BAB III METODE PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
IDENTIFIKASI LUAS DAERAH AKTIF DI MATAHARI PENYEBAB KEJADIAN BADAI GEOMAGNET

BAB III METODE PENELITIAN. deskriptif analitik. Studi literatur ini dilakukan dengan menganalisis keterkaitan

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

BAB III METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini dilakukan indentifikasi terhadap lubang korona, angin

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi Matahari mengalami perubahan secara periodik dalam skala waktu

ANALISA KEJADIAN LUBANG KORONA (CORONAL HOLE) TERHADAP NILAI KOMPONEN MEDAN MAGNET DI STASIUN PENGAMATAN MEDAN MAGNET BUMI BAUMATA KUPANG

BAB I PENDAHULUAN. Matahari adalah sebuah objek yang dinamik, banyak aktivitas yang terjadi

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menerapkan metode deskripsi analitik dan menganalisis data

DISTRIBUSI POSISI FLARE YANG MENYEBABKAN BADAI GEOMAGNET SELAMA SIKLUS MATAHARI KE 22 DAN 23

DAMPAK AKTIVITAS MATAHARI TERHADAP CUACA ANTARIKSA

ANALISIS PERBANDINGAN DEVIASI ANTARA KOMPONEN H STASIUN BIAK SAAT BADAI GEOMAGNET

BAB I PENDAHULUAN. Tidak hanya di Bumi, cuaca juga terjadi di Antariksa. Namun, cuaca di

BAB 1 PENDAHULUAN. Aktivitas Matahari merupakan faktor utama yang memicu perubahan cuaca

SEMBURAN RADIO MATAHARI DAN KETERKAITANNYA DENGAN FLARE MATAHARI DAN AKTIVITAS GEOMAGNET

PENENTUAN POSISI LUBANG KORONA PENYEBAB BADAI MAGNET KUAT

KETERKAITAN AKTIVITAS MATAHARI DENGAN AKTIVITAS GEOMAGNET DI BIAK TAHUN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Yoana Nurul Asri, 2013

KARAKTERISTIK LONTARAN MASSA KORONA (CME) YANG MENYEBABKAN BADAI GEOMAGNET

Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//

BAB I PENDAHULUAN. Matahari merupakan sumber energi terbesar di Bumi. Tanpa Matahari

Analisis Kejadian Corona Mass Ejection (CME) dan Solar Wind di Stasiun Geofisika Kampung Baru Kupang (KPG)

CUACA ANTARIKSA. Clara Y. Yatini Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN RINGKASAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. yang landas bumi maupun ruang angkasa dan membahayakan kehidupan dan

BADAI MATAHARI DAN PENGARUHNYA PADA IONOSFER DAN GEOMAGNET DI INDONESIA

GANGGUAN GEOMAGNET PADA FASE MINIMUM AKTIVITAS MATAHARI DAN MEDAN MAGNET ANTARPLANET YANG TERKAIT

DISTRIBUSI KARAKTERISTIK SUDDEN STORM COMMENCEMENT STASIUN BIAK BERKAITAN DENGAN BADAI GEOMAGNET ( )

ANALISIS PENURUNAN INTENSITAS SINAR KOSMIK

MATAHARI SEBAGAI SUMBER CUACA ANTARIKSA

KARAKTERISTIK BADAI GEOMAGNET BESAR DALAM SIKLUS MATAHARI KE-22 DAN 23

PENGARUH SINAR KOSMIK TERHADAP PEMBENTUKAN AWAN TOTAL DAN AWAN ATAS WILAYAH INDONESIA DALAM PERIODE

PENGUKURAN TEMPERATUR FLARE DI LAPISAN KROMOSFER BERDASARKAN INTENSITAS FLARE BERBASIS SOFTWARE IDL (INTERACTIVE DATA LANGUAGE) Abstrak

STUDI TENTANG BADAI MAGNET MENGGUNAKAN DATA MAGNETOMETER DI INDONESIA

Anwar Santoso Peneliti Bidang Geomagnet dan Magnet Antariksa Pusat Sains Antariksa, Lapan

MODEL VARIASI HARIAN KOMPONEN H JANGKA PENDEK BERDASARKAN DAMPAK GANGGUAN REGULER

IDENTIFIKASI KONDISI ANGIN SURYA (SOLAR WIND) UNTUK PREDIKSI BADAI GEOMAGNET

Anwar Santoso, Mamat Ruhimat, Rasdewita Kesumaningrum, Siska Fillawati Pusat Sains Antariksa

YANG TERKAIT DENGAN LUBANG KORONA TANGGAL 22 AGUSTUS 2010

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tari Fitriani, 2013

Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//

SOAL UJIAN PRAKTEK ASTRONOMI OLIMPIADE SAINS NASIONAL 2014 CALON PESERTA INTERNATIONAL EARTH SCIENCE OLYMPIAD (IESO) 2015

PENENTUAN POLA HARI TENANG UNTUK MENDAPATKAN TINGKAT GANGGUAN GEOMAGNET DI TANGERANG

ABSTRACT ABSTRAK 1 PENDAHULUAN

BAB III METODE PENELITIAN

ANCAMAN BADAI MATAHARI

PREDIKSI BINTIK MATAHARI UNTUK SIKLUS 24 SECARA NUMERIK

Model Empiris Variasi Harian Komponen H Pola Hari Tenang. Habirun. Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN Jl. Dr. Junjunan No.

PENERAPAN METODE POLARISASI SINYAL ULF DALAM PEMISAHAN PENGARUH AKTIVITAS MATAHARI DARI ANOMALI GEOMAGNET TERKAIT GEMPA BUMI

KARAKTERISTIK VARIASI HARIAN KOMPONEN H GEOMAGNET REGIONAL INDONESIA

Variasi Pola Komponen H Medan Geomagnet Stasiun Biak Saat Kejadian Solar Energetic Particle (SEP) Kuat Pada Siklus Matahari Ke-23

Analisis Terjadinya Flare Berdasarkan Pergeseran Sudut Rotasi Group Sunspot pada Bulan Januari Maret 2015 Melalui LAPAN Watukosek

AWAN MAGNET PADA FASE MINIMUM AKTIVITAS MATAHARI DAN KAITANNYA DENGAN GANGGUAN GEOMAGNET

Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//

ANALISIS SEMBURAN RADIO MATAHARI TIPE II SEBAGAI PREKURSOR KEMUNGKINAN TERJADINYA BADAI MAGNET BUMI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini, data harian yang diambil merupakan data sekunder

ANALISIS MODEL VARIASI HARIAN KOMPONEN GEOMAGNET BERDASARKAN POSISI MATAHARI

Pengolahan awal metode magnetik

Analisis Terjadinya Flare Berdasarkan Pergeseran Sudut Rotasi Group Sunspot pada Bulan Januari Maret 2015 Melalui LAPAN Watukosek

BAB III METODE PENELITIAN

Jurnal Fisika Unand Vol. 2, No. 4, Oktober 2013 ISSN

Analisis Distribusi Temperatur Atmosfer Matahari saat Gerhana Matahari Total 9 Maret 2016 di Palu, Sulawesi Tengah

Diterima 11 Agustus 2017; Direvisi 10 Januari 2018; Disetujui 10 Januari 2018 ABSTRACT

KEMUNCULAN SINTILASI IONOSFER DI ATAS PONTIANAK TERKAIT FLARE SINAR-X MATAHARI DAN BADAI GEOMAGNET

KAJIAN STUDI KASUS PERISTIWA PENINGKATAN ABSORPSI LAPISAN D PADA TANGGAL 7 MARET 2012 TERHADAP FREKUENSI KERJA JARINGAN KOMUNIKASI ALE

KESETARAAN KECEPATAN GELOMBANG KEJUT SEMBURAN RADIO MATAHARI TIPE II DAN LONTARAN MASSA KORONA

PENGARUH BADAI MATAHARI OKTOBER 2003 PADA IONOSFER DARI TEC GIM

ABSTRACT. Keywords: EIT wave, CME, Solar radio burst, Flare ABSTRAK

ANALISIS KARAKTERISTIK FREKUENSI KRITIS (fof2), KETINGGIAN SEMU (h F) DAN SPREAD F LAPISAN IONOSFER PADA KEJADIAN GEMPA PARIAMAN 30 SEPTEMBER 2009

KALIBRASI MAGNETOMETER TIPE 1540 MENGGUNAKAN KALIBRATOR MAGNETOMETER

IDENTIFIKASI MODEL FLUKTUASI INDEKS K HARIAN MENGGUNAKAN MODEL ARIMA (2.0.1) Habirun Peneliti Pusat Pemanlaatan Sains Antariksa, LAPAN

BAB III METODE PENELITIAN

HELISITAS MAGNETIK DAERAH AKTIF DI MATAHARI

LEDAKAN MATAHARI PEMICU ANOMALI DINAMIKA ATMOSFER BUMI

Diterima: 28 April 2016; direvisi: 3 Juni 2016; disetujui: 14 Juni 2016 ABSTRACT

METODE NON-LINIER FITTING UNTUK PRAKIRAAN SIKLUS MATAHARI KE-24

Angin Matahari. Pengamatan Matahari. Dampak Sintilasi Ionosfer. dari Ruang Angkasa. Single Event Latch-up pada Satelit LAPAN-TUBSAT

ANALI5IS BADAI MAGNET BUMI PERIODIK

PENGUAPAN KROMOSFER YANG TERKAIT DENGAN FLARE TANGGAL 13 MEI 2013 (CHROMOSPHERIC EVAPORATION RELATED TO THE MAY 13, 2013 FLARE)

KARAKTERISTIK SUDDEN COMMENCEMENT DAN SUDDEN IMPULSE DI SPD BIAK PERIODE

LIPUTAN AWAN TOTAL DI KAWASAN SEKITAR KHATULISTIWA SELAMA FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI SIKLUS 21 & 22 DAN KORELASINYA DENGAN INTENSITAS SINAR KOSMIK

MODEL SPEKTRUM ENERGI FLUENS PROTON PADA SIKLUS MATAHARI KE-23

STUDI KORELASI STATISTIK INDEKS K GEOMAGNET REGIONAL MENGGUNAKAN DISTRIBUSI GAUSS BERSYARAT

PENGARUH PERUBAHAN fmin TERHADAP BESARNYA FREKUENSI KERJA TERENDAH SIRKIT KOMUNIKASI RADIO HF

TELAAH INDEKS K GEOMAGNET DI BIAK DAN TANGERANG

PERBANDINGAN PERHITUNGAN TINGKAT GANGGUAN GEOMAGNET DI SEKITAR STASIUN TANGERANG (175 4'BT; 17 6'LS)

Analisis Variasi Komponen H Geomagnet Pada Saat Badai Magnet

ABSTRAK. Kata Kunci: Sunspot, Aktivitas Matahari, Klasifikasi Mcintosh, Flare

MODEL POLA HARI TENANG MEDAN GEOMAGNET DI SEKITAR STASIUN TANGERANG MENGGUNAKAN PERSAMAAN POLINOM ORDE-4

ANALISIS KEJADIAN SPREAD F IONOSFER PADA GEMPA SOLOK 6 MARET 2007

1.2 Tujuan Makalah Makalah ini dibuat untuk membantu para taruna-taruni dalam hal memahami tentang hal-hal yang berkaitan dengan medan magnet Bumi.

Diterima 14 Februari 2013; Disetujui 15 April 2013 ABSTRACT

KLASIFIKASI DAN PERUBAHAN JUMLAH SUNSPOT DIAMATI DARI LABORATORIUM ASTRONOMI JURUSAN FISIKA FMIPA UM PADA BULAN AGUSTUS OKTOBER 2012

KAJIAN HASIL UJI PREDIKSI FREKUENSI HF PADA SIRKIT KOMUNIKASI RADIO DI LINGKUNGAN KOHANUDNAS

PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN ALE (AUTOMATIC LINK ESTBALISHMENT) NASIONAL

PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN AUTOMATIC LINK ESTBALISHMENT (ALE) NASIONAL

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

FLARE BERDURASI PANJANG DAN KAITANNYA DENGAN BILANGAN SUNSPOT

POTENSI PEMANFAATAN SISTEM APRS UNTUK SARANA PENYEBARAN INFORMASI KONDISI CUACA ANTARIKSA

Transkripsi:

1 BAB III METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik. Penelitian deskriptif analitik yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang realitas pada obyek yang diteliti secara obyektif. Studi literatur ini dilakukan dengan menganalisis keterkaitan antara kejadian badai geomagnet kuat dengan daerah aktif di Matahari. Pada penelitian ini, digunakan indeks Dst sebagai indikator kejadian badai geomagnet kuat (indeks Dst < -100 nt).adapun variabel daerah aktif yang digunakan yaitu luas daerah aktif dan konfigurasi medan magnet daerah aktif. Data kejadian badai geomagnet yang diolah merupakan data sekunder yang diunduh dari World Data Center C2 at Kyoto University database (http://wdc.kugi.kyoto-u ac.jp/dst_final/index.html) sedangkan untuk memperoleh data daerah aktif maka dilakukan identifikasi terlebih dahulu terhadap CME atau lubang korona yang diduga sebagai penyebab peningkatan kecepatan angin Matahari yang dapat menyebabkan terjadinya badai geomagnet. Data luas dan konfigurasi medan magnet daerah aktif dapat diperoleh jika badai tersebut disebabkan oleh CME yang dipicu oleh flare. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Waktu Penelitian : Februari 2015 s.d Juni 2015 Tempat Penelitian: Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Jl. Dr. Djunjunan No.133 Bandung 40173

2 3.2 Sumber Data Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data sekunder yang dikumpulkan dari hasil pengamatan satelit dan pengamatan landas Bumi yang mengamati aktivitas Matahari dan Bumi. Data yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Data kejadian badai geomagnet (indeks Dst) yang diperoleh dari World Data Center C2 at Kyoto University database (http://wdc.kugi.kyoto-u ac.jp/dst_final/index.html) World Data Center Kyoto merupakan laman yang menyediakan data kejadian badai geomagnet dengan indikator indeks Dst. Data yang terdapat pada laman ini merupakan data dari hasil pengamatan yang dilakukan di empat stasiun yaitu Kakioka (Jepang), Hermanus (Afrika Selatan), Honolulu (USA) dan San Juan (Brasil) yang tersedia dari tahun 1957 sampai dengan sekarang yang disajikan dalam tabulasi tahunan dan tabulasi bulanan perjam seperti ditunjukkan pada Gambar 3.1. Gambar 3.1.Tampilan awal pengambilan data badai geomagnet berdasarkan indeks Dst (Sumber:wdc.kugi.kyoto-u ac.jp/dst_final/index.html)

3 2. Data CME diperoleh dari SOHO/LASCO CME Catalog (http://cdaw.gsfc.nasa.gov/cme_list/) untuk data CME sampai dengan tahun 2013 dan dari Cactus (http://sidc.oma.be/cactus/catalog.php) untuk data CME tahun 2014. Katalog ini berisi identifikasi semua CME yang diidentifikasi secara manual sejak tahun 1996 dari LASCO (Large Angle and spektrometri coronagraph) dibawah misi Solar dan Heliospheric Observatory (SOHO). Satelit SOHO merupakan satelit yang mempelajari Matahari mulai dari bagian inti sampai lapisan korona. SOHO dilengkapi beberapa instrumen antara lain teleskop EIT (Extreme Ultraviolet Coronagraph) yang berfungsi untuk mengamati Matahari pada spektrum Ultraviolet dan LASCO (Large Angle and Spektrometri Coronagraph) yang berfungsi untuk mengamati CME. LASCO memiliki tiga teleskop C1, C2, dan C3. Namun, hanya data C2 dan C3 yang digunakan untuk keseragaman karena C1 dinonaktifkan pada bulan Juni 1998. Katalog ini disajikan dalam tabulasi tahunan dan tabulasi bulanan seperti ditunjukkan pada Gambar 3.2. Gambar 3.2. Tampilan awal SOHO/LASCO CME Catalog (Sumber : cdaw.gsfc.nasa.gov/cme_list/)

4 3. Data flare dan erupsi filamen diperoleh dari Spaceweather (ftp://ftp.swpc.noaa.gov/pub/warehouse/) Data flare dan erupsi filamen dapat diunduh dari internet yang tersedia di ftp://ftp.swpc.noaa.gov/pub/warehouse/events dengan kode flare yaitu XRA seperti di tunjukan pada Gambar 3.3 dan erupsi filamen yaitu DSF atau EPL. Gambar 3.3. Contoh data flare pada 4 November 1997 (Sumber: ftp.swpc.noaa.gov/pub/warehouse/) 4. Data lubang korona diperoleh dari Solar Monitor (http://www.solarmonitor.org/) Solar Monitor merupakan laman yang disediakan oleh Solar Physics Group, Trinity College Dublin dan e-inis, Irish National e-infrastructure. Laman ini berisi informasi data realtime tentang daerah aktif dan aktivitas Matahari seperti ditunjukkan pada Gambar 3.4. Data yang terdapat pada solar Monitor relevan dengan sumber data dari SDO (Solar Dynamics Observatory), SOHO (Solar and Heliospheric Observatory), GONG (Global Oscillation Network Group), SXI (Solar X-ray Imager), Hinode XRT (X-Ray Telescope), GHN (Global High Resolution H- alpha Network), STEREO (Solar TErrestrial RElations Observatory),

5 SECCHI (Sun Earth Connection Coronal and Heliospheric Investigation), SOLIS (Synoptic Optical Long-term Investigations of the Sun), NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) Space Weather Prediction Center. Gambar 3.4. Tampilan awal Solar Monitor (Sumber : Solarmonitor.org/)

6 5. Data daerah aktif di Matahari yang diperoleh dari Spaceweather (ftp://ftp.swpc.noaa.gov/pub/warehouse/). Dari laman ini, data daerah aktif yang digunakan yaitu luas daerah aktif dan konfigurasi medan magnet darah aktif seperti ditunjukkan oleh lingkaran hitam pada Gambar 3.5. Gambar 3.5.Contoh data luas dan konfigurasi medan magnet daerah aktif dengan nomor daerah aktif 8100 pada 4 November 1997 (Sumber : ftp.swpc.noaa.gov/pub/warehouse/) 3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Tahap Identifikasi Indeks Dst Penelitian ini diawali dengan mencari data munculnya badai geomagnet kuat dengan melakukan identifikasi terhadap indeks Dst. Data Indeks Dst merupakan data kontinu dengan resolusi 1 jam. Data yang digunakan yaitu tahun 1996 s.d tahun 2007 (untuk siklus aktivitas Matahari ke-23) dan tahun 2008 s.d tahun 2014 (untuk siklus aktivitas Matahari ke-24). Data indeks Dst diperoleh dari World Data Center C2 at Kyoto University database (http://wdc.kugi.kyoto-u ac.jp/dst_final/index.html).

7 Setelah memperoleh data kejadian badai geomagnet, maka selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap munculnya badai geomagnet yang masuk dalam kategori badai geomagnet kuat dengan kriteria indeks Dst lebih kecil dari -100 nt. 3.3.2 Tahap Pemilihan Sumber di Matahari yang Menyebabkan Terjadinya Badai Geomagnet. 3.3.2.1 Tahap Identifikasi Data CME yang Berkaitan Webb, dkk (dalam Yatini 2008) mengungkapkan bahwa badai geomagnet dengan intensitas sedang dan kuat disebabkan oleh CME beberapa hari sebelumnya sehingga tinjauan terhadap CME sebagai sumber di Matahari yang menyebabkan badai geomagnet perlu dilakukan. Selang waktu dipilih antara 2 hari s.d 3 hari ke belakang. Penentuan selang waktu ini dilakukan berdasarkan rata-rata CME tiba di Bumi (Martiningrum, dkk. 2012, hlm. 6). 3.3.2.1.1 Identifikasi Data Flare sebagai Pemicu Terjadinya CME Selang waktu flare yang diduga sebagai kandidat pemicu CME disesuaikan dengan CME yaitu antara 2 hari s.d 3 hari. Data flare dapat diunduh dari internet yang tersedia di ftp://ftp.swpc.noaa.gov/pub/warehouse/events dengan kode flare yaitu XRA. Data flare yang ditinjau meliputi rentang waktu terjadinya flare, kelas flare, lokasi daerah aktif, luas daerah aktif dan konfigurasi medan magnet daerah aktif. Flare yang diduga sebagai pemicu CME diidentifikasi dari waktu terjadinya flare dan CME. 3.3.2.1.2 Identifikasi Data Erupsi Filamen sebagai Pemicu Terjadinya CME Selang waktu erupsi filamen yang diduga sebagai kandidat pemicu CME disesuaikan dengan CME yaitu antara 2 hari s.d 3 hari. Data erupsi filamen dan dapat diunduh dari internet yang tersedia di ftp://ftp.swpc.noaa.gov/pub/warehouse/events dengan kode erupsi filamen yaitu DSF atau EPL. Data erupsi filamen yang ditinjau yaitu rentang waktu terjadinya erupsi filamen dan lokasinya.

8 3.3.2.2 Tahap Identifikasi Data Lubang Korona yang Berkaitan Santoso (2013) mengungkapkan bahwa badai geomagnet dipengaruhi oleh aktivitas Matahari yaitu CME atau lubang korona. Lubang korona dapat menghasilkan plasma berkecepatan tinggi yang dibawa oleh angin Matahari yang kemudian dapat mengganggu medan magnet Bumi sehingga identifikasi terhadap lubang korona sebagai sumber di Matahari yang menyebabkan badai geomagnet perlu dilakukan. Data adanya lubang korona dapat diunduh di http://www.solarmonitor.org/. Dari laman Solar Monitor dapat terlihat posisi lubang korona yang muncul di Matahari. Posisi lubang korona yang dapat menyebabkan badai geomagnet berada di daerah dekat ekuator di bagian barat Matahari. Selang waktu dipilih antara 1 hari s.d 5 hari sebelum terjadinya badai geomagnet. Pemilihan waktu ini dilakukan berdasarkan tinjauan dari kecepatan angin Matahari yaitu antara 300 km/s s.d 800 km/s (solarscience.msfc.nasa.gov/feature4.s.html).

9 Beberapa tahapan diatas dapat dilihat pada Gambar 3.6 dibawah ini Data Kejadia n Badai Geomagnet Kuat (Indeks Dst < -100 nt) CME Lubang Korona Flare Erupsi Filamen Terjadi di Daerah Aktif Matahari Tidak Terjadi di Daerah Aktif Matahari Luas Daerah Aktif Konfigurasi Medan Magnet Daerah Aktif Analisis Keterkaitan Luas Daerah Aktif dengan Kejadian Badai Geomagnet Analisis Keterkaitan Konfigurasi Medan Magnet Daerah Aktif dengan Kejadian Badai Geomagnet Simpulan Simpulan Gambar 3.6. Diagram Alur Penelitian

10 3.4 Tehnik Pengolahan Data 3.4.1 Mengidentifikasi Indeks Dst Setelah diperoleh data kejadian badai geomagnet kuat (Indeks Dst < -100 nt) maka dilihat grafik perubahan Dst dari tiap jam pada hari terjadinya badai geomagnet. Waktu yang dijadikan acuan yaitu waktu saat Dst mencapai nilai terendah. Gambar 3.7. Contoh grafik perubahan Indeks Dst terhadap waktu pada bulan Oktober 1996 yang memberikan nilai Indeks Dst sebesar -105 nt Berdasarkan data indeks Dst yang terlihat pada grafik diatas, hal yang perlu diperhatikan yaitu waktu kejadian (mulai turun sampai naik kembali) dan tingkat kekuatan badai (Dst minimum). 3.4.2 Mengidentifikasi Sumber Gangguan di Matahari Setelah diperoleh data indeks Dst yang meliputi waktu kejadian dan Dst minimum maka selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap sumber di Matahari yang menyebabkan terjadinya badai tersebut.

11 Pemilihan kandidat CME yang diduga sebagai penyebab badai dilakukan dalam selang waktu 2 hari s.d 3 hari. Setelah diperoleh kandidat CME yang berkaitan, selanjutnya dilakukan analisis terhadap kecepatan CME untuk memperkirakan waktu tibanya CME di Bumi. Jika waktu tibanya CME di Bumi sesuai dengan waktu terjadinya badai geomagnet maka CME tersebut dipilih sebagai penyebab badai geomagnet tersebut. Dengan mengetahui jarak Bumi - Matahari dan kecepatan CME maka waktu tibanya CME di Bumi dapat diketahui. Perkiraan waktu tibanya CME di Bumi dapat dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1.Waktu Tiba CME di Bumi dengan Asumsi Tidak Ada Perlambatan (Sumber : sidc.be/rwc/cor2speed/cor2speed.html) Waktu Tempuh Kecepatan CME (km/s) Jam Hari Jam 300 138,88 400 104,16 500 83,33 600 69,44 700 59,52 800 52,08 900 46,30 1000 41,67 1100 37,88 5 hari 18,8 jam 4 hari 8,16 jam 3 hari 11,33 jam 2 hari 21,44 jam 2 hari 11,52 jam 2 hari 4,08 jam 1 hari 22,30 jam 1 hari 17,67 jam 1 hari 13,88 jam

12 Kecepatan CME (km/s) Jam Waktu Tempuh Hari jam 1200 34,72 1300 32,05 1400 29,76 1500 27,78 1600 26,04 1700 24,51 1800 23,15 1900 21,93 2000 20,83 2100 19,84 2200 18,94 1 hari 10,72 jam 1 hari 8,05 jam 1 hari 5,76 jam 1 hari 3,78 jam 1 hari 2,04 jam 1 hari 0,51 jam 23,15 jam 21,93 jam 20,83 jam 19,84 jam 18,94 jam Jika telah ditemukan CME yang berkaitan, selanjutnya diidentifikasi pemicu terjadinya CME yaitu flare atau erupsi filamen. Flare terjadi dekat daerah aktif di Matahari sedangkan erupsi filamen dapat terjadi dekat atau jauh dari daerah aktif di Matahari. Selang waktu dipilih antara 2 hari s.d 3 hari sebelum kejadian badai geomagnet. Pemilihan waktu ini disesuaikan dengan pemilihan waktu identifikasi CME. Flare dan erupsi filamen dapat dikatakan sebagai pemicu CME jika adanya kesesuaian antara waktu terjadinya flare atau erupsi filamen dengan waktu terjadinya CME.

13 Jika telah diidentifikasi flare sebagai pemicu CME maka kita dapat memperoleh data berupa waktu kejadian, kelas flare, lokasi daerah aktif, luas daerah aktif dan konfigurasi medan magnet daerah aktif. Sedangkan jika diidentifikasi bahwa erupsi filamen sebagai pemicu CME maka kita dapat memperoleh data berupa waktu kejadian dan lokasi. Data yang telah diperoleh ditabulasi disesuaikan dengan kejadian badai geomagnet dan CME. Jika tidak ditemukan adanya CME yang berkaitan maka dilakukan identifikasi terhadap lubang korona yang diduga sebagai penyebab terjadinya badai geomagnet. Pemilihan waktu dipilih antara 1 hari s.d 5 hari sebelum terjadinya badai geomagnet. Pemilihan waktu ini disesuaikan dengan kecepatan angin Matahari. Posisi lubang korona yang diduga sebagai pemicu terjadinya badai yaitu terletak didekat ekuator dan berada di bagian barat Matahari. Data yang diperoleh berupa waktu kejadian dan posisi lubang korona. Data yang telah diperoleh ditabulasi disesuaikan dengan kejadian badai geomagnet. Data yang telah diperoleh ditabulasi dan kemudian dibuat grafik untuk melihat penyebab terbanyak terjadinya badai geomagnet. 3.4.3 Mengidentifikasi Luas Daerah Aktif di Matahari dan Konfigurasi Medan Magnet Daerah Aktif di Matahari Sesuai dengan tujuan awal penelitian yaitu mengetahui keterkaitan antara daerah aktif di Matahari dengan kejadian badai geomagnet kuat dengan variabel daerah aktif yaitu luas dan konfigurasi medan magnet, maka pada penelitian ini data kejadian badai geomagnet yang bukan disebabkan oleh CME yang dipicu oleh flare yang terjadi diatas daerah aktif dapat diabaikan. Pada penelitian ini, klasifikasi keluasan daerah aktif di bagi menjadi 3 kategori yaitu sempit, sedang dan luas dengan ukuran keluasan di tunjukan pada Tabel 3.2. Klasifikasi ini di buat berdasarkan kecenderungan distribusi kejadian flare dengan luas daerah aktif.

14 Pada Gambar 3.8 terlihat bahwa kecenderungan flare kelas B dan C yang memiliki intensitas sinar-x lebih kecil dari 10-2 ergs cm -2 s -1 memiliki kecenderungan muncul pada luas daerah aktif berkisar 0 Millionth Solar Hemisphere (MH) s.d 400 MH, flare kelas M yang memiliki intensitas sinar-x 10-2 ergs cm -2 s -1 s.d lebih kecil dari 10-1 ergs cm -2 s -1 memiliki kecenderungan muncul pada luas daerah aktif berkisar 100 MH s.d 1000 MH dan flare kelas X yang memiliki intensitas sinar-x lebih besar sama dengan 10-1 ergs cm -2 s -1 memiliki kecenderungan muncul pada luas daerah aktif berkisar 100 MH s.d 2500 MH, sehingga pengklasifikasian di buat dengan menjadikan kecenderungan distribusi flare kelas B dan C sebagai batas untuk kategori keluasan sempit, flare kelas M sebagai batas untuk kategori keluasan sedang dan flare kelas X sebagai batas untuk kategori keluasan luas. Tabel 3.2. Klasifikasi Keluasan Daerah Aktif Klasifikasi Keluasan Luas (MH) Sempit L < 400 Sedang 400 Luas L 1000

0 500 1000 1500 2000 2500 Intensitas Flare 15 1.20E-01 1.00E-01 8.00E-02 6.00E-02 4.00E-02 2.00E-02 Flare Kelas B Flare Kelas C Flare Kelas M Flare Kelas X 0.00E+00 Keluasan Daerah Aktif Gambar 3.8. Distribusi kejadian flare terhadap keluasan daerah aktif Klasifikasi konfigurasi medan magnet mengacu pada klasifikasi konfigurasi medan magnet Mount Wilson yaitu.