LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Tingkat Pengetahuan Masyarakat Di Desa Talungen Kabupaten Bone Tentang Swamedikasi

BAB III METODE PENELITIAN A. JENIS PENELITIAN DAN RANCANGAN PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah jenis penelitian

PROFIL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN KEPUASAN KONSUMEN APOTEK DI KECAMATAN ADIWERNA KOTA TEGAL. Bertawati

S.Farm., M.Sc., Apt. Program Studi S1. Jurusan Farmasi.FIKK. UNG

BAB I PENDAHULUAN. sarana pelayanan kefarmasian oleh apoteker (Menkes, RI., 2014). tenaga teknis kefarmasian (Presiden, RI., 2009).

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan penelitian non-eksperimental dan bersifat deskriptif. Data diambil

BAB 1 PENDAHULUAN. Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang

Medula Vol. 2 No. 1 Oktober 2014 ISSN

Gambaran Pelayanan Kefarmasian di Apotek Wilayah Kota Banjarbaru Berdasarkan Standar Pelayanan Kefarmasian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

OPINI APOTEKER DAN PASIEN TERHADAP PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MERAUKE DEASY ABRAHAM THOE, 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

TINGKAT KEPUASAN PASIEN TERHADAP PELAYANAN OBAT DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN MERTOYUDAN KABUPATEN MAGELANG

AKSEPTABILITAS PELAYANAN RESIDENSIAL KEFARMASIAN PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE II TANPA KOMPLIKASI

BAB III METODE PENELITIAN

PERSEPSI KONSUMEN TERHADAP PELAYANAN APOTEK DI KOTA RANAI KECAMATAN BUNGURAN TIMUR KABUPATEN NATUNA NASKAH PUBLIKASI

PEMETAAN PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN KEFARMASIAN TERKAIT FREKUENSI KEHADIRAN APOTEKER DI APOTEK DI SURABAYA TIMUR. Rendy Ricky Kwando, 2014

PERANAN APOTEKER DALAM PEMBERIAN INFORMASI OBAT DI INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH HAJI ANDI SULTHAN DAENG RADJA KABUPATEN BULUKUMBA

BAB III METODE PENELITIAN. pendekatan cross sectional dimana peneliti menekankan waktu

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN. Kerangka penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan faktor-faktor yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif non eksperimental. Pengumpulan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMETAAN PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN KEFARMASIAN TERKAIT FREKUENSI KEHADIRAN APOTEKER DI APOTEK DI SURABAYA BARAT. Erik Darmasaputra, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian deskriptif komparasi (Notoatmodjo, 2010). Melalui pendekatan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

HUBUNGAN PERSEPSI APOTEKER TERHADAP PELAKSANAAN KONSELING KEPADA PASIEN DENGAN EVALUASI PELAKSANAAN KONSELING DI APOTEK-APOTEK KABUPATEN MAGETAN

BAB III METODE PENELITIAN

Evaluasi Mutu Pelayanan Di Apotek Komunitas Kota Kendari Berdasarkan Standar Pelayanan Kefarmasian

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II. METODE PENELITIAN

Natural Science: Journal of Science and Technology ISSN-p : Vol 6(2) : (Agustus 2017) ISSN-e :

EVALUASI PELAYANAN APOTEK BERDASARKAN INDIKATOR PELAYANAN PRIMA DI KOTA MAGELANG PERIODE 2016

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HUBUNGAN PEMBERIAN INFORMASI OBAT DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT ANTIBIOTIK PADA PASIEN RAWAT JALAN DI PUSKESMAS REMAJA SAMARINDA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

BAB III METODE PENELITIAN. kuantitatif dengan menggunakan desain penelitian deskriptif. analitik Comparative Study dengan pendekatan cross sectional.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

MAKALAH FARMASI SOSIAL

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskesmas Dulalowo Kota

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mewujudkan suatu negara yang lebih baik dengan generasi yang baik adalah tujuan dibangunnya suatu negara dimana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penduduk serta penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik dan standar

PERANAN APOTEKER DI RUMAH SAKIT

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di

Apoteker berperan dalam mengelola sarana dan prasarana di apotek. Selain itu, seorang apoteker juga harus menjamin bahwa:

Lampiran 1. Daftar Tilik Mutu Pelayanan Kefarmasian DAFTAR TILIK

*Syafrianti Yatim, ,**Dr. Teti Sutriyati, M. Si, Apt***Madania, S.Farm, M.Sc., Apt. Program Studi Si, Jurusan Farmasi, FIKK, UNG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan desain penelitian deskriptif korelatif yaitu untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

The Analysis of Jamkesmas Drug Planning Using Combination Methods ABC and VEN in Pharmacy Installation of RSUD Dr. M. M. Dunda Gorontalo 2013

BAB III METODE PENELITIAN. dilakukan dengan memberikan pretest (sebelum perlakuan) dan. penelitian kuasi eksperimental dengan metode non-randomized

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. metode penelitian ini ialah, mendeskripsi, menganalisis, menfsirkan temuan

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI

PENGARUH PELATIHAN TERHADAP PELAYANAN OBAT DENGAN RESEP OLEH APOTEKER DI APOTEK WILAYAH KOTA DENPASAR

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Izin Apotek Pasal 1 ayat (a): Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan

BAB III METODA PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan yaitu kuantitatif, dengan rancangan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING. Artikel yang berjudul Studi Pengelolaan Obat yang Mengandung Prekursor pada Apotek di Kabupaten Buol.

BAB I PENDAHULUAN. (Depkes,2009). Kesehatan yaitu afiat yang berarti perlindungan Allah untuk

METODE PENELITIAN. observasi data variabel independen dan variabel dependen hanya satu kali

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Ruang kebidanan RSUD.Dr.M.M

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN PERSEPSI APOTEKER TERHADAP KONSELING PASIEN DAN PELAKSANAANNYA DI APOTEK KABUPATEN SUKOHARJO

BAB III METODE PENELITIAN. pendekatan cross-sectional. Pendekatan cross-sectional yaitu jenis penelitian

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan. Fakultas Farmasi Universitas Tjut Nyak Dhien, Medan

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan. Fakultas Farmasi Universitas Tjut Nyak Dhien, Medan

BAB III METODE PENELITIAN. Waktu penelitian direncanakan akan dilaksanakan Tanggal 17 Mei-03 Juni

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk penelitian observasional.dan menggunakan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PASIEN TERHADAP PELAYANAN KAMAR OBAT PUSKESMAS KABUPATEN JEPARA TAHUN 2017

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian survei cross-sectional,

Transkripsi:

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING Artikel yang berjudul Studi Pelaksanaan Konseling Obat Berdasarkan Penilaian Konsumen Pada Apotek Di Wilayah Kota Gorontalo Tahun 2014 Oleh : Minarti Abdul Majid Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji Pembimbing 1 Pembimbing 2 Dr. Teti S. Tuloli, S.Farm., M.Si., Apt Nur Rasdianah, S.Si., M.Si., Apt NIP. 19800220 200801 2 007 NIP. 19750513 200812 2 001 Mengetahui Ketua Jurusan Farmasi Hamsidar Hasan, S.Si., M.Si., Apt NIP. 19700525 200501 2 001

Studi Pelaksanaan Konseling Obat Berdasarkan Penilaian Konsumen Pada Apotek Di Wilayah Kota Gorontalo Tahun 2014 Study of Implementation Drugs Counseling Based Consumen Valuation at Apotec in Gorontalo City 2014 Minarti Abdul Majid 1, Teti S. Tuloli 2, Nur Rasdianah 3 1), Program Studi S1, Jurusan Farmasi, FIKK, UNG 2,3) Dosen Jurusan Farmasi, FIKK, UNG E-mail : minartimajid491@gmail.com ABSTRAK Pelayanan kefarmasian saat ini telah bergeser orientasinya dari obat kepada pasien yang berazaskan kepada asuhan kefarmasian maka apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku agar dapat melakukan interaksi langsung dengan pasien antara lain pemberian konseling obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan konseling obat berdasarkan penilaian konsumen pada apotek di wilayah Kota Gorontalo Tahun 2014, dengan sampel sejumlah 104 konsumen yang membeli obat pada 5 apotek yang memenuhi kriteria inklusi. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan menggunakan analisis data univariat dengan teknik pengambilan sampel yaitu purposive sampling serta instrument penelitian berupa kuesioner yang dihitung dalam bentuk persentase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan konseling obat atas dasar resepmencapai 50 % dalam kategori kurang dan 50 % dalam kategori baik. Pelaksanaan konseling obat tanpa resep mencapai 97 % dalam kategori kurang dan 3 % dalam kategori baik. Kata Kunci : Konseling Obat, Apotek Kesehatan merupakan harta yang tidak ternilai bagi setiap individu karena dengan kesehatan individu bisa menjalankan semua aktivitasnya. Oleh sebab itu banyak individu yang berusaha untuk memperbaiki, menjaga bahkan meningkatkan kualitas kesehatannya. Kesehatan juga merupakan tujuan yang tidak hanya ingin dicapai oleh satu individu atau satu pihak saja tetapi juga ingin dicapai oleh berbagai pihak. Untuk memperbaiki kesehatan, salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengkonsumsi obat. Tetapi obat dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan apabila penggunaannya tidak tepat.

Ditinjau dari segi kefarmasian, sejauh ini apoteker terlihat belum benarbenar melaksanakan profesinya. Seperti di apotek, biasanya konsumen atau pasien hanya menyerahkan resep, membayar, kemudian menerima obat. Pada waktu penyerahan obat, sangat sedikit bahkan hampir tidak ada konseling yang diterima oleh konsumen atau pasien. Padahal pengetahuan tentang penyakit, terapi dan khususnya tentang obat-obatnya adalah kunci dalam kepatuhan pasien pada strategi terapetik yang kompleks. Pelayanan kefarmasian saat inipun telah bergeser orientasinya dari obat kepada pasien yang berazaskan kepada asuhan kefarmasian (pharmaceutical care). Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker pengelola apotek dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku agar dapat melakukan interaksi langsung dengan pasien (Depkes, 2008 : 1). Salah satu bentuk interaksi tersebut antara lain pemberian konseling obat. Dimana kegiatan apotek yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi bisa menjadi pelayanan komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Handayani dkk, 2009 : 1). Berdasarkan pada uraian latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul Studi pelaksanaan konseling obat berdasarkan penilaian konsumen pada apotek di wilayah Kota Gorontalo Tahun 2014. METODOLOGI PENELITIAN Desain Penelitian Desain penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dimana dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui pelaksanaan konseling obat berdasarkan penilaian konsumen pada apotek di wilayah Kota Gorontalo Tahun 2014. Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan di 5 apotek yang ada di wilayah Kota Gorontalo pada Bulan Juli 2014. Pemilihan apotek didasarkan pada apotekernya sering berada di apotek tersebut (durasi ± 5 jam) dan apotekernya sering berinteraksi dengan konsumen. Subjek Penelitian Populasi dan Sampel a. Pelayanan Obat Atas Dasar Resep Populasi pelayanan obat atas dasar resep dalam penelitian ini adalah total konsumen sejumlah 46 konsumen. Rata-rata populasi untuk tiap apotek adalah 9 konsumen. Untuk penentuan sampel tiap apotek digunakan rumus : N 1 + (N x 0,05 2 ) Keterangan : jumlah sampel N = jumlah populasi 0,05 = tingkat kepercayaan

9 1 + (9 x 0,05 2 ) 9 1 + (9 x 0,0025) 9 1 + 0,0225 = 8 b. Pelayanan Obat Tanpa Resep Populasi pelayanan obat tanpa resep dalam penelitian ini adalah total konsumen sejumlah 71 konsumen. Rata-rata populasi untuk tiap apotek adalah 17 konsumen. Untuk penentuan sampel tiap apotek digunakan rumus: N 1 + (N x 0,05 2 ) Keterangan : jumlah sampel N = jumlah populasi 0,05 = tingkat kepercayaan 17 1 + (17 x 0,05 2 ) 17 1 + (17 x 0,0025) 17 1 + 0,0425 = 16 Teknik Pengambilan Data (Sampling) Teknik pengambilan data pada penelitian ini menggunakan purposive sampling. Adapun kriteria inklusi konsumen yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Konsumen berinteraksi lebih dari 1 kali dengan apoteker. 2. Konsumennya bersedia mengisi kuesioner. Sedangkan kriteria eksklusi konsumen yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Konsumen berinteraksi 1 kali dengan apotekernya. 2. Konsumennya tidak bersedia mengisi kuesioner. Data Dan Sumber Data Data Primer Data primer merupakan data yang didapat langsung serta diperoleh dari responden melalui kuesioner. Data Sekunder Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari Instansi Pemerintah untuk menunjang penelitian yang dilakukan oleh peneliti.

Definisi Operasional 1. Konseling obat adalah diskusi, nasehat, edukasi tentang penyakit dan pengobatan sehingga pasien memperoleh keuntungan yang optimal dalam meningkatkan kualitas hidup dan perawatannya. 2. Konseling obat atas dasar resep merupakan pelayanan kepada pasien yang datang dengan resep dokter. 3. Konseling obat tanpa resep merupakan pelayanan kepada pasien yang ingin melakukan pengobatan sendiri. Cara Pengumpulan Data Cara pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah dengan membagikan kuesioner kepada sejumlah 104 konsumen yang membeli obat pada 5 apotek yang ada di wilayah Kota Gorontalo selang Bulan Juli Tahun 2014. Tahap Penelitian 1. Melakukan studi pendahuluan, untuk melihat masalah yang terjadi, apakah dapat diteliti atau tidak. 2. Mengajukan permohonan izin ke institusi pemerintah untuk mendapatkan rekomendasi untuk pengambilan data. 3. Meminta persetujuan dari calon responden, bila calon responden setuju, peneliti menjelaskan maksud dan tujuan peneliti kepada calon responden. 4. Dilakukan pengumpulan data 5. Hasil dari kuesioner dilakukan editing, coding, scoring dan tabulating, selanjutnya didistribusi ke dalam bentuk tabel dan dibuat pembahasannya. 6. Selanjutnya, peneliti mendapat surat keterangan bahwa peneliti benar-benar melakukan penelitian. Pengolahan dan Analisa Data 1. Editing Editing adalah memeriksa daftar pertanyaan yang telah diserahkan oleh peneliti. 2. Coding Coding adalah mengklasifikasikan jawaban dari para responden ke dalam kategori. 3. Scoring Scoring adalah memberikan penilaian terhadap item item yang perlu diberi penilaian atau skor. 4. Tabulating Jawaban jawaban yang telah diberi kode kemudian dimasukkan ke dalam tabel. Setelah data terkumpul, dilakukan penjumlahan skor yaitu dengan nilai 1 (satu) untuk jawaban Ya dan nilai 0 (nol) untuk jawaban Tidak. Untuk selanjutnya dijumlahkan dan dipresentasikan, setelah didapatkan hasil presentasi lalu dimasukkan ke dalam tabel tabulasi data, dari tabel tabulasi tersebut akan didapatkan presentasi secara keseluruhan dengan menggunakan rumus (Machfoedz, 2010 : 22).

P = x 100 % Keterangan : P : Presentase F : Jumlah jawaban yang benar N : Jumlah item pertanyaan HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Karakteristik Responden Tabel 4.1. Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin No. Jenis Kelamin Frekuensi Persentasi (%) 1. 2. Perempuan 58 56 % Laki-laki 46 44 % Total 104 100 % Perempuan Laki-laki Gambar 4.1. Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin Tabel 4.1 dan gambar 4.1 menunjukkan distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, dimana terdapat 58 responden (56 %) berjenis kelamin perempuan dan 46 responden (44 %) berjenis kelamin laki-laki. Tabel 4.2. Distribusi responden berdasarkan usia No. Usia Jumlah Persentasi (%) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 11-20 21-30 31-40 41-50 51-60 61-70 6 50 19 13 15 1 6 % 48 % 18 % 13 % 14 % 1 % Total 104 100 %

11 20 21 30 31 40 41 50 51 60 61 70 Gambar 4.2. Distribusi responden berdasarkan usia Tabel 4.2 dan gambar 4.2 menunjukkan distribusi responden berdasarkan usia, dimana terdapat 6 responden (6 %) yang berusia antara 11-20 tahun, 50 responden (48 %) yang berusia antara 21-30 tahun, 19 responden (18 %) yang berusia antara 31-40 tahun, 13 responden (13 %) yang berusia antara 41-50 tahun, 15 responden (14 %) yang berusia antara 51-60 tahun, dan 1 responden yang berusia antara 61-70 tahun. Tabel 4.3. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan No. Tingkat Pendidikan Jumlah Persentasi (%) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Tidak Sekolah SD / sederajat SLTP / sederajat SLTA / sederajat Diploma (D1-D3) Sarjana (S1) Lain-lain 0 0 5 53 21 24 1 0 0 5 % 51 % 20 % 23 % 1 % Total 104 100 % Tidak Sekolah SD / sederajat SLTP / sederajat SLTA / sederajat Diploma (D1-D3) Sarjana (S1) Lain-lain Gambar 4.3. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan Tabel 4.3 dan gambar 4.3 menunjukkan distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan, dimana terdapat 0 responden tidak sekolah, 0 responden dengan tingkat pendidikan SD / sederajat, 5 responden (5 %) dengan tingkat pendidikan SLTP / sederajat, 53 responden (51 %) dengan tingkat pendidikan SLTA / sederajat, 21 responden (20 %) dengan tingkat pendidikan Diploma (D1- D3), 24 responden (23 %) dengan tingkat pendidikan Sarjana (S1), dan 1 responden (1 %) dengan tingkat pendidikan lain-lain (S2).

Konseling Obat Atas Dasar Resep Tabel 4.4. Distribusi responden untuk pelaksanaan konseling obat atas dasar resep No. Konseling Obat Atas Dasar Resep Frekuensi Persentasi (%) 1. 2. Baik Kurang 20 50 % 20 50 % Total 40 100 % Baik Kurang Gambar 4.4. Distribusi responden untuk pelaksanaan konseling obat atas dasar resep Tabel 4.4 dan gambar 4.4 menunjukkan bahwa terdapat 20 responden (50 %) memberikan penilaian baik dan 20 responden (50 %) memberikan penilaian kurang terhadap pelaksanaan konseling obat atas dasar resep. Konseling Obat Tanpa Resep Tabel 4.5. Distribusi responden untuk pelaksanaan konseling obat tanpa resep No. Konseling Obat Atas Dasar Resep Frekuensi Persentasi (%) 1. 2. Baik Kurang 2 3 % 62 97 % Total 64 100 % Baik Kurang Gambar 4.5. Distribusi responden untuk pelaksanaan konseling obat tanpa resep Tabel 4.5 dan gambar 4.5 menunjukkan bahwa terdapat 2 responden (3 %) memberikan penilaian baik dan 62 responden (97 %) memberikan penilaian kurang terhadap pelaksanaan konseling obat tanpa resep.

Pembahasan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, total sampel pada penelitian ini adalah 104 responden yang terbagi atas 40 responden untuk pelaksanaan konseling atas dasar resep dan 64 responden untuk pelaksanaan konseling tanpa resep. Cara pengumpulan data dilakukan dengan cara membagikan kuesioner, agar peneliti dapat memperoleh data sesuai dengan tujuan penelitian ini. Pada kuesioner yang digunakan, peneliti telah melakukan uji validitas dan uji reliabilitas. Uji validitas dilakukan menggunakan aplikasi SPSS 17,0 dimana terdapat 19 pernyataan pelaksanaan konseling atas dasar resep dan 20 pernyataan pelaksanaan konseling tanpa resep. Hasilnya menunjukkan terdapat beberapa pernyataan yang tidak valid, yaitu 4 pernyataan pelaksanaan konseling atas dasar resep dan 2 pernyataan pelaksanaan konseling tanpa resep. Pernyataan yang tidak valid adalah pernyataan yang memiliki r hitung lebih kecil dari r tabel. Nilai r tabel untuk 20 sampel yang digunakan dalam uji ini adalah 0,444. Uji reliabilitas dilakukan pada pernyataan-pernyataan yang telah dinyatakan valid dalam uji validitas. Pernyataan dikatakan reliabel jika nilai alpha lebih besar dari 0,6. Hasil uji reliabilitas yang dilakukan menunjukkan nilai alpha yang diperoleh 0,960. Nilai ini lebih besar dari 0,6 sehingga semua pernyataan dinyatakan reliabel. Sebagian besar sampel pada penelitian ini (56 %) merupakan konsumen yang berjenis kelamin perempuan (tabel 4.1). Perempuan memiliki pengaruh besar dalam keluarga. Pengaruh perempuan yang besar dalam keluarga tersebut telah memperlihatkan dampak yang positif pada gizi, perawatan kesehatan, dan pendidikan (Widaningsih, 2007 : 3). Sejumlah 48 % Sampel pada penelitian ini merupakan responden yang berusia 21-30 tahun (tabel 4.2). Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia, maka semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikir sehingga pengetahuan yang diperoleh semakin membaik. Usia sebagian besar responden pada penelitian ini tergolong dalam usia muda, sehingga masih memiliki pengetahuan yang kurang dalam hal penggunaan obat. Pada usia muda seperti ini baik untuk diberikan pelayanan konseling obat karena mempertimbangkan daya tangkap dan pola pikir yang masih baik. Irmayanti (dalam Alatas dan Linuwih, 2013 : 56) menyatakan bahwa usia berpengaruh positif terhadap pengetahuan yang dimiliki karena pembelajaran dari pengalaman dan daya tangkap serta pola pikir yang telah berkembang. Berdasarkan tingkat pendidikan, sampel pada penelitian ini (51 %) merupakan responden yang memiliki tingkat pendidikan SLTA / sederajat (51 %), diploma (20 %), sarjana (23 %) dan sisanya memiliki tingkat pendidikan SLTP / sederajat dan lain-lain / S2 (tabel 4.3). Tingkat pendidikan SLTA / sederajat, diploma dan sarjana yang mendominasi sebagian besar jumlah responden ini sangat baik untuk diberikan pelayanan konseling obat. Karena pendidikan merupakan dasar pengetahuan intelektual yang dimiliki seseorang, semakin tinggi pendidikan akan semakin besar kemampuan untuk menyerap dan menerima informasi (Mubarok, 2006 : 137).

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.4 menunjukkan bahwa 20 responden (50 %) yang menebus resep memberikan penilaian kurang dan 20 responden (50 %) lagi memberikan penilaian baik terhadap pelayanan kefarmasian berupa konseling yang diberikan oleh apoteker pada apotek di wilayah Kota Gorontalo. Berdasarkan literatur yang ada, apoteker diwajibkan untuk memberikan konseling kepada pasien/keluarga pasien selaku konsumen di apotek, karena konseling pasien merupakan bagian tidak terpisahkan dan elemen kunci dari pelayanan kefarmasian, dalam rangka memperbaiki kualitas hidup pasien. Dalam pelayanan obat ini apoteker harus berorientasi pada pasien/penderita, apakah obat yang diinginkan pasien tersebut dapat menyembuhkan penyakitnya serta ada tidaknya efek samping yang merugikan (Anief, 2005 : 3-4). Apoteker yang efektif harus mampu memotivasi pasien untuk belajar dan berpartisipasi aktif dalam régimen terapinya. Karena apoteker merupakan profesional kesehatan terakhir yang menemui pasien. Untuk penderita penyakit tertentu seperti kardiovaskuler, diabetes, TBC, asma dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan (Depkes, 2006 : 8). Dalam hal ini apoteker tidak bisa sepenuhnya disalahkan, karena banyak faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi masih kurangnya pelaksanaan konseling obat atas dasar resep di apotek, seperti tidak adanya reward / penghargaan dari pihak pemerintah serta organisasi profesi kepada apoteker sebagai motivasi dan dorongan bagi apoteker untuk lebih meningkatkan pelayanan konseling obat. Ada satu ítem pernyataan pada kuesioner pelaksanaan konseling obat atas dasar resep yang dapat mempengaruhi hasil penilaian konsumen yaitu pernyataan dimana apoteker harus memperkenalkan diri. Perkenalan diri memang penting untuk meningkatkan citra profesi di masyarakat tetapi tidak perlu diulangi oleh apoteker pada pertemuan selanjutnya dengan pasien / konsumen. Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.5 menunjukkan bahwa 62 responden (97 %) yang membeli obat tanpa resep memberikan penilaian kurang dan 2 responden (3 %) lagi memberikan penilaian baik terhadap pelayanan kefarmasian berupa konseling yang diberikan oleh apoteker pada apotek di wilayah Kota Gorontalo. Apoteker memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa pasien mengerti maksud dari terapi obat dan cara penggunaannya yang tepat. Untuk mencapai tujuan ini, apoteker wajib mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk mengkomunikasikan informasi ini dan untuk memotivasi pasien supaya taat pada régimen terapinya. Studi tambahan sudah menunjukkan bahwa intervensi oleh apoteker, menggunakan konseling lisan dan tertulis pada permulaan terapi obat, menghasilkan perbaikan yang signifikan dalam kepatuhan pasien (Kurniawan dan Chabib, 2010 : 13). Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan obat yang salah (Depkes, 2006 : 8).

Apoteker dalam hal ini tidak bisa dipersalahkan sepenuhnya karena ada beberapa faktor lain yang turut mempengaruhi masih kurangnya pelaksanaan konseling obat tanpa resep di apotek. Salah satunya adalah karena kebanyakan pasien sudah mengetahui kegunaan dari obat yang dibelinya, hal ini didukung oleh pesatnya perkembangan informasi tentang obat di media elektronik dan media sosial. Selain itu konsumen atau pasien tidak mau berlama-lama berada di apotek untuk menerima pelayanan konseling obat. Serta obat-obat yang dibeli oleh pasien / konsumen yang ingin melakukan swamedikasi merupakan obat-obat golongan bebas dan golongan bebas terbatas yang memiliki indeks terapi lebar serta keamanannya sudah terjamin apabila dikonsumsi tanpa resep dokter. Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Winanto Tahun 2013 yang berjudul persepsi konsumen terhadap pelayanan apotek di Kota Ranai Kecamatan Bunguran Timur Kabupaten Natuna. Dimana persentase tertinggi untuk karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin sebesar 60,26 % yaitu responden dengan jenis kelamin wanita. Persentase tertinggi untuk karakteristik responden berdasarkan usia sebesar 42,12 % yaitu responden dengan umur 30-45 tahun. Dan untuk karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan sejumlah 3,12 % responden dengan tingkat pendidikan SD, 29,35 % dengan tingkat pendidikan SLTP, 42,08 % dengan tingkat pendidikan SLTA. Dan hasil penelitian Winanto ini diperoleh bahwa kesediaan / kesiapan petugas dalam memberikan konseling kepada konsumen adalah sangat buruk sejumlah 0 %, buruk sejumlah 16,36 %, baik sejumlah 82,08 % dan sangat baik sejumlah 1,56 %. Adapula penelitian Bertawati Tahun 2012 yang berjudul profil pelayanan kefarmasian dan kepuasan konsumen apotek di Kecamatan Adiwerna Kota Tegal. Dari hasil penelitiannya diperoleh bahwa pelaksanaan konseling kepada pasien telah dilakukan sebanyak 85,7 % oleh apoteker. Serta penelitian Setiawan dkk Tahun 2010 yang berjudul pengaruh pelayanan kefarmasian terhadap kepuasan konsumen apotek di kabupaten tegal. Dari hasil penelitiannya yang diperoleh dari kuesioner yang diisi oleh apoteker didapatkan bahwa aspek konseling obat telah dilaksanakan oleh apoteker dengan frekuensi 87 % dimana apoteker selalu memberikan konseling kepada pasien dengan atau tanpa resep. Konseling diberikan oleh semua apoteker pada 5 apotek di Kabupaten Tegal tetapi dengan frekuensi yang berbeda. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data dapat disimpulkan bahwa : 1. Pelaksanaan konseling obat atas dasar resep berdasarkan penilaian konsumen pada apotek di wilayah Kota Gorontalo Tahun 2014 mencapai 50 % dalam kategori kurang dan 50 % dalam kategori baik. 2. Pelaksanaan konseling obat tanpa resep berdasarkan penilaian konsumen pada apotek di wilayah Kota Gorontalo Tahun 2014 mencapai 97 % dalam kategori kurang dan 3 % dalam kategori baik.

Saran 1. Pihak Apoteker Kepada pihak apoteker diharapkan agar dapat meningkatkan mutu pelayanan serta meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku agar dapat melakukan interaksi langsung berupa konseling obat dengan pasien. Selain itu diharapkan pula agar apoteker dapat melengkapi sarana dan prasarana untuk menunjang pelayanan kefarmasian khususnya pelayanan konseling obat. Sarana dan prasarana penunjang yang dimaksud adalah dokumentasi berupa kartu pencatatan (medical record) dan ruangan khusus untuk konseling kepada pasien/keluarga pasien. 2. Pihak Pemerintah dan Pihak Organisasi Ikatan Apoteker Indonesia Diharapkan agar dapat memberikan dorongan kepada pihak apoteker berupa reward / penghargaan sehingga apoteker lebih termotivasi untuk meningkatkan pelayanan kefarmasian khususnya pelayanan konseling obat. 3. Untuk Peneliti selanjutnya Untuk peneliti selanjutnya bisa lebih teliti dimana ada satu ítem pernyataan pada kuesioner pelaksanaan konseling obat atas dasar resep yang dapat mempengaruhi hasil penilaian konsumen pada penelitian ini yaitu pernyataan dimana apoteker harus memperkenalkan diri untuk meningkatkan citra profesi di masyarakat Perkenalan diri memang penting tetapi tidak perlu diulangi oleh apoteker pada pertemuan selanjutnya dengan pasien / konsumen. Selain itu Perlu dilakukan penelitian selanjutnya menyangkut pelayanan kefarmasian. DAFTAR PUSTAKA Alatas, SS Sahar dan Linuwih, Sri. 2013. Hubungan Tingkat Pengetahuan Mengenai Pedikulosis Kapitis Dengan Karakteristik Demografi Santri Pesantren X Jakarta Timur, Universitas Indonesia, Jakarta. Anief, Moh, 1990, Ilmu Meracik Obat, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Anief, Moh, 2005, Manajemen Farmasi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Bertawati, 2012, Profil Pelayanan Kefarmasian Dan Kepuasan Konsumen Apotek Di Kecamatan Adiwerna Kota Tegal, Universitas Udayana. Bogadenta, Arya, 2013, Manajemen Pengelolaan Apotek, D-Medika, Yogjakarta. Chua, S,S, Ramachandran C,D, dan Paraidathathu, T,T, 2006, Response of community pharmacists to the presentation of back pain : a simulated patient study, The International Journal of Pharmacy Practice, p.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2004, Pedoman Pengelolaan Obat Program Kesehatan, Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian Dan Alat Kesehatan, Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek, Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008, Petunjuk Teknis Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek (SK Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004), Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan, Jakarta. Gunawan, Rai, I,P,S, Putra, I,M,D,M, Purbandika, M,C,W, Dewi, N,M, Wiryatini, dan K,T, Ali, 2011, Tingkat Kehadiran Apoteker Serta Pembelian Obat Keras Tanpa Resep Di Apotek. Universitas Udayana. Handayani, R,S, Raharni, dan Retno Gitawati, 2009, Persepsi Konsumen Apotek Terhadap Pelayanan Apotek Di Tiga Kota Di Indonesia, Makara Kesehatan volume 13 nomor 1. Husnawati, Retnosari, dan Harianto, 2007, Pengaruh Konseling Tentang Terapi Obat TBC Terhadap Kepatuhan Penderita TBC Paru Pada Terapi Obat Periode Februari-Mei 2007 Di Kelurahan Pancoran Mas-Depok, Majalah Ilmu Kefarmasian volume 6 nomor 2. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, 2004, Standar Kompetensi Farmasis Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia, 2011, Pedoman Cara Pelayanan Kefarmasian Yang Baik (CPFB)/Good Pharmacy Practice (GPP), Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan, Jakarta. Mubarok, W.I, 2006, Ilmu Keperawatan Komunitas 2, CV. Sagung Seto, Jakarta. Kurniawan D,W, dan Lutfi Chabib, 2010, Pelayanan Informasi Obat Teori Dan Praktek, Graha Ilmu, Yogyakarta. Muslimah, Syilva, 2012, Pengaruh Konseling Terhadap Tingkat Kepatuhan Pasien Penderita Diabetes Melitus Dalam Mengkonsumsi Obat Di Rumah Sakit Umum Daerah Toto, Karya Tulis Ilmiah, Universitas Negeri Gorontalo, Gorontalo.

Pemerintah Republik Indonesia, 1980, Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotek, Jakarta. Pemerintah Republik Indonesia, 2009, Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian, Jakarta. Purwanti, Angki, Harianto, dan Sudibjo Supardi, 2004, Gambaran Pelaksanaan Standar Pelayanan Farmasi di Apotek DKI Jakarta Tahun 2003, Majalah Ilmu Kefarmasian nomor 2 volume 1. Setiawan, Didik, Moeslich Hasanmihardja, dan Ashief Mahatir, 2010, Pengaruh Pelayanan Kefarmasian Terhadap Kepuasan Konsumen Apotek Di Kabupaten Tegal, Jurnal Farmasi Indonesia volume 5 nomor 2. Siregar, Charles, J,P, 2004, Farmasi Klinik Teori dan Penerapan, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. Syamsuni, 2005, Farmasetika Dasar Dan Hitungan Farmasi, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Widaningsih, Lilis, 2007, Relasi Gender Dalam Keluarga, Jawa Barat. Winanto, Aris, 2013, Persepsi Konsumen Terhadap Pelayanan Apotek Di Kota Ranai Kecamatan Bunguran Timur Kabupaten Natuna, Universitas Tanjungpura.