PERKEMBANGAN SISTEM PERADILAN PIDANA Oleh : Supriyanto, SH.MHum Fakultas Hukum UNISRI

dokumen-dokumen yang mirip
KUHAP DAN SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU SUPRIYANTA, SH MHum Dosen Fakultas Hukum UNISRI

SISTEM PERADILAN PIDANA KODE MATA KULIAH : WHI 6258

PERKEMBANGAN KEJAHATAN DAN PERADILAN PIDANA. SUPRIYANTA, SH MHum Dosen Fakultas Hukum UNISRI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang

KEDUDUKAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

SILABI A. IDENTITAS MATA KULIAH

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak

TINJAUAN PUSTAKA. Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-

TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan hukum pidana dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan

2. Pengawasan dan penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana;

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan

Doktrin Precedent dan Plea Bargaining System. Oleh : Supriyanta, SH.MHum Fak. Hukum UNISRI Abstrak

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian sudah seharusnya penegakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Perkembangan kondisi aktual yang belakangan ini telah menjadi perhatian bagi

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa ketentuan badan-badan lain

MODEL SISTEM PERADILAN PIDANA DALAM PERKEMBANGAN. Oleh : Michael Barama 1

I. TINJAUAN PUSTAKA. hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila

BAB V PENUTUP. Undang Undang Nomor 7 tahun 1946 tentang peraturan tentang

I. PENDAHULUAN. dan lembaga penegak hukum. Dalam hal ini pengembangan pendekatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Negara, yakni: supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di depan hukum. mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Selanjutnya disebut KUHP), dan secara

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

RELEVANSI PIDANA KERJA SOSIAL DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbicara hukum, menyebabkan kita akan dihadapkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pergaulan

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

BAB I PENDAHULUAN. ketergantungan bagi penggunanya dimana kecenderung akan selalu

PENUTUP. penelitian lapangan, serta pembahasan dan analisis yang telah penulis lakukan

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. pelaku dan barang bukti, karena keduanya dibutuhkan dalam penyidikkan kasus

BAB I P E N D A H U L U A N. Pemerintah telah membuat program pembangunan yang pelaksanaannya

Negara Indonesia adalah negara hukum (recht staats), maka setiap orang yang melakukan tindak

HAK ASASI TERSANGKA UNTUK MENDAPAT BANTUAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

HAK TERTUDUH DALAM PERADILAN PIDANA BERDASARKAN ADVERSARY SYSTEM. Oleh: Sri Rahayu, S.H., M.H. 1 ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) berlandaskan keadilan dan. kebenaran adalah mengembangkan budaya hukum di semua lapisan

PENERAPAN PRINSIP MIRANDA RULE SEBAGAI PENJAMIN HAK TERSANGKA DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN ), antara lain menggariskan beberapa ciri khas dari negara hukum, yakni :

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan pemeriksaan investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN DAN

PERSPEKTIF KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP NARAPIDANA YANG MELARIKAN DIRI PADA SAAT MENJALANI PIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

SANTUNAN OLEH PELAKU TINDAK PIDANA TERHADAP KORBAN KEJAHATAN DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat sebagai TNI merupakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. adalah adanya kekuasaan berupa hak dan tugas yang dimiliki oleh seseorang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga

ANALISIS SISTEMATIK HUKUM TERHADAP UU NO.8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA. Supriyanta Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta

HAK UNTUK MELAKUKAN UPAYA HUKUM OLEH KORBAN KEJAHATAN DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan suatu kebutuhan yang melekat pada kehidupan sosial dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

Pelaksanaan Penyidik Diluar Wilayah Hukum Penyidik

I. PENDAHULUAN. pemikiran bahwa perubahan pada lingkungan dapat mempengaruhi kehidupan

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

Pembuktian penuntut umum dalam perkara tindak pidana korupsi oleh kejaksaan Sukoharjo. Oleh : Surya Abimanyu NIM: E BAB I PENDAHULUAN

PENDEKATAN NON-PENAL DALAM UPAYA MENCEGAH TERJADINYA TINDAK PIDANA ANTARA KEPALA DESA DAN BPD. Oleh: M. Arief Amrullah 1

BAB I PENGANTAR. Seiring dengan perkembangan jaman, berkembang pula modus kejahatan yang

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB 1V PENUTUP. sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: yaitu Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor

I. PENDAHULUAN. Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2000 TENTANG

Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam Perspektif Due Process Of Law 1. Eddy O.S Hiariej 2

BAB II PENEGAKAN HUKUM DAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PENGADILAN YANG TELAH MEMPEROLEH KEKUATAN HUKUM TETAP DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA

jenis kejahatan yang dapat menyentuh berbagai ranah kehidupan.

UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H

BAB I PENDAHULUAN. dipersidangan, dan hakim sebagai aparatur penegak hukum hanya akan

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

BAB I PENDAHULUAN. menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

I. PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat. Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, Lalu. dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi.

Transkripsi:

PERKEMBANGAN SISTEM PERADILAN PIDANA Oleh : Supriyanto, SH.MHum Fakultas Hukum UNISRI ABSTRAK : Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam criminal justice science di Amerika Serikat seiring dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan institusi penegakan hukum yang didasarkan pada pendekatan hukum dan ketertiban. Dalam literatur dikenal beberapa model peradilan pidana yakni Crime Control Model, Due Process Model,Family Model dan Integrated Model. Kata Kunci : Sistem peradilan Pidana PENDAHULUAN Peradilan pidana dapat diartikan sebagai suatu proses bekerjanya beberapa lembaga penegak hukum. Mekanisme peradilan pidana tersebut meliputi aktivitas yang bertahap dimulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pelaksanaan putusan hakim yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan. Proses yang bekerja secara berurutan tersebut pada dasarnya menuju pada suatu tujuan bersama yang dikehendaki. Keseluruhan proses itu bekerja di dalam suatu sistem, sehingga masing-masing lembaga itu merupakan subsistem yang saling berhubungan dan pengaruh mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Dalam sistem peradilan pidana tersebut bekerja komponen-komponen fungsi atau subsistem yang masing-masing harus berhubungan dan bekerja sama sebagaimana dikatakan oleh Alan Coffey bahwa : Criminal justice can function systematically only to the degrees that each segment of the system takes into account all other segments. In order words, the system is no more systematic than the relationships between Police and prosecution, Police and Court Prosecution and Corrections, Corrections and law, and so forth. In the absence of functional relationships between segments, the criminal justice system is vulnerable to fragmentation and ineffectiveness ( M. Faal, 1991 : 25 ). Jadi fragmentasi dalam arti masing-masing subsistem bekerja sendiri-sendiri dan tidak memperhatikan antar hubungan diantara sub-subsistem yang ada harus dihindari bilamana diinginkan suatu sistem peradilan pidana yang efektif. Dalam hubungan ini perlu diperhatikan

konsep Integrated Approach dari Hiroshi Ishikawa yang antara lain menegaskan bahwa komponen-komponen fungsi itu walaupun fungsinya berbeda-beda dan berdiri sendiri-sendiri (diversity ) tetapi harus mempunyai suatu tujuan dan persepsi yang sama sehingga merupakan suatu kekuatan yang utuh ( unity ), yang saling mengikat. Hiroshi Ishikawa dalam hal ini menyatakan bahwa: Criminal justice agencies including the police, prosecution, judiciary institution should be compared with a chain of gears, and each of them should be precise and tenacious in maintaining good combination with each other ( M Faal, 1991 : 26 ) Frank Remington adalah orang pertama di Amerika Serikat yang memperkenalkan rekayasa administrasi peradilan pidana melalui pendekatan sistem ( system approach ) dan gagasan mengenani sistem ini terdapat dalam laporan Pilot Proyek Tahun 1958. Gagasan ini kemudian dilekatkan pada mekanisme administrasi peradilan pidana dan diberi nama Criminal Justice System. Istilah ini kemudian diperkenalkan dan disebarluaskan oleh The President s Crime Commision ( Romli Atmasasmita, 1996: 8 ). Diagram skematik Criminal Justice System telah disusun oleh The Commision s Task force on Science and Technology di bawah pimpinan Alfred Blumstein. Sebagai ahli manajemen, Blumstein menerapkan pendekatan manajerial dengan bertopang pada pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sejak saat itu dalam penanggulangan kejahatan di Amerika Serikat diperkenalkan dan dikembangkan pendekatan sistem sebagai pengganti pendekatan hukum dan ketertiban. Melalui pendekatan ini kepolisian, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan tidak lagi merupakan instansi yang berdiri sendiri melainkan masingmasing merupakan unsur penting dan berkaitan erat satu sama lain (Atmasasmita, 1996 : 9 ).

Menurut Kadish, pengertian sistem peradilan pidana dapat dilihat dari sudut pendekatan normatif, manajemen dan sosial. Ketiga bentuk pendekatan tersebut sekalipun berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain, bahkan ketiganya saling mempengaruhi dalam menentukan tolok ukur keberhasilan dalam menanggulangi kejahatan. Sementara itu Geoffrey Hazard Jr. juga mengemukakan adanya tiga pendekatan dalam sistem peradilan pidana yaitu pendekatan normatif, pendekatan administratif dan pendekatan sosial ( Atmasasmita, 1996: 17-18 ). Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum ( kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan ) sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata. Pendekatan administratif memandang aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang dipergunakan adalah sistem administrasi. Pendekatan sosial memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau kegagalan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang dipergunakan adalah sistem sosial.

B. Model-Model Peradilan Pidana Di Amerika Serikat, berkembang beberapa model dalam rangka penyelenggaraan peradilan pidana. Perlu dijelaskan di sini bahwa penggunaan model di sini bukanlah sesuatu hal yang nampak secara nyata dalam suatu sistem yang dianut oleh suatu negara, akan tetapi merupakan suatu sistem nilai yang dibangun atas dasar pengamatan terhadap praktek peradilan pidana di berbagai negara. Pemahaman tentang model penyelenggaraan peradilan pidana, khususnya di Amerika Serikat diperkenalkan oleh Herbert L. Packer. Berdasarkan pengamatannya dikatakan bahwa dalam penyelenggaraan peradilan pidana di Amerika Serikat dikenal dua model dalam proses pemeriksaan perkara pidana ( two models of the criminal process ) yaitu Due Process Model dan Crime Control Model. Kedua model ini dilandasi oleh Adversary Model ( Model perlawanan ) yang memiliki ciri-ciri : a. Prosedur peradilan harus merupakan suatu disputes atau combating proceeding antara terdakwa dan penuntut umum dalam kedudukan yang sama di muka pengadilan; b. Judge as umpire dengan konsekuensi bahwa hakim tidak ikut ambil bagian dalam pertempuran ( fight ) dalam proses pemeriksaan di pengadilan. Ia hanya berfungsi sebagai wasit yang menjaga agar permainan tidak dilanggar, baik oleh terdakwa maupun oleh penuntut umum; c. Tujuan utama prosedur peradilan pidana adalah menyelesaikan sengketa yang timbul disebabkan terjadinya kejahatan; d. Para pihak atau kontestan memiliki fungsi yang otonom dan jelas. Peranan penuntut umum adalah melakukan penuntutan, peranan terdakwa adalah menolak atau menyanggah dakwaan. Penuntut umum bertujuan menetapkan fakta mana saja yang akan dibuktikannya disertai bukti yang menunjang fakta tersebut. Terdakwa bertugas

menentukan fakta-fakta mana saja yang akan diajukan di persidangan yang akan dapat menguntungkan kedudukannya dengan menyampaikan bukti-bukti lain sebagai penunjang fakta tersebut. The Crime Control Model didasarkan pada anggapan bahwa penyelenggaraan peradilan pidana adalah semata-mata untuk menindas perilaku kriminal ( criminal conduct ), dan ini merupakan tujuan utama proses peradilan, karena yang diutamakan adalah ketertiban umum ( public order ) dan efisiensi ( Ansorie Sabuan dkk, 1990 : 6 ). Proses kriminal pada dasarnya merupakan suatu perjuangan atau bahkan semacam perang antara dua kepentingan yang tidak dapat dipertemukan kembali yaitu kepentingan negara dan kepentingan individu ( terdakwa ). Di sini berlakulah apa yang disebut sebagai presumption of guilt (praduga bersalah) dan sarana cepat dalam pemberantasan kejahatan demi efisiensi. Dalam praktek model ini mengandung kelemahan yaitu seringnya terjadi pelanggaran hak asasi manusia demi efisiensi. Oleh karena itu muncullah model yang kedua yang disebut Due Process Model. Di dalam Due Process Model ini muncul nilai-nilai baru yang sebelumnya kurang diperhatikan, yaitu konsep perlindungan hak-hak individual dan pembatasan kekuasaan dalam penyelengaraan peradilan pidana. Proses kriminal harus dapat dikendalikan untuk dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan sifat otoriter dalam rangka mencapai maksimum efisiensi. Di dalam model ini berlaku asas yang sangat penting yaitu asas praduga tidak bersalah ( presumption of innocent ). Kedua model yang diperkenalkan oleh Packer di atas, didasarkan pada pemikiran mengenai hubungan antara negara dan individu dalam proses kriminal yang menempatkan pelaku tindak pidana sebagai musuh masyarakat ( enemy of the society ), sedangkan tujuan utama dari pemidanaan adalah mengasingkan pelaku tindak pidana dari masyarakat ( exile

function of punishment ). Menurut John Griffiths kedua model tersebut secara filosofis berlandaskan pada model peperangan ( Battle Model ) serta pertentangan antara negara dengan individu yang tidak dapat dipertemukan kembali ( irreconciliable disharmony of interest ) sehingga jika terjadi kejahatan, maka terhadap si pelaku harus segera diproses dengan menempatkannya sebagai obyek di dalam sistem peradilan pidana. Sehubungan dengan model-model sistem peradilan pidana yang dikemukakan di atas, Muladi mengemukakan pandangannya sebagai berikut : Crime Control Model : tidak cocok karena model ini berpandangan bahwa tindakan yang bersifat represif sebagai yang terpenting dalam melaksanakan proses peradilan pidana. Due process model : tidak sepenuhnya menguntungkan karena sifat anti-authoritarian values. Model Family atau Family Model dari Jhon Griffiths : kurang memadai karena terlalu offender oriented karena masih terdapat korban (victim) yang memerlukan perhatian serius (Muladi, 1995 :5). Di samping ketiga model sistem peradilan pidana yang telah diuraikan di atas, dalam perkembangannya saat ini terdapat berbagai usaha untuk mengembangkan apa yang disebut sebagai sistem peradilan pidana terpadu atau integrated criminal justice system. Menurut Muladi, makna integrated criminal justice system ini adalah sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam : 1. Sinkronisasi struktural ( structural syncronization ); 2. Sinkronisasi substansial ( substantial syncronization );

3. Sinkronisasi kultural ( cultural syncronization ). Sinkronisasi struktural adalah keserampakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan antara lembaga penegak hukum, sinkronisasi substansial adalah keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif, sedangkan sinkronisasi kultural adalah keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandanganpandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana (Muladi,1995 :1-2) Dalam model sistem peradilan pidana terpadu, lembaga atau instansi yang bekerja dalam penegakan hukum, meskipun tugasnya berbeda-beda dan secara intern mempunyai tujuan sendiri-sendiri, tetapi pada hakikatnya masing-masing subsistem dalam sistem peradilan pidana tersebut saling bekerjasama dan terikat pada satu tujuan yang sama. Hal ini bisa terjadi jika didukung perundang-undangan yang memadai, yang memungkinkan segenap subsistem dapat bekerja secara koheren, koordinatif dan integratif. Pengaturan hukum yang tidak memberikan jaminan hubungan antara subsistem seperti disebutkan di atas, akan menyebabkan terjadinya fragmentasi dalam penegakan hukum dan mengarah pada instansi sentris yang sangat tidak memungkinkan bagi terwujudnya sistem peradilan pidana yang terpadu. Model terpadu dalam penyelenggaraan peradilan pidana dapat dikaji dalam sistem peradilan pidana di Jepang yang memiliki karakteristik : a.adanya sistem pendidikan yang memadai dari para penegak hukum yang memungkinkan mereka memiliki pandangan yang sama dalam melaksanakan tugasnya. Seleksi untuk menjadi hakim, jaksa, dan pengacara dalam penyelenggaraan peradilan pidana dilaksanakan oleh organisasi pengacara di Jepang dan setelah mereka lulus, kemudian masuk dalam pendidikan yang sama yang dikoordinasikan oleh Mahkamah Agung Jepang; b. para penegak hukum profesional yang dicapai melalui pelatihan

yang baik dengan disiplin yang tinggi, serta terorganisir dengan baik; c. tujuan yang ingin dicapai adalah apa yang disebut sebagai precise justice atau keadilan yang pas ( tepat ). Konsep precise justice ini tampaknya merupakan kritik orang Jepang terhadap model peradilan pidana di Amerika Serikat yang menurut mereka hanya mengejar apa yang disebut sebagai layman justice ( keadilan orang-orang awam ); d. adanya partisipasi masyarakat yang tinggi akibat tingkat profesionalisasi yang dimiliki oleh aparat penegak hukum di Jepang. DAFTAR PUSTAKA Ansorie Sabuan, Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung, 1990. Herbert L. Packer, The Limit of Criminal Sanction, California : Stanfords University Press, 1968. M Faal, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Pradnya Paramita, Jakarta, 1991. Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1995. Romli Atmasasmita,1996, Sistem Peradilan pidana (Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme ), Binacipta, Bandung, 1996