Pelaksanaan Penyidik Diluar Wilayah Hukum Penyidik

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Pelaksanaan Penyidik Diluar Wilayah Hukum Penyidik"

Transkripsi

1 1 Pelaksanaan Penyidik Diluar Wilayah Hukum Penyidik Novelina M.S. Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Penyidikan suatu tindak pidana adalah merupakan salah satu rangkaian proses peradilan pidana dalam upaya mencari kebenaran material yang menjadi tujuan hukum acara pidana. Lazimnya penyidikan dilakukan di wilayah atau tempat di mana tindak pidana itu dilakukan sebab wilayah tersebut menjadi penentu bagi berwenang atau tidaknya penyidik melaksanakan penyidikan. Dengan demikian proses penyidikan seperti pemeriksaan TKP, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat dan pemeriksaan saksi serta terdakwa sudah seharusnya dilaksanakan di wilayah hukum penyidik yang berwenang untuk itu. Akan tetapi ada faktor-faktor tertentu yang menyebabkan penyidikan itu kadang kala harus dilakukan di luar wilayah hukum penyidik yang bersangkutan. Kata Kunci : Penyidikan, diluar wilayah, hukum Pendahuluan Hukum pidana memuat sanksi yang dapat dikenakan bagi orang yang melanggar ketentuannya. Pelanggaran terhadap hukum pidana disebut dengan kejahatan ataupun pelanggaran. Penerapan hukum pidana dalam upaya penegakan hukum pidana itu dilaksanakan melalui komponen sistem peradilan pidana (criminal justice system) yaitu institusi yang menjalankan penegakan hukum dengan segala proses yang berlangsung didalamnya yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan yang menjamin berjalannya proses peradilan pidana. Gagasan utama dari suatu sistem adalah melibatkan hubungan kerjasama di antara komponen-komponen yang ada di dalam sistem tersebut secara sengaja dan direncanakan untuk mencapai tujuan bersama. Oleh karena itulah, ciri umum dari suatu sistem bahwa kinerja suatu sub sistem akan mempengaruhi sub sistem lainnya sebagai bagian dari fungsi sistem secara keseluruhan. Sistem peradilan pidana (criminal justice system) sebagai suatu jaringan (network) peradilan menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidana. Di dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) ini terkandung gerak sistemik dari komponenkomponen pendukungnya, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kaitannya dengan uraian-uraian di atas, maka secara formal tugas kepolisian memainkan peranan penting dalam mekanisme sistem peradilan pidana, yaitu dengan memproses tersangka pelaku kejahatan pada tahap penyidikan dan mengajukannya ke penuntutan di pengadilan. Pelaksanaan tugas penyidikan pada dasarnya bukanlah mudah sebab sangat dibutuhkan kemampuan teknis yang cukup baik, kesabaran dan ketelitian.

2 2 ilmiah dosen upload : biro sistem informasi data & hubungan masyarakat@2013 Keberhasilan tugas penyidikan sangat menentukan keberhasilan penegakan hukum dan penentuan bersalah atau tidaknya seseorang yang diduga melakukan suatu tindak pidana. Tempat terjadinya suatu tindak pidana menjadi penentu dari kewenangan penyidik pada suatu resort kepolisian. Dengan demikian pada dasarnya penyidik hanya berwenang melakukan penyidikan ditempat mana tindak pidana itu telah terjadi. Akan tetapi adakalanya penyidik harus pula melakukan penyidikan di luar daerah/wilayah hukumnya disebabkan ada faktor-faktor tertentu yang memaksa hal itu harus dilaksanakan. Rumusan Masalah 1. Apa faktor-faktor penyebab dilaksanakannya penyidikan di luar wilayah hukum penyidik? 2. Bagaimana tata cara pelaksanaan penyidikan di luar wilayah hukum penyidik? 3. Apa saja kendala yang dihadapi penyidik dalam melaksanakan penyidikan di luar wilayah hukumnya? Metode Penelitian 1. Metode penelitian kepustakaan (library research) Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan akan diperoleh data sekunder yang bersumber dari buku-buku kepustakaan, perundang-undangan yang materinya sesuai dengan judul dan masalah yang telah dirumuskan. 2. Metode penelitian lapangan (field research) Metode ini dipakai dengan cara turun ke lapangan untuk memperoleh data primer. Lokasi penelitian yang dipilih adalah Polres Simalungun. Pembahasan a. Faktor faktor Penyebab Dilaksanakannya Penyidikan Diluar Wilayah Penyidik Pelaksanaan penyidikan diatur dalam hukum acara pidana, sebagai hukum yang mengatur bagaimana negara dengan alatalat perlengkapannya menggunakan wewenangnya untuk memproses hukum seseorang yang telah melakukan pelanggaran terhadap hukum pidana. Penyidikan bertujuan mencari bukti, sehingga dengan bukti itu dapat membuat terang tentang suatu tindak pidana dan tersangkanya pun dapat ditemukan. Tujuan penyidikan ini pun sebenarnya hanyalah merupakan tujuan antara dari tujuan hukum acara pidana yang sebenarnya yaitu mencari dan mendapatkan kebenaran material. Dalam upaya mewujudkan tujuan tersebut, maka sebenarnya penyidikan masih merupakan tahap awal dari suatu proses peradilan terhadap suatu tindak pidana yang terjadi. Akan tetapi proses/tahapan pertama ini menjadi penentu pula untuk proses selanjutnya yaitu tahap penuntutan dan selanjutnya tahap pemeriksaan dan pembuktian di sidang pengadilan sehingga pada akhirnya hakim dapat mengambil keputusan tentang bersalah atau tidaknya

3 3 Pelaksanaan Penyidik Diluar Wilayah Hukum Penyidik - Novelina M.S. Hutapea terdakwa dan dapat atau tidaknya terdakwa yang bersangkutan dijatuhi pidana. Dalam kegiatan penyidik untuk mengumpulkan bukti-bukti, diberikan kewenangan-kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu sehingga memungkinkannya untuk menyelesaikan penyidikan dan siap untuk diserahkan kepada penuntut umum. Termasuk di dalam kegiatan tersebut adalah melakukan tindakan di TKP (tempat kejadian perkara), sampai dengan tindakan-tindakan/upayaupaya yang bersifat memaksa, seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat-surat. Pada dasarnya wilayah (daerah) hukum yang menjadi kewenangan penyidik adalah wilayah (daerah) hukum dimana tindak pidana itu terjadi. Ketentuan ini sebenarnya tidak ada diatur secara tegas dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Akan tetapi apabila dihubungkan dengan ketentuan yang termuat dalam Pasal 84 sampai dengan Pasal 86 KUHAP tentang wewenang Pengadilan Negeri untuk mengadili suatu perkara pidana, maka hal ini dapat dimengerti bahwa ketentuan itu juga dapat menjadi pedoman untuk menentukan kewenangan penyidik pada suatu resort kepolisian tertentu dalam penentuan daerah hukumnya untuk melaksanakan suatu penyidikan. Berdasarkan Pasal 84 sampai Pasal 86 KUHAP ada beberapa hal yang dapat menjadi pedoman untuk menentukan kewenangan pengadilan negeri dalam mengadili suatu perkara pidana yang pada prinsipnya telah menentukan bahwa tempat/wilayah terjadinya tindak pidana adalah prioritas utama dalam, penentuan tentang pengadilan negeri mana yang berwenang mengadili suatu perkara, meskipun dalam beberapa hal tertentu, masih diberikan alternatif lain dalam penentuan kewenangan mengadili. Bertitik tolak dari ketentuan yang diatur dalam KUHAP, dapat lebih dipahami bahwa memang sudah sewajarnya penentuan kewenangan melaksanakan penyidikan haruslah dihubungkan dengan penentuan kewenangan mengadili dari suatu pengadilan negeri karena suatu wilayah (daerah) yang menjadi wilayah hukum penyidik dari suatu resort kepolisian adalah dibawah naungan wilayah (daerah) hukum suatu pengadilan negeri juga. Atas dasar penentuan daerah hukum penyidikan yang terutama adalah tempat terjadinya tindak pidana itu, maka pelaksanaan penyidikan itu pun pada umumnya selalu dilaksanakan oleh penyidik di tempat terjadinya suatu tindak pidana. Akan tetapi dalam beberapa kasus disebabkan faktorfaktor yang tertentu, penyidik terpaksa harus melaksanakan penyidikan suatu tindak pidana di luar daerah hukumnya. Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan penyidikan dilakukan di luar wilayah hukum penyidik, yaitu : 1. Tersangka melarikan ke luar kota atau daerah yang tidak menjadi bagian dari wilayah hukum penyidik dari tempat mana ia melarikan diri

4 4 ilmiah dosen upload : biro sistem informasi data & hubungan masyarakat@2013 Jika seorang tersangka melarikan diri setelah ia melakukan tindak pidana di suatu tempat, bukan menjadi alasan bagi penyidik untuk menghentikan suatu penyidikan. Di dalam ketentuan tentang syarat untuk dapat menghentikan suatu penyidikan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (2), Pasal 76, 77, dan 78 KUHAP, larinya tersangka bukanlah termasuk syarat yang ditentukan undang-undang. Oleh sebab itu larinya tersangka dari tempat dimana ia melakukan tindak pidana bukan berarti penyidikan dihentikan. Penyidik harus tetap mencari keberadaan tersangka agar proses pemeriksaan perkaranya pada tahap penyidikan dapat diselesaikan dan dilanjutkan ke tahap penuntutan. Penyidik terpaksa harus melakukan pencarian atas tersangka agar proses penyidikan tidak terhambat sekalipun pencarian itu harus dilakukan sampai ke luar wilayah/daerah hukum penyidik. Apabila tersangka ditemukan maka terhadapnya dilakukan penangkapan dan dibawa ke instansi kepolisian di wilayah hukum penyidik yang berwenang untuk diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana. 2. Barang bukti yang diperlukan untuk kepentingan pembuktian berada di luar wilayah hukum penyidik dan untuk itu perlu dilakukan penggeledahan Selain karena melarikan dirinya terdakwa, maka faktor keberadaan barang bukti di luar wilayah/daerah hukumnya penyidik juga dapat menjadi hal penyebab terjadinya penyidikan di luar daerah hukum penyidik yang bersangkutan. Dalam arti penyidik harus melakukan penggeledahan di suatu tempat guna menemukan barang bukti yang dibutuhkan untuk kepentingan pembuktian pada tahap penyidikan. Contoh : ketika tersangka melarikan diri sesuai dengan contoh yang diutarakan pada point 1 di atas, sekaligus pula ia menyembunyikan barang bukti hasil ataupun yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana di tempatnya melarikan diri tersebut. b. Tata Cara Pelaksanaan Penyidikan Diluar Wilayah Hukum Penyidik Pada prinsipnya tata cara melaksanakan penangkapan, pengge-ledahan ataupun penyitaan di luar wilayah/daerah hukum penyidik harus tetap memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam KUHAP. Meskipun sebagai lanjutannya ada beberapa tata cara dari pelaksanaan upaya-upaya paksa tersebut yang tidak lazim dilakukan bila tindakan tersebut dilakukan di dalam wilayah/daerah hukum penyidik itu sendiri. Pasal 17 KUHAP mengatur bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Tentang cara pelaksanaan penangkapan berdasarkan Pasal 18 KUHAP dilaksanakan sebagai berikut :

5 5 Pelaksanaan Penyidik Diluar Wilayah Hukum Penyidik - Novelina M.S. Hutapea 1. Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara RI. 2. Petugas yang diperintahkan me-lakukan penangkapan harus mem-perlihatkan surat tugasnya kepada tersangka yang hendak ditangkap. 3. Petugas yang telah memiliki surat tugas penangkapan harus pula memperlihatkan surat perintah penangkapan terhadap tersangka. Ketentuan khusus tentang penangkapan di luar wilayah hukum penyidik memang tidak ada diatur di dalam KUHAP, akan tetapi pelaksanaan penyidikan tersebut tampaknya akan lebih baik jika didampingi oleh penyidik setempat sebagaimana halnya pelaksanaan penggeledahan di luar wilayah hukum penyidik sesuai dengan ketentuan Pasal 36 KUHAP. Sesuai dengan ketentuan Pasal 36 KUHAP, bahwa pelaksanaan penyidikan di luar daerah hukumnya penyidik dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara : 1. Penyidik sendiri yang melakukan penggeledahan. Penggeledahan yang dilakukan langsung oleh penyidik di luar daerah hukumnya harus mempedomani ketentuan yang digariskan dalam Pasal 33 KUHAP, yaitu : a. Dengan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan. b. Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian negara RI dapat memasuki rumah. c. Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya. d. Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh Kepala Desa atau Kepala Lingkungan dengan dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir. e. Dalam waktu 2 hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan. Selain harus memenuhi ketentuan tersebut di atas tindakan tersebut berdasarkan Pasal 36 KUHAP harus pula dilaksanakan sebagai berikut : (1) Atas dasar surat izin penggeledahan yang dimintakan dari Ketua Pengadilan Negeri di tempat wilayah hukum kekuasaan penyidik yang bersangkutan, penyidik melaporkan hal itu kepada Ketua Pengadilan Negeri di daerah /tempat dimana penggeledahan akan dilaksanakan. Dengan demikian penyidik harus memberitahu dan melaporkannya kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat, dan memperlihatkan izin dari Ketua Pengadilan Negeri dari tempat wilayah hukumnya. (2) Selanjutnya dalam pelaksanaan penggeledahan penyidik didampingi oleh penyidik dari daerah hukum di tempat mana penggeledahan dila-kukan.

6 6 ilmiah dosen upload : biro sistem informasi data & hubungan masyarakat@ Penyidik tidak melaksanakan sendiri penggeledahan di luar wilayah hukumnya, tetapi meminta bantuan kepada penyidik setempat dimana penggeledahan akan dilakukan Pada tindakan seperti ini penyidik yang bersangkutan tidak langsung datang melakukan penggeledahan di luar daerahnya sendiri, tetapi ia minta bantuan kepada penyidik di daerah mana penggeledahan akan dilakukan. Dalam hal ini disamping surat permintaan bantuan kepada penyidik di daerah mana penggeledahan akan dilakukan, sekaligus penyidik tadi mengirimkan surat izin penggeledahan dari Ketua Pengadilan Negeri yang mempunyai wilayah hukum yang sama dengan penyidik yang meminta bantuan. Berdasar surat izin inilah penyidik yang dimintai bantuan, memberitahukan penggeledahan kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat mana penggeledahan akan dilaksanakan. Setelah segala sesuatunya selesai dilakukan oleh penyidik yang dimintai bantuan, secepat mungkin hasil dan berita acara penggeledahan segera disampaikan kepada penyidik yang meminta bantuan. Jika seandainya dalam penggeledahan tersebut tersangkanya ditangkap sesuai dengan maksud dan izin penggeledahan yang dikeluarkan pengadilan, tersangka harus segera diantarkannya ke tempat penyidik yang meminta bantuan atau penyidik itu sendiri dapat memberitahukan agar tersangka yang ditangkapnya segera diambil untuk dibawa ke tempat penyidik yang meminta bantuan. Sama halnya dengan penangkapan diluar wilayah hukum penyidik, maka penyitaan di luar wilayah hukum penyidik juga tidak ada ketentuannya di dalam KUHAP. Agar penyitaan di luar wilayah hukum itu tidak menjadi kekosongan hukum, maka hal itu dapat dijembatani dengan jalan mempergunakan penafsiran analogi atas ketentuan Pasal 36 KUHAP untuk pelaksanaan penyitaan di luar wilayah hukum penyidik yang bersangkutan. Dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 36 KUHAP, penyitaan di luar wilayah hukum penyidik, dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1. Penyidik yang bersangkutan melakukan sendiri penyitaan. Dalam hal ini penyitaan berpedoman pada ketentuan Pasal 33 dan Pasal 38 KUHAP : a. Ada surat izin penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri yang mempunyai wilayah hukum yang sama dengan penyidik yang bersangkutan. b. Harus melaporkan penyitaan yang hendak dilakukan Kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat mana penyitaan akan dilakukan dengan memperlihatkan surat izin Ketua Pengadilan Negeri dari wilayah hukum penyidik. c. Dalam pelaksanaan penyitaan, penyidik harus didampingi oleh pejabat penyidik setempat. d. Penyitaan harus disaksikan oleh Kepala Desa atau Ketua Lingkungan dan ditambah dengan dua orang saksi dari warga lingkungan setempat dimana penyitaan dilakukan.

7 7 Pelaksanaan Penyidik Diluar Wilayah Hukum Penyidik - Novelina M.S. Hutapea 2. Penyitaan dilaksanakan dengan meminta bantuan dari penyidik di tempat mana penyitaan akan dilakukan Dalam hal ini berarti penyitaan tidak dilaksanakan sendiri oleh penyidik yang bersangkutan, akan tetapi dimintakan bantuan kepada penyidik di daerah tempat benda sitaan. Pelaksanaan penyitaan dilakukan dengan cara mengirimkan surat izin penyitaan yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dari daerah hukum penyidik yang meminta bantuan kepada penyidik di daerah hukum tempat penyitaan akan dilakukan (yang dimintai bantuan). Selanjutnya penyidik yang dimintai bantuan harus melaporkan atau memberitahukan penyitaan kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat mana penyitaan akan dilakukan. c. Kendala-kendala yang Dihadapi Penyidik dalam Melaksanakan Penyidikan Diluar Wilayah Hukumnya Ada beberapa hal yang dapat dipaparkan sebagai kendala yang dihadapi penyidik dalam melaksanakan penyidikan di luar wilayah hukumnya, sebagai berikut : 1. Masalah jauh dan sulitnya menjangkau tempat dimana penyidik akan melaksanakan penangkapan Masalah ini berkaitan dengan batas waktu penahanan berdasarkan Pasal 19 ayat (1) KUHAP yang telah menentukan tidak boleh lebih dari satu hari (1x24 jam ). Lewat dari satu hari berarti telah terjadi pelanggaran hukum, dan dengan sendirinya penangkapan tidak sah. Konsekwensinya tersangka harus dibebaskan demi hukum. Dengan batas waktu penahanan yang hanya satu hari tersebut sudah dapat dibayangkan bila tempat penyidik akan melakukan penangkapan itu letaknya di tempat terpencil dengan jarak tempuh yang sangat sulit dan hanya dapat dijangkau dengan kenderaan seperti perahu kecil. Dengan kondisi yang demikian tidak mungkin penyidik dapat menyelesaikannya hanya dalam batas waktu satu hari saja, karena perjalanan untuk sampai ke tempat dan melakukan penangkapan kemudian kembali ke tempat dimana penyidik akan melakukan pemeriksaan mungkin membutuhkan waktu 3(tiga) hari sampai 1 (satu) minggu. Untuk mengatasi kendala tersebut maka, dalam praktek diatasi dengan cara sebagai berikut : a. Penangkapan dilakukan atau dipimpin sendiri oleh penyidik, sehingga dapat dilakukan pemeriksaan di tempat terdekat. b. Jika penangkapan dilakukan oleh penyelidik, maka penyidik mengeluarkan surat perintah kepada penyelidik untuk membawa dan menghadapkan tersangka kepada penyidik. Jadi bukan surat perintah penangkapan, tetapi surat perintah untuk membawa dan menghadapkan tersangka kepada penyidik. Surat perintah penangkapan baru dikeluarkan setelah tersangka berada di hadapan penyidik. 2. Kurangnya biaya dan sarana pendukung yang tidak memadai baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya.

8 8 ilmiah dosen upload : biro sistem informasi data & hubungan masyarakat@2013 Dalam beberapa kasus yang pernah ditangani penyidik, para tersangka sudah dilengkapi dengan sarana transportasi, komunikasi dan senjata yang cukup canggih dalam upayanya melarikan dan menyembunyikan diri, misalnya: kenderaan (mobil, sepeda motor atau perahu mesin serta senjata api) yang modern dan mutakhir. Sementara penyidik masih memiliki kenderaan ataupun senjata yang sederhana dan seadanya. Apabila sarana pendukung dalam pelaksanaan tugas penyidikan ini tidak dimiliki atau jauh kualitas maupun kuantitasnya dengan yang dimiliki para tersangka, sudah pasti penyidik tidak mampu mengimbangi upaya tersangka jika ia melarikan diri lagi dari pengejaran penyidik dan hal ini jelas merupakan kendala dalam pelaksanaan tugas penyidikan di luar wilayah hukum penyidik. Masalah biaya yang tidak cukup juga dapat menjadi kendala bagi penyidik karena selama melaksanakan tugasnya penyidik pasti membutuhkan logistik dan biaya transport. Tugas penyidikan bukanlah tugas yang mudah. Tugas itu membutuhkan waktu, pikiran dan tenaga dan pengorbanan yang cukup besar. Oleh karena itu harus didukung dengan biaya maupun sarana yang memadai. 3. Seluk beluk tempat penggeledahan akan dilakukan kurang dipahami oleh penyidik. Tidak dipahaminya tempat yang akan digeledah oleh penyidik dapat dipahami, sebab penyidik yang bersangkutan datang dari wilayah hukum yang lain. Adalah merupakan sesuatu yang wajar bila orang tidak mengenal dengan baik sesuatu yang tidak biasa dilihat atau dijamah ataupun ditelusuri. Demikian juga penyidik yang datang dari luar wilayah hukum tempat penggeledahan akan dilakukan mungkin merasa asing dan tidak memahami daerah dimana ia hendak melakukan penangkapan terhadap tersangka, mencari dan mendapatkan barang bukti dengan melakukan penggeledahan dan penyitaan. Kesimpulan dan Saran a. Kesimpulan 1. Penyidikan di luar wilayah hukum penyidik, dapat disebabkan adanya kemungkinan tersangka melarikan diri ke luar daerah setelah melakukan tindak pidana, atau barang bukti yang dibutuhkan untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan berada di luar wilayah hukum penyidik. 2. Pelaksanaan penyidikan di luar wilayah hukum dapat dilaksanakan sendiri oleh penyidik dengan didampingi oleh penyidik dari daerah hukum dimana penyidikan dilaksanakan ataupun tidak melaksanakan sendiri, akan tetapi meminta bantuan kepada penyidik di tempat mana penyidikan akan dilaksanakan.

9 9 Pelaksanaan Penyidik Diluar Wilayah Hukum Penyidik - Novelina M.S. Hutapea 3. Kendala-kendala yang dihadapi penyidik dalam melaksanakan penyidikan di luar wilayah hukumnya adalah ketika daerah untuk pelaksanaan penyidikan itu relatif sangat jauh jarak tempuhnya dan sulit dijangkau tanpa sarana pendukung yang cukup baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Demikian pula juga kurangnya pemahaman penyidik terhadap situasi dan keadaan tempat lain dimana penggeledahan akan dilaksanakan. b. Saran 1. Agar penyidik lebih dahulu mengumpulkan informasi yang cukup dan akurat tentang tersangka maupun tempat keberadaannya melarikan diri sebelum melaksanakan penangkapan di luar wilayah hukumnya penyidik demikian juga syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan penyidikan harus dilengkapi dengan sebaik-baiknya. 2. Agar instansi kepolisian (penyidik) terus meningkatkan kemampuan teknis dan profesionalnya sebagai penyidik dan melengkapi sarana-sarana pendukung kelancaran dan kesuksesan tugas penyidikan sebagai bagian dari proses peradilan pidana. 3. Agar penyidik tetap melakukan koordinasi, kerjasama dan menjalin hubungan yang baik dengan penyidik setempat dimana penyidik akan melakukan penyidikan untuk. Daftar Pustaka Bawengan Gerson W., Penyidikan Perkara Pidana dan Teknik Interogasi, Pradaya Paramita, Jakarta, Bassar M. Soedradjat, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, CV. Remaja Karya, Bandung, Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, Yayasan Pengayoman, Jakarta, Haris H., Pembaharuan Hukum Acara Pidana yang Terdapat dalam HIR, Bina Cipta, Jakarta, Husein Harun M., Penyidikan dan Penintutan dalam Proses Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, Kanter E.Y dan SR. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Storia Gloria, Jakarta, Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, Prints Darwan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantaran, Djambatan/ Yayasan CBH, Jakarta Mahya M. Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid I, Pustaka Kartini Penerbit Buku Bermutu, Jakarta, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Catatan : Tulisan ini telah dipublikasi pada Jurnal : Habonaron Do Bona; Edisi 3, Nopember 2010; ISSN :

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana 1 Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Adakalanya dalam pembuktian

Lebih terperinci

Peran dan Masalah yang Dihadapi Penyidik Polri dalam Proses Perkara Tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Peran dan Masalah yang Dihadapi Penyidik Polri dalam Proses Perkara Tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga 1 Peran dan Masalah yang Dihadapi Penyidik Polri dalam Proses Perkara Tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga Novelina MS Hutapea Dosen Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Dalam upaya penghapusan kekerasan

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu realita, bahwa proses sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, tidak dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyarakat. Proses

Lebih terperinci

Peranan Pembimbing Kemasyarakatan dalam Pengadilan Anak di Pematangsiantar. Abstrak

Peranan Pembimbing Kemasyarakatan dalam Pengadilan Anak di Pematangsiantar. Abstrak 1 Peranan Pembimbing Kemasyarakatan dalam Pengadilan Anak di Pematangsiantar Novelina M.S. Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Undang-undang Nomor 3

Lebih terperinci

Rekontruksi dalam Pemeriksaan Tersangka dan Permasalahannya

Rekontruksi dalam Pemeriksaan Tersangka dan Permasalahannya 1 Rekontruksi dalam Pemeriksaan Tersangka dan Permasalahannya - Novelina MS Hutapea Rekontruksi dalam Pemeriksaan Tersangka dan Permasalahannya Novelina MS Hutapea Dosen Fakultas Hukum USI Abstrak Pemeriksaan

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penyelidikan dan Penyidikan Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. adalah adanya kekuasaan berupa hak dan tugas yang dimiliki oleh seseorang

II. TINJAUAN PUSTAKA. adalah adanya kekuasaan berupa hak dan tugas yang dimiliki oleh seseorang 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Fungsi Lembaga Fungsi berasal dan kata dalam Bahasa Inggris function, yang berarti sesuatu yang mengandung kegunaan atau manfaat. Fungsi suatu lembaga atau institusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penganiayaan adalah: perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian. pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian

BAB I PENDAHULUAN. penganiayaan adalah: perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian. pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penganiayaan adalah istilah yang digunakan KUHP untuk tindak pidana terhadap tubuh. Namun KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut. Dalam kamus besar Bahasa

Lebih terperinci

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN Diajukan oleh: JEMIS A.G BANGUN NPM : 100510287 Program Studi Program Kekhususan

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

2011, No Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lemba

2011, No Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lemba BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.901,2011 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Tahanan. Pengeluaran. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-24.PK.01.01.01 TAHUN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Pemeriksaan Sebelum Persidangan Pemeriksaan Sebelum Persidangan Proses dalam hukum acara pidana: 1. Opsporing (penyidikan) 2. Vervolging (penuntutan) 3. Rechtspraak (pemeriksaan pengadilan) 4. Executie (pelaksanaan putusan) 5. Pengawasan

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

LAMPIRAN. 1. Apakah ada penyidik khusus untuk judi online? 5. Sebelum melakukan penangkapan, tindakan apa yang dilakukan oleh penyidik?

LAMPIRAN. 1. Apakah ada penyidik khusus untuk judi online? 5. Sebelum melakukan penangkapan, tindakan apa yang dilakukan oleh penyidik? LAMPIRAN A. Daftar Pertanyaan Wawancara Mengenai Penanggulangan Tindak Pidana Judi Online Yang Dilakukan Penyidik Subdit III Unit I Tipidum Dan Unit Cyber Crime Mabes Polri, Sebagai Berikut: 1. Apakah

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA LEMBAGA PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1 Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1 I. PENDAHULUAN Sebagai akibat aktivitas perekonomian dunia, akhir-akhir ini pemanfaatan hutan menunjukkan kecenderungan

Lebih terperinci

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto *

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto * Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum Cakra Nur Budi Hartanto * * Jaksa Kejaksaan Negeri Salatiga, mahasiswa Magister (S-2) Ilmu Hukum UNISSULA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.727, 2012 LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. Tata Cara. Pendampingan. Saksi. PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4.1 Kewenangan KPK Segala kewenangan yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penahanan Tersangka Penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN)

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) 3.5 Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) 3.5.1 Kewenangan Penyidikan oleh BNN Dalam melaksanakan

Lebih terperinci

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang BAB IV ANALISIS HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM UNTUK TERSANGKA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM PROSES PENYIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA JUNCTO UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016 PERTIMBANGAN YURIDIS PENYIDIK DALAM MENGHENTIKAN PENYIDIKAN PERKARA PELANGGARAN KECELAKAAN LALU LINTAS DI WILAYAH HUKUM POLRESTA JAMBI Islah 1 Abstract A high accident rate makes investigators do not process

Lebih terperinci

Bagian Kedua Penyidikan

Bagian Kedua Penyidikan Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA 2.1. Pengertian Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) Dan Terdakwa Sebelum masuk pada pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana selayaknya berbuat

Lebih terperinci

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra 90 V. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut : 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim

Lebih terperinci

KAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM

KAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM KAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM Oleh : Sumaidi ABSTRAK Penyitaan merupakan tindakan paksa yang dilegitimasi (dibenarkan) oleh undang-undang atau dihalalkan oleh hukum,

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap yang dilakukan oleh pelakunya. Dalam realita sehari - hari, ada

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap yang dilakukan oleh pelakunya. Dalam realita sehari - hari, ada 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan- peraturan yang menentukan perbuatan apa saja yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyidik berwenang melakukan penahanan kepada seorang tersangka. Kewenangan tersebut diberikan agar penyidik dapat melakukan pemeriksaan secara efektif dan efisien

Lebih terperinci

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP Oleh : LBH Jakarta 1. PENGANTAR Selama lebih dari tigapuluh tahun, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP diundangkan

Lebih terperinci

Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana (Studi di Kota Pematangsiantar)

Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana (Studi di Kota Pematangsiantar) 1 Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana (Studi di Kota Pematangsiantar) Novelina M.S. Hutapea* *Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Seorang

Lebih terperinci

MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-Ol.Hl.07.02 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN MANAJEMEN PENYIDIKAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang sedang dilaksanakan pemerintah meliputi semua aspek kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari semua aspek kehidupan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 58 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN PRESIDEN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas

Lebih terperinci

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI Sumber gambar http://timbul-lawfirm.com/yang-bisa-jadi-saksi-ahli-di-pengadilan/ I. PENDAHULUAN Kehadiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasar atas kekuasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan adanya perkembangan dan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung meningkat. Semakin pintarnya

Lebih terperinci

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack Vol. 23/No. 9/April/2017 Jurnal Hukum Unsrat Kumendong W.J: Kemungkinan Penyidik... KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1 Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Email:wempiejhkumendong@gmail.com Abstrack

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Norma ini bermakna bahwa di dalam Negara

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 12 BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 2.1. Pengaturan Alat Bukti Dalam KUHAP Alat bukti merupakan satu hal yang mutlak adanya dalam suatu persidangan. Macam-macam

Lebih terperinci

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.789, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPT. Kerjasama. Penegak Hukum. Penanganan Tindak Pidana. Terorisme PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-04/K.BNPT/11/2013

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembuktian merupakan tahap paling menentukan dalam proses peradilan pidana mengingat pada tahap pembuktian tersebut akan ditentukan terbukti tidaknya seorang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017 TENTANG PENANGANAN TINDAK PIDANA PERIKANAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesepuluh, Penelusuran Aset Penelusuran Aset. Modul E-Learning 3

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesepuluh, Penelusuran Aset Penelusuran Aset. Modul E-Learning 3 Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Kesepuluh, Penelusuran Aset 3.10 Penelusuran Aset Harta kekayaan yang berasal dari hasil kejahatan merupakan motivasi nafsu bagi tindak kejahatan itu sendi. Ibarat

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1961 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1961 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1961 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEJAKSAAN PRESIDEN, Menimbang : bahwa perlu diadakan Undang-undang tentang ketentuanketentuan pokok Kejaksaan agar supaya Kejaksaan Republik

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 5/Jul/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 5/Jul/2017 KEWENANGAN POLISI SELAKU PENYIDIK DALAM MELAKSANAKAN UPAYA PAKSA PENGGELEDEHAN DALAM PASAL 32-37 KUHP 1 Oleh: Firdaus Pasue 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana peran

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata. Indonesia

Lebih terperinci

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Badan ini yang dimaksud dengan: 1. Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESOR DOMPU STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR SAT RES NARKOBA

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESOR DOMPU STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR SAT RES NARKOBA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESOR DOMPU STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR SAT RES NARKOBA Dompu 2 Januari 2016 1 KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional. Pemberantasan korupsi

BAB III PENUTUP. bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional. Pemberantasan korupsi BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Umum Tindak pidana korupsi di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana terhadap kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelaku dan barang bukti, karena keduanya dibutuhkan dalam penyidikkan kasus

BAB I PENDAHULUAN. pelaku dan barang bukti, karena keduanya dibutuhkan dalam penyidikkan kasus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam setiap pelanggaran hukum yang menjadi perhatian adalah pelaku dan barang bukti, karena keduanya dibutuhkan dalam penyidikkan kasus pelanggaran hukum tersebut.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia adalah Negara Hukum ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 setelah perubahan ketiga. Hal ini berarti bahwa di dalam negara Republik

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. III/No. 2/April/2014

Lex Crimen Vol. III/No. 2/April/2014 TATA CARA PENYITAAN BARANG BUKTI TINDAK PIDANA MENURUT KUHAP 1 Oleh: Ukkap Marolop Aruan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan tata cara penyitaan barang

Lebih terperinci

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR - 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan manusia tidak terlepas dengan hukum yang mengaturnya, karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya sebuah hukum. Manusia

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN :

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2003 TENTANG PELAKSANAAN TEKNIS INSTITUSIONAL PERADILAN UMUM BAGI ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat bermacam-macam definisi Hukum, menurut P.Moedikdo arti Hukum dapat ditunjukkan pada cara-cara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketertiban dan keamanan dalam masyarakat akan terpelihara bilamana tiap-tiap anggota masyarakat mentaati peraturan-peraturan (norma-norma) yang ada dalam masyarakat

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 I. PEMOHON : MAYOR JENDERAL (PURN) H. SUWARNA ABDUL FATAH bertindak selaku perorangan atas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG KOORDINASI, PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penanganan dan pemeriksaan suatu kasus atau perkara pidana baik itu pidana

I. PENDAHULUAN. Penanganan dan pemeriksaan suatu kasus atau perkara pidana baik itu pidana 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penanganan dan pemeriksaan suatu kasus atau perkara pidana baik itu pidana umum maupun pidana khusus, seperti kasus korupsi seringkali mengharuskan penyidik untuk

Lebih terperinci

PEMECAHAN PERKARA (SPLITSING) DALAM PRA PENUNTUTAN

PEMECAHAN PERKARA (SPLITSING) DALAM PRA PENUNTUTAN PEMECAHAN PERKARA (SPLITSING) DALAM PRA PENUNTUTAN Oleh I Gusti Ayu Aditya Wati Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Makalah ini berjudul Pemecahan Perkara (Splitsing)

Lebih terperinci

Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan

Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan 1 Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk FH USI Di satu sisi masih banyak anggapan bahwa penjatuhan pidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS Setio Agus Samapto STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Didalam kecelakaan lalu - lintas yang

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS Setio Agus Samapto STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Didalam kecelakaan lalu - lintas yang

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2 AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2 ABSTRAK Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode yuridis normatif, di mana penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci