BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

dokumen-dokumen yang mirip
ABSTRAK. Oleh: *Ramli Idris Mantongi, **Suparmin Fathan, ***Fahrul Ilham

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

Salmiyati Paune, Jurusan Peternakan Fakultas Ilmu-ilmu Pertanian Universitas Negeri Gorontalo, Fahrul Ilham, Tri Ananda Erwin Nugroho

BAB III MATERI DAN METODE. Ongole (PO) dan sapi Simmental-PO (SIMPO) dilaksanakan pada tanggal 25 Maret

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

LEMBAR PERSETUJUAN ARTIKEL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. indicus yang berasal dari India, Bos taurus yang merupakan ternak keturunan

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada

EFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN MOJOKERTO. Oleh : Donny Wahyu, SPt*

PENDAHULUAN. masyarakat Pesisir Selatan. Namun, populasi sapi pesisir mengalami penurunan,

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

TINGKAT KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN SAPI POTONG DI TINJAU DARI ANGKA KONSEPSI DAN SERVICE PER CONCEPTION. Dewi Hastuti

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

HASIL DAN PEMBAHASAN. Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lokasi

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI BALI DAN SAPI PO DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Inseminasi Buatan pada Ayam Arab

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

I. TINJAUAN PUSTAKA. domestik dari banteng ( Bibos banteng) adalah jenis sapi yang unik. Sapi asli

Contak person: ABSTRACT. Keywords: Service per Conception, Days Open, Calving Interval, Conception Rate and Index Fertility

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan

Syahirul Alim, Lilis Nurlina Fakultas Peternakan

LAPORAN AKHIR PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelahiran anak per induk, meningkatkan angka pengafkiran ternak, memperlambat

PREFERENSI DAN TINGKAT PENGETAHUAN PETERNAK TENTANG TEKNOLOGI IB DI KABUPATEN BARRU. Syahdar Baba 1 dan M. Risal 2 ABSTRAK

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B

BAB I PENDAHULUAN. agar diperoleh efisiensi dan efektifitas dalam penggunaan pejantan terpilih,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai

SERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN BOJONEGORO. Moh. Nur Ihsan dan Sri Wahjuningsih Bagian Produksi Ternak Fakultas Peternakan UB, Malang

PEDOMAN PELAKSANAAN UJI PERFORMAN SAPI POTONG TAHUN 2012

PERFORMA REPRODUKSI PADA SAPI POTONG PERANAKAN LIMOSIN DI WILAYAH KECAMATAN KERTOSONO KABUPATEN NGANJUK

JURNAL ILMU TERNAK, DESEMBER 2007, VOL. 7, NO. 2, Syahirul Alim dan Lilis Nurlina Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE DAN PERANAKAN LIMOUSIN DI KECAMATAN PADANG KABUPATEN LUMAJANG

JURNAL TERNAK Vol. 06 No.01 Juni

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2016

Agros Vol. 16 No. 1, Januari 2014: ISSN

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Perkembangan Ternak Sapi Potong. Menurut Susiloriniet al., (2008) Sapi termasuk dalam genus Bos, berkaki

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali

PEMBIBITAN SAPI BRAHMAN CROSS EX IMPORT DIPETERNAKAN RAKYAT APA MUNGKIN DAPAT BERHASIL?

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu

Cahyo Andi Yulyanto, Trinil Susilawati dan M. Nur Ihsan. Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya Jl. Veteran Malang Jawa Timur

BAB I PENDAHULUAN. Masalah utama peternakan kita sampai saat ini bertumpu pada

UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Pedaging

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma

UMUR SAPIH OPTIMAL PADA SAPI POTONG

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Permintaan daging sapi terus meningkat seiring pertumbuhan

PERFORMAN REPRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE DAN SAPI PERANAKAN LIMOUSINE DI KECAMATAN BERBEK KABUPATEN NGANJUK

I. PENDAHULUAN. Kinali dan Luhak Nan Duomerupakandua wilayah kecamatan dari. sebelaskecamatan yang ada di Kabupaten Pasaman Barat. Kedua kecamatan ini

Kinerja Reproduksi Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) di Kecamatan Pudak, Kabupaten Ponorogo

EVALUASI KEBERHASILAN PROGRAM INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI POTONG DI KECAMATAN KLABANG KABUPATEN BONDOWOSO PROVINSI JAWA TIMUR TUGAS AKHIR.

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE DAN PERANAKAN LIMOUSIN DI KABUPATEN MALANG

I. PENDAHULUAN. yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Sejarah Sapi Potong Sapi adalah hewan ternak terpenting dari jenis-jenis hewan ternak yang

KAWIN SUNTIK/INSEMINASI BUATAN (IB) SAPI

Perkawinan Sapi Potong di Indonesia

I. PENDAHULUAN. sebagai salah satu sumber portein hewani yaitu daging. jumlah penduduk, tetapi dilain pihak penggadaan daging setiap saat dirasa

Edisi Agustus 2013 No.3520 Tahun XLIII. Badan Litbang Pertanian

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33

TEKNIK DAN MANAJEMEN PRODUKSI BIBIT SAPI BALI DI SUBAK KACANG DAWA, DESA KAMASAN, KLUNGKUNG ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manajemen. Pembibitan sapi perah dimaksudkan untuk meningkatkan populasi

KAJIAN PERFORMANS REPRODUKSI SAPI ACEH SEBAGAI INFORMASI DASAR DALAM PELESTARIAN PLASMA NUTFAH GENETIK TERNAK LOKAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Potong. potong adalah daging. Tinggi rendahnya produksi penggemukan tersebut

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan

KAJIAN MENGURANGI ANGKA KEMATIAN ANAK DAN MEMPERPENDEK JARAK KELAHIRAN SAPI BALI DI PULAU TIMOR. Ati Rubianti, Amirudin Pohan dan Medo Kote

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada 2 April 2014 sampai 5 Mei 2014, di Kecamatan Jati

PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Objek yang diteliti dalam penelitian ini adalah peternak dari tiga kelompok

REPRODUCTION PERFORMANCE OF LIMOUSIN CROSSBREED IN TANGGUNGGUNUNG DISTRICT TULUNGAGUNG REGENCY

MANAGEMENT BREEDING TERNAK POTONG RUMINANSIA

DINAMIKA POPULASI SAPI POTONG DI KECAMATAN PAMONA UTARA KABUPATEN POSO

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI ACEH DENGAN SAPI BRAHMAN DAN DENGAN SAPI SIMENTAL MELALUI INSEMINASI BUATAN DI KECAMATAN PADANG TIJI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

I PENDAHULUAN. berasal dari daerah Gangga, Jumna, dan Cambal di India. Pemeliharaan ternak

PERBANDINGAN EFISIENSI REPRODUKSI SAPI BRAHMAN CROSS YANG DIINSEMINASI TAHUN **** DAN TAHUN *** DI KECAMATAN (X) KABUPATEN (Y) PROPINSI (Z)

TINJAUAN PUSTAKA. menurut Pane (1991) meliputi bobot badan dewasa kg, panjang badan

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Objek penelitian ini adalah peternak sapi potong Peranakan Ongole yang

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persepsi Peternak Terhadap IB Persepsi peternak sapi potong terhadap pelaksanaan IB adalah tanggapan para peternak yang ada di wilayah pos IB Dumati terhadap pelayanan IB dengan berdasarkan beberapa indikator pertanyaan yang diberikan melalui kuisioner yang dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap inovasi berhubungan dengan persepsinya terhadap inovasi tersebut, sedangkan persepsi peternak itu sendiri berhubungan dengan latar belakang peternak masingmasing, karena penerimaan inovasi akan dipengaruhi oleh persepsi dan karakteristik peternak itu sendiri. Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 1 dapat dilihat dari 39 responden peternak sapi potong yang berada di wilayah pos IB Dumati Kecamatan Telaga Biru keseluruhannya pernah mendengar istilah Inseminasi Buatan (10 0%). Jawaban lainnya dari para responden juga menyatakan bahwa informasi-informasi mengenai IB tersebut diperoleh dari penyuluh/inseminator ( 94,9%) dan sebagian lainnya diperoleh dari sesama peternak (5%). Meski keseluruhan responden pernah mendengar dan tahu tentang istilah IB namun sebagian responden peternak sapi potong di wilayah pos IB Dumati belum menerapkan IB sebagai pilihan utama dalam melakukan perkawinan ternaknya. Sebanyak 44,7% responden menyatakan bahwa selain teknologi IB mereka masih menggunakan metode kawin alam untuk mengawinkan ternaknya dikarenakan beberapa faktor. Responden peternak sapi potong yang menyatakan

bahwa sistem perkawinan ternak yang mereka terapkan hanya IB tanpa kawin alam adalah sebanyak 55,3% sementara metode perkawinan dengan hanya kawin alam sudah ditinggalkan oleh para responden. Hal ini juga tergambar dari jawaban para responden yang keseluruhannya (100%) menganggap bahwa mengawinkan sapi potong dengan cara IB lebih baik dari pada kawin alam. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Alim dan Nurlina (2011) bahwa sebagian besar responden (62,50%) yang diteliti menyatakan bahwa menggunakan inseminasi buatan lebih baik daripada menggunakan pejantan/ kawin alami, namun sebagian kecil merasa khawatir akan resiko kematian induk pada saat melahirkan karena anak yang dilahirkan relatif lebih besar. Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat bahwa dari keseluruhan responden yang menerima kuisioner 51,4% menyatakan sudah setahun menggunakan IB sebagai pilihan utama dalam mengawinkan sapi potong yang dimiliki dan sisanya sebanyak 43.2% telah 3 tahun mengawinkan ternaknya dengan cara IB dan 5,4% menyatakan telah 5 tahun menggunakan cara IB. Pengalaman mengawinkan ternak dengan cara IB pada sapi potong oleh beberapa responden yang belum begitu lama menyebabkan para peternak masih sering meragukan apakah IB dapat mengatasi permasalahan mereka dalam meningkatkan populasi ternaknya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Alim dan Nurlina (2011) menyatakan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat lemah dari umur, pendidikan, dan pengalaman beternak dengan persepsi terhadap inseminasi buatan. Hal ini yang menyebabkan beberapa responden masih sering kembali ke sistem perkawinan

secara alami sehingga penyuluhan dan sosialisasi tentang manfaat IB sangat diperlukan. Tabel 1 Persepsi Peternak Sapi Potong Terhadap IB di Kecamatan Telaga Biru No Uraian Nilai Persentase Jumlah sampel (n) 39 Orang 1 Pernah dengar IB (%) Ya 100 Tidak - 2 Metode Perkawinan (%) Kawin Alam (KA) - Inseminasi Buatan 55,3 Kawin alam dan IB 44,7 3 Informasi IB dari (%) Penyuluh/Inseminator 94,9 Sesama peternak 5,1 Membaca - 4 IB lebih baik dari KA (%) Ya 100 Tidak - 5 Lama menggunakan IB (%) 1 tahun 51,4 3 tahun 43,2 5 tahun 5,4 Lebih 5 tahun - 6 Alasan memakai IB (%) Lebih murah - Keberhasilannya lebih baik 21,1 Keturunannya lebih unggul 71,1 Tidak perlu pelihara pejantan 7,9 Lainnya - 7 Kendala yang dialami Jarak pos IB jauh 13,2 Pengetahuan estrus kurang 36,8 Biaya IB tinggi - Pakan dan obat kurang 50 Lainnya - Beberapa responden ( 71,1%) menyatakan bahwa alasan mereka menggunakan IB untuk mengawinkan sapi potong yang dimiliki adalah karena

keturunan hasil IB lebih unggul dibandingkan kawin alam. Melalui IB keturunan yang dihasilkan akan memiliki kelebihan dibandingkan dengan kawin alam sebab sperma yang diinseminasikan berasal dari pejantan unggul dan telah diseleksi secara berulang-ulang tentang keunggulan reproduksinya. Hal ini juga sesuai dengan yang dikemukakan oleh Toelihere (1993) bahwa inseminasi buatan dapat mempertinggi breeding efficiency, karena hanya semen yang fertilitasnya tinggi yang diberikan kepada peternak. Alasan lainnya mengapa peternak memakai IB adalah keberhasilannya lebih baik dari kawin alam (21,1%) dan juga tidak perlu memelihara pejantan (7,9%). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Toelihere (1993) beberapa keuntungan IB antara lain menghemat biaya pemeliharaan pejantan sehingga penambahan jumlah betina dapat dilakukan oleh peternak sebab peternak tidak harus memelihara pejantan, efisiensi reproduksi akan lebih baik (calving interval diperpendek). Hasil survai lainnya terhadap responden peternak sapi potong yang berada di wilayah pos IB Dumati bahwa disamping keuntungan para responden peternak juga memiliki kendala-kendala dalam penerapan IB di lapangan. Kendala yang paling banyak dialami oleh beberapa responden adalah ketersediaan pakan dan obat-obatan kurang (50%) dan pengetahuan tentang estrus juga yang masih sangat kurang ( 36,8%) sehingga hal ini perlu direspon melalui beberapa kegiatan diantaranya peningkatan pengetahuan melalui penyuluhan tentang identifikasi birahi pada ternak. Kendala lainnya yang dialami para responden adalah jarak pos IB dan lokasi kandang cukup jauh sehingga seringkali pelayanan IB menjadi lebih lama setelah pelaporan (6.7%), Hasil penelitian yang dilakukan oleh Alim dan

Nurlina (2011) juga menyatakan kendala teknis yang sering dialami peternak seputar IB di lapangan berupa kurangnya pengetahuan peternak terhadap siklus berahi dan mendeteksi berahi dan kendala non teknis berupa jarak yang cukup jauh antara tempat tinggal peternak dengan inseminator sehingga menghabiskan biaya dan waktu. Beberapa kendala yang dialami para responden di Kecamatan Telaga Biru tersebut dapat menyebabkan kegagalan kebuntingan sehingga bila hal ini terjadi maka para peternak akan kembali menggunakan perkawinan alami sebagai alternatif cara mengembangbiakkan ternaknya. B. Evaluasi Keberhasilan IB Tolak ukur tingkat keberhasilan pelaksanaan IB dilapangan adalah kelahiran dari pedet hasil inseminasi. Namun hal ini dirasa terlalu lama untuk mengambil keputusan sehari-hari terutama pada sapi potong untuk mensukseskan program IB sebab harus menunggu 9 bulan sampai anaknya lahir. Beberapa alat ukur yang sering digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan pelaksanaan IB dalam waktu yang cepat adalah service perconception (S/C) dan conception rate (CR). Metode ini meskipun dirasa kurang sempurna namun minimal dapat memberikan gambaran umum mengenai fertilitas sapi potong yang di IB sebagai dasar penentuan kebijakan selanjutnya. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap para responden peternak sapi potong yang berada dalam wilayah pos IB Dumati bangsa ternak sapi yang dipelihara adalah sapi Bali, dan sapi Lokal. Sebutan sapi lokal dipopulerkan oleh para peternak sapi potong di Kecamatan Telaga Biru sebab secara fenotipe sapi ini memilliki perbedaan dengan sapi Bali maupun sapi Onggole atau PO. Sapi ini

terbentuk sebagai hasil persilangan dari beberapa bangsa sapi potong yang dilakukan oleh para peternak namun tidak dilakukan dengan pola sistematis sehingga tidak jelas sifat dominasi berasal dari bangsa sapi yang mana. Menurut Pane (1993) yang tergolong sapi lokal adalah sapi Bali, sapi Madura, sapi Jawa, dan sapi Madura. Perkembangan selanjutnya sapi PO yang merupakan hasil persilangan antara sapi lokal dengan sapi Onggole digolongkan sebagai sapi lokal. 1. Service per Conception Berdasarkan Tabel 2 hasil analisis nilai S/C pada bangsa sapi potong di Kecamatan Telaga Biru yang diamati diperoleh hasil induk sapi Bali yang di inseminasi memiliki nilai S/C yang lebih rendah (1,22) dibandingkan dengan sapi lokal (1. 46). Nilai ini dapat dianggap baik sebab menurut Toelihere (1993) nilai S/C yang normal berkisar 1,6 sampai 2,0. Makin rendah nilai tersebut, makin tinggi kesuburan hewan-hewan betina dalam kelompok tersebut dan sebaliknya makin tinggi nilai S/C makin rendah nilai kesuburan kelompok betina tersebut. Tabel 2 Nilai Service Per Conception (S/C) Dan Conception Rate (%) Pada Beberapa Bangsa Sapi Potong Hasil IB di Kecamatan Telaga Biru Jenis Sapi Nilai Keberhasilan IB No Potong N Service per conception Conception Rate (%) (S/C) 1 Bali 24 1,22 77,8 2 Lokal 13 1,46 61,5 Nilai S/C sapi potong di Kecamatan Telaga Biru ini lebih baik dari nilai S/C di beberapa daerah di pulau Jawa seperti di Grobogan dan Wonosobo Jawa Tengah memiliki nilai S/C sapi PO adalah 2,6 (Hadi dan Ilham, 2002) dalam

Susilo (2005), Jawa Timur 2,0 2,2 (Affandhy et al, 2003) dalam Susilo (2005), dan di Bantul Yogyakarta 2,1 2,3 (Sugiharto et al, 2004) dalam Susilo (2005). Nilai S/C baik pada sapi bali maupun pada sapi lokal yang lebih rendah dibandingkan dengan beberapa daerah lain menandakan bahwa efisiensi reproduksi sapi potong yang ada di Kecamatan Telaga Biru cukup baik. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan hal ini adalah para peternak yang mendapat pelayanan IB dari pos IB Dumati cukup responsif terhadap pelayanan IB sehingga ketika ternaknya telah menunjukkan gejala birahi maka secepatnya dilaporkan ke petugas inseminator untuk segera mendapat pelayanan IB. Keterlambatan peternak melaporkan ternaknya yang birahi dapat mempengaruhi proses fertilisasi sebab umur sel telur setelah ovulasi hanya beberapa jam dan bila tidak secepatnya dibuahi oleh spermatozoa dapat menyebabkan terjadinya kegagalan fertilisasi. Faktor lain yang mempengaruhi nilai S/C yang lebih baik adalah fasilitas pelayanan IB di pos IB Dumati yang sudah lebih baik dan mendapat dukungan dari pemerintah setempat sehingga operasional dilapangan dalam memberikan layanan IB dapat maksimal dilakukan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hadi dan Ilham (2002) bahwa beberapa hal yang dapat mempengaruhi tingginya nilai S/C di beberapa daerah antara lain petani terlambat melapor ke inseminator, kelainan organ reproduksi sapi betina, inseminator kurang terampil, dan fasilitas pelayanan inseminasi terbatas. 2. Conception Rate Angka kebuntingan atau concepton rate (CR) merupakan informasi berapa persen sapi yang menjadi bunting dari sejumlah sapi yang diinseminasi pertama secara bersama-sama (Jaenudeen dan Hafez, 1993). Perhitungan CR berdasarkan

jumlah sapi yang berhasil bunting pada inseminasi pertama melalui pemeriksaan kebuntingan dengan cara eksplorasi rektal pasca inseminasi selama 45 60 hari, 40 60 hari (Toelihere, 1993). Berdasarkan Tabel 2 nilai conception rate sapi bali lebih tinggi yaitu 77,8%, dibandingkan dengan sapi lokal yaitu 61.5%. Nilai CR sapi bali yang lebih tinggi dari sapi lokal sebab secara genetik sapi bali memiliki efisiensi reproduksi yang cukup baik bila dibandingkan dengan sapi impor. Nilai CR sapi Bali yang mencapai 77,8% lebih tinggi dari yang dikemukakan oleh Wiryosuhanto (1990) bahwa ternak yang mempunyai tingkat kesuburan tinggi nilai CR bisa mencapai 60% sampai 70% dan apabila CR setelah inseminasi pertama lebih rendah dari 60% sampai 70% dapat diindikasikan kesuburan ternak terganggu atau tidak normal. Menurut Jaenudeen dan Hafez (1993) CR sapi potong dengan manajemen yang baik bisa mencapai 70%, sedangkan Partodihardjo (1992) menyatakan bahwa CR ideal adalah 70% tetapi secara umum sebesar 40%. Hasil penelitian lainnya oleh Susilo (2005) bahwa pada lahan basah CR sapi lokal terendah adalah 38.8% dan tertinggi 47.36% dan pada lahan kering terendah sebesar 34.61% dan tertinggi 45.95%. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nilai CR ditentukan antara lain yaitu kesuburan pejantan, kesuburan betina, dan teknik inseminasi. Menurut Partodihardjo (1992) faktor yang dapat berpengaruh terhadap nilai CR antara lain mortalitas embrio pada saat awal sapi bunting, pakan yang kekurangan mineral.