BAB I PENDAHULUAN. kasih sayang, dan perlindungan oleh orangtuanya. Sebagai makhluk sosial, anakanak

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memberikan sumbangan referensi dan menambah wawasan bagi penulis. Kajiankajian

Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA)

BAB I PENDAHULUAN. sewajarnya menjamin dan melindungi hak-hak anak, baik sipil, sosial, politik,

BAB 1 PENDAHULUAN. merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan mempunyai peranan

I. PENDAHULUAN. keberadaan pekerja anak telah memberikan kontribusi dalam perekonomian.

BAB I PENDAHULUAN. oleh orang dewasa. Hal ini disebabkan oleh anak-anak yang dianggap masih

BAB I PENDAHULUAN. dilahirkan mempunyai hak yang sama tanpa terkecuali. Kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. merupakan fenomena yang tidak asing lagi di dalam kehidupan masyarakat.

BAB III DESKRIPSI PENELANTARAN ANAK DALAM RUMAH TANGGA MENURUT UU NO.23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

BAB I PENDAHULUAN. feminisme yang berkembang mulai abad ke-18 telah menjadi salah satu penanda

DUKUNGAN SOSIAL PADA PEMBANTU RUMAH TANGGA USIA REMAJA DI BANYUMAS

I. PENDAHULUAN. Dalam hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penciptaan

BAB I PENDAHULUAN. Tidak jarang terlihat dalam keluarga kelas bawah untuk menambah pendapatan seluruh

BAB I PENDAHULUAN. perhatian perencanaan pembangunan, terutama di negara sedang berkembang, dan

BAB I PENDAHULUAN. dan pelanjut masa depan bangsa. Secara real, situasi anak Indonesia masih dan terus

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang eksis hampir di semua masyarakat. Terdapat berbagai masalah sosial

I. PENDAHULUAN. anak-anak yang putus sekolah karena kurang biaya sehingga. dan buruh pabrik tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga.

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERLANTAR

BAB I PENDAHULUAN. laku. Mulai dari kandungan sampai beranjak dewasa sampai tua manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. penduduk berpengaruh positif apabila perekonomian dapat menyerap tambahan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan Negara Hukum. Pengaturan ini termuat

BAB II FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT DALAM PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA PEREMPUAN YANG BERKERJA DI MALAM HARI

BAB II TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA ANAK DI KOTA DENPASAR

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERLANTAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG ESA

BAB I PENDAHULUAN. pekerja atau buruh. Oleh karena itu seorang tenaga kerja sebagai subyek

BAB I PENDAHULUAN. Anak adalah amanah sekaligus karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang

BAB I PENDAHULUAN. memberantas kemiskinan yang tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. di dunia. Masalah kemiskinan telah menyebabkan masalah lain muncul, salah

Bab I. Pendahuluan. Anak jalanan, anak gelandangan, atau kadang disebut juga sebagai anak mandiri,

I. PENDAHULUAN. Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang didalam

I. PENDAHULUAN. subjek dan objek pembangunan nasional Indonesia dalam usaha mencapai aspirasi

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai dampak negatif bagi generasi penerus bangsa. terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kekhasannya sendiri yang berbeda dengan lembaga pendidikan

WALI KOTA SAMARINDA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR... TAHUN... T E N T A N G

BAB I PENDAHULUAN. Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm., 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. orang tua. Seorang anak merupakan potensi yang sangat penting, generasi penerus

BAB I PENDAHULUHAN. A. Latar Belakang Penelitian. Kesenjangan ekonomi yang dihadapi oleh bangsa Indonesia pada saat ini

BAB I PENDAHULUAN. relasi antar individu yang kompleks Selain para penjual dan pembeli yang

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. positif pula. Menurut Ginnis (1995) orang yang optimis adalah orang yang merasa

PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. menjadi permasalahan sosial. Sebagian besar masyarakat memandang sebelah mata

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Indonesia merupakan negara maritim dengan luas laut seluas 64,85% dari

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi ketika seseorang pengunjung melakukan perjalanan. Pariwisata secara

BAB I PENDAHULUAN. Usia Pekerja Jumlah Pekerja Tahun Survei Tahun Tahun ±

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PELAYANAN TERHADAP HAK-HAK ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG,

BAB I PENDAHULUAN. generasi penerus bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan. memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.

BAB I PENDAHULUAN. Menengah Pertama Negeri (SMPN) inklusif di Kota Yogyakarta, tema ini penting

BAB I PENDAHULUAN. disabilitas yang tidak menyadari dengan potensi yang mereka miliki. Sudah

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG

13 PEMENUHAN KEBUTUHAN PENDIDIKAN ANAK ASUH DI PANTI SOSIAL ASUHAN ANAK

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan SDM yang optimal demi meningkatkan pembangunan. pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Hal ini di karenakan tidak

RANCANGAN QANUN KABUPATEN SIMEULUE NOMOR 22 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERLANTAR BISMILLAHIRRAHMANIRAHIM

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 29 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS SOSIAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

Jurnal GEA Jurusan Pendidikan Geografi Vol. 6, No.2, Oktoner 2006

FENOMENA ANAK JALANAN DI INDONESIA DAN PENDEKATAN SOLUSINYA Oleh : Budi H. Pirngadi

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan dan perkembangan fisik, sosial, psikologis, dan spiritual anak.

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia saat ini mudah dijumpai

KONVENSI KETENAKERJAAN INTERNASIONAL KONVENSI 182 MENGENAI PELARANGAN DAN TINDAKAN SEGERA PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK

PEKERJA ANAK. Dibahas dalam UU NO 13 Tahun 2003 Bab X Perlindungan, Pengupahan, dan Kesejaterahan Bagian 1 Paragraf 2.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai Negara berkembang sedang giat melakukan pemba

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Juanita Sari, 2015

BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. mengenai faktor-faktor yang tidak hanya berasal dari faktor demografi saja

BAB I PENDAHULUAN. pada dasarnya menunjukkan hukum alam yang telah menunjukkan kepastian.

RESUME. Situasi anak secara umum di India menunjukkan banyak. ketidakadilan yang serius yang dialami oleh anak-anak

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk mengurangi kemiskinan. Namun pertumbuhan ekonomi yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mencapai orang, yang terdiri atas orang lakilaki

PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA UTARA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK BAGI ANAK

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan derap laju pembangunan. Berbagai permasalahan tersebut antara lain

- 1 - WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting untuk menunjang

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk akan selalu diiringi oleh bertambahnya kebutuhan. Pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perkembangan kota-kota besar di Indonesia memacu pertumbuhan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

BAB IV HASIL PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut KHA definisi anak secara umum adalah manusia yang umurnya belum

Daya Mas Media Komunikasi dan Informasi Hasil Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat Volume 1 Nomor 2 September 2016; ISSN :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang

PERBEDAAN KEMATANGAN SOSIAL ANAK DITINJAU DARI KEIKUTSERTAAN PENDIDIKAN PRASEKOLAH (PLAYGROUP)

BAB I PENDAHULUAN. ( kekuatan posisi tawar (Bargaining Power) yang sejajar dengan pengusaha dan

BAB I PENDAHULUAN. Anak jalanan yang banyak diketahui adalah anak yang mengais rejekinya dari

Menjadi manajer di rumah sendiri, jauh lebih terhormat

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 48 TAHUN 2015 TENTANG KOMISI PENYELENGGARA PERLINDUNGAN ANAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja sangatlah terbatas (Suratiyah dalam Irwan, 2006)

2017, No d. bahwa upaya untuk memenuhi hak serta mempercepat perlindungan khusus bagi anak penyandang disabilitas perlu dikoordinasikan dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki

BUPATI PASER PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASER NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA BANDUNG TAHUN : 2007 NOMOR : 15 PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Manusia ditakdirkan oleh sang pencipta memiliki naluri dan hasrat atau

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anak merupakan bagian dari sebuah keluarga yang patut diberi perhatian, kasih sayang, dan perlindungan oleh orangtuanya. Sebagai makhluk sosial, anakanak senantiasa membutuhkan bantuan dari orang lain karena mereka memiliki kelemahan dan keterbatasan fisik, mental, maupun pengetahuan. Anak juga memiliki hak yang patut dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh setiap lapisan masyarakat agar tidak diperlakukan buruk oleh orang dewasa yang tidak bertanggung jawab. Berbagai kasus eksploitasi anak yang dijumpai di Indonesia seperti kasus buruh anak, anak jalanan, bisnis jual beli bayi, bisnis pelacuran anak, dan berbagai kasus eksploitasi anak lainnya menunjukkan masih rendahnya perlindungan hukum terhadap anak. Padahal dalam Konvensi PBB tentang Hak Anak Pasal 32 menyatakan bahwa negara mengakui hak anak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan pekerjaan yang berpotensi mengandung risiko bahaya, mengganggu pendidikan anak, membahayakan kesehatan atau perkembangan jasmani, mental, rohani, moral, dan sosial anak (Organisasi Perburuhan Internasional, 2009 : 24). Namun dalam aplikasinya di masyarakat, konvensi tersebut masih sebatas wacana dan negara Indonesia hingga saat ini belum optimal dalam menyelesaikan berbagai masalah eksploitasi anak. 1

2 Primandari (2013) dalam sebuah artikel berjudul Pekerja Anak Paling Banyak di Papua menuliskan bahwa Komnas Perlindungan Anak telah melansir data terkait kasus anak-anak selama semester pertama tahun 2013, dimana Samsul Ridwan selaku Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan Anak menyebutkan bahwa jumlah pekerja anak mencapai 4,7 juta jiwa di Indonesia. Menurut Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 berdasar hasil Sensus Penduduk 2010 (SP2010), menunjukkan bahwa jumlah anak berumur di bawah 18 tahun yaitu sekitar 81,4 juta orang atau sekitar 34,26 persen dari 237,6 juta jiwa penduduk Indonesia, yang terdiri dari 119,6 juta laki-laki dan 118,0 juta perempuan (Yusuf, 2012 : 5). Jadi dari 81,4 juta jumlah anak di Indonesia, 4,7 juta diantaranya merupakan pekerja anak yang patut mendapatkan perlindungan atas hak-haknya. Berkaitan dengan hal diatas, kota Denpasar sebagai bagian dari negara Indonesia berupaya memenuhi hak-hak anak tersebut dengan merealisasikan program Menuju Kota Layak Anak yang salah satunya mengacu pada Konvensi Hak Anak yang terdiri dari lima klaster hak anak yaitu (1). Hak sipil dan kebebasan, (2). Lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, (3). Kesehatan dasar dan kesejahteraan, (4). Pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan seni budaya, (5). Perlakuan khusus (Rosalin, 2011 : 7). Setda (2013) dalam artikel berjudul Pemkot Denpasar Raih Penghargaan Tertinggi Kota Layak Anak menyatakan bahwa Denpasar sebagai salah satu kota Menuju Kota Layak Anak di tahun 2015 telah mendapatkan penghargaan untuk kategori Madya pada tahun 2011 dan kategori Nindya pada tahun 2013 karena dianggap telah mampu memenuhi hak-hak anak dengan memberikan ruang

3 kreatifitas dan fasilitas bermain yang memadai, memerhatikan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dan penyandang disabilitas, serta berbagai upaya pemenuhan hak anak lainnya. Namun penghargaan yang diraih kota Denpasar tersebut rupanya menjadi hal yang miris ketika kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua anak di kota Denpasar memiliki kesempatan dalam menikmati haknya terutama bagi anak-anak yang hidup bersama orangtua dengan tingkat pendapatan rendah yang cenderung memanfaatkan tenaga dan waktu anak untuk bekerja demi menunjang pendapatan orangtua. Bahkan karena faktor ekonomi, orangtua baik secara sengaja atau terpaksa mengeksploitasi anaknya untuk memberikan sumbangan terhadap pendapatan keluarga dengan cara sewenang-wenang tanpa memperhitungkan batas-batas kewajaran dan hak anak. Hal ini dilakukan karena buruh anak dapat digaji murah, mudah diatur, tidak banyak menuntut, produktifitas tinggi, dan dalam beberapa sektor tertentu kualitas pekerjaan buruh anak lebih baik dibandingkan buruh dewasa (Sofian, 2012 : 45-46). Pernyataan diatas merupakan gambaran dari para tukang suun anak-anak yang bekerja di Pasar Badung, Denpasar-Bali. Tukang suun merupakan buruh pasar yang menjual jasa membawakan barang belanjaan pembeli dengan menggunakan keranjang yang dijunjung di atas kepala dan sebagian besar digeluti oleh kaum perempuan. Manthara (2011) dalam artikelnya yang berjudul Anakanak Tukang Suun Pasar Badung Bekerja Keras untuk Orangtua yang Mabuk menyebutkan bahwa terdapat sedikitnya 50 tukang suun anak-anak yang putus sekolah atau tidak pernah bersekolah sama sekali yang dipekerjakan oleh

4 orangtuanya karena sebagian besar dari tukang suun anak-anak tersebut berasal dari kalangan keluarga tidak mampu. Tukang suun anak-anak tersebut bekerja dari pagi hingga malam dan penghasilan yang diperoleh sangat tergantung kepada para pelanggan yang menggunakan jasa mereka. Beberapa dari mereka yang berusia 8-14 tahun menyatakan bahwa mereka ingin mengenyam pendidikan yang sama dengan anak-anak lain pada umumnya, namun orangtua mereka keberatan dengan alasan tidak mampu membiayai sekolah mereka. Ketika tim Bali Sruti yang merupakan salah satu lembaga peduli perempuan dan anak menawarkan kesempatan kepada mereka untuk bersekolah secara gratis dengan syarat harus tinggal di salah satu asrama di Denpasar, salah satu orangtua dari anak tersebut langsung menolak. Bahkan salah satu tukang suun anak-anak yang berusia delapan tahun meminta imbalan jika harus bersekolah dan tinggal di asrama. Ngurah (2013) dalam artikel berjudul Walikota Rai Mantra : Jangan Jadikan Anak Objek Produksi menyebutkan bahwa pemerintah Kota Denpasar telah menyediakan fasilitas belajar bagi tukang suun anak-anak dengan dibentuknya Sanggar Belajar Lentera Anak Bali (LAB) di lantai IV ruang aula Pasar Badung yang bekerja sama dengan LSM Lentera Anak Bali (LAB), Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPP), Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga (Disdikpora), Perusahaan Daerah (PD) Pasar Denpasar, serta Yayasan Rama Sesana untuk memberdayakan tukang suun anak-anak agar dapat mengenyam pendidikan secara gratis. Pihak PD Pasar kota Denpasar juga telah memasang pengumuman tertulis di beberapa tembok menuju lantai II Pasar

5 Badung yang menyatakan bahwa anak-anak yang belum berusia 18 tahun dilarang berjualan atau menjadi buruh pasar. Namun upaya tersebut terlihat belum efektif dalam menggerakkan tukang suun anak-anak untuk mengikuti kegiatan belajar gratis karena pada kenyataannya tukang suun anak-anak tersebut tetap melakukan pekerjaan seperti biasa dan berada di bawah eksploitasi orangtuanya. Pekerjaan sebagai tukang suun merupakan pekerjaan yang membutuhkan waktu kerja yang panjang serta kondisi fisik dan mental yang kuat sehingga pekerjaan tersebut tidak sesuai dengan kondisi anak-anak. Anak-anak seharusnya mendapatkan pemenuhan atas hak-haknya seperti hak untuk mendapatkan perlindungan dan kasih sayang orangtuanya, pendidikan yang layak, beristirahat, ataupun hak untuk bermain dan bersosialisasi di lingkungan sekitarnya. Selain itu dalam pekerjaan yang dilakoninya, tidak jarang tukang suun anak-anak tersebut harus bekerja dalam waktu yang cukup panjang, menjunjung beban barang belanjaan pelanggan yang cukup berat, berada pada lokasi kerja yang sebagian besar dipenuhi oleh orang dewasa dengan bangunan pasar yang luas dan bertingkat, serta situasi pasar yang kotor dan bau. Melibatkan anak-anak dalam dunia kerja dengan kondisi perekonomian keluarga yang sangat mendesak diperbolehkan di Indonesia selama mengacu pada standar Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 1 Tahun 1967 tentang Anak-anak yang Terpaksa Bekerja yang menjelaskan bahwa boleh mempekerjakan anak diatas usia 14 tahun dengan ketentuan pekerjaan tersebut tidak di lokasi yang berbahaya, jam kerja tidak lebih dari empat jam per hari, dan anak tetap dibolehkan untuk sekolah (Sofian, 2012 : 47). Namun sebagai keluarga dengan

6 tingkat pendidikan dan perekonomian yang rendah, orangtua tukang suun anakanak tidak mengetahui peraturan dari Menteri Tenaga Kerja tersebut sehingga mereka melibatkan anak-anaknya untuk bekerja demi menunjang pendapatan keluarga tanpa mempedulikan peraturan yang telah ditetapkan. Fenomena tukang suun anak-anak yang bekerja di Pasar Badung merupakan hal yang cukup memprihatinkan khususnya bagi tukang suun anakanak tersebut terkait dengan dampak negatif yang diakibatkan dari bekerjanya anak-anak di usia dini. Hal ini diutarakan oleh Woodhouse (dalam Suyanto, 2013 : 122-123) yang menyatakan bahwa isu sentral pekerja anak di Indonesia bukan terletak pada pekerjaannya, tetapi pada pengaruh negatif akibat terlalu dini bekerja, termasuk kurangnya kesempatan anak-anak itu untuk memperoleh pendidikan. Orangtua tukang suun anak-anak dan beberapa kalangan masyarakat justru tidak memandang hal tersebut sebagai masalah yang cukup serius dan lebih menganggapnya sebagai pekerjaan yang wajar bila dilakukan oleh anak-anak. Sebagai keluarga miskin dengan tingkat pendidikan rendah, anak-anak cenderung tidak mengetahui apa yang menjadi haknya, menganggap benar segala sesuatu yang diucapkan orangtuanya, dan menuruti apa yang diinginkan oleh orangtuanya. Hal ini disebabkan karena anak-anak hanya memiliki pengetahuan dan kekuatan yang terbatas bila dibandingkan dengan orangtuanya. Walaupun anak-anak juga memiliki hak untuk menyampaikan pendapat termasuk juga menyampaikan ketidaksetujuan akan suatu hal yang bertentangan dengannya, orangtualah yang tetap mengambil keputusan untuk anaknya karena orangtua dalam hal ini berkedudukan sebagai pemegang kuasa atas anak.

7 Adanya fenomena anak-anak yang bekerja untuk membantu orangtua di satu sisi merupakan sesuatu yang luhur, namun di sisi lain menjadi hal yang tidak manusiawi bila tidak memperhatikan standar peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 1 Tahun 1967 terlebih lagi bila anak-anak tersebut tidak mendapatkan pemenuhan atas hak-haknya. Bagaimanapun juga mempekerjakan anak-anak tanpa memperhatikan batas kewajaran dan hak-hak anak serta standar peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 1 Tahun 1967 berarti telah menjamah hak-hak anak yang seharusnya wajib untuk dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh setiap lapisan masyarakat terutama orangtua. Orangtua sebagai bagian dari sebuah keluarga seharusnya tidak mengeksploitasi anak-anak mereka untuk alasan apapun karena sebagai sebuah sistem sosial terkecil dalam suatu masyarakat, keluarga merupakan agen yang berperan penting bagi cerminan pribadi dan kehidupan anak di masa yang akan datang. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka terdapat beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Apa yang melatarbelakangi kemunculan tukang suun anak-anak di Pasar Badung? 2. Bagaimana bentuk eksploitasi orangtua terhadap anak yang bekerja sebagai tukang suun di Pasar Badung? 3. Bagaimana dampak eksploitasi orangtua bagi anak yang bekerja sebagai tukang suun di Pasar Badung?

8 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.3.1. Tujuan Umum Mengetahui, mendeskripsikan, dan memahami permasalahan anak khususnya eksploitasi orangtua terhadap anak yang bekerja sebagai tukang suun di Pasar Badung. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Mengetahui dan mendeskripsikan latar belakang kemunculan tukang suun anak-anak di Pasar Badung. 2. Mengetahui dan mendeskripsikan bentuk-bentuk eksploitasi orangtua terhadap anak yang bekerja sebagai tukang suun di Pasar Badung. 3. Mengetahui dan mendeskripsikan dampak negatif dari eksploitasi orangtua bagi anak yang bekerja sebagai tukang suun di Pasar Badung. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat, diantaranya adalah sebagai berikut.

9 1.4.1. Manfaat Teoritis 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi, referensi, dan inspirasi bagi para pembaca serta dapat memberikan sumbangan yang berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pada ilmu Sosiologi. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tolok ukur dan menggugah minat peneliti selanjutnya untuk meneliti hal-hal yang belum dikaji pada penelitian ini baik pada lokasi dan subjek penelitian yang sama atau pada lokasi dan subjek penelitian lainnya. 1.4.2. Manfaat Praktis 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca dalam memberikan informasi yang berguna kapada masyarakat luas untuk meminimalisir bentuk-bentuk eksploitasi anak. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi tukang suun anak-anak agar mereka dapat memahami dan menikmati hal-hal yang seharusnya menjadi haknya sehingga mereka dapat membantu orangtua dengan cara yang wajar. 3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membuka pola pikir orangtua tukang suun anak-anak terhadap dampak negatif dari bahaya anak yang bekerja di usia dini. 4. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam membangkitkan perhatian pemerintah kota Denpasar termasuk juga pihak PD Pasar

10 kota Denpasar dan Sanggar Belajar Lentera Anak Bali (LAB) untuk mengatasi permasalahan tersebut dan meminimalkan berbagai bentuk tindak eksploitasi anak berkaitan dengan program kota Denpasar Menuju Kota Layak Anak pada tahun 2015.