IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Contoh Gugus Fungsi Surfaktan (Myers, 1946)

Lampiran 2 Prosedur sintesis surfaktan APG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. products), kosmetik maupun untuk pemucatan kain/tekstil (Hill & Rhode 1999). 1.1 Latar Belakang

SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA DARI GLUKOSA DAN DODEKANOL DENGAN KATALIS ASAM

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

SIFAT PERMUKAAN SISTEM KOLOID PANGAN AKTIVITAS PERMUKAAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

SINTESIS ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS DODEKANOL DAN HEKSADEKANOL DENGAN REAKTAN GLUKOSA CAIR 75% FINA UZWATANIA

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Satu

4 Hasil dan Pembahasan

HASIL DAN PEMBAHASAN

D. Tinjauan Pustaka. Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam

4 Pembahasan Degumming

A. Sifat Fisik Kimia Produk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sebelum melakukan uji kapasitas adsorben kitosan-bentonit terhadap

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bilamana beberapa fase berada bersama-sama, maka batas di antara fase-fase ini dinamakan antarmuka (interface).

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 S u r f a k t a n

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUHSUHU ADSORPSI DAN JUMLAH PENAMBAHAN KARBON AKTIF TERHADAP KECERAHAN SURFAKTAN DECYL POLIGLIKOSIDA DARI D-GLUKOSA DAN DEKANOL SKRIPSI

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

HASIL DAN PEMBAHASAN

OPTIMASI PROSES PRODUKSI SURFAKTAN NONIONIK ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) DENGAN METODE PERMUKAAN RESPONS

TUGAS FISIKA FARMASI TEGANGAN PERMUKAAN

4 Hasil dan pembahasan

BAB IV HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

Bab IV Hasil dan Pembahasan

SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS DODEKANOL DAN HEKSADEKANOL DENGAN REAKTAN GLUKOSA CAIR 75%

PENINGKATAN KECERAHAN PADA PROSES SINTESIS SURFAKTAN NONIONIK ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS TAPIOKA DAN DODEKANOL

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Laporan Kimia Fisika Penentuan Tegangan Permukaan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyak fenomena-fenomena alam yang kurang kita perhatikan akan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Bahan baku surfaktan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab IV Hasil dan Pembahasan

SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA DARI FATTY ALCOHOL (C 16 ) SAWIT DAN GLUKOSA CAIR 85% DENGAN PERLAKUAN PERBEDAAN NISBAH MOL

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah

HASIL DAN PEMBAHASAN. didalamnya dilakukan karakterisasi XRD. 20%, 30%, 40%, dan 50%. Kemudian larutan yang dihasilkan diendapkan

Tabel 3.1 Efisiensi proses kalsinasi cangkang telur ayam pada suhu 1000 o C selama 5 jam Massa cangkang telur ayam. Sesudah kalsinasi (g)

PRODUKSI SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) DAN APLIKASINYA PADA SABUN CUCI TANGAN CAIR

Kelarutan & Gejala Distribusi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dan Pembahasan

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

PERCOBAAN II PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KELARUTAN A. Tujuan 1. Mengetahui dan memahami pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan suatu zat 2.

BAB IV. karakterisasi sampel kontrol, serta karakterisasi sampel komposit. 4.1 Sintesis Kolagen dari Tendon Sapi ( Boss sondaicus )

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Surfaktan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Pasta merupakan produk emulsi minyak dalam air yang tergolong kedalam low fat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. metode freeze drying kemudian dilakukan variasi waktu perendaman SBF yaitu 0

METODE. = hasil pengamatan pada ulangan ke-j dari perlakuan penambahan madu taraf ke-i µ = nilai rataan umum

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Desain dan Sintesis Amina Sekunder

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1 Peta potensi kelapa dunia ha 1. Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK I PERCOBAAN III SIFAT-SIFAT KIMIA HIDROKARBON

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

LAPORAN PRAKTIKUM STANDARISASI LARUTAN NaOH

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

Bab IV Hasil dan Pembahasan

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Modifikasi Ca-Bentonit menjadi kitosan-bentonit bertujuan untuk

PRODUKSI SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) DAN APLIKASINYA PADA SABUN CUCI TANGAN CAIR

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Hasil

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. M yang berupa cairan berwarna hijau jernih (Gambar 4.1.(a)) ke permukaan Al 2 O 3

HASIL DAN PEMBAHASAN

5004 Asetalisasi terkatalisis asam 3-nitrobenzaldehida dengan etanadiol menjadi 1,3-dioksolan

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK. Disusun Oleh :

4 Hasil dan Pembahasan

MAKALAH PRAKTIKUM KIMIA DASAR REAKSI-REAKSI ALKOHOL DAN FENOL

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Dalam penelitian ini digunakan TiO2 yang berderajat teknis sebagai katalis.

HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR

BAB III METODE PENELITIAN. Pelaksanaan penelitian dimulai sejak Februari sampai dengan Juli 2010.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

HASIL DAN PEMBAHASAN. Skema interaksi proton dengan struktur kaolin (Dudkin et al. 2004).

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

4. Hasil dan Pembahasan

PEMURNIAN SURFAKTAN NONIONIK ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS TAPIOKA DAN DODEKANOL FEBRUADI BASTIAN

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk mengetahui hasil produk APG bila diganti bahan baku penyusunnya. Untuk mengetahui telah tersintesisnya produk APG yaitu dengan pengujian karakteristik-karakteristik surfaktan APG yang sesuai jika dibandingkan dengan APG produk komersial dan APG berbahan baku pati sagu dan fatty alcohol C 12 pada penelitian sebelumnya (Noerdin, 2008). Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati tapioka dan fatty alcohol C 10. Pemilihan penggunaan tapioka karena tapioka merupakan salah satu jenis pati yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuat APG. APG dapat dibentuk dari bahan berbasis pati salah satunya adalah tapioka (Margareta,1999). Keberadaan pati tapioka mudah didapatkan, selain itu pati tapioka memiliki karakteristik fisiko kimia yang sesuai dengan pati pada umumnya. Hal ini ditunjukkan oleh sifat fisiko kimia pati mengandung amilosa dan amilopektin yang tersusun oleh D-glukosa. Penggunaan fatty alcohol dipilih sesuai dengan karakteristik fisiko kimia bahan baku penyusun APG, salah satunya yaitu fatty alcohol C 10. Fatty alcohol C 10 memiliki rantai C panjang sehingga dapat berperan sebagai gugus hidrofobik dari surfaktan APG. Selain itu, penggunaan fatty alcohol C 10 lebih memudahkan dalam proses pembuatan APG pada tahap distilasi karena dengan penggunaan rantai C yang lebih pendek, sehinga waktu yang diperlukan pada tahap distilasi akan lebih cepat dan memerlukan suhu yang lebih rendah. Produk APG diamati melalui penampakan dan dianalisis karakteristiknya untuk mengetahui bahwa APG murni telah tersintesis. Pengamatan secara visual mengindikasikan bahwa APG dengan bahan baku tapioka dan fatty alcohol C 10 telah tersintesis dengan melihat penampakkannya berupa pasta berwarna coklat dan bau yang sesuai. Bentuk produk APG berupa pasta memiliki kesesuaian bentuk dengan APG komersial dan APG berbahan baku pati sagu dan fatty alcohol C 12. Jika dilihat dari warna masing-masing produk APG, APG berbahan baku tapioka dan fatty alcohol C 10 tidak memiliki kesesuaian warna jika

dibandingkan dengan produk komersial, tetapi memiliki kesesuaian warna dengan APG berbahan baku pati sagu dan fatty alcohol C 12. APG komersial memiliki penampakan warna bening, sedangkan APG berbahan baku tapioka dan fatty alcohol C 10 dan APG berbahan baku pati sagu dan fatty alcohol C 12 berwarna coklat tua. Warna coklat tua yang terbentuk pada produk akhir APG diperoleh dari proses pembuatannya, timbulnya warna gelap dapat disebabkan karena pengaruh suhu yang terlalu tinggi dan penggunaan katalis asam yang digunakan dalam pembentukan senyawa alkil poliglikosida. Menurut Buchanan et al. (1998), warna gelap produk surfaktan APG dapat terjadi selama proses sintesis surfaktan APG yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : a. Suhu pemanasan yang terlalu tinggi dan tidak terkontrol pada tahap proses distilasi, sehingga menimbulkan kerusakan warna dan kegosongan pada produk yang terjadi selama distilasi. b. Penggunaan katalis asam pada proses sintesis surfaktan APG. Pemilihan katalis ini merupakan titik kritis terhadap warna dari produk akhir APG. c. Turunan furan dengan warna kelam yang tinggi seperti furfuraldehid. Turunan furan ini dihasilkan pada proses dehidrasi monosakarida oleh katalis dengan asam kuat. d. Logam seperti Fe, Ca, Mn, dan Mg akan menimbulkan warna yang tidak diinginkan dalam produk surfaktan. Selain itu, analisis karakteristiknya meliputi tegangan permukaan, tegangan antar muka, kestabilan emulsi, stabilitas busa, ph, dan HLB untuk mengetahui indikasi telah tersintesis APG C 10. Dari hasil uji karakteristik surfaktan, APG berbahan baku tapioka dan fatty alcohol C 10 telah memiliki kesesuaian karakteristik sebagai surfaktan APG (Tabel 2). APG berbahan baku tapioka dan fatty alcohol C 10 memiliki kemampuan menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar muka. Setelah penambahan APG berbahan baku tapioka dan fatty alcohol C 10, terjadi penurunan tegangan permukaan air sebesar 52 % dan penurunan tegangan antar muka air dan xilena sebesar 76 %. APG berbahan baku tapioka dan fatty alcohol C 10 memiliki kemampuan menstabilkan emulsi dan membentuk busa dengan nilai kestabilan emulsi 65 % dan nilai

stabilitas busa yang terbentuk sebesar 48 %. ph yang dimiliki sebesar 8,75 merupakan suatu basa dan sesuai dengan karakteristik derajat keasaman APG pembanding. APG berbahan baku tapioka dan fatty alcohol C 10 memiliki nilai HLB 14,1, hal ini menunjukkan kesesuaian dengan nilai HLB APG pembanding yaitu merupakan jenis pengemulsi O/W. Tabel 2. Karakteristik APG Komersial, APG C 12 -Pati Sagu, dan APG C 10 -Pati Tapioka Karakteristik APG komersial a APG C 12 -pati sagu b APG C 10 -pati tapioka Bentuk Pasta Pasta Pasta Warna Bening Coklat tua Coklat tua ph 8,50 7,15 8,75 Tegangan permukaan c 34,05 dynes/cm 32,2 dynes/cm 34,5 dynes/cm Tegangan antar muka c 10,15 dynes/cm 13,08 dynes/cm 9,3 dynes/cm Kestabilan emulsi 61 % 72,3 % 65 % Stabilitas busa 87 % 67 % 48 % HLB 13,3 8,81 14,1 a PT Cognis Noerdin (2008) c konsentrasi APG 0,1 g/l Selain itu, penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk menentukan nilai critical micelle concentration (CMC) dari APG sintesis. Menurut Schueller dan Romanousky (1998), pada konsentrasi surfaktan dibawah CMC, tegangan permukaan dan antar muka turun dengan meningkatnya konsentrasi, namun pada saat konsentrasi mencapai taraf CMC atau lebih tinggi dari itu, tidak terjadi penurunan tegangan permukaan dan antar muka atau penurunannya sangat rendah. Pengukuran nilai CMC diperoleh dengan mengukur tegangan permukaan dan tegangan antar muka. APG yang ditambahkan dengan berbagai konsentrasi hingga tegangan antar muka dan tegangan permukaan tidak lagi mengalami penurunan dan stabil. Pengukuran tegangan antar muka larutan APG sintesis menghasilkan CMC dicapai pada konsentrasi 0,6 g/l dan pengukuran tegangan

permukaan menghasilkan CMC dicapai pada konsentrasi 0,5 g/l, disajikan dalam Gambar 11 dan Gambar 12. Hasil penelitian dari Ware et al. (2007) menyatakan pengukuran tegangan permukaan air dengan penambahan APG C 10 memiliki nilai CMC 0,5 g/l. Dalam penelitian ini, hasil nilai CMC yang diperoleh digunakan sebagai konsentrasi APG yang ditambahkan untuk pengukuran tegangan antar muka sebagai respon utama dalam metode permukaan respon untuk optimasi pada penelitian utama. Gambar 11. Grafik Tegangan Permukaan Air dengan Penambahan APG pada Penelitian Pendahuluan Gambar 12. Grafik Tegangan Antar Muka Air dan Xilena dengan Penambahan APG pada Penelitian Pendahuluan 4.2. ANALISIS HASIL OPTIMASI NILAI TEGANGAN ANTAR MUKA DENGAN PENAMBAHAN APG Proses pembuatan APG dengan reactor double jacket dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya suhu, tekanan, waktu reaksi, jenis katalis, nisbah mol

pati-butanol dan nisbah mol pati-fatty alcohol. Di dalam penelitiaan ini diamati faktor nisbah mol pati-butanol dan nisbah mol pati-fatty alcohol. Metode permukaan respon merupakan bentuk analisis statistik yang digunakan pada respon yang dipengaruhi oleh beberapa faktor dan bertujuan untuk menemukan kondisi optimum dari respon tersebut. Di dalam penelitian ini, metode permukaan respon digunakan untuk menentukan nilai optimasi parameter tegangan antar muka dari faktor-faktor yang digunakan. Tegangan antar muka merupakan salah satu karakteristik yang penting untuk menentukan sifat suatu surfaktan. Hasil analisis statistik optimasi dengan metode permukaan respon didapatkan koefisien dan nilai signifikansi tegangan antar muka air dan xilena dengan penambahan APG dapat dilihat pada Tabel 3 (Lampiran 3). Model persamaan kuadratik yang diperoleh dari analisis statistik permukaan respon adalah: Y = 9,354561 0,398990 X 1 0,411616 X 2 + 2 0,809388 X 1 + 0,025000 X 1 X 2 + 0,855307 X 2 2. Grafik dan kontur permukaan respon parameter tegangan antar muka sebagai fungsi dari nisbah mol pati-butanol (X 1 ) dan nisbah mol pati-fatty alcohol (X 2 ) disajikan pada Gambar 13 dan Gambar 14. Tabel 3. Koefisien Parameter dan Nilai Signifikansi Optimasi Tegangan Antar Muka Parameter Koefisien parameter Signifikansi (%) Intersep 9,354561 99,99 Nisbah mol pati-butanol (X 1 ) -0,398990 92,11 Nisbah mol pati-fatty alcohol (X 2 ) -0,411616 92,6 X 1 *X 1 0,809388 97,12 X 2 *X 2 0,025000 97,53 X 1 *X 2 0,855307 52,9 R 2 = 0,8060

Tegangan Antar Muka (dynes/cm) 17 16 15 14 13 12 11 10 Gambar 13. Permukaan Respon Tegangan Antar Muka sebagai Fungsi dari Nisbah Mol Pati-Butanol (X 1 ) dan Nisbah Mol Pati-Fatty Alcohol (X 2 ) 6,72 Nisbah mol pati-fatty alcohol 6,00 4,25 2,50 1,78 5 6 8 10 11 Nisbah mol pati-butanol Gambar 14. Kontur Permukaan Respon Tegangan Antar Muka sebagai Fungsi dari Nisbah Mol Pati-Butanol (X 1 ) dan Nisbah Mol Pati-Fatty Alcohol (X 2 ) 17 16 15 14 13 12 11 10

APG merupakan salah satu emulsifier. Menurut Suryani et al. (2000), emulsifier merupakan surface active agent yang mempunyai dua gugus yaitu gugus hidrofilik dan gugus lipofilik. Penurunan tegangan antar muka oleh emulsifier akan mempermudah pembentukan permukaan antar muka yang sangat luas. Artinya kontak antara fasa terdispersi dan fasa pendispersi lebih baik (lebih luas) dengan adanya emulsifier. Bila tegangan antar muka mendekati nilai nol, maka emulsi akan terbentuk dengan spontan. Pengukuran tegangan antar muka menggunakan metode Du Nouy untuk mengetahui tegangan antar muka suatu zat yang berbeda kepolarannya dalam suatu larutan yang ditambahkan surfaktan. Pada penelitian ini digunakan air sebagai fasa polar dan xilena sebagai fasa non polar. Dari grafik dan kontur permukaan respon yang terbentuk diketahui bahwa pada rentang nisbah mol pati-butanol 1 : 6 1 : 10 (mol) didapatkan titik kritis minimum pada konsentrasi 1 : 8,49 (mol). Peningkatan konsentrasi butanol menyebabkan penurunan tegangan antar muka air dan xilena, akan tetapi setelah melalui titik kritis tersebut didapatkan konsentrasi butanol menyebabkan peningkatan tegangan antar muka. Sebelum titik kritis, peningkatan konsentrasi butanol menyebabkan penurunan tegangan antar muka air dan xilena. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan konsentrasi butanol pada proses pembuatan APG, menghasilkan APG dengan kinerja yang baik untuk menurunkan tegangan antar muka. Hal ini dapat disebabkan oleh semakin tinggi konsentrasi butanol yang digunakan, maka semakin besar peluang butanol untuk mengadisi glukosa pada gugus aldehid untuk membentuk butyl glycoside pada tahap butanolisis. Hal ini menyebabkan hasil reaksi pada proses butanolisis lebih baik. Menurut Fessenden dan Fessenden (1982), suatu alkohol dapat mengadisi suatu gugus karbonil, salah satunya aldehid dan keton. Setelah melalui titik kritis, peningkatan konsentrasi butanol menyebabkan peningkatan tegangan antar muka air dan xilena. Hal ini menunjukkan bahwa setelah melalui kondisi optimum, dengan penambahan konsentrasi butanol pada proses pembuatan APG, menghasilkan APG dengan kinerja yang kurang baik untuk menurunkan tegangan antar muka. Hal ini dapat

disebabkan oleh konsentrasi butanol yang terlalu tinggi akan menghasilkan sisa reaksi yang dapat mengganggu keseimbangan reaksi pada tahap transasetalisasi. Pada proses transasetalisasi sisa butanol yang terlalu banyak dapat mengganggu tahap transasetalisasi untuk membentuk senyawa APG murni. Jika butanol yang tersisa tidak diuapkan seluruhnya, maka akan mengganggu keseimbangan reaksi transasetalisasi. Oleh karena itu diperlukan perhitungan yang tepat untuk menentukan jumlah konsentrasi butanol. Menurut Balzer (2000), dalam pembentukan APG menggunakan metanol, untuk mencapai keseimbangan reaksi menjadi produk dapat dilakukan dengan mengevaporasi metanol yang terjadi selama transglikosida. Dari grafik dan kontur permukaan respon yang terbentuk diketahui bahwa pada rentang nisbah mol pati- fatty alcohol 1 : 2,5 1 : 6 (mol) didapatkan titik kritis minimum pada konsentrasi 1 : 4,66 (mol). Peningkatan konsentrasi fatty alcohol akan menyebabkan penurunan tegangan antar muka air dan xilena, akan tetapi setelah melalui titik kritis, konsentrasi fatty alcohol menyebabkan peningkatan tegangan antar muka air dan xilena. Sebelum titik kritis, peningkatan konsentrasi fatty alcohol menyebabkan penurunan tegangan antar muka air dan xilena. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan konsentrasi fatty alcohol pada proses pembuatan APG, menghasilkan APG dengan kinerja yang baik untuk menurunkan tegangan antar muka. Hal ini disebabkan semakin tinggi konsentrasi fatty alcohol yang digunakan, maka semakin besar peluang fatty alcohol bereaksi dengan butyl glikosides yang telah terbentuk, sehingga keseluruhan reaksi trasasetalisasi dapat menghasilkan senyawa alkyl polyglicosides yang lebih sempurna sebelum tahap netralisasi dan distilasi. Menurut Hart (2003), dengan kehadiran alkohol berlebih, hemiasetal/hemiketal bereaksi lebih lanjut membentuk asetal/ketal. Produk butyl glycosides direaksikan dengan alkohol rantai panjang (C 8 - C 22 ) dengan katalisator asam dengan jumlah 25-50% dari berat katalis pertama. Pada proses transasetalisasi ini, gugus butil akan diganti dengan alkil rantai panjang untuk membentuk alkyl polyglycosides, sedangkan butanol dan air akan teruapkan (Gibson et al., 2001). Dalam proses transasetalisasi digunakan fatty alcohol untuk memperoleh gugus alkil rantai panjang sebagai bagian yang

bersifat hidrofobik. Dengan demikian, untuk memperoleh sifat hidrofobik diperlukan fatty alcohol rantai yang panjang, sebab semakin panjang rantai maka sifat non polar akan semakin tinggi (Wuest et al., 1992). Selain itu, dengan lebih banyak fatty alcohol yang bereaksi, maka jumlah gugus alkil rantai panjang yang terbentuk sebagai bagian yang bersifat hidrofobik akan lebih banyak. Setelah titik kritis, peningkatan konsentrasi fatty alcohol menyebabkan peningkatan tegangan antar muka air dan xilena. Hal ini menunjukkan bahwa setelah melalui kondisi optimum, dengan penambahan konsentrasi fatty alcohol pada proses pembuatan APG, menghasilkan APG dengan kinerja yang kurang baik untuk menurunkan tegangan antar muka. Hal ini terjadi jika distilasi kelebihan fatty alcohol tidak teruapkan seluruhnya dan meninggalkan sisa pada produk akhir APG. Keberadaan fatty alcohol pada produk akhir APG dapat menggangu karakteristik kinerja surfaktan. Menurut Buchanan et al, (1998), diperlukan proses distilasi untuk menghilangkan alkohol rantai panjang yang tidak bereaksi. Grafik permukaan respon yang terbentuk didapat respon optimum minimum berupa permukaan yang menyerupai lembah. Nilai kritis nisbah mol pati-butanol (X 1 ) dan nisbah mol pati-fatty alcohol (X 2 ) dalam bentuk code berturut turut adalah 0,243 dan 0,237. Nilai tersebut dikonversi menjadi konsentrasi sebenarnya (uncode) dan diperoleh titik optimum minimum untuk faktor nisbah mol pati-butanol (X 1 ) pada konsentrasi 1: 8,49 (mol) dan nisbah mol pati-butanol (X 1 ) pada konsentrasi 1: 4,66 (mol). Pada konsentrasi optimum tersebut, validasi dilakukan untuk memperoleh respon tegangan antar muka air dan xilena yang diinginkan sesuai dengan kondisi optimum pada model. Validasi dilakukan berdasarkan pada titik optimum konsentrasi nisbah mol pati-butanol (X 1 ) dan nisbah mol pati-fatty alcohol (X 2 ) pada model. Hasil validasi nilai tegangan antar muka air dan xilena dengan penambahan APG yang diproduksi pada kondisi optimum didapatkan sebesar 9,00 dynes/cm. Hasil validasi ini telah mendekati nilai tegangan antar muka pada model sebesar 9,23 dynes/cm. Hal ini menunjukkan bahwa tegangan antar muka APG hasil validasi telah sesuai dengan model.

Pengaruh dari satu faktor perlakuan terhadap nilai tegangan antar muka pada faktor utama lain yang bernilai tetap disajikan pada empat gambar yang berbeda, yaitu Gambar 15-18. Dari Gambar 15, diketahui bahwa pada konsentrasi butanol rendah, peningkatan konsentrasi fatty alcohol berpengaruh terhadap penurunan tegangan antar muka. Tegangan antar muka mengalami penurunan tajam seiring dengan peningkatan konsentrasi fatty alcohol. Namun, ketika telah mencapai titik minimum, peningkatan konsentrasi fatty alcohol perlahan akan meningkatkan tegangan antar muka dengan kenaikan lebih landai. Tegangan Antar Muka (dynes/cm) 17 16 15 14 13 12 11 10 Gambar 15. Hubungan Antara Nisbah Mol Pati-Fatty Alcohol (X 2 ) dengan Nisbah Mol Pati-Butanol (X 1 ) Rendah Terhadap Tegangan Antar Muka Dari Gambar 16, diketahui bahwa pada konsentrasi fatty alcohol rendah, peningkatan konsentrasi butanol berpengaruh terhadap penurunan tegangan antar muka. Tegangan antar muka mengalami penurunan tajam seiring dengan peningkatan konsentrasi butanol. Namun, ketika telah mencapai titik minimum, peningkatan konsentrasi butanol perlahan akan meningkatkan tegangan antar muka dengan kenaikan lebih landai.

Tegangan Antar Muka (dynes/cm) 17 16 15 14 13 12 11 10 Gambar 16. Hubungan Antara Nisbah Mol Pati-Butanol (X 1 ) dengan Nisbah Mol Pati-Fatty Alcohol (X 2 ) Rendah Terhadap Tegangan Antar Muka Dari Gambar 17, diketahui bahwa pada konsentrasi butanol tinggi, peningkatan konsentrasi butanol berpengaruh terhadap penurunan tegangan antar muka. Tegangan antar muka mengalami penurunan tajam seiring dengan peningkatan konsentrasi fatty alcohol. Namun, ketika telah mencapai titik minimum, peningkatan konsentrasi fatty alcohol perlahan akan meningkatkan tegangan antar muka dengan kenaikan lebih landai.

Tegangan Antar Muka (dynes/cm) 17 16 15 14 13 12 11 10 Gambar 17. Hubungan Antara Nisbah Mol Pati-Fatty Alcohol (X 2 ) dengan Nisbah Mol Pati-Butanol (X 1 ) Tinggi Terhadap Tegangan Antar Muka Dari Gambar 18, diketahui bahwa pada konsentrasi fatty alcohol tinggi, peningkatan konsentrasi butanol berpengaruh terhadap penurunan tegangan antar muka. Tegangan antar muka mengalami penurunan tajam seiring dengan peningkatan konsentrasi butanol. Namun, ketika telah mencapai titik minimum, peningkatan konsentrasi butanol perlahan akan meningkatkan tegangan antar muka dengan kenaikan lebih landai.

Tegangan Antar Muka (dynes/cm) 17 16 15 14 13 12 11 10 Gambar 18. Hubungan Antara Nisbah Mol Pati-Butanol (X 1 ) dengan Nisbah Mol Pati-Fatty Alcohol (X 2 )Tinggi Terhadap Tegangan Antar Muka 4.3. PEMBANDINGAN KARAKTERISTIK APG YANG DIPRODUKSI PADA KONDISI OPTIMUM DENGAN APG KOMERSIAL Karakteristik APG yang diproduksi pada kondisi optimum dibandingkan dengan APG komersial sebagai standar. Pengujian karakteistik APG yang dilakukan adalah ph, tegangan permukaan, tegangan antar muka, kestabilan emulsi, stabilitas busa, HLB dan analisis gugus fungsional dengan fourier transform infrared spectroscopy (FTIR). Cara kerja bahan penstabil adalah dengan menurunkan tegangan permukaan. Hal tersebut dilakukan dengan cara membentuk lapisan pelindung yang menyelimuti globula fasa terdisfersi, sehingga senyawa yang tidak larut akan lebih mudah terdisfersi dalam sistem dan bersifat stabil (Fennema, 1985). Kestabilan emulsi merupakan salah satu karakteristik yang penting untuk menentukan sifat suatu surfaktan. Menurut Kamel (1991), emulsi yang stabil

mengacu pada proses pemisahan yang berjalan lambat sedemikian rupa sehingga proses itu tidak teramati pada tingkat waktu tertentu yang diinginkan. Dalam penelitian ini, pengukuran kestabilan emulsi dilakukan dengan cara menambahkan APG, air, dan xilena kemudian mencampurnya menggunakan alat vortex, sehingga terbentuk suatu emulsi yang sempurna. Dalam metode ini, air berperan sebagai fasa polar dan xilena sebagai fasa non polar. Penambahan APG bertujuan sebagai emulsifier antara air dan xilena. Kestabilan emulsi menunjukkan kemampuan APG dalam membentuk emulsi antara air dan xilena. Hasil pengukuran kestabilan emulsi air dan xilena dengan penambahan APG yang diproduksi pada kondisi optimum sebesar 64 % (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa APG yang diproduksi pada kondisi optimum telah mampu berperan sebagai emulsifier sehingga terbentuk suatu emulsi air dan xilena yang stabil. Jika dibandingkan dengan APG komersial pada penambahan konsentrasi dan waktu pengamatan yang sama, hasil pengukuran kestabilan emulsi air dan xilena dengan penambahan APG komersial sebesar 61 %. Larutan APG yang diproduksi pada kondisi optimum memiliki kestabilan emulsi yang lebih besar. Tabel 4. Nilai Uji Kestabilan Emulsi Air dan Xilena Surfaktan Kestabilan emulsi (%) Rata-rata (%) APG yang diproduksi pada kondisi optimum 65 64 64 64 APG komersial 61 62 61 62 APG yang diproduksi pada kondisi optimum memiliki ph sebesar 7,98 diukur dengan ph meter (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa APG yang terbentuk memiliki sifat basa sesuai dengan karakteristik APG yang umumnya diinginkan memiliki ph 8-10. APG komersial memiliki ph 8,5, jika dibandingkan dengan APG yang diproduksi pada kondisi optimum kedua APG tersebut memiliki ph yang sama, yaitu basa. Sifat basa dari APG yang diproduksi pada kondisi optimum ini diperoleh dari proses pembuatan APG dengan penambahan NaOH pada tahap netralisasi dan pemucatan dengan tujuan agar senyawa APG sebagai asetal akan lebih stabil dalam kondisi basa.

Tabel 5. Nilai Uji ph APG Surfaktan ph Rata-rata APG yang diproduksi 8,06 7,88 7,97 pada kondisi optimum APG komersial 8,45 8,56 8,50 Fungsi surfaktan ditentukan dari nilai HLB dari surfaktan yang akan digunakan. HLB (hydrophilic-lipophilic balance) merupakan ukuran afinitas terhadap air dan minyak yang pertama kali dikemukakan oleh Griffin (Suryani et al., 2000). Pengelompokkan surfaktan berdasarkan nilai HLB dan penggunaannya disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Kisaran HLB Surfaktan dan Penggunaannya Kisaran HLB Aplikasi 3-6 Emulsi w/o 7-9 Pembasahan 8-18 Emulsi o/w 13-15 Deterjen 15-18 Solibilizer Sumber: Tadros (1992) Pada penelitian ini, penentuan nilai HLB menggunakan metode bilangan air (water number method) yaitu dengan cara membuat suatu kurva hubungan antara nilai HLB dari bermacam-macam surfaktan yang telah diketahui nilai HLB-nya dan air digunakan untuk titrasi (Lampiran 4). Surfaktan yang digunakan untuk membentuk kurva dalam metode ini adalah asam oleat, cocoamide DEA, dan polisorbat. Kurva yang diperoleh digunakan untuk interpolasi nilai HLB surfaktan yang belum diketahui nilai HLB-nya (Gambar 19).

Gambar 19. Kurva standar HLB Dengan metode bilangan air, nilai HLB APG yang diproduksi pada kondisi optimum sebesar 13,8. Bila dibandingkan dengan APG komersial memiliki nilai HLB sebesar 13,3. Kisaran nilai HLB APG sintesis telah sama dengan nilai HLB komersial sebagai standar. Selain itu, hal ini ini menunjukkan bahwa APG yang diproduksi pada kondisi optimum merupakan jenis pengemulsi O/W. Berdasarkan nilai HLB menunjukkan bahwa aplikasi APG salah satunya adalah untuk deterjen. Menurut Hargreaves (2003), tegangan permukaan merupakan gaya yang terjadi di antara molekul dalam cairan. Apabila surfaktan ditambahkan ke suatu cairan pada konsentrasi rendah, maka dapat mengubah karakteristik tegangan permukaan dan antar muka cairan tersebut. Sebagian besar surfaktan, pada tingkat 0.1% akan mengurangi tegangan permukaan air dari 72 menjadi 32 mn m -1 (dynes cm -1 ). Hal ini terjadi karena molekul-molekul dalam sebagian besar cairan saling tertarik satu sama lain oleh gaya Van der Waals yang menggantikan ikatan hidrogen air. Pada konsentrasi rendah, molekul surfaktan dalam larutan teradsorpsi pada permukaan udara atau air. Jika ditambahkan konsentrasi surfaktan, maka surfaktan akan teradsorpsi pada permukaan hingga mencapai kejenuhan dan tegangan permukaan menjadi konstan. Jika surfaktan terus ditambahkan ke dalam larutan tersebut, maka molekul surfaktan berada dalam larutan namun bagian hidrofobik dari surfaktan tetap menolak air sehingga molekul-molekul surfaktan membentuk bulatan yang dikenal micelles. Konsentrasi surfaktan dimana micelles

pertama kali terbentuk disebut sebagai critical micelle concentration (CMC) (Porter, 1991). Menurut Schueller dan Romanousky (1998), pada konsentrasi surfaktan di bawah CMC, tegangan permukaan dan antar muka turun dengan meningkatnya konsentrasi, namun pada saat konsentrasi mencapai taraf CMC atau lebih tinggi dari itu, tidak terjadi penurunan tegangan permukaan dan antar muka atau penurunannya sangat rendah. Ketika ditambahkan APG yang diproduksi pada kondisi optimum dengan konsentrasi rendah telah mampu menurunkan tegangan permukaan air dan CMC dicapai pada konsentrasi 0,6 g/l (nilai tegangan permukaan 34,55 dynes/cm), sedangkan APG komersial memiliki nilai CMC 0,6 g/l (nilai tegangan permukaan 31,95 dynes/cm). APG yang diproduksi pada kondisi optimum memiliki kemampuan menurunkan tegangan permukaan air lebih besar bila dibandingkan dengan penambahan APG komersial, tetapi ketika mendekati nilai CMC tegangan permukaan air yang ditambahkan APG yang diproduksi pada kondisi optimum memiliki tegangan permukaan yang lebih kecil (Gambar 20). Hal ini menunjukkan bahwa APG yang diproduksi pada kondisi optimum memiliki kemampuan menurunkan tegangan permukaan lebih baik daripada APG komersial setelah melalui CMC. Gambar 20. Grafik Tegangan Permukaan Air dengan Penambahan APG yang Diproduksi pada Kondisi Optimum dan APG Komersial

Pada penelitian ini, nilai tegangan permukaan air yang terukur sebesar 72 dynes/cm, sedangkan setelah ditambahkan APG, terjadi penurunan tegangan permukaan air. Pada penambahan konsentrasi APG yang semakin meningkat, menyebabkan peningkatan penurunan tegangan permukaan air, dengan kata lain tegangan permukaan air semakin kecil. Setelah mencapai titik CMC, penambahan APG tidak menyebabkan penurunan tegangan permukaan. Setelah melalui titik CMC, penambahan APG yang diproduksi pada kondisi optimum dapat menurunkan tegangan permukaan air sebesar 57 %, sedangkan APG komersial sebesar 53 %. Hal ini menunjukkan bahwa APG yang diproduksi pada kondisi optimum memiliki kemampuan lebih baik jika dibandingkan dengan APG komersial dalam menurunkan tegangan permukaan air. Menurut Hargreaves (2003), antar muka adalah bagian dimana dua fasa saling bertemu atau kontak, sedangkan permukaan yaitu antar muka dimana satu fasa kontak dengan gas (biasanya udara). Tegangan antar muka adalah gaya per satuan panjang yang terjadi pada antar muka antara dua fasa cair yang tidak dapat tercampur (Moecthar, 1989). Pengukuran tegangan antar muka menunjukkan kemampuan surfaktan menurunkan tegangan permukaan antara dua fasa yang berbeda dalam larutan. Pengukuran tegangan antar muka dengan metode Du Nouy digunakan untuk mengetahui tegangan antar muka suatu zat yang berbeda kepolarannya dalam suatu larutan yang ditambahkan surfaktan. Pada penelitian ini digunakan air sebagai fasa polar dan xilena sebagai fasa non polar. Hasil pengukuran tegangan antar muka air dan xilena dengan penambahan APG yang diproduksi pada kondisi optimum dan APG komersial menunjukkan adanya penurunan tegangan antar muka dengan bertambahnya konsentrasi APG yang ditambahkan hingga terbentuk CMC (Gambar 21). Ketika ditambahkan APG yang diproduksi pada kondisi optimum dengan konsentrasi rendah telah mampu menurunkan tegangan antar muka dan nilai CMC dicapai pada konsentrasi 0,9 g/l (nilai tegangan antar muka 9,75 dynes/cm), sedangkan penambahan APG komersial memiliki nilai CMC 0,8 g/l (nilai tegangan antar muka 10,5 dynes/cm). Walaupun nilai CMC APG yang diproduksi pada kondisi optimum lebih tinggi, namun mampu menurunkan tegangan antar

muka lebih besar jika dibandingkan dengan APG komersial setelah CMC tercapai (Gambar 21). Gambar 21. Grafik Tegangan Antar Muka Air dan Xilena dengan Penambahan APG yang Diproduksi pada Kondisi Optimum dan APG Komersial Pada penelitian ini, nilai tegangan antar muka air dan xilena yang terukur sebesar 38 dynes/cm. Setelah ditambahkan APG, terjadi penurunan tegangan antar muka air dan xilena. Ketika CMC terbentuk, penambahan APG tidak lagi menyebabkan penurunan tegangan antar muka air dan xilena. Setelah air dan xilena ditambahkan APG dan melalui titik CMC, penambahan APG yang diproduksi pada kondisi optimum menghasilkan penurunkan tegangan antar muka sebesar 76 %, sedangkan APG komersial sebesar 74 %. Hal ini menunjukkan bahwa APG yang diproduksi pada kondisi optimum memiliki kemampuan menurunkan tegangan antar muka lebih baik daripada APG komersial. Tegangan antar muka sebanding dengan tegangan permukaan, akan tetapi nilai tegangan antar muka akan selalu lebih kecil daripada tegangan permukaan pada konsentrasi yang sama (Moecthar, 1989). Hal ini sesuai dengan hasil karakteristik APG yang diproduksi pada kondisi optimum dan APG komersial pada pengujian tegangan permukaan dan teg angan antar muka yang dilakukan. Kehadiran busa pada shampo atau cairan pencuci kemungkinan memberikan pengaruh psikologi, sebagian orang menganggap bahwa jika shampo

tidak berbusa maka shampo tersebut tidak baik. Walaupun demikian, pada awal penggunaannya pembentukan busa penting untuk menunjukkan bahwa surfaktan mulai bekerja (Hargreaves, 2003). Busa adalah buih-buih yang saling berdekatan membentuk dindingdinding polihedral yang saling membagi sudut menjadi 120 o. Formasi tersebut mirip dengan struktur sarang lebah. Dinding-dinding yang terbentuk dari cairan ini memisahkan kotoran yang lepas di dalam suspensi (SDA-Amerika, 2003; Lynn, 1996). Pembentukan busa pada sebuah cairan disertai dengan perluasan permukaan cairan-udara yang besar. Kestabilan cairan dalam pembentukan busa erat hubungannya dengan stabilitas busa. Efektivitas dari surfaktan dalam mempertahankan stabilitas busa karena kecenderungan berkumpul pada lapisan antar muka kedua bahan (Swern,1979). Surfaktan dapat menyebabkan terjadinya pembusaan (Hui, 1996). Stabilitas busa dikaitkan dengan penurunan volume busa terhadap faktor aging, yaitu dengan menghubungkan volume busa terhadap waktu (MPOB, 2001). Dalam penelitian ini, uji stabilitas busa dilakukan dengan cara menambahkan APG ke dalam air kemudian dikocok menggunakan vortex. Selanjutnya diamati busa yang terbentuk, dan diukur volume busa yang tersisa setelah 1 jam. Volume sisa busa akhir dibandingkan dengan volume busa awal yang terbentuk dan dihitung sebagai stabilitas busa. Hasil uji stabilitas busa menunjukkan bahwa APG yang diproduksi pada kondisi optimum memiliki kemampuan membentuk busa. Busa yang dibentuk berwarna putih dan cenderung lembut. Stabilitas busa larutan APG yang diproduksi pada kondisi optimum sebesar 77 %, sedangkan APG komersial sebesar 87 % (Tabel 7). Hal ini enunjukkan bahwa APG komersial memiliki kemampuan mempertahankan busa lebih baik. Busa yang dihasilkan harus stabil agar bertahan lebih lama selama proses pencucian (MPOB, 2001). Larutan APG yang diproduksi pada kondisi optimum membentuk busa secara cepat ketika dikocok. Hal ini menunjukkan bahwa molekul surfaktan mulai bekerja mengikat udara dan membentuk sistem emulsi dengan udara sebagai fasa terdispersi dan air sebagai medium pendispersi. Menurut Hui (1996), dalam pembusaan surfaktan akan terkonsentrasi pada permukaan antara air dan udara,

dimana gugus hidrofobik berikatan dengan udara dan gugus hidrofilik akan berikatan dengan air. Tabel 7. Nilai Uji Stabilitas Busa Surfaktan Stabilitas busa (%) Rata-rata (%) APG yang diproduksi pada 78 76 77 kondisi optimum APG komersial 86 88 87 Pada spektrofotometri fourier transform infrared (FTIR), spektrum infra merah terletak pada daerah dengan panjang gelombang dari 0,78 sampai 1000 µm atau bilangan gelombang dari 12.800 sampai 1 cm -1. Aplikasi teknik spektroskopi infra merah sangat luas, baik untuk tujuan analisis kuantitatif maupun kualitatif. Untuk analisis kualitatif dan kuantitatif maka pola spektrum FTIR suatu senyawa perlu dilakukan analisis referensi sebagai pembanding. Instrumentasi spektrum infra merah dibagi ke dalam tiga jenis radiasi, yaitu: infra merah dekat (bilangan gelombang 1.280 4.000 cm -1 ), infra merah pertengahan (bilangan gelombang 4000-200 cm -1 ), dan infra merah jauh (bilangan gelombang 200-10 cm -1 ) (Nur et al., 1989). Analisis FTIR digunakan untuk mengetahui adanya gugus fungsi di dalam suatu senyawa. APG yang diproduksi pada kondisi optimum hasil penelitian dibandingkan dengan APG komersial yang memiliki gugus-gugus fungsi pada senyawanya. Gugus fungsi APG komersial dijadikan acuan dan pembanding adanya gugus-gugus yang ada dalam APG yang diproduksi pada kondisi optimum untuk memastikan telah terjadi sintesis senyawa alkyl polyglikosides. Menurut Harborne (1996), dengan membandingkan spektrum infra merah dari dua senyawa yang diperkirakan identik maka seseorang dapat menyatakan apakah kedua senyawa tersebut identik atau tidak. Pelacakan tersebut lazim disebut dengan bentuk sidik jari (finger print) dari dua spektrum infra merah. Jika puncak spektrum infra merah kedua senyawa pada bilangan gelombang tertentu sama maka dalam banyak hal kedua senyawa tersebut adalah identik.

Hasil analisis FTIR didapatkan pita serapan yang hampir sama antara APG komersial dan APG hasil penelitian, ditemukan beberapa pita serapan gugus kimia pada rentang bilangan gelombang yang sama. Dengan acuan tabel pita serapan pada Sukkary et al. (2007), gugus eter (C-O-C) sebagai komponen gugus utama pada APG telah tersintesis yaitu pada bilangan gelombang 1.120-1.170 cm - 1. Selain itu komponen lain yang ada dalam APG berupa gugus O-H terbentuk pada bilangan gelombang 3.200-3.400 cm -1, gugus fungsi CH 2 dan gugus fungsi CH 3 ditunjukkan pada Gambar 22 dan Gambar 23.

Gambar 22. Hasil analisis FTIR APG yang diproduksi pada kondisi optimum Gambar 23. Hasil analisis FTIR APG komersial sebagai standar