Efektivitas imunoterapi terhadap gejala, temuan nasoendoskopik dan kualitas hidup pasien rinosinusitis alergi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSU PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER Elia Reinhard

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

Korelasi otitis media dengan temuan nasoendoskopi pada penderita rinosinusitis akut

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

ABSTRAK GAMBARAN ALERGEN PASIEN RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN

Adaptasi Budaya, Alih Bahasa Indonesia, dan Validasi Sino-Nasal Outcome Test (SNOT)-22

Pengaruh imunoterapi spesifik terhadap adenoid pada pasien rinitis alergi

Efektivitas Pelargonium sidoides terhadap penurunan gejala rinosinusitis kronik alergi tanpa polip disertai gangguan tidur

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dilakukan di klinik alergi Bagian / SMF THT-KL RS Dr. Kariadi

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. Rinitis alergika merupakan penyakit kronis yang cenderung meningkat

Pahmi Budiman Saputra Basyir 1, Teti Madiadipoera 1, Lina Lasminingrum 1 1

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

KUESIONER PENELITIAN RINITIS ALERGI

PROFIL PASIEN RHINITIS ALERGI DI RUMAH SAKIT PHC SURABAYA TAHUN 2013

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA

BAB 3 METODE PENELITIAN

HUBUNGAN SKOR LUND-MACKAY CT SCAN SINUS PARANASAL DENGAN SNOT-22 PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS TESIS IRWAN TRIANSYAH

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengganggu aktivitas sosial (Bousquet, et.al, 2008). Sebagian besar penderita

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB 4 METODE PENELITIAN

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB 1 PENDAHULUAN. imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu,

PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS SETELAH DILAKUKAN BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL DENGAN ADJUVAN

Lampiran 1 Lembar Penjelasan Subjek Penelitian

BAB IV METODE PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

BAB 3. METODA PENELITIAN. Tenggorok sub bagian Alergi dan Imunologi. Waktu penelitian : tahun

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Peningkatan kualitas hidup penderita rinitis alergi paska imunoterapi spesifik (Penelitian Pendahuluan)

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT

HUBUNGAN IMUNOTERAPI DOSIS ESKALASI TERHADAP PERUBAHAN RASIO IL-4/IFN- DAN PERBAIKAN GEJALA KLINIK PENDERITA RINITIS ALERGI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA RIWAYAT ALERGI KELUARGA, LAMA SAKIT DAN HASIL TES KULIT DENGAN JENIS DAN BERATNYA RINITIS ALERGI ARTIKEL

BAB I PENDAHULUAN. paranasaldengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan

Perbandingan efektivitas flutikason furoat intranasal dengan dan tanpa loratadin oral pada penderita rinitis alergi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Perbandingan efektivitas flutikason furoat intranasal dengan dan tanpa loratadin oral pada penderita rinitis alergi

PROBLEM BASED LEARNING SISTEM INDRA KHUSUS

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Efektivitas larutan cuci hidung air laut steril pada penderita rinosinusitis kronis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronik, kambuhan, dan sangat gatal yang umumnya berkembang saat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Mekanisme alergi tersebut akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen

KUALITAS HIDUP MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN DENGAN RINITIS ALERGI DAN FAKTOR- FAKTOR YANG BERPENGARUH LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis alergi (RA) merupakan rinitis kronik non infeksius yang paling

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi merupakan penyakit peradangan pada. sistem pernapasan yang disebabkan oleh reaksi alergi

DIAGNOSIS CEPAT (RAPID DIAGNOSIS) DENGAN MENGGUNAKAN TES SEDERHANA DARI SEKRET HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS

BAB V PEMBAHASAN. subyek pengamatan yaitu penderita rinosinusitis kronik diberi larutan salin isotonik

HUBUNGAN RINITIS ALERGI DENGAN KEJADIAN ASMA BRONKIAL PADA SISWA/I SMPN 1 MEDAN. Oleh: JUNIUS F.A. SIMARMATA

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga

TUGAS JURNAL LATIHAN PERNAFASAN HIDUNG DAN PENGARUHNYA TERHADAP RHINITIS ALERGI

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN ANTARA KONTROL ASMA dengan KUALITAS HIDUP ANGGOTA KLUB ASMA di BALAI KESEHATAN PARU MASYARAKAT SEMARANG

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung

FAKTOR PREDISPOSISI TERJADINYA RINOSINUSITIS KRONIK DI POLIKLINIK THT-KL RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

PENDERITA TONSILITIS DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO JANUARI 2010-DESEMBER 2012

PROFIL PASIEN RINOSINUSITIS KRONIS DI RUMAH SAKIT PHC SURABAYA TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. bahan kimia atau iritan, iatrogenik, paparan di tempat kerja atau okupasional

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

Radiotherapy Reduced Salivary Flow Rate and Might Induced C. albicans Infection

Eosinofil Kerokan Mukosa Hidung Sebagai Diagnostik Rinitis Alergi. Nasal Scrapping Eosinophil As a Diagnostic Test for Allergic Rhinitis

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan penyakit yang menduduki peringkat pertama penyebab

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang menderita asma hingga saat ini. Prevalensi asma di Indonesia tahun 2003

The effectiveness of sterile seawater for nose rinsing solution on chronic Rhinosinusitis patient based on nasal patency and quality of life

Transkripsi:

Laporan Penelitian Efektivitas imunoterapi terhadap gejala, temuan nasoendoskopik dan kualitas hidup pasien rinosinusitis alergi Yuwan Pradana, Teti Madiadipoera, Melati Sudiro, Arif Dermawan. Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok - Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran - Rumah Sakit Dr.Hasan Sadikin Bandung-Indonesia ABSTRAK Latar belakang: Rinosinusitis merupakan salah satu masalah kesehatan yang semakin meningkat sehingga menjadi beban besar terhadap perekonomian masyarakat. Dengan gejala berupa hidung tersumbat, rinore, nyeri pada wajah dan dapat disertai berkurang atau hilangnya penciuman, kondisi ini dapat menurunkan produktivitas kerja dan kualitas hidup. Rinosinusitis merupakan salah satu komorbiditas dari rinitis alergi. Imunoterapi alergen spesifik bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap timbulnya gejala alergi dan reaksi inflamasi akibat pajanan alergen, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien rinosinusitis. Tujuan: Membuktikan efektivitas imunoterapi terhadap tingkat beratnya penyakit, gejala hidung, nasoendoskopi, penggunaan obat dan kualitas hidup pasien rinosinusitis alergi yang diberikan pengobatan imunoterapi selama 3, 6, dan 12 bulan. Metode: Dilakukan penelitian deskriptif retrospektif, di Poliklinik Rinologi Alergi Ilmu Kesehatan THT-KL RSHS Bandung, dalam periode Januari- Desember 2011 pada 25 pasien, menggunakan anamnesis, tingkat berat penyakit berdasarkan Visual Analogue Scale (VAS), gejala hidung berdasarkan Weeke, Davis dan Okuda, pemeriksaan nasoendoskopi berdasarkan Lund-Kennedy, penggunaan obat dan penilaian kualitas hidup dengan Rhinoconjuctivitis Quality of Life Questionaire. Hasil: Didapatkan hubungan bermakna berdasarkan uji chi-kuadrat-friedman antara imunoterapi selama 1 tahun (p<0,05) terhadap penurunan tingkat berat penyakit, penurunan gejala hidung, perbaikan temuan nasoendoskopi, penurunan penggunaan obat, serta peningkatan kualitas hidup. Didapat perbaikan secara bermakna sejak 3 bulan pasca imunoterapi (p<0,001) berdasarkan uji beda Wilcoxon. Kesimpulan: Imunoterapi selama 1 tahun efektif terhadap penurunan tingkat berat penyakit, penurunan gejala hidung, perbaikan temuan nasoendoskopi, penurunan penggunaan obat, serta peningkatan kualitas hidup pada pasien rinosinusitis alergi, dengan perbaikan sejak 3 bulan dan bertahan hingga 1 tahun pasca-imunoterapi. Kata kunci: rinosinusitis alergi, gejala hidung, nasoendoskopi, imunoterapi, kualitas hidup ABSTRACT Background: Rhinosinusitis is one of major health problems which increased the economic burden. With symptoms include nasal congestion, rhinorrhea, facial pain, and sometimes reduced or loss of smell, this condition may impair work productivity and quality of life (QOL). Rhinosinusitis is one of the comorbidity of allergic rhinitis. Allergen specific immunotherapy provides protection against the occurence of allergic symptoms and inflammatory reactions due to allergen exposure, that results in improvement of QOL of allergic rhinosinusitis patients. Objective: To assess the effectiveness of immunotherapy in the severity of the disease, nasal symptoms, nasoendoscopic findings, drugs intake, and the QOL in allergic rhinosinusitis patients treated with specific immunotherapy. Methods: A retrospective descriptive study conducted at the Rhinology-Allergy Clinic of ORL-HNS Department, Dr.Hasan Sadikin General Hospital, 88

ORLI Vol. 42 No. 1 2 Tahun 2012 Bandung, on January - December 2011, towards 25 patients, by anamnesis, severity of the disease using Visual Analogue Scale (VAS), nasal symptoms from Weeke, Davis and Okuda, nasoendoscopic findings from Lund-Kennedy, drug intake score, and QOL assesment using Rhinoconjuctivitis Quality of Life Questionaire. Results: There was a significant correlation (p<0,05) between specific immunotherapy for 1 year observed by reduced disease severity, reduced nasal symptoms, nasoendoscopic findings improvement, reduced drug intake, and increased Quality of Life which shows significant results from 3 months after immunotherapy using Wilcoxon differential test (p<0,001). Conclusion: Immunotherapy for 1 year was significantly reduced disease severity, reduced nasal symptoms, improved nasoendoscopic findings, reduced drug intake, and improvement of QOL in patients with allergic rhinosinusitis began from 3 months after immunotherapy and maintained afterwards. Key words: allergic rhinosinusitis, nasal symptoms, nasoendoscopy, specific immunotherapy, quality of life Alamat korenspondensi: Yuwan Pradana, Departemen THT-KL UNPAD-RSHS. Jl. Pasteur 38, Bandung. Email : yuwanpradana@yahoo.com PENDAHULUAN Rinosinusitis merupakan salah satu masalah kesehatan yang semakin meningkat sehingga menjadi beban besar terhadap perekonomian masyarakat. Rinosinusitis merupakan inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal, ditandai dengan dua atau lebih gejala, dengan salah satu gejala harus mencakup hidung tersumbat, adanya sekret hidung, nyeri wajah/ tekanan di daerah sinus atau berkurangnya/hilangnya penciuman. Rinosinusitis akut apabila gejala berlangsung kurang dari 12 minggu dan mengalami resolusi komplit. Rinosinusitis kronik apabila gejala berlangsung selama 12 minggu atau lebih, tanpa adanya resolusi komplit dari gejala dan ditemukan tanda eksaserbasi. 1 Rinitis alergi merupakan suatu gejala yang timbul akibat reaksi inflamasi pada hidung yang di perantarai Imunoglobulin E (IgE) setelah adanya pajanan alergen pada mukosa hidung. Rinitis alergi merupakan komorbiditas rinosinusitis. Pada berbagai penelitian telah dibuktikan secara nyata kontribusi dari penyakit alergi pada pasien-pasien rinosinusitis kronik. 1,2 Data di bagian Rinologi-Alergi Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher (THT-KL) Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) pada tahun 2008 ditemukan komorbiditas pasien rinitis alergi berupa rinosinusitis sebanyak 75%. 3 Sedangkan pada tahun 2010, di tempat yang sama, angka kejadian rinosinusitis sebesar 44%. 4 Pada tahun 2008, berdasarkan National Health Interview Survey, rinosinusitis diderita oleh 1 dari 7 orang dewasa. Sekitar 12,5% populasi masyarakat di Amerika Serikat menderita rinosinusitis. Sedangkan prevalensi alergi pada pasien rinosinusitis (baik dengan ataupun tanpa polip nasi) yaitu diperkirakan mencapai hingga 60% dibandingkan dengan 30%-40% pada populasi pada umumnya. 5 Rinosinusitis merupakan salah satu komorbiditas dari rinitis alergi, reaksi inflamasi yang diperantarai oleh IgE dapat menyebabkan inflamasi dan obstruksi ostium sinus sehingga mengakibatkan terjadinya rinosinusitis. Respon alergi hidung yang diperantarai IgE akibat dari degranulasi sel mast dan basofil sehingga terjadi penglepasan mediator-mediator inflamasi dan menghasilkan gambaran klinis yang umum dari rinitis berupa obstruksi hidung. Inflamasi kronik dapat menyebabkan sumbatan pada ostium sinus, perubahan mekanisme transpor mukosilier dan stasis mukus. Pada saat ini terapi medikamentosa yang menjadi pilihan pertama pada pasien rinosinusitis antara lain cuci hidung, steroid intranasal, antibiotik, steroid sistemik, dekongestan, mukolitik, antihistamin, antimikosis, immunomodulator/immunostimulan, dan antileukotrien. 1 Pada pasien dengan rinitis alergi sedang berat, ARIA-WHO merekomendasikan untuk dilakukan imunoterapi yaitu berupa 89

penyuntikan alergen spesifik berulang secara teratur dengan dosis meningkat bertahap kepada pasien dengan gejala hipersensitivitas tipe I, untuk memberikan perlindungan terhadap timbulnya gejala alergi dan reaksi inflamasi akibat pajanan alergen. 6 Hasil penelitian Rizayani tahun 2011 di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSHS didapatkan efektivitas perbaikan total skor gejala hidung, kualitas hidup dan skor nasoendoskopi pada subjek rinitis alergi yang menjalani imunoterapi alergen spesifik selama 3 tahun. 7 Begitu pula Madiadipoera 8 tahun 2001 pada penelitian imunoterapi sebagai terapi rinitis alergi didapatkan adanya penurunan gejala penyakit, penurunan gejala kekantukan dan kekantukan disiang hari, serta peningkatan kualitas hidup yang diukur dengan multiple sleep latency test. Sedangkan Dermawan 9 tahun 2006 menyatakan adanya perbedaan perbaikan total skor gejala hidung dan kualitas hidup pada subjek rinitis alergi yang menjalani pengobatan imunoterapi alergen spesifik tungau debu rumah dengan pengobatan medikamentosa setirizin. Penelitian terhadap efektivitas imunoterapi alergen spesifik terhadap pasien rinosinusitis alergi dan kualitas hidup berdasarkan Rhinoconjunctivitis Quality of Life questionnaire dan skor penggunaan obat pasien di Poliklinik alergi THT-KL RS Hasan Sadikin (RSHS)/FK Universitas Padjadjaran (FKUP) Bandung belum pernah dilakukan. Atas dasar ini peneliti ingin meneliti gambaran efektivitas imunoterapi alergen spesifik selama 1 tahun pada pasien rinosinusitis alergi. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan efektivitas imunoterapi alergen spesifik pada pasien rinosinusitis alergi dengan menilai tingkat beratnya penyakit, total skor gejala hidung, gangguan kualitas hidup, skor nasoendoskopi, dan skor penggunaan obat pascaimunoterapi selama 3, 6, dan 12 bulan. METODE Penelitian ini adalah penelitian deskriptif retrospektif terhadap 25 pasien yang berobat ke poliklinik Rinologi Alergi THT-KL RSHS/FKUP selama periode Januari - Desember 2011. Sampel adalah pasien yang telah terdiagnosis sebagai pasien rinosinusitis kronik disertai rinitis alergi yang sudah dilakukan tes kulit tusuk dan bersedia menjalani imunoterapi. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik diagnostik THT termasuk kriteria inklusi dan eksklusi. Termasuk kriteria inklusi yaitu pasien rinosinusitis kronis akibat rinitis alergi yang menjalani imunoterapi, sedangkan kriteria eksklusi adalah pasien rinosinusitis kronis dengan etiologi non-alergi, pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal, serta pasien dengan deviasi septum. Penelitian dilakukan pada pasien yang telah menjalani imunoterapi selama 3, 6, dan 12 bulan. Dilakukan penilaian tingkat berat gejala rinosinusitis kronik berdasarkan keluhan subjektif yang diderita pasien menurut EP3OS berupa rinore, hidung tersumbat, nyeri/ rasa tertekan di wajah dan gangguan penghidu. Penggunaan Visual Analog Scale (VAS) telah terbukti relevan secara klinis dalam mengukur tingkat berat tiap gejala subjektif yang dirasakan pasien. Pasien diminta menilai berat ringannya keluhan berdasarkan gambar dan dianalogikan ke dalam skala 0 yaitu tidak ada keluhan sampai skala 10 keluhan sangat berat dan dikelompokkan menjadi 3 golongan yaitu ringan (skala 0-3), sedang (skala 4-7), dan berat (skala >7). 1,10,11 Penilaian skor total gejala hidung berdasarkan semikuantitatif nasal score system dari Weeke, Davies dan Okuda yaitu gejala hidung bersin, rinore, serta hidung tersumbat dan gejala mata: skor 0 bila tidak terdapat gejala hidung dan mata; skor 1 (ringan) bila gejala tersumbat sebagian, pilek <3 jam/hari, bersin <5 kali pada serangan/ hari, gatal hidung ringan, gejala mata gatal ringan; skor 2 (sedang) bila hidung tersumbat sebagian, pilek >3 jam/hari, tetapi tidak seharian, gatal hidung sedang, gatal mata sedang dengan bengkak dan mata berair tetapi tidak seharian; skor 3 (berat) bila gejala sumbatan hidung total, hampir sepanjang hari, pilek sepanjang hari, bersin >15 kali per serangan/hari, gatal hidung 90

berat, gatal mata berat, bengkak hebat, dan berair berat. Sementara pada pengurangan skor total gejala hidung dikategorikan menjadi: tidak efektif (pengurangan skor <30%), sedikit efektif (pengurangan skor antara 31%-50%), memuaskan (pengurangan skor antara 51%-70%) dan sangat efektif (pengurangan skor > 71%). 12 Penilaian berdasarkan skor nasoendoskopi, dinilai ada tidaknya edema mukosa dan sekret hidung berdasarkan kriteria Lund dan Kennedy. Skor sekret terdiri dari: skor 0 tidak didapatkan sekret hidung; skor 1 sekret encer dan bening; skor 2 sekret purulen dan kental. Skor edema mukosa terdiri dari: skor 0 yaitu tidak didapatkan edema mukosa; skor 1 edema mukosa ringan; skor 2 edema mukosa berat. 13 Penilaian kualitas hidup berdasarkan wawancara menggunakan Rhinoconjuntivitis Quality of Life questionnaire dengan domain aktivitas, gangguan tidur, gejala non-hidung, masalah praktis, gejala hidung, gejala mata, dan emosi. Kriteria derajat gangguan terhadap tiap domain yaitu not troubled dengan nilai 0, hardly troubled at all dengan nilai 1, somewhat troubled dengan nilai 2, moderately troubled dengan nilai 3, quite a bit troubled dengan nilai 4, very troubled dengan nilai 5, dan extremely troubled dengan nilai 6. 14 Pasien diizinkan untuk menggunakan obat bila diperlukan dan skor dinilai dengan ketentuan: skor 1 yaitu satu dosis antihistamin oral/nasal; skor 2 satu dosis kortikosteroid topikal; dan skor 3 satu dosis kortikosteroid oral. Skor ini dianalisis pada awal penelitian dan tiap 1 minggu sebelum dilakukan penyuntikan imunoterapi pada 3, 6, dan 12 bulan pasca-imunoterapi. 12 Imunoterapi alergen spesifik yang dilakukan di poliklinik THT-KL RSHS menggunakan ekstrak alergen tungau debu rumah, yaitu alergen LAPI Jakarta yang diberikan secara intradermal. HASIL Pada penelitian ini didapatkan 25 pasien rinosinusitis alergi pasca-imunoterapi selama 3,6, dan 12 bulan di poliklinik alergi THT-KL RSHS dengan rentang usia pasien yaitu antara 15-58 tahun dan terdiri dari 17 perempuan dan 8 lakilaki. Distribusi kelompok umur terbanyak adalah kelompok umur 15-24 tahun yaitu sebanyak 44%. Berdasarkan hasil tes kulit tusuk yang terbanyak adalah tungau debu rumah 100%, diikuti jamur, serbuk jagung, dan serpih bulu kuda 72%, serta kecoa 68%. Pada gambar 1 dapat dilihat gangguan kualitas hidup yang diukur dengan Rhinoconjuntivitis Quality of Life questionnaire, didapatkan: yang dirasakan paling berat derajat gangguannya terhadap kualitas hidup pasien adalah aktivitas dan dampak yang diakibatkan beratnya gejala hidung yaitu dengan median 4 (quite a bit troubled). Gambar 1. Efektivitas imunoterapi alergen spesifik terhadap kualitas hidup selama waktu pengamatan pada 3, 6, dan 12 bulan pasca imunoterapi Didapatkan juga hasil berupa peningkatan kualitas hidup terhadap hampir seluruh domain pada pre dan pasca-imunoterapi 1 tahun berdasarkan uji chi kuadrat-friedman (p<0,05). Namun hasil uji beda waktu berdasarkan uji Wilcoxon, hanya pasca-imunoterapi 3 bulan 91

yang menunjukkan perbaikan yang bermakna (p<0,001), sedangkan pada 6 dan 12 bulan tidak bermakna (p>0,001). Berdasarkan gambaran skor gejala hidung (gambar 2), menunjukkan adanya penurunan skor total gejala hidung dengan hasil sangat efektif yaitu pada 3 bulan pertama pascaimunoterapi sebanyak 11 (44%) pasien. Terdapat perbaikan bermakna secara keseluruhan selama pasca-imunoterapi 1 tahun (p>0,05). Akan tetapi, berdasarkan uji Wilcoxon didapatkan perbaikan bermakna hanya pada pasca-imunoterapi 3 bulan (p=0,000), namun tidak pada 6 dan 12 bulan (p>0,001). Gambar 2. Efektivitas imunoterapi alergen spesifik pada total skor gejala hidung pada 3, 6, dan 12 bulan pasca imunoterapi Selanjutnya VAS sebelum dilakukan imunoterapi, keluhan pasien terbanyak untuk gejala rinore yaitu derajat sedang 22 orang (84%), keluhan hidung tersumbat yaitu derajat sedang 21 orang (84%), keluhan rasa sakit/ tertekan di wajah yaitu derajat ringan 21 orang (84%), sedangkan keluhan hidung penurunan penciuman yaitu derajat ringan 21 orang (84%). Terdapat penurunan bermakna antara hasil rinorea (p=0,010), hidung tersumbat (p=0,010), nyeri wajah (p=0,012), dan gangguan penciuman (p=0,010) setelah imunoterapi spesifik selama 1 tahun. Namun demikian, dengan uji Wilcoxon perbaikan bermakna hanya didapatkan pada pasca-imunoterapi 3 bulan (p<0,001), sedangkan pada 6 dan 12 bulan tidak bermakna (p>0,001). Berdasarkan hasil skor nasoendoskopi seperti yang terlihat pada tabel 1 didapatkan tabulasi silang antara sekret hidung dan edema mukosa pasca-imunoterapi 1 tahun dengan perhitungan statistik menggunakan uji Chikuadrat menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0,05). Namun uji Wilcoxon menunjukkan hasil yang bermakna pada pasca-imunoterapi 3 bulan (P=0,000), sedangkan pada 6 dan 12 bulan tidak bermakna (P>0,001). Tabel 1. Perbandingan skor nasoendoskopi pasca - imunoterapi selama waktu pengamatan sebelum imunoterapi dan pasca-imunoterapi 3,6 dan 9 bulan Pengamatan 0 bln 3 bln 6 bln 12 bln P value *) Edema mukosa Median 2 1 0 0 0,016 Rentang 0-2 0-2 0-1 0-1 Sekeret hidung Median 2 1 0 0 0,019 Rentang 0-2 0-2 0-1 0-1 *) berdasarkan uji Chi square - Friedman 92

Berdasarkan kriteria penggunaan obat oleh pasien pada gambar 3, didapatkan penurunan penggunaan obat atau konsumsi obat yang ditunjukkan dengan penurunan drug intake score secara keseluruhan selama 1 tahun (p=0,026). Namun uji beda waktu berdasarkan uji Wilcoxon menunjukkan perbaikan bermakna hanya pada 3 bulan pasca imunoterapi (p=0,000), tidak pada 6 dan 12 bulan pasca-imunoterapi (p=0,072 dan p=0,564). Gambar 3. Efektivitas imunoterapi alergen spesifik terhadap konsumsi obat pasien yang diamati pada 3, 6, dan 12 bulan pasca-imunoterapi Pada 3 bulan pasca-imunoterapi seperti pada tabel 2, derajat efektivitas imunoterapi terhadap penurunan penggunaan obat terbanyak adalah satisfactory yaitu sebanyak 44% pasien. Tabel 2. Efektivitas imunoterapi terhadap konsumsi obat pasien setelah 3 bulan pasca-imunoterapi Jumlah pasien Penurunan skor Efektivitas imunoterapi Persentase pasien 4 <30% not effective 16% 6 31% - 50% mildly effective 24% 11 51% - 70% satisfactory 44% 4 >71% highly effective 16% DISKUSI Perbandingan jenis kelamin pada subjek penelitian 25 orang terdiri dari 17 perempuan (68%) dan 8 laki-laki (32%). Walaupun penyebabnya tidak diketahui, namun hal yang sama juga diungkapkan pada EPO3S bahwa prevalensi rinosinusitis kronik ditemukan lebih tinggi pada wanita dibanding pria dengan rasio 6:4. 1 Penelitian lain di Kanada memperlihatkan rentang prevalensi sekitar 3,4% pada pria dan 5,7 % pada wanita. Prastianingsih dkk 15 tahun 2006 pada penelitiannya mendapatkan kunjungan pasien rinosinusitis kronik periode bulan Februari - November 2006 di Sub bagian Rinologi THT-KL FK UNPAD/ RSHS sebanyak 516 kasus dengan hasil lebih banyak pada perempuan yaitu sebanyak 286 kunjungan (55,4%). Pada penelitian ini didapatkan pada kasus rinosinusitis yang menjalani imunoterapi adalah rentang usia pasien 15-58 tahun, dengan usia terbanyak 15-24 tahun (44%). Sesuai dengan hasil penelitian Hartanto dkk 4 pada tahun 2009 yang menemukan 75% pasien rinitis alergi memiliki komorbiditas rinosinusitis, dengan rentang usia terbanyak adalah 15-24 tahun (35%), walaupun pada kepustakaan lain menyebutkan bahwa rinosinusitis kronik dapat ditemukan pada semua golongan usia. Pada penelitian ini didapatkan hasil tes kulit tusuk 100% terhadap tungau debu rumah, diikuti jamur 72%, serbuk jagung 72%, serpih 93

bulu kuda 72%, dan kecoa 68%. Alergi terhadap tungau debu rumah didapatkan lebih tinggi dari penelitian sebelumnya pada tahun 2005 dengan hasil tes kulit tusuk positif terhadap Dermatophagoides pteronysinus sebesar 74%. 16 Pada penelitian ini gejala yang dinilai meliputi hidung tersumbat, hidung beringus, hidung gatal, bersin-bersin dan skor total gejala hidung. Skala penurunan skor total gejala hidung pasca-imunoterapi terbanyak adalah kategori sangat efektif yaitu sebanyak 47,5%. Pemberian imunoterapi alergen spesifik terbukti secara bermakna efektif memperbaiki skor total gejala hidung pada 3 bulan pasca-imunoterapi. Skor nasoendoskopi dinilai ada tidaknya edema mukosa dan sekret hidung berdasarkan kriteria Lund dan Kennedy. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat perbaikan antar waktu pengamatan skor nasoendoskopi (p<0,05) selama kurun waktu 1 tahun pasca-imunoterapi. Akan tetapi, perbaikan bermakna hanya terlihat pada 3 bulan pasca-imunoterapi, sedangkan setelahnya perbaikan temuan nasoendoskopi tidak bermakna. Hal ini menunjukkan bahwa imunoterapi alergen spesifik dapat mempengaruhi perjalanan penyakit rinosinusitis alergi. Pada efektivitas imunoterapi spesifik terhadap penggunaan obat diukur dengan berdasarkan menurunnya penggunaan obat dihitung sesuai kriteria drug intake score. Dari hasil penelitian didapatkan penurunan bermakna pada 3 bulan pasca-imunoterapi terhadap jumlah penggunaan obat pasien (p<0,001), dan paling banyak adalah kategori memuaskan sebanyak 44%, diikuti kategori cukup efektif dengan 24%. Ini menunjukkan imunoterapi spesifik memiliki peran terhadap menurunnya penggunaan obat pada pasien rinosinusitis alergi. Hal tersebut didukung dengan adanya fakta bahwa pasien yang tidak ingin lagi minum obat antihistamin merupakan salah satu kandidat untuk dilakukannya imunoterapi spesifik. 6 Pada parameter penilaian tingkat beratnya penyakit berdasarkan Visual Analogue Scale, terdapat penurunan bermakna antara hasil VAS rinorea, hidung tersumbat, gangguan penciuman dan nyeri wajah berdasarkan uji statistik chikuadrat-friedman (P<0,05) setelah imunoterapi spesifik selama 1 tahun meskipun penurunan bermakna hanya terlihat selama pascaimunoterapi 3 bulan, dan setelahnya penurunan yang terjadi tidak bermakna secara statistik. Selain itu, berdasarkan Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionaire didapatkan hasil berupa peningkatan kualitas hidup pada pasien pasca-imunoterapi 3 bulan (p<0,001) pada hampir keseluruhan parameter yaitu terbesar pada parameter aktivitas dan gejala hidung dengan penurunan dari skor median 4 menjadi 1. Namun pada 6 dan 12 bulan pasca-imunoterapi tidak terjadi penurunan bermakna (p>0,001). Perbaikan yang terlihat pasca-imunoterapi ini menunjukkan bahwa imunoterapi alergen spesifik mempunyai kemampuan jangka panjang dan dapat mempengaruhi perjalanan alamiah penyakit alergi, karena adanya peningkatan IgA, pengaruh IL-10 melalui mekanisme T-Regulator memproduksi IgG4, menghambat aktivasi IgEdependent sel mast. Mekanisme tersebut yang akhirnya menyebabkan penurunan akumulasi sel inflamasi. 9,17 Penelitian ini mendapatkan kesimpulan bahwa imunoterapi selama 1 tahun efektif terhadap penurunan tingkat berat penyakit, penurunan gejala hidung, perbaikan temuan nasoendoskopi, penurunan penggunaan obat, serta adanya peningkatan kualitas hidup pada pasien rinosinusitis alergi, dengan perbaikan sejak 3 bulan dan bertahan hingga 1 tahun pascaimunoterapi. DAFTAR PUSTAKA 1. Fokkens W, Lund V, Mullol J, Bachert C, Cohen N, Cobo R, et al. European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps. Suppl. Rhinology 2007; 45(20):s1-139. 2. Krause HF. Allergy and chronic rhinosinusitis. Otolaryngol Head Neck Surg 2003; 128(1):14-6. 3. Hartanto WW, Madiadipoera T. Otitis media sebagai komorbid rinitis alergi di bagian THT-KL RSHS 94

Bandung periode 1 Januari 31 Desember 2008. Disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Otologi IV, Palembang, Oktober 29-30, 2009. 4. Burhanuddin A. Kadar IL-8 sekret hidung sebagai indikator efektifitas terapi klaritromisin pada rinosinusitis kronik disertai alergi. Tesis. Bandung: Bagian THT-KL FK UNPAD-RSHS dan Program Pendidikan Magister; 2011. 5. Hamilos DL. Chronic rhinosinusitis: Epidemiology and medical management. J Allergy Clin Immunol 2011; 128:693-707. 6. Bosquet J, Van Cauwenberge, Khaltev N, Gruber- Tapsoba T, Annesi I, Bacher C. WHO initiative allergic rhinitis and its impact on asthma (ARIA). Suppl J Allergy Clin Immunol 2008; 108: s147-270. 7. Rizayani, Madiadipoera T, Sudiro M, Dermawan A. Efektifitas imunoterapi selama 3 tahun pada pasien rinitis alergi. Disampaikan pada 7th Jakarta International FESS Course-Workshop, Jakarta, 11-13 Maret 2011. 8. Madiadipoera T, Dahlan AA. Improvement of quality of life and daytime sleepiness in patients with perennial allergic rhinitis treated with immunotherapy. J Rhinology 2000; Special Issue September:A-248 9. Dermawan A. Perbandingan efektifitas imunoterapi spesifik alergen tungau debu rumah dengan terapi antihistamin H-1 setirizin terhadap gejala subjektif hidung, gangguan kualitas hidup dan kadar IL-10 serum pada pasien rinitis alergi. Tesis. Bandung : Bagian THT-KL FK UNPAD-RSHS dan Program Pendidikan Magister; 2006. 10. Ciprandi G, Mora F, Cassano M, Gallina AM, Mora R. Visual analog scale (VAS) and nasal obstruction in persistent allergic rhinitis. Otolaryngol Head Neck Surg 2009; 141(4):527-9. 11. Lim M, Lew-Gor S, Darby L, Brookes N, Scadding G, Lund VJ. The relationship between subjective assessment instruments in chronic rhinosinusitis. Rhinology 2007; 45(2):144-7. 12. Sukhesh R. Clinical efficacy of allergen specific immunotherapy (ASIT) in allergic rhinitis. Int J Clin Med 2011; 2:394-8. 13. Lund V, Kennedy D. Staging for rhinosinusitis. Otolaryngol Head Neck Surg 1997; 117(3 Pt 2):S35-40. 14. Juniper E, Thompson A, Ferrie P, Roberts J. Validation of the standardized version of the rhinoconjunctivitis quality of life questionnaire. J Allergy Clin Immunol 1999; 104(2 Pt 1):364-9. 15. Prastianingsih P W. Perbandingan jumlah eosinofil dan kadar IL-5 pada mukosa hidung antara rinosinusitis kronis disertai polip hidung dengan yang tanpa polip hidung. Tesis. Bandung : Bagian THT-KL FK UNPAD-RSHS dan Program Pendidikan Magister; 2006. 16. Sudiro M, Madiadipoera T, Purwanto B. Eosinofil kerokan mukosa hidung sebagai diagnostik rinitis alergi. Majalah Kedokteran Bandung 2010; 42(1):6-11 17. Ahwil C. Perbandingan efektifitas imunoterapi spesifik alergen tunggal dan multipel berdasarkan gejala rinitis alergi dan profil sitokin IL-4 dan IFN-δ. Tesis. Bandung : Bagian THT-KL FK UNPAD-RSHS dan Program Pendidikan Magister; 2005. 95