilan pidana, perdata, agama, tata-usaha negara, atau peradilan militer. Jika pelanggaran terjadi dalam ranah penjabaran norma, maka upaya hukum yang tersedia melalui proses peradilan biasa disebut sebagai upaya judicial review sebagai mekanisme pengawasan agar norma hukum tidak bertentangan dengan norma hukum lain yang lebih tinggi. Di Indonesia, mekanisme judicial review atau pengujian norma hukum itu dibedakan antara pengujian atas konstitusionalitas undang-undang yang dilakukan di Mahkamah Konstitusi, dan pengujian legalitas norma peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang dilakukan di Mahkamah Agung. Baik di MK maupun di MA, pada pokoknya, mekanisme pengujian norma yang dilakukan bersifat tersentralisasi dalam arti kewenangan menguji itu terpusat di MK dan di MA sesuai dengan tingkatan peraturan yang menjadi kewenangannya masing-masing. Hal demikian berbeda dari pengujian norma hukum yang dipraktikkan di negara-negara common law yang member kesempatan kepada semua hakim di setiap tingkatan untuk melakukan judicial review atas norma undang-undang atau pun norma 1 Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, pendiri dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (2003-2008), mantan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) bidang Hukum dan Ketatanegaraan, Penasihat Komnasham, Ketua Dewan Pembina Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI), dan sebagainya. 1

peraturan perundang-undangan sesuai dengan dianut tidaknya sistem judicial review atas undangundang di tiap-tiap negara masing-masing. Dengan demikian, upaya penegakan hukum dan keadilan harus dipahami sebagai upaya untuk memastikan (i) bahwa setiap norma hukum terjabarkan secara benar dalam peraturan-peraturan pelaksanaan yang lebih rendah dan lebih operasional, dan (ii) bahwa setiap norma hukum itu diterapkan dan dijalankan secara benar dalam bentuk tindakan dalam peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit dalam praktik. Jika terjadi pelanggaran, mekanisme hukum yang tersedia harus merespons dan bertindak dengan efektif untuk melakukan koreksi dan sekaligus mencegah agar pelanggaran serupa tidak terjadi lagi di masa-masa selanjutnya. 2. Keadilan Berdasarkan Pancasila Menegakkan hukum pada pokoknya merupakan menegakkan nilai-nilai keadilan, bukan sekedar menegakkan peraturan tertulis yang bersifat tekstual, formal, positivistik dan mekanistik. Yang harus ditegakkan tidak lain adalah keadilan sebagai roh dari setiap norma hukum. Tegaknya keadilan hukum itu akan menjadi jaminan bagi perwujudan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai sila kedua Pancasila, dan sekaligus dalam rangka mewujudkan sila kelima Pancasila, yaitu nilai-nilai keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia yang sifat dan dimensinya lebih luas daripada sekedar keadilan hukum. Bahkan, keadilan itu berkaitan erat dengan dan bahkan merupakan penjabaran konkrit dari nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan sila pertama dan utama Pancasila. Karena itu, setiap putusan pengadilan selalu diawali dengan kalimat, Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Nilai-nilai keadilan inilah yang akan menjadi pengimbang sila kerakyatan yang biasa dipahami sebagai prinsip demokrasi Pancasila yang memberikan ruang kebebasan bagi individu rakyat yang berdaulat. Keseimbangan antara kebebasan dengan keadilan, dan kekuasaan dengan kendali dan keteraturan inilah yang akan menghasilkan keseimbangan yang mempersatukan, sehingga cita-cita kemerdekaan dan tujuan bernegara dapat diwujudkan sebagaimana mestinya. Karena itu, setiap aparat penegak hukum hendaklah menyadari dengan benar bahwa yang harus ditegakkan dalam negara hukum kita bukan lah hanya kertas-kertas peraturan secara tekstual, tetapi adalah keadilan, yaitu keadilan berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Bahkan pembedaan antara formalitas aturan hukum tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini juga terdapat dalam bahasa Inggeris sendiri. Dalam literature hukum, biasa diadakan pembedaan antara the rule of law versus the rule of just law atau dalam istilah the rule of law and not of man versus istilah the rule by law yang berarti the rule of man by law. Dalam istilah the rule of law terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah the rule of just law. Dalam istilah the rule of law and not of man dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah the rule by law yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka. 2

3. Pancasila dan UUD 1945 Pancasila pada pokoknya tidak dapat dipisahkan dari UUD 1945. UUD 1945 dapat dipandang sebagai jasadnya, sedangkan Pancasila adalah rohnya. Karena itu, UUD 1945 tidak dapat dipahami terpisah atau pun di luar konteks dari rohnya, yaitu Pancasila. Sebaliknya, Pancasila juga tidak dapat dilihat berdiri sendiri melainkan harus dibaca dan dipahami dalam konteks sistem norma konstitusional yang menjadi jasadnya, yaitu norma UUD 1945. Meski tidak ada penegasan bahwa kelima sila dalam Alinea ke-iv Pembukaan UUD 1945 dinamakan Pancasila, tetapi secara implicit, Pasal 36A UUD 1945 telah menyebutkan istilah Pancasila itu dalam rangka penegasan mengenai lambing negara. Pasal 36A itu menentukan, Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Namun, eksistensi dan penamaan Pancasila atas rumusan lima sila dalam Alinea ke-iv Pembukaan UUD 1945 itu merupakan produk sejarah yang berdasarkan konvensi ketatanegaraan diakui sangat kuat kedudukannya dengan tidak memerlukan penegasan hukum apapun lagi. Apalagi, Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 menegaskan bahwa Dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas pembukaan dan pasal-pasal. Sebaliknya, dalam ketentuan mengenai perubahan undang-undang dasar pada Pasal 37, ditentukan bahwa yang dapat dijadikan objek perubahan menurut prosedur berdasarkan Pasal 37 UUD 1945 adalah pasal-pasal UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 saja, dan tidak termasuk pembukaannya. Artinya, eksistensi Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 bersifat final, tidak dapat diubah lagi, dan sebaliknya, kandung norma dalam UUD 1945 itu sudah tidak dapat lagi dipisah-pisahkan dari nilai-nilai Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 itu. Karena itu, dalam menjalankan ketentuan-ketentuan UUD 1945, kita tidak boleh mengabaikan nilai-nilai Pancasila yang terkandung di dalamnya. Dalam menguji konstitusionalitas sesuatu norma hukum dalam undang-undang, Mahkamah Konstitusi juga tidak boleh melupakan konteks ideologis nilainilai Pancasila yang terkandung di dalamnya. Artinya, dalam menjalankan tugas peradilannya, MK harus bertindak sebagai pengawal UUD 1945 dan sekaligus Pancasila. Karena itu, MK disebut Mahkamah Konstitusi, bukan Mahkamah Undang-Undang Dasar. Dalam pengertian kata konstitusi itu terkandung norma-norma yang bersifat tekstual maupun kontekstual sekaligus. 4. Pemasyarakatan dan Pengawasan Pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 Pancasila dan UUD 1945 haruslah tercermin dan terjabarkan dalam pelbagai norma hukum yang tertuang dalam pelbagai peraturan perundang-undangan mulai dari UU sampai ke peraturan paling rendah. Dengan demikian, nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 itu dapat diwujudkan dan dipaksakan berlakunya secara konkrit dalam tindakan-tindakan praktik bernegara dan berpemerintahan sehari-hari. Untuk itu, diperlukan beberapa upaya konkrit agar perwujudan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dapat dibina secara operasional, yaitu: 3

1) Upaya pendidikan dan pemasyarakatan yang terstruktur. 2) Upaya pengawasan eksekutif (executive review). 3) Upaya pengawasan hukum melalui peradilan (judicial review). Untuk tindakan pengawasan melalui peradilan, dewasa ini, sudah tersedia mekanisme judicial review, baik melalui Mahkamah Konstitusi untuk pengujian undang-undang maupun melalui Mahkamah Agung untuk pengujian peraturan di bawah undang-undang. Peluang judicial review melalui MK atau MA ini tinggal diefektifkan dengan memperkuat kedudukan kelembagaan yang secara khusus diberi kewenangan atau legal standing sebagai pemohon judicial review ke MA atau ke MK. Lembaga itulah yang diharapkan menjalankan tugas evaluasi kebijakan normatif dalam menjabarkan tuntunan nilai-nilai kelima sila Pancasila dalam praktik bernegara dan berpemerintahan sehari-hari. Jika lembaga ini menemukan adanya dugaan pelanggaran terhadap norma-norma Pancasila dan UUD 1945 serta peraturan yang lebih tinggi, maka lembaga ini diberi hak untuk mengajukan permohonan judicial review atas konstitusionalitas undang-undang ke Mahkamah Konstitusi, atau judicial review atas legalitas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang ke Mahkamah Agung. Untuk kegiatan pendidikan melalui program pendidikan terstruktur, dewasa ini, juga sudah ada materi pelajaran kewarganegaraan dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang memuat materi pelajaran Pancasila. Hanya saja, pendidikan Pancasila dalam kurikulum kewarganegaraan ini banyak mengundang kritik karena sifatnya tidak khusus Pancasila, melainkan ditempatkan sebagai bagian dari materi kewarganegaraan. Selain itu, pendidikan moral Pancasila yang di zaman Orde Baru sangat diutamakan baik untuk kalangan masyarakat maupun pejabat dan pegawai negeri serta para pengusaha, sekarang tidak lagi dianggap penting, sehingga muncul pandangan untuk menghidupkan kembali pendidikan dan pemasyarakatan Pancasila itu, meskipun tidak dapal bentuk indoktrinasi seperti di zaman Orde Baru. Sekarang muncul keinginan di kalangan masyarakat agar Pancasila kembali dimasyarakatkan. Kebutuhan yang sama juga terjadi dengan UUD 1945 yang telah mengalami perubahan mendasar pasca reformasi. Pancasila dan UUD 1945 kembali dirasakan perlu dimasyarakatkan secara luas, baik di kalangan para pejabat dan penyelenggara negara, di kalangan pengusaha, maupun di kalangan masyarakat luas. Di samping itu, khusus mengenai pengawasan eksekutif terhadap pelbagai norma peraturan perundang-undangan itu sebagai cermin perumusan kebijakan publik, dapat dikatakan bahwa sampai sekarang belum pernah ada mekanisme dan kelembagaan yang diabdikan untuk tugas semacam itu. Karena itu, saya menyambut usul pelbagai kalangan terutama usul pimpinan MPR agar dibentuk suatu institusi di lingkungan pemerintah (eksekutif) yang secara khusus diberi tugas untuk memasyarakatkan dan mengawasi pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 sebagaimana mestinya. Untuk itu, saya usulkan agar lembaga baru itu tidak hanya diberi tugas pengkajian, koordinasi pendidikan, dan pemasyarakatan Pancasila dan UUD 1945, tetapi juga diberi kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan pengujian konstitusionalitas dan legalitas atas undang-undang dan peraturan di bawah undang-undang terhadap norma hukum yang lebih tinggi berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. 4

B. EMPAT PILAR BERBANGSA 1. Empat Pilar Versi Lama Empat pilar versi lama telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu: (i) Pancasila, (ii) UUD 1945, (iii) NKRI, dan (iv) Bhinneka Tunggal Ika. Pada pokoknya, putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Pancasila tidak boleh disetarakan kedudukannya dengan UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal-Ika. Pancasila adalah dasar negara dan sumber nilai bagi ketiga prinsip-prinsip lainnya, yaitu UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. 2. Empat Pilar Baru Pengertian pilar itu sendiri sebenarnya tidak identik dengan tiang, tetapi adalah prinsip pokok yang penting. Karena itu, sebenarnya, jika tidak dipahami dalam konteks kesetaraan, keempat hal pokok tersebut di atas dapat saja sama-sama disebut sebagai pilar dalam kehidupan berbangsa, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Namun, oleh karena hal itu telah menjadi putusan resmi Mahkamah Konstitusi, tidak ada pilihan lain bagi kita untuk menghormati dan mengikuti saja apa yang sudah diputuskan itu, yaitu bahwa Pancasila harus ditempatkan sebagai dasar dari semua prinsipprinsip pokok dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Karena itu, jikapun kita tepat ingin menggunakan istilah pilar dalam kehidupan berbangsa atau pilar ke-indonesiaan, maka pilar dimaksud tinggal tersisa tiga, yaitu (i) UUD 1945, (ii) NKRI, dan (iii) Bhinneka Tunggal Ika. Jika mengikuti logika letterlijk seperti dalam putusan MK atau seperti yang tercermin dalam pandangan para tokoh yang menentang penggunaan istilah Pancasila sebagai salah satu dari keempat pilar kebangsaan kita, maka NKRI, Bhinneka-Tunggal-Ika, dan Pancasila sendiripun sudah termaksud dalam rumusan UUD 1945, sehingga cukup dengan menyebut UUD 1945 saja semuanya sudah tercakup. Akan tetapi, untuk kepentingan pemasyarakatan, bagaimana penyebutan NKRI, dan Bhinneka Tunggal secara tersendiri dapat dinilai juga sangat penting. Istilah NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika itu bukan semata-mata soal pilihan kata yang bersifat rasional, tetapi di dalamnya juga terkandung elemen-elemen perasaan dan ideologi kebangsaan Indonesia NKRI misalnya, bukan lah sekedar soal pilihan bentuk atau susunan organisasi negara, tetapi di dalmnya memuat juga spirit kebangsaan yang bersifat ideologis. Karena itu, ketentuan mengenai hal ini ditentukan sebagai ketentuan yang tidak dapat diubah menurut Pasal 37 ayat (5) UUD 1945. Pilihan bentuk NKRI ini dianggap sebagai sesuatu yang final dan tidak dapat lagi diperdebatkan. Demikian pula dengan prinsip kebhinekaan, bukan sekedar pilihan, tetapi takdir kita sebagai bangsa yang tumbuh dan berkembang dalam keanekaragaman dari segala aspeknya. Karena itu, penyebutannya sebagai pilar atau prinsip dasar yang tersendiri dipandang sangat penting dan juga tepat. Jika diuraikan lebih lanjut, di samping UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka-Tunggal-Ika, ada 1 lagi wawasan kebangsaan yang sangat penting kedudukannya dalam falsafah ke-indonesiaan kita, yaitu Wawasan Nusantara (Wasantara). Karena itu, saya mengusulkan istilah empat pilar tetap dapat kita pergunakan dengan menjabarkannya ke dalam empat prinsip pokok, yaitu: 5

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan 2) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); 3) Bhinneka-Tunggal-Ika; 4) Wawasan Nusantara (Wasantara). 3. Wawasan Nusantara Wawasan Nusantara sangat penting karena ia lah yang membentuk dan mempengaruhi paradigma pemikiran kita sebagai bangsa dalam membangun Indonesia di masa depan. Wawasan Nusantara ini terus menerus telah dipromosikan secara luas sejak lama, terutama sejak era Orde Baru. Ini terkait erat dengan wawasan ke-indonesiaan kita sebagai bangsa maritim terbesar di dunia, dengan kompleksitas wilayah darat, laut, dan udara yang harus menyatu dalam spirit ke-indonesiaan kita. Apalagi, sejak tahun 2000 (Perubahan Kedua UUD 1945 dan disempurnakan lagi oleh Perubahan Keempat UUD 1945), muatan UUD 1945 dilengkapi dengan Bab IXA yang berisi Pasal 25A mengenai Wilayah Negara. Pasal 25A UUD 1945 ini menegaskan, Negara Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Sejak tahun 2000 dengan Perubahan Kedua UUD 1945 itu, maka UUD 1945 di samping merupakan Konstitusi Hijau (The Green Constitution), juga saya namakan Konstitusi Biru (The Blue Constitution) yang menghimpun ke dalamnya pengertian-pengertian tentang nilai-nilai dan normanorma dasar yang memuat haluan-haluan konstitusional di bidang-bidang kewilayahan secara utuh, mencakup darat, laut, dan udara. Dengan demikian, wawasan Ke-Indonesiaan kita ke depan dapat dikatakan memiliki empat pilar berdasarkan Pancasila, dan sekaligus sebagai cara untuk menopang dan menjabarkan upaya untuk mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. 6