BAB 34 REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI DI WILAYAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN KEPULAUAN NIAS PROVINSI SUMATRA UTARA, SERTA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DAN PROVINSI JAWA TENGAH I. Permasalahan yang Dihadapi A. Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatra Utara Pada tahun 2007 pelaksanaan kegiatan pemulihan di wilayah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatra Utara telah memasuki tahapan rekonstruksi yang merupakan tindak lanjut dari tahapan tanggap darurat dan rehabilitasi. Hingga tahun ketiga ini, sudah banyak kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilaksanakan. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak hambatan dan tantangan yang masih dihadapi oleh berbagai pemangku kepentingan dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Secara umum kerangka dan acuan umum dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi merujuk kepada Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2005 tentang Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulaaun Nias Provinsi Sumatra Utara. Peraturan ini menjadi landasan dalam melakukan pemulihan di wilayah bencana sehingga kondisi wilayah dan masyarakat menjadi lebih baik dibandingkan sebelum terjadi bencana gempa dan tsunami. Untuk melakukan proses pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi, BRR NAD-Nias sebagaimana diatur dalam Perpu Nomor 2 Tahun 2005, yang selanjutnya ditetapkan dalam Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2005, bertanggung jawab dalam pengoordinasian dan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatra Utara. Hingga saat ini tidak sedikit permasalahan yang masih muncul dalam proses pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi. Beberapa permasalahan yang masih muncul hingga saat ini, antara lain, masih terdapat pengungsi yang tinggal di barak atau hunian sementara; masih rendahnya kualitas perumahan yang dibangun sehingga banyak yang tidak bisa dimanfaatkan oleh korban bencana; minimnya fasilitas pendukung permukiman yang dibangun, seperti drainase dan sanitasi; masih belum terselesaikannya masalah infrastruktur utama seperti jalan, jembatan, dan pelabuhan secara menyeluruh; masih belum jelasnya aspek kepastian hukum dalam persoalan pertanahan dan penataan ruang; masih belum maksimalnya penguatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dan masyarakat dalam rangka mempersiapkan secara dini menyongsong berakhirnya masa tugas Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD dan Nias. Selain permasalahan di atas, proses rehabilitasi dan rekonstruksi juga dihadapkan pada persoalan lain yaitu belum terbangunnya koordinasi dan sinkronisasi, baik dalam perencanaan maupun implementasi kegiatan antara BRR NAD-Nias dan Pemerintah Daerah, Donor/NGO, serta pemangku kepentingan lain. Akibat kondisi tersebut, banyak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan. Kondisi ini kurang mendukung 34-2
proses percepatan pemulihan bagi masyarakat dan wilayah pasca bencana. Kelembagaan dan manajemen Badan Pelaksana BRR juga belum sepenuhnya efektif, misalnya belum jelasnya pembagian tugas, belum tercapainya kompetensi dan standar kerja, serta belum efektifnya sistem pelaporan. Selain itu, alokasi anggaran juga masih didominasi pembangunan fisik yang ditargetkan dapat diselesaikan pada tahun 2007 ini sehingga pada tahun 2008 tidak ada lagi pembangunan fisik perumahan. Permasalahan lain terkait dengan masih lemahnya koordinasi dan sinkronisasi internal BRR NAD-Nias, koordinasi BRR NAD- Nias dengan Pemerintah Daerah dan kementerian/lembaga terkait, serta koordinasi BRR NAD-Nias dengan lembaga donor dan lembaga masyarakat lain; lemahnya perencanaan dan database yang belum akurat sebagai basis perencanaan; lemahnya penilaian terhadap kebutuhan sehingga bantuan sering kali tidak tepat sasaran dan banyaknya program yang masih tumpang tindih dan kurang menyentuh pada kebutuhan masyarakat. Selain itu, juga dihadapkan pada permasalahan tindak lanjut temuan yang masih kurang diperhatikan dan belum terukur secara signifikan; serta lemahnya penegakan hukum (law enforcement), misalnya dalam hal, baik pengawasan internal BRR NAD-Nias maupun hubungan secara eksternal yang masih dihadapkan pada hambatan nonteknis yang dapat mengganggu proses rehabilitasi dan rekonstruksi di lapangan. B. Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah Kegiatan pemulihan pascabencana gempa bumi di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 27 Mei 2006, telah dilakukan selama satu tahun terakhir ini. Acuan utama dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pascabencana gempa bumi tersebut adalah Rencana Aksi Nasional Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pascabencana Gempa Bumi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah, yang disusun pemerintah dengan didasarkan pada hasil penilaian awal kerusakan dan kerugian (preliminary damage and loss assessment) serta penilaian kebutuhan (need assessment). 34-3
Berdasarkan laporan perkiraan kerusakan dan kerugian pascabencana gempa bumi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah, nilai kerusakan dan kerugian mencapai Rp29,2 triliun. Dari total perkiraan kerusakan dan kerugian tersebut, Pemerintah telah melakukan perkiraan kebutuhan pendanaan dengan pendekatan kerusakan aset milik pemerintah dan stimulan pembangunan kembali perumahan dengan perkiraan diperlukan mobilisasi dana dari sumber pemerintah sebesar Rp11,7 triliun atau 40 persen dari total nilai kerusakan dan kerugian. Dari perkiraan kebutuhan pendanaan tersebut sebaran kebutuhannya dimanfaatkan untuk: (1) pemulihan perumahan dan permukiman sebesar Rp7 triliun, (2) pemulihan sektor sosial sebesar Rp2,8 triliun, (3) pemulihan sektor produktif sebesar Rp1,3 triliun, (4) pemulihan sektor prasarana sebesar Rp400 miliar, dan (5) pemulihan bidang lintas sektor (pemerintahan, lingkungan hidup, lembaga keuangan dan perbankan, serta keamanan dan ketertiban) sebesar Rp200 miliar. Sesuai dengan kemampuan fiskal, pemerintah telah menyusun ruang lingkup kebijakan umum dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pascabencana gempa bumi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah sebagai berikut (1) Pemulihan perumahan dan permukiman dengan tujuan untuk menyediakan perumahan dan prasarana permukiman yang tahan gempa, lebih sehat, teratur, dan lebih estetis; (2) pemulihan sarana dan prasarana publik dengan tujuan untuk mengembalikan fungsi pelayanan kepada masyarakat dalam rangka mendukung revitalisasi kehidupan sosial dan kegiatan perekonomian; dan (3) revitalisasi perekonomian daerah dan masyarakat dengan tujuan mendorong aktivitas perekonomian lokal yang menciptakan pendapatan bagi masyarakat. Secara umum dapat disimpulkan bahwa strategi dan kebijakan dalam Rencana Aksi Nasional Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Gempa Bumi di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah telah digunakan sebagai pedoman pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi selama satu tahun ini. Hasil evaluasi pelaksanaan satu tahun rehabilitasi dan rekonstruksi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah menunjukkan bahwa kapasitas manajemen pemerintah 34-4
daerah sebagai pelaksana rehabilitasi dan rekonstruksi telah memadai. Namun, kendala terbesar yang dihadapi adalah keterbatasan pendanaan rehabilitasi dan rekonstruksi, khususnya untuk pemulihan bidang nonperumahan yang terdiri atas pemulihan bidang prasarana publik yang masih memerlukan pendanaan Rp2,2 triliun, antara lain untuk perbaikan prasarana pendidikan, kesehatan, peribadatan, warisan budaya, dan pemerintahan; serta pemulihan bidang ekonomi produktif yang masih memerlukan pendanaan sebesar Rp1,08 triliun. II. Langkah Kebijakan dan Hasil yang Dicapai A. Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatra Utara Sesuai dengan Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatra Utara telah ditetapkan kebijakan umum yang dipergunakan untuk melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi di kedua wilayah Provinsi NAD dan Kepulauan Nias. Kebijakan itu diarahkan untuk membangun kembali masyarakat, membangun kembali perekonomian, membangun kembali infrastruktur, dan membangun kembali pemerintahan. Secara khusus, kebijakan untuk tahun 2007 telah ditargetkan untuk penyelesaian pembangunan perumahan sehingga seluruh pengungsi dapat dipindahkan dari tenda dan hunian sementara ke rumah yang layak huni. Di samping itu, penyelesaian pembangunan infrastruktur fisik, seperti jalan, jembatan, pelabuhan laut dan udara, yang dapat mendukung iklim investasi dan pengembangan perekonomian daerah dalam jangka menengah sampai panjang terus dilanjutkan. Secara simultan juga dilakukan peningkatan kualitas sistem transportasi, komunikasi, energi dan kelistrikan, serta sistem pengurangan risiko bencana. Pada akhir tahapan ini pada tahun 2007, masa penanggulangan darurat yang berkaitan dengan pengungsi ditargetkan sudah selesai. 34-5
Selanjutnya pada tahapan tahun 2008 akan dilanjutkan pembangunan infrastruktur fisik serta infrastruktur wilayah lain yang mendukung iklim investasi dan pengembangan perekonomian daerah dengan menitikberatkan pada pengembangan sektor-sektor energi dan telekomunikasi yang diharapkan dapat mendukung pengembangan sektor-sektor industri dan jasa di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatra Utara. Pada tahapan ini pula, peran pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota diharapkan dapat semakin besar sebagai proses persiapan penyerahan hasil dan tugas rehabilitasi dan rekonstruksi dari BRR NAD-Nias kepada pemerintah daerah. Dalam menghadapi berbagai permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pada satu tahun terakhir ini, telah dilakukan berbagai upaya dan langkah untuk melakukan pemulihan wilayah dan kehidupan masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatra Utara. Untuk itu, berbagai sasaran yang ditargetkan dapat dicapai guna mengatasi berbagai permasalahan tersebut, diantaranya terselesaikannya revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW); tersusunnya evaluasi paruh waktu dan rencana aksi rehabilitasi dan rekonstruksi pada paruh waktu kedua; terselesaikannya pembangunan perumahan; terbangunnya prasarana lingkungan permukiman, air bersih dan sanitasi; tersedianya sarana dan prasarana utama pendukung pembangunan; terselenggaranya sistem administrasi dan pengelolaan pertanahan; terselenggaranya pengembangan ekonomi masyarakat; terselenggaranya pemulihan dan pengembangan cadangan sumber daya alam; terselenggaranya peningkatan kesejahteraan sosial; terselenggaranya sensus kependudukan; dan terselenggaranya peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah dan masyarakat. Secara khusus, berdasarkan kebijakan yang digariskan oleh BRR NAD-Nias, pada tahun 2007 ditetapkan beberapa prioritas kebijakan, yaitu menyelesaikan program perumahan dan permukiman, melanjutkan pembangunan infrastruktur besar, meletakkan dasar pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, dan penguatan regionalisasi dan pembentukan sekretariat bersama yang merupakan bagian rencana strategis BRR dalam rangka 34-6
meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi program rehabilitasi dan rekonstruksi. Berdasarkan sasaran yang telah ditetapkan tersebut, dalam kurun waktu satu tahun terakhir ini sampai dengan bulan Mei 2007 telah dicapai beberapa hasil kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi sebagai berikut, yaitu penyelesaian rumah baru sebanyak 77.194 unit; pembangunan gedung sekolah sebanyak 804 unit; penyediaan tenaga guru sebanyak 21.962 orang; pembangunan fasilitas kesehatan sebanyak 405 unit; pembangunan fasilitas peribadatan sebanyak 881 unit; pembuatan tambak seluas 12.385 ha; pembuatan sawah dan kebun seluas 75.483 ha; pembangunan jalan sepanjang 1.553 km; pembangunan jembatan sepanjang 181 unit; pembangunan pelabuhan laut sebanyak 17 unit; dan pembangunan pelabuhan udara sebanyak 7 unit. B. Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah Dalam pelaksanaan pemulihan pascabencana gempa bumi di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah, Pemerintah dan Pemerintah Daerah mempunyai visi yang sama yaitu bahwa pemulihan perumahan dan permukiman menjadi prioritas utama untuk mendorong pemulihan prasarana publik dan pemulihan ekonomi masyarakat dan daerah, sebagaimana telah dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pascabencana Gempa Bumi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah, yang ditekankan pada strategi pemulihan pascabencana melalui koordinasi antara Bappenas, Bapeda Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Bappeda Provinsi Jawa Tengah. Walaupun rencana aksi itu tidak dilengkapi dengan payung peraturan, Surat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Pengarah Tim Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pasca Bencana Gempa Bumi Provinsi DI Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah No. S-168/M.Ekon/09/2009 tanggal 8 September 2006 yang ditujukan kepada wakil ketua, sekretaris, dan anggota Tim Pengarah, Tim Teknis Nasional dan Tim Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi menyampaikan bahwa 34-7
rencana aksi yang telah disusun bersama tersebut dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan rehabilitasi dan konstruksi. Strategi dan kebijakan pokok pemulihan dalam rencana aksi rehabilitasi dan rekonstruksi difokuskan pada tiga komponen program pemulihan dengan kerangka waktu pemulihan selambat-lambatnya pada tahun 2008. Berdasarkan hasil pemantauan pelaksanaan satu tahun rehabilitasi dan rekonstruksi terhadap realisasi anggaran dari sumber APBN, APBD provinsi, APBD kabupaten/kota, serta donor, dunia usaha, dan masyarakat hingga bulan Mei 2007 alokasi anggaran untuk pemulihan perumahan dan permukiman telah mencapai Rp6,74 triliun (atau 96,34 persen dari target pendanaan sebesar Rp7 triliun), sebagian besar bersumber dari APBN sebesar Rp5,44 triliun. Kondisi ini cukup kontras dengan pendanaan pada pemulihan komponen nonperumahan. Untuk pemulihan prasarana publik yang mencakup prasarana fisik, sosial, dan pemerintahan, baru mencapai 34,63 persen dari target pendanaan sebesar Rp3,4 triliun; untuk pemulihan ekonomi baru mencapai 16,93 persen dari target pendanaan sebesar Rp1,3 triliun. Secara keseluruhan, komposisi pendanaan dari sumber pendanaan pemerintah adalah 82 persen sedangkan sumber pendanaan dari donor, dunia usaha, dan masyarakat adalah 18 persen. Sumber pendanaan dari APBN selama tahun 2006 dan 2007 difokuskan pada pembangunan perumahan dan prasarana permukiman yang menjadi prioritas di pemulihan wilayah pascabencana. Hingga saat ini jumlah rumah rusak berat yang sudah mendapatkan bantuan langsung perumahan yang berasal dari APBN adalah sebagai berikut (1) di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah terbangun 141.143 unit dari 176.399 unit rumah rusak berat; dan (2) di Provinsi Jawa Tengah telah terbangun secara keseluruhan sebanyak 98.703 unit. Namun, selain untuk pemulihan perumahan, dana APBN juga dimanfaatkan bagi pemulihan komponen nonperumahan dengan sebaran Rp285,5 miliar untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan sebesar Rp10,5 miliar untuk Provinsi Jawa Tengah. 34-8
III. Tindak Lanjut yang Diperlukan A. Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatra Utara Dengan memperhatikan status pencapaian sasaran kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias selama setahun terakhir ini, diperlukan upaya percepatan pelaksanaan untuk dapat optimalisasi pencapaian sasaran yang telah ditetapkan. Untuk itu, diperlukan tindak lanjut berupa strategi pelaksanaan yang didasarkan pada rencana aksi yang dijabarkan ke dalam rencana tata ruang wilayah yang terintegrasi dan komprehensif dalam rangka mempercepat pembangunan perumahan dan prasarana permukiman, serta sekaligus menyelesaikan perbaikan sistem administrasi pertanahan, yang dilakukan seiring dengan upaya percepatan pemulihan mata pencaharian dan perluasan kesempatan kerja, pembinaan koperasi dan usaha kecil dan menengah (KUKM), pemulihan dan perbaikan sistem pendidikan, pelayanan kesehatan, pemulihan prasarana utama jalan raya, pelabuhan udara dan pelabuhan laut, pemulihan kawasan pesisir, penguatan mitigasi dan penanganan bencana dan peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dan masyarakat. Untuk meningkatkan kondisi masyarakat NAD dan Nias menjadi lebih baik dan kondusif, perlu ditindaklanjuti beberapa hal sebagai berikut, yaitu (1) menyelesaikan secara tuntas pemindahan pengungsi dari barak dan hunian sementara ke perumahan yang telah selesai dibangun; (2) menyelesaikan pembangunan rumah yang benar-benar siap huni, terpadu dengan jalan, listrik, air bersih dan sanitasi lingkungan; (3) menuntaskan sistem dan mekanisme pertanahan; (4) penuntasan dan implementasi rencana tata ruang wilayah untuk pemulihan wilayah pascabencana; (5) meningkatkan mata pencaharian dan perluasan lapangan kerja bagi korban bencana korban dan tsunami; serta (6) meningkatkan sistem pelayanan kesehatan dan pendidikan. Selain itu, diperlukan langkah-langkah berikutnya dalam rangka meningkatkan kinerja pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi ke depan, yaitu (1) meningkatkan peran dan fungsi 34-9
sekretariat bersama (Sekber) yang sudah dibentuk BRR NAD-Nias, untuk melakukan koordinasi satu atap dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program rehabilitasi dan rekonstruksi; (2) meningkatkan kapasitas pemerintah daerah untuk meningkatkan kapasitas aparatur dalam rangka keberlanjutan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi; (3) mempercepat proses pengalihan P3D (personil, pendanaan, perangkat dan dokumen) rehabilitasi dan rekonstruksi dari BRR NAD-Nias. Terkait dengan proses keberlanjutan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi diperlukan langkah-langkah yang strategis. Berdasarkan Perpu Nomor 2 Tahun 2005 yang telah ditetapkan dalam Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatra Utara bahwa BRR NAD-Nias akan mengakhiri tugasnya pada bulan April 2009. Sehubungan dengan itu, langkah-langkah menuju berakhirnya masa tugas BRR sudah harus dilakukan sejak dini. Jika semua berjalan sesuai rencana, pada saat seluruh kegiatan rekonstruksi selesai, seluruh kementerian/ lembaga dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam serta Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan akan melanjutkan proses lanjutan rehabilitasi dan rekonstruksi dalam jangka menengah melalui program pembangunan yang reguler. Sehubungan dengan itu, para pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses rekonstruksi memiliki beberapa peran penting untuk menyongsong pencapaian exit strategy BRR NAD-Nias, yaitu (1) memastikan transisi dari fase rekonstruksi menuju fase pembangunan jangka menengah sedini mungkin dengan melibatkan pemerintah daerah di dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, serta transfer kegiatan pemulihan; (2) memastikan pemerintah daerah dan mitra-mitra terkait yang memiliki kapasitas yang cukup untuk menjalankan dan memelihara fasilitas-fasilitas yang telah dibangun selama proses pemulihan; dan (3) memastikan sistem dan manajemen pemindahan dan pengelolaan aset rehabilitasi dan rekonstruksi baik oleh BRR maupun donor dan lembaga masyarakat lainnya. 34-10
B. Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah Dengan memperhitungkan masih belum terpenuhinya kebutuhan pendanaan rehabilitasi dan rekonstruksi secara keseluruhan dalam tahun kedua pascabencana gempa di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah, yaitu masih terdapat selisih yang signifikan terutama pada pendanaan pemulihan prasarana publik dan pemulihan perekonomian daerah dan masyarakat, diperlukan upaya khusus untuk terpenuhinya sumber daya pembiayaan yang mencukupi. Oleh karena itu, perlu dilakukan mobilisasi sumber pendanaan yang bersumber dari pembiayaan nonpemerintah khususnya dari BUMN, serta dari lembaga donor, dunia usaha, dan swadaya masyarakat. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan belajar dari pengalaman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah sebagai wilayah yang baru menghadapi bencana alam yang cukup besar, seluruh aktivitas pembangunan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat perlu memperhitungkan aspek manajemen risiko bencana dengan mengembangkan program pembangunan, kinerja birokrasi, serta kehidupan masyarakat yang tangguh dan siaga menghadapi ancaman bencana. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah perlu segera mewujudkan komitmen dalam pengurangan risiko bencana, melalui pengarusutamaan program pengurangan risiko bencana ke dalam kebijakan dan program pembangunan di daerah masing-masing. 34-11