BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Populasi Sapi Pertambahan jumlah penduduk, meningkatnya kesejahteraan dan pendidikan masyarakat Indonesia, mengakibatkan permintaan akan produk peternakan semakin bertambah. Hal ini disebabkan karena masyarakat semakin sadar dan peduli terhadap pemenuhan kebutuhan proteinnya. Dalam pemenuhan kebutuhan protein tersebut, daging sapi adalah salah satu produk sumber suplai terbesar. Menurut data Dirjennak dan Keswan (2010), 20,4% kebutuhan daging nasional dipenuhi dari daging sapi. Namun disayangkan 30% diantaranya berasal dari impor luar negeri. Oleh karena itu pemerintah menetapkan Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014 (PSDS-2014). Program ini merupakan lanjutan dari Program Swasembada Daging 2005 dan Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS) 2010 yang sampai sekarang belum berhasil dicapai. Untuk Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2014 ini. Di Sumatera Utara pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2009, populasi sapi selalu mengalami peningkatan setiap tahun. Menurut data Statistik Peternakan (2009), terjadi peningkatan rata-rata populasi sapi potong sebesar 15,11% per tahun yaitu ekor tahun 2005 menjadi ekor pada tahun Perkembangan populasi sapi potong dan tingkat penyebarannya pada beberapa wilayah di Indonesia sangat bervariasi. Secara nasional yaitu 6,07%; 6,35%; 3,20%; 6,67%; dan 11% masing-masing terdapat di Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya. Di wilayah Jawa dan Bali perkembangannya hanya 1,85% sedangkan di Sulawesi mengalami penurunan sebesar 2,57%. Dikemukakan pula bahwa rendahnya tingkat perkembangan populasi sapi potong secara nasional terjadi akibat rendahnya perkembangan populasi di wilayah sentra-sentra produksi utama yakni Jawa-Bali dan Sulawesi. Kedua wilayah tersebut menampung sekitar 61% dari populasi sapi nasional (Pambudy 2001). Pada awalnya kegiatan peternakan berkembang pada dua tipe wilayah yang masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan relatif. Tipe wilayah 21

2 pertama adalah wilayah yang memiliki keunggulan relatif pada aspek sosial ekonomi (terutama akses ke pasar), namun lemah dalam aspek biofisik. Tipe wilayah kedua adalah wilayah yang memiliki keunggulan relatif pada aspek biofisik (ketersediaan bahan baku dan kesesuaian agroklimat) namun lemah dalam aspek sosial ekonomi (Saragih 1995). Secara nasional ada tiga periode perkembangan populasi ternak ruminansia (besar dan kecil) yang menunjukkan pola yang sama yaitu rendah ( ), tinggi ( ) dan rendah kembali ( ). Hal ini disebabkan oleh dua faktor utama yang dapat mempengaruhi perubahan populasi tersebut. Faktor pertama adalah penambahan jumlah ternak yang terjadi melalui kelahiran dan impor ternak, dimana pada periode impor ternak dari luar negeri dalam bentuk ternak bibit banyak dilakukan, sedangkan pada periode sudah menurun. Program Inseminasi Buatan untuk meningkatkan angka kelahiran terus ditingkatkan, namun kelihatan masih belum memberikan hasil yang diharapkan. Faktor kedua adalah pengurangan jumlah ternak akibat kematian, pemotongan dan ekspor. Kegiatan ekspor ternak hidup dua periode terakhir sudah tidak dilakukan, artinya kematian ternak akibat penyakit dan pemotongan ternak merupakan faktor yang mempengaruhi jumlah populasi ternak tersebut (Pambudy 2001) Keberhasilan usaha pengembangan peternakan di suatu daerah sangat tergantung pada tiga faktor utama yaitu: (1) kondisi fisik alami daerah (tanah, iklim dan ketersediaan sumber daya pakan), (2) kondisi sosial masyarakat penduduk, terutama tingkat ketrampilan dan pengetahuan peternak, (3) kondisi ekonomi daerah yag bersangkutan antara lain harga ternak, keadaan prasarana dan harga pasar (Soewardi 1987). Upaya untuk Meningkatkan Populasi Sapi Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada akhir tahun 1997 menyebabkan terjadinya penghentian sementara impor daging dan sapi bakalan. Akibatnya hampir semua kebutuhan daging di Indonesia dipenuhi oleh pasokan dalam negeri yang bakalannya diperoleh dari peternakan rakyat. Kondisi ini menyebabkan pengurasan populasi ternak lokal termasuk kerbau, sapi dengan 22

3 berat dibawah 200 kg dan sapi betina produktif sehingga menambah terpuruknya perkembangan populasi ternak di Indonesia, sebelum terjadi krisis ekonomi, Indonesia masih kekurangan daging sekitar ton atau 28% dari kebutuhan, sehingga untuk mengatasinya dilakukan impor sebanyak ton daging atau ekuivalen dengan ekor sapi (Herdis et al. 2010). Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan upaya antara lain: peningkatan populasi dan produktivitas ternak baik secara kualitatif dan kuantitatif sehingga dapat meningkatkan populasi ternak lokal dan mengurangi impor ternak sapi dari negara lain. Upaya kedua adalah pemanfaatan ilmu dan teknologi dibidang reproduksi ternak. Menurut Nursyam (2012) perkembangkan teknologi di bidang reproduksi ternak diawali dengan pemanfaatan teknologi inseminsi buatan (IB), kemudian transfer embrio (TE) dan saat ini telah dikembangkan teknologi prosessing semen, fertilisasi in vitro, teknologi criopreservasi gamet, pembentukan ternak transgenik, cloning dan pembentukan ternak chimera. Upaya pengembangan dan pemanfaatan teknologi reproduksi ternak tersebut perlu dukungan peralatan yang memadai dan dana yang cukup serta tenaga ahli yang terampil. Aplikasinya oleh petani peternak di Indonesia baru sampai pada tahap inseminasi buatan (IB) dan transfer embrio (TE). Syam Rahadi (2008) mengemukakan bahwa contoh bioteknologi pada bidang peternakan, khususnya bioteknologi reproduksi adalah inseminasi buatan (IB), transfer embrio (TE), pemisahan jenis kelamin, pemisahan spermatozoa X dan Y, In Vitro Fertilization (IVF), kloning dan sebagainya. Di bidang peternakan khususnya sapi, bioteknologi reproduksi mulai berkembang pesat pada tahun1970-an. Teknologi Inseminasi Buatan berperan penting dalam rangka peningkatan mutu genetik dari sapi pejantan. Sperma beku dapat diproduksi dan digunakan dalam jumlah banyak cukup dengan memelihara pejantan berkualitas baik dipusat IB. Teknologi transfer embrio yang diterapkan secara bersama dengan teknologi IB dapat mengoptimalkan sekaligus potensi dari sapi jantan dan betina berkualitas unggul. Kemajuan di bidang manipulasi mikro, khususnya pembelian embrio sebelum ditransfer pada resipien sangat bermanfaat bila ditinjau dari segi 23

4 ekonomi. Sapi jantan lebih menguntungkan untuk usaha produksi daging., sedangkan sapi betina lebih menguntungkan untuk usaha produksi susu. Untuk tujuan penentuan jenis kelamin embrio, biopsi dapat dilakukan pada tahap embrional dan selanjutnya embrio dapat langsung ditransfer pada resipien tau disimpan dengan teknik pembekuan. Program peningkatan produksi dan kualitas pada hewan ternak (dalam hal ini sapi) berjalan lambat bila proses reproduksi dilakukan secara alamiah. Dengan rekayasa bioteknologi reproduksi, proses reproduksi dapat dimaksimalkan antara lain dengan teknologi Inseminasi Butana (IB). Transfer Embrio (TE), pembekuan embrio dan manipulasi embrio. Tujuan utama dari teknik IB adalah memaksimalkan potensi pejantan berkualitas unggul. Sperma dari satu pejantan berkualitas unggul dapat digunakan untuk beberapa ratus bahkan ribuan betina, meskipun sperma tersebut dikirim kesuatu tempat yang jauh. Perkembangan selanjutnya adalah teknologi TE dimana bukan hanya potensi dari jantan saja yang dioptimalkan, melainkan potensi betina berkualitas unggul juga dapat dimanfaatkan secara optimal. Pada betina untuk bunting hanya sekali dalam setahun (9 bulan bunting dan persiapan bunting selanjutnya) dan hanya mampu menghasilkan satu atau dua anak bila terjadi kembar. Teknik TE dimana sapi betina unggul tidak perlu bunting tetapi hanya berfungsi menghasilkan embrio yang untuk selanjutnya bisa ditransfer (dititipkan) pada induk titipan (resipien) dengan kualitas yang tidak perlu bagus tetapi mempunyai kemampuan untuk bunting. Kematian bukan lagi merupakan berakhirnya proses untuk meneruskan keturunan. Teknik IVF, sel telur yang berada dalam ovarium betina berkualitas unggul sesaat setelah mati dapat diproses diluar tubuh sampai tahap embrional. Selanjutnya embrio tersebut ditransfer pada resipien sampai dihasilkan anak. Produksi embrio dalam jumlah banyak ternyata juga dapat menghasilkan masalah karena keterbatasan resipien yang siap menerima embrio. Untuk mengatasi masalah tersebut dikembangkan metode pembekuan embrio. Selain berbagai teknik tersebut di atas, potensi dari hasil yang masih dapat dioptimalkan dengan teknologi manipulasi mikro, penentuan jenis kelamin tahap embrional, sexing sperma dan teknik kloning. 24

5 Tetapi dari sekian banyak teknologi reproduksi yang ada, inseminasi buatan merupakan teknik reproduksi yang cukup berhasil dan dapat diterapkan terutama dinegara-negara berkembang seperti Indonesia, sehingga sampai saat ini di Indonesia telah berkembang balai-balai IB yang memproduksi semen beku dari pejantan yang berkualitas unggul. Upaya peningkatan populasi ternak selain penggunaan teknologi Inseminasi Buatan dengan penggunaan semen dari pejantan unggul diupayakan juga penggunaan ternak pejantan unggul yang telah terseleksi dikenal dengan istilah Intensifikasi Kawin Alam (INKA). Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan populasi dan produksi serta produktivitas ternak sapi potong dan kerbau perlu dilakukan upaya-upaya intensifikasi kawin alam (INKA), karena cara ini sangat menunjang keberhasilan budidaya ternak di pedesaan dan masih banyak dilakukan didaerah-daerah di Indonesia. Diyakini bahwa sampai tahun 2014 bahkan sampai masa mendatang metoda pelaksanaan intensifikasi kawin alam akan tetap menjadi pilihan untuk melakukan pengembangbiakan atau pembibitan ternak di Indonesia, karena diluar negeri pun pilihan kawin alam tetap menjadi program yang dilaksanakan oleh masyarakat. Indonesia banyak memiliki lahan-lahan pengangonan bersama terutama di daerah-daerah luar Jawa sehingga memungkinkan pelaksanaan kawin alam (sistem semi ekstensif), bahkan didaerah intensif sekalipun masih dapat dilaksanakan kawin alam dengan metode tertentu tergantung kebiasaan masingmasing masyarakat (Dirjennak & Keswan 2011) Inseminasi Buatan sebagai Salah Satu Teknologi Reproduksi Tepat Guna di Indonesia Penerapan inseminasi buatan (IB) pada ternak merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan populasi. Dilihat dari bentuk semen yang diinseminasikan teknologi IB terdiri dari dua macam yaitu IB dengan semen segar dan IB dengan semen beku. IB dengan semen segar biasanya digunakan untuk perkawinan ternak pada areal terbatas, yang dapat dijangkau dengan waktu yang cepat. Hal ini terjadi karena semen segar yang akan diinseminasikan dapat rusak apabila disimpan dalam waktu yang lama. Teknologi IB yang dikembangkan sekarang ini adalah 25

6 teknologi IB dengan menggunakan semen beku. Semen beku atau frozen semen adalah semen yang disimpan pada suhu di bawah titik beku -79 o C sampai -196 o C. Perkawinan IB dengan metode ini dapat dilakukan tanpa dibatasi oleh masalah jarak dan waktu karena semen yang digunakan dalam keadaan beku. Metabolisme yang terjadi pada semen yang dibekukan ditekan sampai pada tahap basal metabolisme sehingga energi yang digunakan sangat sedikit. Keadaan ini menyebabkan semen dapat disimpan dalam waktu yang lama bahkan bisa sampai lebih dari 10 tahun karena asam laktat yang terbentuk tidak akan meracuni spermatozoa. Semen beku menurut Badan Standardisasi Nasional (2005) adalah semen yang berasal dari pejantan sapi terpilih yang diencerkan sesuai prosedur proses produksi sehingga menjadi semen beku dan disimpan di dalam rendaman nitrogen cair pada suhu -196 o C pada container. Pada dasarnya pengertian IB adalah suatu kegiatan pemasukan sperma (semen) kedalam saluran kelamin betina dengan menggunakan peralatan buatan manusia yang tujuannya untuk memperoleh kebuntingan dalam usaha meningkatkan populasi dan produksi ternak secara kuantitatif dan kualitatif (Toelihere 1985). Inseminasi buatan adalah proses memasukkan sperma ke dalam saluran reproduksi betina dengan tujuan untuk membuat betina jadi bunting tanpa perlu terjadi perkawinan alami. Konsep dasar dari teknologi ini adalah bahwa seekor pejantan secara alamiah memproduksi puluhan milyar sel kelamin jantan (spermatozoa) per hari, sedangkan untuk membuahi satu sel telur (oosit) pada hewan betina diperlukan hanya satu spermatozoon. Potensi terpendam yang dimiliki seekor pejantan sebagai sumber informasi genetik, apalagi yang unggul dapat dimanfaatkan secara efisien untuk membuahi banyak betina (Hafez 1993). Ihsan (1997) mengatakan ada dua teknik inseminasi, yaitu menggunakan metode: 1. Speculum atau vaginoscope Metode ini kurang efektif pada sapi, karena membutuhkan tabung speculum yang besar dan panjang membutuhkan sterilisasi, sehingga tidak efisien, tetapi ini tidak membutuhkan keterampilan dan banyak latihan dan lebih mudah dilakukan. Biasanya digunakan pada ternak kambing dan domba; 26

7 2. Metode Rectovaginal Semen yang digunakan pada metode ini adalah semen beku dengan menggunakan peralatan insemination gun untuk deposisi semen dalam bentuk straw kedalam alat kelamin betina. Alat ini terbuat dari stainless steel yang diselubungi plastic sheat. Peralatan lainnya dalam metode ini adalah container yang berisi nitrogen cair untuk menyimpan semen beku yang terbuat dari alumunium (Toelihere 1993). Gambar 1. Teknik IB dan hasil radiografi (Senger 2003). Namun dalam perkembangan lebih lanjut, program IB tidak hanya mencakup memasukan semen ke dalam saluran reproduksi betina, tetapi juga menyangkut seleksi dan pemeliharaan pejantan yang akan diambil semennya, penampungan, penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencatatan dan penentuan hasil inseminasi pada hewan/ternak betina, bimbingan dan penyuluhan pada peternak. Dengan demikian pengertian IB menjadi lebih luas yang mencakup aspek reproduksi dan pemuliaan, sehingga istilahnya menjadi artificial breeding atau perkawinan buatan (Toelihere 1985). Tolok Ukur Keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) Penerapan bioteknologi IB pada ternak ditentukan oleh empat faktor utama, yaitu semen beku, ternak betina sebagai akseptor Inseminasi Buatan, keterampilan tenaga pelaksana (inseminator) dan pengetahuan zooteknis peternak. Keempat faktor ini berhubungan satu dengan yang lain dan bila salah satu nilainya rendah akan menyebabkan hasil IB juga akan rendah, dalam pengertian efisiensi 27

8 produksi dan reproduksi tidak optimal (Toelihere 1997). Permasalahan utama dari semen beku adalah rendahnya kualitas semen setelah dithawing, yang ditandai dengan terjadinya kerusakan pada ultrastruktur, biokimia dan fungsional spermatozoa yang menyebabkan terjadi penurunan motilitas dan daya hidup, kerusakan membran plasma dan tudung akrosom, dan kegagalan transport dan fertilisasi. Menurut Bailey dan Buhr (1994) ada empat faktor yang diduga sebagai penyebab rendahnya kualitas semen beku, yaitu: (1) perubahan-perubahan intraseluler akibat pengeluaran air yang bertalian dengan pembentukan kristalkristal es, (2) cold-shock (kejutan dingin) terhadap sel yang dibekukan, (3) plasma semen mengandung egg-yolk coagulating enzyme yang diduga enzim fosfolipase A yang disekresikan oleh kelenjar bulbourethralis dari pejantan; dan (4) triglycerol lipase yang juga berasal dari kelenjar bulbourethralis dan disebut SBUIII. Pengaruh yang ditimbulkan akibat fenomena di atas adalah rendahnya kemampuan fertilisasi spermatozoa yang ditandai oleh penurunan kemampuan sel spermatozoa untuk mengontrol aliran Ca 2+. Padahal ion kalsium memainkan peranan penting dalam proses kapasitasi dan reaksi akrosom spermatozoa. Kedua proses ini harus dilewati oleh spermatozoa selama dalam saluran reproduksi betina sebelum membuahi ovum (Partodiharjo 1992). Faktor terpenting dalam pelaksanaan inseminasi adalah ketepatan waktu pemasukan semen pada puncak kesuburan ternak betina. Puncak kesuburan ternak betina adalah pada waktu menjelang ovulasi. Waktu terjadinya ovulasi selalu terkait dengan periode berahi. Pada umumnya ovulasi berlangsung sesudah akhir periode berahi. Ovulasi pada ternak sapi terjadi jam sesudah akhir berahi atau jam sesudah munculnya gejala berahi. Sebelum dapat membuahi sel telur yang dikeluarkan sewaktu ovulasi, spermatozoa membutuhkan waktu kapasitasi untuk menyiapkan pengeluaran enzim-enzim zona pelucida dan masuk menyatu dengan ovum menjadi embrio (Hafez 1993). Waktu kapasitasi pada sapi, yaitu 5-6 jam (Bearden & Fuquay 1980). Oleh sebab itu, peternak dan petugas lapangan harus mutlak mengetahui dan memahami kapan gejala birahi ternak terjadi sehingga tidak ada keterlambatan IB. Kegagalan IB menjadi penyebab 28

9 membengkaknya biaya yang harus dikeluarkan peternak. Apabila semua faktor di atas diperhatikan diharapkan bahwa hasil IB akan lebih tinggi atau hasilnya lebih baik dibandingkan dengan perkawinan alam. Hal ini berarti dengan tingginya hasil IB diharapkan efisiensi produktivitas akan tinggi pula, yang ditandai dengan meningkatnya populasi ternak dan disertai dengan terjadinya perbaikan kualitas genetik ternak, karena semen yang dipakai berasal dari pejantan unggul yang terseleksi. Dengan demikian peranan bioteknologi IB terhadap pembinaan produksi peternakan akan tercapai. Manfaat penerapan bioteknologi IB pada ternak (Hafez 1993) adalah sebagai berikut: (1) menghemat biaya pemeliharaan ternak jantan, (2) dapat mengatur jarak kelahiran ternak dengan baik, (3) mencegah terjadinya kawin sedarah pada sapi betina (inbreeding), (4) dengan peralatan dan teknologi yang baik spermatozoa dapat simpan dalam jangka waktu yang lama, (5) semen beku masih dapat dipakai untuk beberapa tahun kemudian walaupun pejantan telah mati, (6) menghindari kecelakaan yang sering terjadi pada saat perkawinan karena fisik pejantan terlalu besar, sedangkan betina tidak sebanding dan (7) menghindari ternak dari penularan penyakit terutama penyakit yang ditularkan dengan hubungan kelamin. Menurut Dirjennak dan Keswan (2010) Tolok ukur keberhasilan pelaksanaan IB dapat dilihat dari 2 (dua) aspek yaitu aspek Petugas Lapangan dan aspek Wilayah Tahapan dimana masing-masing aspek mempunyai kriteria penilaian tersendiri berdasarkan wilayah tahapan pelayanan IB. 29

10 1. Petugas Lapangan Tabel 1. Tolok ukur keberhasilan pelaksanaan IB di lapangan Uraian Petugas Lapangan 1. Inseminator - S/C - CR (%) - Dinilai oleh - Waktu pelaksanaan penilaian dalam setahun - Pelaporan Lokasi Introduksi Pengembangan Swadaya 3 50 PKB 4 bulan sekali 2 70 PKB 4 bulan sekali 1,5 80 PKB 4 bulan sekali 2. PKB - Ketepatan diagnosa kebuntingan - Dinilai oleh - Waktu pelaksanaan penilaian dalam setahun - Pelaporan 90% ATR 4 bulan sekali 90% ATR 4 bulan sekali 90% ATR 4 bulan sekali 3. ATR - Ketepatan diagnosa gangguan reproduksi - Keberhasilan penanganan gangguan reproduksi - Dinilai oleh - Waktu pelaksanaan penilaian dalam setahun - Pelaporan Sumber: Dirjennak dan Keswan (2010). 70% > 50 ekor Supervisor II 3 bulan sekali 70% > 50 ekor Supervisor II 3 bulan sekali 70% > 50 ekor Supervisor II 3 bulan sekali 2. Wilayah Tahapan Untuk menilai keberhasilan pelaksanaan Inseminasi Buatan pada SP-IB di tingkat Kabupaten/Kota hal-hal yang perlu dinilai adalah seperti dalam Tabel 2. 30

11 Tabel 2. Tolok ukur keberhasilan pelaksanaan inseminasi buatan di Satuan Pelayanan Inseminasi Buatan ( SP-IB) Uraian 1. S/C 2. CR (%) 3. Jumlah IB (dosis) 4. Jlh. Akseptor (ekor) 5. Cakupan wilayah binaan (ekor) 6. Kelahiran/tahun minimal (ekor) 7. Kasus Reproduksi (%) 8. Keberhasilan penanganan gangguan reproduksi (ekor) 9. Waktu pelaksanaan penilaian dlm setahun 10. Pelaporan Wilayah Tahapan Introduksi Pengembangan Swadaya < > 50 6 bln sekali Sumber: Dirjennak dan Keswan (2010) > 50 6 bln sekali > 50 6 bln sekali Intensifikasi Kawin Alam (InKA) Intensifikasi Kawin Alam (InKA) adalah upaya peningkatan populasi ternak sapi yang dilakukan melalui pemakaian dan distribusi pejantan unggul terseleksi dari bangsa sapi lokal dengan tiga prinsip manajemen perkawinan, yaitu (1) perkawinan model kandang individu (intensif), (2) perkawinan model kandang kelompok/umbaran (semi intensif) dan (3) perkawinan model padang penggembalaan (ekstensif). Pejantan yang digunakan berasal dari hasil seleksi sederhana, yaitu berdasarkan penilaian performance tubuh, berumur lebih dari dua tahun dan bebas dari penyakit reproduksi. (Dirjennak & Keswan 2011) Kawin alam digunakan antara lain dengan pertimbangan bahwa secara alamiah ternak memiliki kebebasan hidup di alam bebas, sehingga dengan sikap alamiah ini perkembangbiakannya terjadi secara normal mendekati sempurna dan secara alamiah ternak jantan mampu mengetahui ternak betinanya yang birahi, sehingga sedikit kemungkinan terjadinya keterlambatan perkawinan yang dapat merugikan dalam proses peningkatan populasi. 31

12 Sasaran InKA mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Penyebaran pejantan unggul untuk kawin alam di wilayah intensif, semi intensif dan ekstensif; 2. Meningkatnya nilai conception rate (CR) sebesar 70-80%; 3. Terjadinya perbaikan ratio antara bibit jantan dan betina di suatu wilayah; 4. Terbinanya kelompok-kelompok usaha penyewaan pejantan unggul baik diwilayah intensif, semi intensif dan ekstensif; 5. Terseleksinya pejantan unggul untuk model perkawinan secara alami. Efisiensi Reproduksi Bearden dan Fuquay (1980) menyatakan bahwa salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha peternakan adalah manajemen reproduksi, antara lain menyangkut frekuensi ternak betina yang dapat beranak sehingga meningkatkan efisiensi reproduksi. Menurut Salisbury dan Van Demark (1985), efisiensi reproduksi dalam populasi ternak tidak dapat diukur semata-mata oleh proporsi ternak yang tidak mampu beranak. Ternak betina yang mampu beranak hanya apabila dikawinkan dengan seekor jantan yang menghasilkan spermatozoa yang selanjutnya dapat membuahi ovum dan memulai proses-proses yang berhubungan dengan konsepsi melalui implantasi, pertumbuhan janin dan perkembangan fetus. Tingkat efisiensi reproduksi akan mempengaruhi perkembangan populasi ternak sapi pada suatu wilayah. Hal tersebut dapat diidentifikasikan melalui aplikasi teknologi perkembangbiakan di wilayah tersebut apakah menggunakan kawin alam, inseminasi buatan atau teknologi lainnya (Bestari et al. 1999). Sistem manajemen pemeliharaan yang bagus menghasilkan angka beranak pada sapi dari hasil perkawinan dengan IB bisa mencapai 90% (Jainudeen & Hafez 1993). Sistem pencatatan yang tertib dan teratur terhadap akseptor dan anak hasil IB ikut berperan dalam menentukan tingkat efisiensi reproduksi. Menurut Salisbury dan Van Demark (1985), sistem pencatatan reproduksi terhadap sapisapi yang dimiliki peternak bila dilakukan dengan baik dapat dijadikan pertimbangan dalam meningkatkan efisiensi reproduksi. Toelihere (1993) 32

13 menjelaskan bahwa pencatatan diperlukan untuk mengetahui maju mundurnya program IB terhadap suatu individu atau kelompok ternak Parameter yang dapat digunakan untuk mengetahui efisiensi reproduksi, yaitu Service per Conception (S/C), Conception Rate (CR) dan Calving Interval (CI) dengan menggunakan data sekunder dari recording reproduksi (Susilawati 2002). Menurut Affandhy et al. (2003), produktivitas sapi potong dapat ditingkatkan dengan cara memperbaiki efisiensi reproduksi antara lain dengan meningkatkan kelahiran pedet, memperpendek jarak beranak, memperpanjang masa produksi dan mengoptimalkan pengelolaan program IB, metode deteksi berahi yang tepat dapat meningkatkan efisiensi reproduksi sebesar 50%-90%. Efisiensi reproduksi hasil program IB menurut Ismaya (1999), diukur dari angka tidak kembali minta diinseminasi, angka kebuntingan pada inseminasi ke-1, angka kawin per kebuntingan, jarak kawin pertama pasca beranak, masa kosong, angka beranak, jarak beranak berurutan dan angka panen anak. Tinggi rendahnya efisiensi reproduksi merupakan ukuran keberhasilan program IB. Angka Tidak Kembali Minta Diinseminasi Angka yang tidak kembali minta diinseminasi pada periode tertentu dianggap bunting. Evaluasi dengan cara ini merupakan yang paling cepat untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan IB dan dikenal dengan istilah Non Return Rate yang disingkat NRR (Salisbury & VanDemark 1985; Partodihardjo 1992; Toelihere 1993) Salisbury dan Van Demark (1985) menyatakan bahwa kembalinya berahi dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: kegagalan ovulasi, kegagalan pembuahan dan kegagalan implantasi. Kembalinya berahi juga karena fertilitas sapi betina yang rendah dan kualitas semen yang digunakan untuk IB juga rendah (Jainudeen & Hafez 1993). Dasar perhitungan jarak waktu yang dipakai untuk menentukan NRR adalah hari pasca inseminasi (Salisbury & Van Demark 1985; Partodihardjo 1992; Toelihere 1993). Menurut Roberts (1971) disitasi oleh Toelihere (1993) bahwa perhitungan NRR hari pasca inseminasi pada ternak sapi diperoleh 33

14 angka 65%-72% dengan CR sebesar 53,4% (Salisbury & Van Demark 1985) dan terjadi kecenderungan penurunan persentase dari NRR ke Conception Rate (CR) sebesar 10%-15% (Jainudeen & Hazes 1993). Kelemahan evaluasi NRR adalah bahwa ternak yang tidak kembali diinseminasi dianggap bunting. Hal ini tidak selalu benar, ada beberapa akseptor tidak dibawa oleh peternak ke petugas inseminasi (inseminator) oleh suatu sebab atau alasan diantaranya yaitu akseptor pindah tempat, dijual, mati, peternak lupa atau peternak terlalu sibuk (Salisbury & Van Demark 1985). Menurut Toelihere (1993), sapi-sapi yang tidak kembali berahi pasca IB dianggap bunting dan tidak dilaporkan peternak disebabkan karena beberapa hal diantaranya karena ternak mengalami berahi tenang, mati, dijual, hilang atau adanya gangguan reproduksi. Angka Kebuntingan Angka Kebuntingan atau Conception Rate disingkat CR merupakan salah satu ukuran keberhasilan dalam pelaksanaan kegiatan IB (Bearden & Fuquay 1980). Menurut Jainudeen dan Hafez (1993), CR merupakan informasi berapa persen sapi yang menjadi bunting dari sejumlah sapi yang diinseminasi pertama secara bersama-sama. Menurut Partodihardjo (1992) bahwa perhitungan CR berdasarkan pada jumlah sapi yang berhasil bunting pada inseminasi pertama melalui pemeriksaan kebuntingan dengan cara eksplorasi rectal pasca inseminasi selama hari, hari (Toelihere 1993) dan hari (Salisbury & Van Demark 1985). Salisbury dan Van Demark (1985) menyatakan bahwa CR merupakan perhitungan jumlah sapi betina yang jelas dibuahi dan menjadi bunting pada inseminasi pertama. Conception Rate disebut juga dengan efisiensi pembuahan yang merupakan ukuran fertilitas sapi betina (Partodihardjo 1992). Menurut Jainudeen dan Hafez (1993), Conception Rate sapi potong hasil inseminasi pertama dengan manajemen yang baik bisa mencapai 70%. Partodihardjo (1992) menyatakan bahwa CR ideal adalah 70% tetapi secara umum sebesar 40%. Hasil penelitian Affandhy et al. (2003) menunjukkan bahwa CR pada sapi PO di Jawa Timur berkisar 44,8%-50,0%. Conception Rate diantaranya dipengaruhi oleh waktu yang tepat dalam pelaksanaan IB yaitu 12 jam setelah 34

15 timbul gejala berahi dengan CR sebesar 75% (Gomes 1977) dan 72% (Partodihardjo 1992). Menurut Wiryosuhanto (1990) Conception Rate (CR) adalah persentase kebuntingan sapi betina pada pelaksanaan IB pertama dan dapat dipakai sebagai alat ukur tingkat kesuburan. Ternak yang mempunyai tingkat kesuburan tinggi, CR bisa mencapai 60% sampai 70% dan apabila CR setelah inseminasi pertama lebih rendah dari 60% sampai 70% berarti kesuburan ternak terganggu atau tidak normal. Kawin Per Kebuntingan (Service per Conception) Tujuan perkawinan adalah untuk menghasilkan kebuntingan. Berhasil atau tidaknya perkawinan pada sapi induk untuk menghasilkan kebuntingan ditentukan oleh banyak hal diataranya kesuburan induk yang bersangkutan, kesuburan pejantan yang mengawini dan tatalaksana perkawinan yang diterapkan oleh peternak (Partodihardjo 1992) Jumlah atau frekuensi kawin perkebuntingan dikenal dengan istilah Service per Conception yang disingkat dengan S/C merupakan salah satu ukuran efisiensi reproduksi induk sapi potong, sehingga perhitungan S/C pada kegiatan IB mutlak diperlukan (Toelihere 1993). Menurut Salisbury dan Van Demark (1985), S/C adalah jumlah pelayanan inseminasi sampai seekor ternak menjadi bunting. Toelihere (1993) menyebutkan bahwa angka S/C yang normal adalah 1,60 sampai 2,00. Semakin mendekati angka 1 berarti semakin tinggi tingkat kesuburan sapi induk dan pejantan (semen beku yang digunakan) dalam kelompoknya. Dilaporkan oleh Achmad (1983) bahwa S/C sapi PO di Gunung Kidul dan Kulon Progo masing-masing 2,2 dan 2,3, di Grobogan dan Wonosobo Jawa Tengah cukup tinggi yaitu 2,6 (Hadi & Ilham 2002), di Jawa Timur sebesar 2,0-2,2 (Affandhy et al. 2003) dan di Bantul Yogyakarta 2,1-2,3 (Sugiharto et al. 2004). Persentase Calf Crop Persentase calf crop adalah jumlah anak yang disapih dibandingkan dengan jumlah induk yang ada dalam satu tahun dikali seratus persen (Perry et al. 35

16 2009). Pada sapi dara calf crop biasanya sekitar 55%, sedangkan yang telah beranak beberapa kali (cow) dapat mencapai 86% (Dyer 2010). Jumlah anak sapi yang dilahirkan dan dapat dijual merupakan sumber pemasukan bagi usaha peternakan dan hasil dari program breeding pada ternak adalah menghasilkan turunan/anak (Dyer 2010). Pejantan yang baik adalah dapat menghasilkan kebuntingan sebesar 80% pada perkawinan pertama dengan perkawinan alami (Cooper & Willis 1989). Perbaikan persentase Calf Crop dapat dilakukan dengan langkah : (1) Sebelum beranak, dimana induk mempunyai skor kondisi tubuh (body condition score) yang baik, memberi makanan yang lebih baik saat menjelang kawin dan menjelang melahirkan bertujuan meningkatkan ovulasi dan mempersingkat jarak beranak, (2) Saat melahirkan diharapkan kelahiran 70% dalam 21 hari pertama musim kelahiran dan menseleksi induk yang melahirkan lebih lama, dan ternak yang akan melahirkan dikumpulkan pada satu tempat yang mudah untuk pengawasan dan pertolongan saat beranak, memberi pakan yang baik untuk menjaga kondisi tubuh induk dan penurunan berat badan yang berlebihan selama menyusui, (3) Breeding, pengamatan berahi atau musim kawin kembali setelah beranak, kalau dapat 60 hari setelah beranak dan mengeluarkan induk yang berahi kembali diatas 90 hari, mengawinkan dengan tepat waktu baik kawin alam maupun dengan inseminasi buatan, (4) Perkembangan, dengan memeriksa terjadinya kebuntingan dengan palpasi, ultrasound dan uji darah (Dyer 2010). Pengelompokan Wilayah Inseminasi Buatan Menurut Dirjennak dan Keswan (2010), wilayah pelayanan Inseminasi Buatan ditentukan atas dasar tahapan pelaksanaan Inseminasi Buatan yang meliputi 3 (tiga) tahapan wilayah, yaitu wilayah tahapan introduksi, wilayah tahapan pengembangan dan wilayah tahapan swadaya. Lokasi pelaksanaan IB diarahkan kepada sentra produksi dan atau kawasan pengembangan sapi. Model pelayanan Inseminasi Buatan meliputi 3 (tiga) model yaitu pelayanan aktif (peternak mendatangi inseminator), semi aktif (inseminator dan peternak bertemu disuatu tempat) dan pelayanan pasif (inseminator mendatangi 36

17 peternak). Perencanaan pelayanan Inseminasi Buatan pada setiap Satuan Pelayanan IB (SP-IB) dilakukan dengan memperhitungkan beberapa hal yaitu struktur populasi ternak sapi (dewasa, muda dan anak baik jantan maupun betina), akseptor, S/C dan CR, tenaga dan sarana yang tersedia. Batasan dan kriteria wilayah tahapan pelayanan IB disajikan pad Tabel 3. Tabel 3. Batasan dan Kriteria Wilayah Tahapan Pelayanan IB Uraian Kinerja: Kemampuan Inseminator/thn (dosis) S/C CR (%) Wilayah Tahapan Introduksi Pengembangan Swadaya Batasan : 1. Waktu Pelaksanaan IB < 5 thn 5-10 thn 10 thn 2. Wilayah SP-IB SP-IB SP-IB 3. Jumlah akseptor (ekor/thn/ > 100 > 200 > 400 inseminator 4. Cakupan Wilayah Binaan (ekor/tahun) 5. Sumber Dana 100% APBN APBN & APBD 100% Peternak/ Koperasi Sumber: Dirjennak dan Keswan (2010). 800 <

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Populasi dan produktifitas sapi potong secara nasional selama beberapa tahun terakhir menunjukkan kecenderungan menurun dengan laju pertumbuhan sapi potong hanya mencapai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persepsi Peternak Terhadap IB Persepsi peternak sapi potong terhadap pelaksanaan IB adalah tanggapan para peternak yang ada di wilayah pos IB Dumati terhadap pelayanan IB

Lebih terperinci

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat Problem utama pada sub sektor peternakan saat ini adalah ketidakmampuan secara optimal menyediakan produk-produk peternakan, seperti daging, telur, dan susu untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat akan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ternak Sapi Bali Sapi Bali merupakan plasma nutfah dan sebagai ternak potong andalan yang dapat memenuhi kebutuhan daging sekitar 27% dari total populasi sapi potong Indonesia.

Lebih terperinci

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TERNAK RIMUNANSIA BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging dan merupakan komoditas peternakan yang sangat potensial. Dalam perkembangannya, populasi sapi potong belum mampu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi lokal. Sapi ini tahan terhadap iklim tropis dengan musim kemaraunya (Yulianto

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. masyarakat Pesisir Selatan. Namun, populasi sapi pesisir mengalami penurunan,

PENDAHULUAN. masyarakat Pesisir Selatan. Namun, populasi sapi pesisir mengalami penurunan, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi Pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang banyak dipelihara petani-peternak di Sumatra Barat, terutama di Kabupaten Pesisir Selatan. Sapi Pesisir mempunyai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkembangan peternakan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Perkembangan peternakan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Perkembangan peternakan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan populasi dan produksi ternak ke arah pencapaian swasembada protein hewani untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia. Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dibutuhkan konsumen, namun sampai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam pemeliharaannya selalu diarahkan pada peningkatan produksi susu. Sapi perah bangsa Fries Holland (FH)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya protein hewani bagi tubuh. Hal ini

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat pedesaan pada umumnya bermatapencaharian sebagai petani, selain usaha pertaniannya, usaha peternakan pun banyak dikelola oleh masyarakat pedesaan salah satunya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 8 Tabel 1 Panduan interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi, nilai p, dan arah korelasi (Dahlan 2001) No. Parameter Nilai Interpretasi 1. Kekuatan Korelasi (r) 2. Nilai p 3. Arah korelasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peningkatan produksi daging merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan sekaligus memajukan tingkat kecerdasan sumber daya manusia Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah.ternak dan hasil produksinya merupakan sumber bahan pangan protein yang sangat penting untuk peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan kebutuhan daging sapi yang sampai saat ini masih mengandalkan pemasukan ternak

Lebih terperinci

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB). CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB). Peningkatan produktifitas ternak adalah suatu keharusan, Oleh karena itu diperlukan upaya memotivasi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. berasal dari daerah Gangga, Jumna, dan Cambal di India. Pemeliharaan ternak

I PENDAHULUAN. berasal dari daerah Gangga, Jumna, dan Cambal di India. Pemeliharaan ternak 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kambing Peranakan Etawah atau kambing PE merupakan persilangan antara kambing kacang betina asli Indonesia dengan kambing Etawah jantan yang berasal dari daerah Gangga,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Teknologi Inseminasi Buatan (IB) atau dikenal dengan istilah kawin suntik pada

I. PENDAHULUAN. Teknologi Inseminasi Buatan (IB) atau dikenal dengan istilah kawin suntik pada 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Teknologi Inseminasi Buatan (IB) atau dikenal dengan istilah kawin suntik pada ternak sapi telah banyak diterapkan di Indonesia. Menurut SNI 4896.1 (2008),

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dikembangkan di Indonesia. Sistem pemeliharannya masih dilakukan secara

I PENDAHULUAN. dikembangkan di Indonesia. Sistem pemeliharannya masih dilakukan secara 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kambing merupakan salah satu jenis ternak yang mudah dipelihara dan dikembangkan di Indonesia. Sistem pemeliharannya masih dilakukan secara tradisional. Salah satu bangsa

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. domestik dari banteng ( Bibos banteng) adalah jenis sapi yang unik. Sapi asli

I. TINJAUAN PUSTAKA. domestik dari banteng ( Bibos banteng) adalah jenis sapi yang unik. Sapi asli I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Sapi Bali Sapi Bali merupakan sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestik dari banteng ( Bibos banteng) adalah jenis sapi yang unik. Sapi asli Indonesia ini sudah lama

Lebih terperinci

TINGKAT KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN SAPI POTONG DI TINJAU DARI ANGKA KONSEPSI DAN SERVICE PER CONCEPTION. Dewi Hastuti

TINGKAT KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN SAPI POTONG DI TINJAU DARI ANGKA KONSEPSI DAN SERVICE PER CONCEPTION. Dewi Hastuti TINGKAT KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN SAPI POTONG DI TINJAU DARI ANGKA KONSEPSI DAN SERVICE PER CONCEPTION Dewi Hastuti Dosen Fakultas Pertanian Universitas Wahid Hasyim Abstrak Survai dilakukan terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada peningkatan pendapatan, taraf hidup, dan tingkat pendidikan masyarakat yang pada akhirnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. agar diperoleh efisiensi dan efektifitas dalam penggunaan pejantan terpilih,

BAB I PENDAHULUAN. agar diperoleh efisiensi dan efektifitas dalam penggunaan pejantan terpilih, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inseminasi Buatan (IB) adalah proses perkawinan yang dilakukan dengan campur tangan manusia, yaitu mempertemukan sperma dan sel telur agar dapat terjadi proses pembuahan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Ongole (PO) dan sapi Simmental-PO (SIMPO) dilaksanakan pada tanggal 25 Maret

BAB III MATERI DAN METODE. Ongole (PO) dan sapi Simmental-PO (SIMPO) dilaksanakan pada tanggal 25 Maret BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang evaluasi keberhasilan inseminasi buatan sapi Peranakan Ongole (PO) dan sapi Simmental-PO (SIMPO) dilaksanakan pada tanggal 25 Maret 2014 sampai 4 Mei 2014.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu pengetahuan mendorong meningkatnya taraf hidup masyarakat yang ditandai dengan peningkatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Batur Domba Batur merupakan salah satu domba lokal yang ada di Jawa Tengah tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba Batur sangat

Lebih terperinci

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat UKURAN KRITERIA REPRODUKSI TERNAK Sekelompok ternak akan dapat berkembang biak apalagi pada setiap ternak (sapi) dalam kelompoknya mempunyai kesanggupan untuk berkembang biak menghasilkan keturunan (melahirkan)

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009). II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Karakteristik Sapi Perah FH (Fries Hollands) Sapi perah merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibandingkan dengan ternak perah lainnya. Sapi perah memiliki kontribusi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk mencapai swasembada protein asal ternak khususnya swasembada daging pada tahun 2005, maka produkksi ternak kambing

Lebih terperinci

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN A. Kesimpulan Secara umum kinerja produksi ternak sapi dan kerbau di berbagai daerah relatif masih rendah. Potensi ternak sapi dan kerbau lokal masih dapat ditingkatkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. setiap tahunnya, namun permintaan konsumsi daging sapi tersebut sulit dipenuhi.

PENDAHULUAN. Latar Belakang. setiap tahunnya, namun permintaan konsumsi daging sapi tersebut sulit dipenuhi. PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki kebutuhan konsumsi daging sapi yang meningkat setiap tahunnya, namun permintaan konsumsi daging sapi tersebut sulit dipenuhi. Ketersediaan daging sapi ini

Lebih terperinci

ABSTRAK. Oleh: *Ramli Idris Mantongi, **Suparmin Fathan, ***Fahrul Ilham

ABSTRAK. Oleh: *Ramli Idris Mantongi, **Suparmin Fathan, ***Fahrul Ilham ABSTRAK Oleh: *Ramli Idris Mantongi, **Suparmin Fathan, ***Fahrul Ilham *Mahasiswa Program Studi Peternakan Angkatan 2009 **Dosen Tetap Pada Program Studi Peternakan UNG *** Dosen Tetap Pada Program Studi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Semen beku merupakan semen cair yang telah ditambah pengencer sesuai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Semen beku merupakan semen cair yang telah ditambah pengencer sesuai 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Semen Beku Semen beku merupakan semen cair yang telah ditambah pengencer sesuai prosedur teknis pengawasan mutu bibit ternak kemudian dimasukkan ke dalam straw dan dibekukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. indicus yang berasal dari India, Bos taurus yang merupakan ternak keturunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. indicus yang berasal dari India, Bos taurus yang merupakan ternak keturunan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Jenis sapi potong dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu Bos indicus yang berasal dari India, Bos taurus yang merupakan ternak keturunan Eropa, dan Bos sondaicus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dikembangkan di Indonesia. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan daging di

I. PENDAHULUAN. dikembangkan di Indonesia. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan daging di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerbau adalah salah satu ternak besar penghasil daging yang banyak dikembangkan di Indonesia. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan daging di Indonesia dan untuk mengurangi

Lebih terperinci

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B Budidaya Sapi Potong Berbasis Agroekosistem Perkebunan Kelapa Sawit BAB III PEMBIBITAN DAN BUDIDAYA PENGERTIAN UMUM Secara umum pola usahaternak sapi potong dikelompokkan menjadi usaha "pembibitan" yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus meningkat sehingga membutuhkan ketersediaan makanan yang memiliki gizi baik yang berasal

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lokasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lokasi IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum PT. UPBS Pangalengan 4.1.1. Kondisi Lingkungan Perusahaan PT. UPBS (Ultra Peternakan Bandung Selatan) berlokasi di Desa Marga Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten

Lebih terperinci

Agros Vol. 16 No. 1, Januari 2014: ISSN

Agros Vol. 16 No. 1, Januari 2014: ISSN Agros Vol. 16 No. 1, Januari 2014: 207-213 ISSN 1411-0172 TINGKAT KEBERHASILAN PROGRAM INSEMINASI BUATAN TERNAK SAPI POTONG DI DISTRIK NIMBOKRANG, JAYAPURA SUCCESS RATE OF CATTLE ARTIFICIAL INSEMINATION

Lebih terperinci

Salmiyati Paune, Jurusan Peternakan Fakultas Ilmu-ilmu Pertanian Universitas Negeri Gorontalo, Fahrul Ilham, Tri Ananda Erwin Nugroho

Salmiyati Paune, Jurusan Peternakan Fakultas Ilmu-ilmu Pertanian Universitas Negeri Gorontalo, Fahrul Ilham, Tri Ananda Erwin Nugroho PERBANDINGAN TINGKAT KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN PADA SAPI BALI DAN SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) DI UNIT PELAKSANA TEKNIS DAERAH (UPTD) PENGEMBANGAN TERNAK WONGGAHU By Salmiyati Paune, Fahrul Ilham, S.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Seiring bertambahnya jumlah penduduk tiap tahunnya diikuti dengan

PENDAHULUAN. Seiring bertambahnya jumlah penduduk tiap tahunnya diikuti dengan I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring bertambahnya jumlah penduduk tiap tahunnya diikuti dengan semakin meningkat pula permintaan masyarakat terhadap bahan pangan untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk pengembangan ternak sapi potong. Kemampuan menampung ternak sapi di Lampung sebesar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali Sapi bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus. Sapi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Hasil Evaluasi Karakteristik Semen Ayam Arab pada Frekuensi Penampungan yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Hasil Evaluasi Karakteristik Semen Ayam Arab pada Frekuensi Penampungan yang Berbeda HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil evaluasi semen secara makroskopis (warna, konsistensi, ph, dan volume semen) dan mikroskopis (gerakan massa, motilitas, abnormalitas, konsentrasi, dan jumlah spermatozoa per

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia Sapi lokal memiliki potensi sebagai penghasil daging dalam negeri. Sapi lokal memiliki kelebihan, yaitu daya adaptasi terhadap lingkungan tinggi, mampu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pertumbuhan penduduk di Indonesia yang semakin meningkat serta kesadaran tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada peningkatan

Lebih terperinci

EFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN MOJOKERTO. Oleh : Donny Wahyu, SPt*

EFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN MOJOKERTO. Oleh : Donny Wahyu, SPt* EFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN MOJOKERTO Oleh : Donny Wahyu, SPt* Kinerja reproduksi sapi betina adalah semua aspek yang berkaitan dengan reproduksi ternak. Estrus pertama setelah beranak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein Sapi peranakan Fresian Holstein (PFH) merupakan sapi hasil persilangan sapi-sapi jantan FH dengan sapi lokal melalui perkawinan alam (langsung)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Perkembangan Ternak Sapi Potong. Menurut Susiloriniet al., (2008) Sapi termasuk dalam genus Bos, berkaki

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Perkembangan Ternak Sapi Potong. Menurut Susiloriniet al., (2008) Sapi termasuk dalam genus Bos, berkaki II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah dan Perkembangan Ternak Sapi Potong Menurut Susiloriniet al., (2008) Sapi termasuk dalam genus Bos, berkaki empat, tanduk berongga, memamah biak. Sapi juga termasuk dalam

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN UJI PERFORMAN SAPI POTONG TAHUN 2012

PEDOMAN PELAKSANAAN UJI PERFORMAN SAPI POTONG TAHUN 2012 PEDOMAN PELAKSANAAN UJI PERFORMAN SAPI POTONG TAHUN 2012 DIREKTORAT PERBIBITAN TERNAK DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2012 KATA PENGANTAR Peningkatan produksi ternak

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari 6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Semen Kambing Semen adalah cairan yang mengandung gamet jantan atau spermatozoa dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari suspensi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aplikasi bioteknologi reproduksi di bidang peternakan merupakan suatu terobosan untuk memacu pengembangan usaha peternakan. Sapi merupakan salah satu jenis ternak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Tempat Penelitian 4.1.1. Sejarah UPTD BPPTD Margawati Garut Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba atau disingkat UPTD BPPTD yaitu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelamin sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelamin sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkawinan Perkawinan yang baik yaitu dilakukan oleh betina yang sudah dewasa kelamin sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat melahirkan (Arif, 2015).

Lebih terperinci

HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS),SUHU RECTAL DAN KETEBALAN VULVA TERHADAP NON RETURN RATE (NR) DAN CONCEPTION RATE (CR) PADA SAPI POTONG

HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS),SUHU RECTAL DAN KETEBALAN VULVA TERHADAP NON RETURN RATE (NR) DAN CONCEPTION RATE (CR) PADA SAPI POTONG HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS),SUHU RECTAL DAN KETEBALAN VULVA TERHADAP NON RETURN RATE (NR) DAN CONCEPTION RATE (CR) PADA SAPI POTONG Mohammad jamaludin 1, Sumartono 2, Nurul Humaidah 2 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

Arnold.Ch Tabun *, Petrus Kune **, M.L. Molle *** Oleh:

Arnold.Ch Tabun *, Petrus Kune **, M.L. Molle *** Oleh: PERBANDINGAN TINGKAT KESUBURAN SAPI BALI INDUK YANG DIINSEMINSI DENGAN SEMEN BEKU DAN SEMEN CAIR SAPI SIMMENTAL DI KECAMATAN AMARASI BARAT KABUPATEN KUPANG Oleh: Arnold.Ch Tabun *, Petrus Kune **, M.L.

Lebih terperinci

OPERASIONAL PROGRAM TEROBOSAN MENUJU KECUKUPAN DAGING SAPI TAHUN 2005

OPERASIONAL PROGRAM TEROBOSAN MENUJU KECUKUPAN DAGING SAPI TAHUN 2005 OPERASIONAL PROGRAM TEROBOSAN MENUJU KECUKUPAN DAGING SAPI TAHUN 2005 Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan PENDAHULUAN Produksi daging sapi dan kerbau tahun 2001 berjumlah 382,3 ribu ton atau porsinya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Pedaging

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Pedaging TINJAUAN PUSTAKA Sapi Pedaging Bangsa sapi pedaging di dunia dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu bangsa Sapi Kontinental Eropa, Sapi Inggris dan Sapi Persilangan Brahman (India). Bangsa sapi keturunan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :...... LAMPIRAN 50 Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama :... 2. Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :... 4. Pendidikan Terakhir :.. 5. Mata Pencaharian a. Petani/peternak

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

LAPORAN AKHIR PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI LAPORAN AKHIR PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI OPTIMALISASI REPRODUKSI SAPI BETINA LOKAL (un identified bred) DENGAN TIGA SUMBER GENETIK UNGGUL MELALUI INTENSIFIKASI IB Ir. Agus Budiarto, MS NIDN :

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kementrian Pertanian Tahun 2010-- 2014 (Anonim

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kambing Peranakan Etawah (PE). Kambing PE merupakan hasil persilangan dari

PENDAHULUAN. kambing Peranakan Etawah (PE). Kambing PE merupakan hasil persilangan dari 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kambing merupakan komoditas ternak yang banyak dikembangkan di Indonesia. Salah satu jenis kambing yang banyak dikembangkan yaitu jenis kambing Peranakan Etawah (PE).

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung Gambar 3. Foto Udara PT.Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung (Sumber: arsip PT.Widodo Makmur Perkasa) PT. Widodo Makmur

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing PE adalah hasil persilangan antara Etawah dan kambing kacang.

KAJIAN KEPUSTAKAAN. 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing PE adalah hasil persilangan antara Etawah dan kambing kacang. II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing PE adalah hasil persilangan antara Etawah dan kambing kacang. Persilangan antara kedua jenis kambing ini telah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan ternak yang dapat menyediakan kebutuhan protein hewani bagi masyarakat Indonesia selain dari sapi, kerbau dan unggas. Oleh karena itu populasi dan kualitasnya

Lebih terperinci

KEBERHASILAN IB MENGGUNAKAN SEMEN SEXING SETELAH DIBEKUKAN

KEBERHASILAN IB MENGGUNAKAN SEMEN SEXING SETELAH DIBEKUKAN KEBERHASILAN IB MENGGUNAKAN SEMEN SEXING SETELAH DIBEKUKAN (Artificial Insemination Using Sexing of Semen After Freezing) TRINIL SUSILAWATI Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya Malang ABSTRACT Alternative

Lebih terperinci

LEMBAR PERSETUJUAN ARTIKEL

LEMBAR PERSETUJUAN ARTIKEL LEMBAR PERSETUJUAN ARTIKEL TINGKAT KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN PADA SAPI BALI DI KECAMATAN BONGOMEME KABUPATEN GORONTALO SRI SURYANINGSIH SURIYATI NIM. 621409027 TELAH DIPERIKSA DAN DISETUJUI Pembimbing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White (NZW) merupakan kelinci hasil persilangan dari Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai

Lebih terperinci

Implementasi New Tech Anim Breeding: Analisis teknis dan ekonomis peningkatan kualitas genetik dan produksi ternak (KA,IB,TE, RG)

Implementasi New Tech Anim Breeding: Analisis teknis dan ekonomis peningkatan kualitas genetik dan produksi ternak (KA,IB,TE, RG) Implementasi New Tech Anim Breeding: Analisis teknis dan ekonomis peningkatan kualitas genetik dan produksi ternak (KA,IB,TE, RG) Program alternatif PT Program Alternatif PT: Inseminasi Buatan, TE, Kloning

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sapi Pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang populasinya

I. PENDAHULUAN. Sapi Pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang populasinya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi Pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang populasinya menyebar di Sumatera Barat dan sebagai plasma nutfah Indonesia dan komoditas unggulan spesifik wilayah

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KOMODITAS SAPI POTONG (TERNAK RUMINANSIA) DI KALIMANTAN TIMUR

PENGEMBANGAN KOMODITAS SAPI POTONG (TERNAK RUMINANSIA) DI KALIMANTAN TIMUR PENGEMBANGAN KOMODITAS SAPI POTONG (TERNAK RUMINANSIA) DI KALIMANTAN TIMUR 1 Sebagai tindak lanjut RPPK 11 JUNI 2005 Deptan telah menetapkan 17 komoditas prioritas,al: unggas, sapi (termasuk kerbau),kambing

Lebih terperinci

KEGIATAN SIWAB DI KABUPATEN NAGEKEO

KEGIATAN SIWAB DI KABUPATEN NAGEKEO KEGIATAN SIWAB DI KABUPATEN NAGEKEO Mendengar nama kabupaten Nagekeo mungkin bagi sebagian besar dari kita masih terasa asing mendengarnya, termasuk juga penulis. Dimanakah kabupaten Nagekeo berada? Apa

Lebih terperinci

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI BALI DAN SAPI PO DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI BALI DAN SAPI PO DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR PERFORMANS REPRODUKSI SAPI BALI DAN SAPI PO DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR Disajikan oleh: Dessy Ratnasari E 10013168, dibawah bimbingan: Ir. Darmawan 1) dan Ir. Iskandar 2) Jurusan Peternakan, Fakultas peternakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Inseminasi Buatan pada Ayam Arab

HASIL DAN PEMBAHASAN. Inseminasi Buatan pada Ayam Arab HASIL DAN PEMBAHASAN Inseminasi Buatan pada Ayam Arab Ayam Arab yang ada di Indonesia sekarang adalah ayam Arab hasil kawin silang dengan ayam lokal. Percepatan perkembangbiakan ayam Arab dapat dipacu

Lebih terperinci

PENETAPAN INTERVAL INSEMINASI BUATAN (IB) PADA AYAM BURAS

PENETAPAN INTERVAL INSEMINASI BUATAN (IB) PADA AYAM BURAS PENETAPAN INTERVAL INSEMINASI BUATAN (IB) PADA AYAM BURAS KADIRAN, R.DENNY PURNAMA DAN SUHARTO Balai Penelitian Ternak Bogor,Po.Box 221 Bogor 16002 RINGKASAN Suatu pengamatan mengenai periode fertil spermatozoa

Lebih terperinci

DAYA HIDUP SPERMATOZOA EPIDIDIMIS KAMBING DIPRESERVASI PADA SUHU 5 C

DAYA HIDUP SPERMATOZOA EPIDIDIMIS KAMBING DIPRESERVASI PADA SUHU 5 C DAYA HIDUP SPERMATOZOA EPIDIDIMIS KAMBING DIPRESERVASI PADA SUHU 5 C Disajikan oleh : Hotmaria Veronika.G (E10012157) dibawah bimbingan : Ir. Teguh Sumarsono, M.Si 1) dan Dr. Bayu Rosadi, S.Pt. M.Si 2)

Lebih terperinci

UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK

UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK HASTONO Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 ABSTRAK Salah satu upaya peningkatan sefisensi reproduksi ternak domba

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Evaluasi Semen Segar

HASIL DAN PEMBAHASAN. Evaluasi Semen Segar HASIL DAN PEMBAHASAN Semen adalah cairan yang mengandung suspensi sel spermatozoa, (gamet jantan) dan sekresi dari organ aksesori saluran reproduksi jantan (Garner dan Hafez, 2000). Menurut Feradis (2010a)

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48/Permentan/PK.210/10/2016

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48/Permentan/PK.210/10/2016 - 679 - PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48/Permentan/PK.210/10/2016 TENTANG UPAYA KHUSUS PERCEPATAN PENINGKATAN POPULASI SAPI DAN KERBAU BUNTING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

AGRINAK. Vol. 01 No.1 September 2011:43-47 ISSN:

AGRINAK. Vol. 01 No.1 September 2011:43-47 ISSN: AGRINAK. Vol. 01 No.1 September 2011:43-47 ISSN: 2088-8643 HUBUNGAN MORTALITAS PROGRESIF DAN KEUTUHAN MEMBRAN SPERMA DALAM SEMEN BEKU SAPI BALI DENGAN KEBERHASILAN INSEMINASI (Relationship of progressive

Lebih terperinci

PENGARUH METODE PERKAWINAN TERHADAP KEBERHASILAN KEBUNTINGAN SAPI DONGGALA DI KABUPATEN SIGI

PENGARUH METODE PERKAWINAN TERHADAP KEBERHASILAN KEBUNTINGAN SAPI DONGGALA DI KABUPATEN SIGI PENGARUH METODE PERKAWINAN TERHADAP KEBERHASILAN KEBUNTINGAN SAPI DONGGALA DI KABUPATEN SIGI Sudirman Sudirmancudi82@yahoo.co.id Mahasiswa Program Studi Ilmu-ilmu Pertanian Pascasarjana Universitas Tadulako

Lebih terperinci

Cahyo Andi Yulyanto, Trinil Susilawati dan M. Nur Ihsan. Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya Jl. Veteran Malang Jawa Timur

Cahyo Andi Yulyanto, Trinil Susilawati dan M. Nur Ihsan. Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya Jl. Veteran Malang Jawa Timur Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 24 (2): 49-57 ISSN: 0852-3581 Fakultas Peternakan UB, http://jiip.ub.ac.id/ Penampilan reproduksi sapi Peranakan Ongole (PO) dan sapi Peranakan Limousin di Kecamatan Sawoo Kabupaten

Lebih terperinci

MAKALAH EFISIENSI REPRODUKSI PADA TERNAK BETINA (SAPI) DISUSUN OLEH DILLA YUSPITA LAODE KIKI MURDIASYAH MAUREN WIRA NUGRAHA

MAKALAH EFISIENSI REPRODUKSI PADA TERNAK BETINA (SAPI) DISUSUN OLEH DILLA YUSPITA LAODE KIKI MURDIASYAH MAUREN WIRA NUGRAHA MAKALAH EFISIENSI REPRODUKSI PADA TERNAK BETINA (SAPI) DISUSUN OLEH DILLA YUSPITA LAODE KIKI MURDIASYAH MAUREN WIRA NUGRAHA PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS PENGENCER TERHADAP KUALITAS SEMEN BEKU DOMBOS TEXEL DI KABUPATEN WONOSOBO

PENGARUH JENIS PENGENCER TERHADAP KUALITAS SEMEN BEKU DOMBOS TEXEL DI KABUPATEN WONOSOBO PENGARUH JENIS PENGENCER TERHADAP KUALITAS SEMEN BEKU DOMBOS TEXEL DI KABUPATEN WONOSOBO (Effect of Various Diluter on Frozen Semen Quality of Dombos Texel in Wonosobo Regency) YON SUPRI ONDHO, M.I.S.

Lebih terperinci

PROGRAM AKSI PERBIBITAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN BATANG HARI

PROGRAM AKSI PERBIBITAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN BATANG HARI PROGRAM AKSI PERBIBITAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN BATANG HARI H. AKHYAR Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Batang Hari PENDAHULUAN Kabupaten Batang Hari dengan penduduk 226.383 jiwa (2008) dengan

Lebih terperinci

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE DAN PERANAKAN LIMOUSIN DI KECAMATAN PADANG KABUPATEN LUMAJANG

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE DAN PERANAKAN LIMOUSIN DI KECAMATAN PADANG KABUPATEN LUMAJANG PERFORMANS REPRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE DAN PERANAKAN LIMOUSIN DI KECAMATAN PADANG KABUPATEN LUMAJANG. Muhammad Luqman Akriyono 1), Sri Wahyuningsih 2) dan M. Nur Ihsan 2) 1) Mahasiswa Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan Data Statistik 2013 jumlah penduduk Indonesia mencapai jiwa yang akan bertambah sebesar 1,49% setiap tahunnya

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan Data Statistik 2013 jumlah penduduk Indonesia mencapai jiwa yang akan bertambah sebesar 1,49% setiap tahunnya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Data Statistik 2013 jumlah penduduk Indonesia mencapai 242.013.800 jiwa yang akan bertambah sebesar 1,49% setiap tahunnya (Anonim,2013). Jumlah penduduk yang

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS INSEMINASI BUATAN PADA SAPI POTONG MENGGUNAKAN SEMEN CAIR

EFEKTIFITAS INSEMINASI BUATAN PADA SAPI POTONG MENGGUNAKAN SEMEN CAIR EFEKTIFITAS INSEMINASI BUATAN PADA SAPI POTONG MENGGUNAKAN SEMEN CAIR Nelly Kusrianty 1, Mirajuddin dan Awalludin 2 kusrianty.nelly@gmail.com 1 Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu-Ilmu Pertanian Pascasarjana

Lebih terperinci

Contak person: ABSTRACT. Keywords: Service per Conception, Days Open, Calving Interval, Conception Rate and Index Fertility

Contak person: ABSTRACT. Keywords: Service per Conception, Days Open, Calving Interval, Conception Rate and Index Fertility REPRODUCTION PERFORMANCE OF BEEF CATTLE FILIAL LIMOUSIN AND FILIAL ONGOLE UNDERDISTRICT PALANG DISTRICT TUBAN Suprayitno, M. Nur Ihsan dan Sri Wahyuningsih ¹) Undergraduate Student of Animal Husbandry,

Lebih terperinci

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VIII VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui peranan ternak babi dalam usaha penyediaan daging. Mengetahui sifat-sifat karakteristik

Lebih terperinci

JURNAL TERNAK Vol. 06 No.01 Juni

JURNAL TERNAK Vol. 06 No.01 Juni ANALISIS PERBANDINGAN ANGKA CALVING RATE SAPI POTONG ANTARA KAWIN ALAMI DENGAN INSEMINASI BUATAN DI KECAMATAN DUKUN KABUPATEN GRESIK Ainur Rosikh 1, Arif Aria H. 1, Muridi Qomaruddin 1 1 Program Studi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai ekonomi untuk budidaya sapi pedaging. Sapi Pesisir dan sapi Simmental merupakan salah satu jenis

Lebih terperinci

KAWIN SUNTIK/INSEMINASI BUATAN (IB) SAPI

KAWIN SUNTIK/INSEMINASI BUATAN (IB) SAPI KAWIN SUNTIK/INSEMINASI BUATAN (IB) SAPI Terbatasnya sapi pejantan unggul di Indonesia, merupakan persoalan dalam upaya meningkatkan populasi bibit sapi unggul untuk memenuhi kebutuhan daging yang masih

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelahiran anak per induk, meningkatkan angka pengafkiran ternak, memperlambat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelahiran anak per induk, meningkatkan angka pengafkiran ternak, memperlambat 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Reproduksi merupakan sifat yang sangat menentukan keuntungan usaha peternakan sapi perah. Inefisiensi reproduksi dapat menimbulkan berbagai kerugian pada usaha peterkan sapi

Lebih terperinci

PEMBIBITAN SAPI BRAHMAN CROSS EX IMPORT DIPETERNAKAN RAKYAT APA MUNGKIN DAPAT BERHASIL?

PEMBIBITAN SAPI BRAHMAN CROSS EX IMPORT DIPETERNAKAN RAKYAT APA MUNGKIN DAPAT BERHASIL? PEMBIBITAN SAPI BRAHMAN CROSS EX IMPORT DIPETERNAKAN RAKYAT APA MUNGKIN DAPAT BERHASIL? Trinil Susilawati (email : Trinil_susilawati@yahoo.com) Dosen dan Peneliti Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya-

Lebih terperinci

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh.

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh. MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO DOSEN PENGAMPU Drh. BUDI PURWO W, MP SEMESTER III JUNAIDI PANGERAN SAPUTRA NIRM 06 2 4 10 375

Lebih terperinci

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33 PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33 HORMON KEBUNTINGAN DAN KELAHIRAN 33 Peranan hormon dalam proses kebuntingan 33 Kelahiran 34 MASALAH-MASALAH REPRODUKSI 35 FERTILITAS 35 Faktor

Lebih terperinci