BAB I PENDAHULUAN. berbagai istilah baik rechtsstaat, rule of law, atau etat de droit. 2 Dalam konteks

dokumen-dokumen yang mirip
Eksistensi dan Karakteristik Putusan Bersyarat Mahkamah Konstitusi Existence and Characteristics of Conditional Decision of The Constitutional Court

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis

PERTANYAAN Bagaimanakan kasus Marbury vs Madison Apa alasan John Marshall membatalkan Judiciary Act. Bagaimana pemikiran Yamin tentang Yudisial Review

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. mengawal dan menjaga agar konstitusi sebagai hukum tertinggi (the supreme

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

BAB I PENDAHULUAN. susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

MAHKAMAH KONSTITUSI. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

BAB I PENDAHULUAN. Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan suatu kemajuan besar bagi perkembangan demokrasi di

TAFSIR KONSTITUSI TERHADAP SISTEM PERADILAN DIINDONESIA* Oleh: Winarno Yudho

BAB I PENDAHULUAN. dorongan dalam penyelenggaraan kekuasaan dan ketatanegaraan yang lebih

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONEIA

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Pointers Hakim Konstitusi Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H.,M.S. Dalam Acara

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah

BAB I PENDAHULUAN. tinggi negara yang lain secara distributif (distribution of power atau

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 84/PUU-XII/2014 Pembentukan Pengadilan Hubungan Industrial di Kabupaten/Kota

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XIII/2015 Kewajiban Pelaku Pembangunan Rumah Susun Dalam Memfasilitasi Terbentuknya PPPSRS

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XIII/2015 Kewajiban Pelaku Pembangunan Rumah Susun Dalam Memfasilitasi Terbentuknya PPPSRS

PROSPEK MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PENGAWAL DAN PENAFSIR KONSTITUSI. Oleh: Achmad Edi Subiyanto, S. H., M. H.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint

SIARAN PERS. Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017

DR. R. HERLAMBANG P. WIRATRAMAN MAHKAMAH KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA, 2015

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Kuasa Hukum Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Maret 2015.

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

Lex Administratum, Vol. III/No. 7/Sep/2015

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

BAB III KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH. A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Sengketa Pilkada

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan KPK Karena Ditetapkan Sebagai Tersangka

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara berdasarkan

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara

Prospek Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal dan Penafsir Konstitusi - Achmad Edi Subiyanto, S. H., M. H.

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017

REKONSTRUKSI KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN ANTARA MAHKAMAH AGUNG, MAHKAMAH KONSTITUSI DAN KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA. Oleh: Antikowati, S.H.,M.H.

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

PERAN MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI LEMBAGA PENGUJI UNDANG- UNDANG DALAM MASYARAKAT EKONOMI ASEAN. Oleh: Januari Sihotang. Abstract

BAB V PENUTUP. dalam bab sebelumnya, Penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut: Pertama,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 57/PUU-XV/2017

Info Lengkap di: buku-on-line.com 1 of 14

BAB I PENDAHULUAN. perubahan konstitusi yang memberikan jaminan kemandirian dan akuntabilitas

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

KEDUDUKAN KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA INDEPENDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM MENURUT UU NO. 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN (UUD NRI Tahun 1945) terutama pada Pasal 18 ayat (4) yang menyatakan,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

BAB I Pendahuluan. A. Latar belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. telah menggariskan beberapa prinsip dasar. Salah satu prinsip dasar yang

I. UMUM

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 37/PUU-X/2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Yang Tepat Bagi Pengaturan Hak-Hak Hakim

BAB I PENDAHULUAN. Dasar 1945 (UUD 1945). Sejak reformasi telah dilakukan sebanyak empat kali. Keempat disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA

RechtsVinding Online

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 39/PUU-XII/2014 Hak Memilih

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon.

BAB I PENDAHULUAN. MK di beberapa negara juga ditempatkan sebagai pelindung (protector)

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI YANG MENGANDUNG KARAKTER PERUMUSAN NORMA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KEKUASAAN PEMBENTUK UNDANG-UNDANG

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C amandemen ketiga Undang-Undang Dasar

BAB III PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA

KARAKTERISTIK PENGAWASAN YANG DIMILIKI OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS UNDANG-UNDANG DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum.

BAB II KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional. 1 Konsekuensi Indonesia

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon.

PENGUJIAN UU TERHADAP UUD. Riana Susmayanti, SH. MH

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) sebagai salah satu pelaku

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 65/PUU-VIII/2010 Tentang Pengajuan Saksi Yang Meringankan Tersangka/Terdakwa ( UU Hukum Acara Pidana )

BAB II JENIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG. Konsep negara hukum telah ada sejak berabad-abad lalu.

-2- memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dipe

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut termaktub dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa "negara Indonesia adalah negara hukum. 1 Mengenai konsep negara hukum dikenal berbagai istilah baik rechtsstaat, rule of law, atau etat de droit. 2 Dalam konteks Indonesia yang mana sistem hukumnya merupakan warisan kolonial, menggunakan sistem hukum Eropa kontinental atau yang biasa disebut sebagai civil law atau modern roman law. Konsep negara hukum yang mengacu pada sistem hukum civil law adalah rechtsstaat, yang mana hal tersebut lebih lanjut ditegaskan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sebelum Amandemen yang menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasar atas Hukum (Rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machtsstaat). 3 Beberapa ahli yang mengembangkan konsep rechtsstaat sendiri adalah Hans Kelsen dan Julius Stahl. Hans Kelsen mengemukakan mengenai 4 (empat) syarat dari rechtsstaat, yaitu: 4 1. Negara yang kehidupannya sejalan dengan konstitusi dan undangundang, yang proses pembuatannya dilakukan oleh parlemen, anggotaanggota parlemen itu sendiri dipilih langsung oleh rakyat. 1 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2 Lihat dalam Majda El-Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Kencana, Jakarta, hlm. 20. 3 Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sebelum Amandemen. 4 Hans Kelsen, 1978, Pure Theory of Law, University California Press, Berkeley, hlm. 313.

2. Negara yang mengatur mekanisme pertanggungjawaban atas setiap kebijakan dan tindakan yang dilakukan oleh elite negara. 3. Negara yang menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman. 4. Negara yang melindungi hak-hak asasi manusia. Kemudian bandingkan dengan syarat-syarat dasar bagi pemerintahan yang demokratis di bawah konsep rule of law menurut International Commission of Jurist sebagai berikut: (a) Perlindungan konstitusional; (b) Kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak; (c) Pemilihan umum yang bebas; (d) Kebebasan menyatakan pendapat; (e) Kebebasan berserikat dan beroposisi; dan (f) Pendidikan kewarganegaraan. 5 Berdasarkan kedua konsep negara hukum baik rechtsstaat maupun rule of law, menegaskan bahwa dalam negara hukum haruslah terdapat jaminan atas kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak. Hal tersebut menunjukkan bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak merupakan hal yang penting dalam negara hukum baik rehctsstaat maupun rule of law. Kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak tidak hanya diartikan bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif, tetapi juga bebas dari gangguan melaksanakan tugasnya. 6 Kekuasaan kehakiman merupakan instrumen penting dalam rangka melindungi hak-hak asasi manusia dan menjamin diselenggarakannya kehidupan negara yang sejalan dengan konstitusi dan undang-undang. 5 International Commission of Jurist, The Dynamic Aspects of the Rule of Law in the Modern Age, Makalah, South-East Asian and Pasific Conference of Jurist, Bangkok, 15-19 Februari 1965, hlm. 39-45. Sebagaimana dikutip dalam Ahsin Thohari, 2004, Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan, ELSAM, Jakarta, hlm. 49. 6 E.C.S Wade dan G. Godfrey Philips, 1965, Constitutional Law: An Outline of the Law and Practice of the Constitution, Including Central and Local Fovernment, the Citizen and the State and Administrative Law, Longmans, London, hlm. 255. Sebagaimana dikutip dalam Ahsin Thohari, Ibid., hlm. 50.

Dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum, adanya kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak sejatinya telah dijamin dalam konstitusi, yang mana dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 7 Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. 8 Konstruksi yang demikian menunjukkan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia menganut sistem bifurkasi (bifurcation system), di mana kekuasaan kehakiman terbagi dua cabang, yaitu cabang peradilan biasa (ordinary court) yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan peradilan konstitusi yang mempunyai wewenang untuk melakukan constitutional review atas produk perundang-undangan yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi. 9 Dalam konteks ketatanegaraan, menurut Jimly Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat, 10 sehingga Mahkamah Konstitusi juga berfungsi sebagai pengawal demokrasi (the guardian of the democracy), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the 7 Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 8 Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 9 Abdul Hakim Garuda Nusantara, Mahkamah Konstitusi: Perspektif Politik dan Hukum, Kompas, 24 September 2002. Sebagaimana dikutp dalam Ni matul Huda, 2008, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 252. 10 Mahkamah Konstitusi, 2004, Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Modern dan Terpercaya, Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. iv.

citizen s constitutional rights), serta pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights). 11 Sebagai sebuah peradilan konstitusi, Mahkamah Konstitusi memiliki 4 (empat) buah kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2), yaitu: 12 1. kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. 2. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. 3. memutus pembubaran partai politik. 4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 5. wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan di atas menegaskan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir konstitusi (the sole interpreter of the constitution). Konstitusi sebagai hukum tertinggi mengatur penyelenggaraan negara berdasarkan prinsip demokrasi dan salah satu fungsi konstitusi adalah melindungi hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi sehingga menjadi hak konstitusional warga negara. 13 Kewenangan-kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud di atas kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 jo. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Mahkamah Konstitusi. 11 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006, Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 29. Sebagaimana dikutip dalam Ni matul Huda, Op.cit., hlm. 256. 12 Lihat dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 13 Ni matul Huda dan R. Nazriyah, 2011, Teori & Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Nusa Media, Bandung, hlm. 145.

Dari 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi di atas, permohonan perkara yang paling banyak diterima Mahkamah Konstitusi ialah terkait dengan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Hal ini disebabkan setiap warga negara, badan hukum, dan lembaga negara dapat bertindak sebagai pemohon apabila hak dan atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh ketentuan suatu undang-undang. 14 Sampai saat ini, jumlah perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar yang masuk adalah sebanyak 1363 perkara, yang mana dari 1363 perkara tersebut, 858 perkara telah diputus dengan jumlah undang-undang yang diuji adalah sebanyak lebih dari 400 undang-undang. 15 Jumlah tersebut sangatlah jauh lebih banyak apabila dibandingkan dengan perkara sengketa kewenangan lembaga negara yang hingga saat ini jumlahnya mencapai 36 perkara, sengketa hasil pemilihan umum tahun 2009 sebanyak 657 dengan jumlah perkara yang diputus sebanyak 71 perkara, serta perkara pembubaran partai politik yang berjumlah 0 perkara. 16 Kewenangan melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar diatur lebih lanjut dalam Pasal 50 hingga Pasal 60 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 jo. Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Mahkamah Konstitusi, terkait teknis pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PMK/2005 14 Ni matul Huda, Op.cit., hlm. 258. 15 Berdasarkan data yang didapat oleh penulis dalam Mahkamah Konstitusi, Rekapitulasi Perkara Pengujian Undang-Undang, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web. RekapPUU, diakses 6 November 2015. 16 Lihat lebih lanjut data mengenai rekapitulasi perkara yang ditangani oleh Mahkamah Konstitusi dalam Ibid.

tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Permohonan pengujian undang-undang meliputi pengujian formil dan/atau pengujian materiil. 17 Pengujian materiil adalah pengujian undang-undang yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan pengujian formil adalah pengujian undang-undang yang berkenaan dengan proses pembentukan undang-undang dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil sebagaimana dijelaskan sebelumnya. 18 Menjadi pertanyaan kemudian, apa yang menyebabkan perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar menjadi jumlah perkara yang paling banyak dimohonkan oleh masyarakat. Sudikno Mertokusumo menjelaskan mengenai salah satu asas dalam hukum yakni asas fictie hukum sebagai berikut: 19 Undang-Undang itu sendiri adalah hukum, karena berisi kaedah hukum untuk melindungi kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia itu seberapa dapat terlindungi, maka undang-undang harus diketahui oleh setiap orang. Bahkan setiap orag dianggap tahu akan undang-undang (iedereen wordt geacht de wet te kennen, nemo ius ignorare constetur). Ini merupakan fictie, kenyataannya tidaklah dapat diharapkan bahwa setiap orang mengetahui setiap undang-undang yang diundangkan. Iedereen wordt geacht de wet te kennen, nemo ius ignorare constetur secara bahasa dapat diartikan sebagai semua orang dianggap tahu akan undang-undang, ketidaktahuan akan undang-undang bukanlah merupakan alasan pemaaf. Hal ini merupakan konsekuensi dari berlakunya suatu undang-undang, yang mana pada 17 Lihat lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. 18 Lihat lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. 19 Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm. 88.

prinsipnya undang-undang memiliki kekuatan mengikat sejak undang-undang tersebut diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, sehingga setiap orang terikat untuk mengakui eksistensinya, 20 namun demikian pada kenyataannya banyak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional warga negara akibat berlakunya suatu undang-undang. Hal ini terbukti dengan banyaknya perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar yang masuk ke Mahkamah Konstitusi. Melihat banyaknya perkara pengujian undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar yang masuk ke Mahkamah Konstitusi, menunjukkan bahwa masih banyak produk undang-undang yang dihasilkan oleh legislatif yang kurang memperhatikan Undang-Undang Dasar sehingga berakibat pada terlanggarnya hakhak konstitusional warga negara. Pengujian undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar ini dapat dikatakan sebagai bentuk pengawasan masyarakat terhadap lembaga legislatif agar tidak membuat undang-undang dengan sewenang-wenang dan harus memperhatikan kebutuhan masyarakat, sebagaimana diketahui bahwa undang-undang sendiri mengikat bagi seluruh masyarakat. Lebih lanjut, banyaknya pengujian undang-undang yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut menunjukkan bahwa produk hukum yang dilahirkan oleh pembentuk undangundang, masih cacat ideologis. 21 Pengujian undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perwujudan dari adanya checks and 20 Ibid., hlm. 94. 21 Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2013, Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003 2012), Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 4.

balances antar lembaga negara. Kontrol dalam bentuk judicial review tersebut dapat menjadi sarana untuk melakukan purifikasi undang-undang yang dihasilkan lembaga legislatif sehingga tidak merugikan masyarakat. 22 Berdasarkan Pasal 56, amar putusan yang dapat dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi adalah berupa putusan yang menyatakan permohonan tidak dapat diterima, menyatakan permohonan dikabulkan, menyatakan permohonan ditolak. 23 Dalam beberapa putusannya Mahkamah Konstitusi telah melakukan pengujian atas produk legislasi sehingga norma atau undang-undang yang diuji memenuhi syarat konstitusionalitas. 24 Putusan Mahkamah Konstitusi memberi tafsir (petunjuk, arah, dan pedoman serta syarat bahkan membuat norma baru) yang dapat diklasifikasi sebagai putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dan putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). 25 Apabila tafsir yang ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi dipenuhi, maka suatu norma atau undangundang tetap konstitusional, namun apabila tafsir yang ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya tidak terpenuhi maka suatu norma hukum atau undang-undang menjadi inkonstitusional sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 26 Meskipun sudah sangat banyak perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar yang diperiksa dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi, 22 Ibid., hlm. 5. 23 Lihat lebih lanjut dalam pasal 56 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) 24 Ni matul Huda dan R. Nazriyah, Op.cit., hlm. 148. 25 Hamdan Zoelva, Mekanisme Checks and Balances Antar Lembaga Negara (Pengalaman dan Praktik di Indonesia), Makalah, Simposium Internasional Negara Demokrasi Konstitusional, Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 12 Juli 2011. 26 Ibid.

tidak jarang putusan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi dipandang kontroversi. Sebagai contoh adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 perihal pengujian Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang mana dalam pertimbangannya Mahkamah menyatakan bahwa apabila Undang-Undang a quo dalam pelaksanaan ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam pertimbangan Mahkamah, maka terhadap Undang-Undang a quo tidak tertutup kemungkinan untuk diajukan pengujian kembali (conditionally constitutional). 27 Lebih lanjut, putusan dengan model conditionally constitutional dan conditionally unconstitutional memberikan peluang bahwa suatu undang-undang yang telah diuji dapat diuji kembali. 28 Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi dengan model seperti ini dapat menjadi pintu masuk perumusan norma, 29 padahal dalam ketentuan Undang-Undang Dasar sebagai hukum yang menempati hirarki tertinggi dalam hirarki peraturan perundang-undangan, telah dinyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, 30 sehingga memiliki konsekuensi bahwa 27 Lihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tanggal 19 Juli 2005, hlm. 495. 28 Yance Arizona memberikan perbandingan antara sifat Putusan MK dengan Konstitusionalitas Berysarat. Menurut Yance Arizona, putusan bersifat conditionally constitutional menjadikan putusan MK tidak bersifat final, maksudnya masih ada upaya hukum yang bisa ditempuh, meskipun tidak upaya hukum vertikal. Lihat lebih lanjut dalam Yance Arizona, 2008, Dibalik Konstitusionalitas Bersyarat Putusan Mahkamah Konstitusi, Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis, Jakarta, hlm. 17 29 Lihat lebih lanjut dalam Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Op.cit., hlm. 14. 30 Lihat lebih lanjut dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

putusan tersebut langsung mengikat sebagai hukum (legally binding) sejak diucapkan di dalam persidangan. 31 Menjadi pertanyaan kemudian, apakah amar putusan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar yang bersifat konstitusional atau inkonstitusional bersyarat akan menderogasi sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final and binding tersebut. Berdasarkan seluruh uraian latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengetahui dan menelaah bagaimana karakteristik putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat conditionally constitutional dan conditionally unconstitutional dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, serta bagaimana korelasi atau implikasinya terhadap sifat final dan mengikatnya putusan Mahkamah Konstitusi. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan di atas, maka penulis merumuskan permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut: 1. Bagaimana karakteristik Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat bersyarat (conditionally) dalam pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar? 2. Bagaimana implikasi putusan bersyarat dalam pengujian Undang- Undang terhadap Undang-Undang Dasar terhadap sifat final dan mengikatnya putusan Mahkamah Konstitusi? 31 Yance Arizona, Op.cit., hlm. 3-4.

C. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara subyektif diajukan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum dari Strata-1 (S-1) Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Selain tujuan subyektif tersebut, penelitian ini juga memiliki tujuan obyektif yang sesuai dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, yaitu untuk mengetahui, memahami, dan menelaah lebih mendalam bagaimana implikasi putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dan putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) terhadap sifat final dan mengikatnya putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Selain tujuan subyektif dan obyektif di atas, penelitian ini juga memiliki tujuan yang bersifat khusus. Pertama, untuk mengetahui karakteristik putusan bersyarat baik secara konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) atau inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) dalam perkara pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kedua, untuk mengetahui implikasi putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dan putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) dalam pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar terhadap sifat final dan mengikatnya putusan Mahkamah Konstitusi.

D. Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan oleh penulis diharapkan mampu memberikan manfaat baik bagi penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, masyarakat, dan pemangku kebijakan atau pihak-pihak lain yang terkait. Pertama, diharapkan dengan dilakukannya penelitian ini dapat memberikan tambahan pengetahuan dan wawasan bagi peneliti berkaitan dengan hukum acara Mahkamah Konstitusi, khususnya berkaitan dengan bagaimana karakteristik putusan baik yang konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar serta kaitannya dengan sifat final dan mengikatnya putusan Mahkamah Konstitusi. Kedua, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih pemikiran dan gagasan yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan hukum, terutama berkaitan dengan konteks kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, lebih khusus lagi berkaitan dengan penjatuhan putusan bersyarat dalam perkara pengujian undangundang terhadap Undang-Undang Dasar. Ketiga, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pencerahan bagi masyarakat luas, terutama berkaitan dengan bagaimana karakteristik dari putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dan putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar serta implikasinya terhadap sifat final dan mengikatnya putusan Mahkamah Konstitusi. Keempat, hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi atau acuan baik bagi Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga

yang berwenang menjatuhkan putusan atas pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, maupun bagi pihak-pihak lain yang berkaitan. E. Keaslian Penelitian Sejauh penelusuran pustaka yang dilakukan penulis baik di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada maupun penelusuran melalui internet, penulis tidak menemukan penelitian yang mengangkat judul Implikasi Putusan Bersyarat dalam Pengujian Undang-Undang terhadap Sifat Final dan Mengikatnya Putusan Mahkamah Konstitusi. Namun demikian sebelumnya memang ada beberapa penelitian yang juga membahas mengenai putusan bersyarat, antara lain: Keaslian Pertama, Penulisan Hukum oleh Budiyanto berjudul Implikasi dan Implementasi Putusan Konstitusional Bersyarat (Conditionally Constitutional) dalam Pengujian Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Periode 2003-2008. Terdapat beberapa perbedaan yang fundamental antara penelitian ini dengan penelitian di atas. Pertama, fokus penelitian yang dilakukan penulis adalah berbeda dengan penelitian di atas. Penelitian di atas menekankan pada putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), sedangkan penulis membahas putusan bersyarat baik putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dan putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Kedua, penelitian di atas lebih menekankan pembahasan mengenai implementasi dan implikasi putusan konstitusional bersyarat, sedangkan penulis lebih menekankan pada implikasi dari putusan bersyarat baik secara konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat terhadap sifat final dan

mengikatnya putusan Mahkamah Konstitusi. Ketiga, terkait dengan konteks waktu. Penelitian di atas membahas mengenai putusan Mahkamah Konstitusi pada periode 2003 2008, sedangkan penulis tidak membatasi pembahasan putusan, sehingga diharapkan pembahasan akan lebih komprehensif. Untuk melihat perbedaan selanjutnya, maka Penulis akan mengutip rumusan masalah dari penelitian di atas, yaitu: 32 1) Apakah dasar pertimbangan MK dalam menetapkan putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945? 2) Bagaimanakah implikasi dan implementasi putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dalam pengujian undangundang terhadap UUD NRI 1945? 3) Bagaimanakah UU MK memastikan bahwa putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) di tindaklanjuti oleh organ undang-undang sehingga kerugian konstitusional pemohon dapat segera dipulihkan? Berdasakan rumusan masalah tersebut, terlihat bahwa rumusan masalah dalam penelitian ini dengan penelitian di atas adalah berbeda. Hal ini pun menunjukkan perbedaan fokus pembahasan yang dilakukan oleh Penulis dengan penelitian di atas. Keaslian Kedua, Penulisan Hukum oleh Sri Wahyuni berjudul Pola dan Bentuk Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam Perkara Pengujian Undang-Undang untuk Mewujudkan Konstitusionalisme. Penelitian ini memiliki beberapa perbedaan dengan penelitian tersebut. Pertama, terkait fokus penelitian yang digunakan penulis berbeda dengan penelitian di atas. 32 Budiyanto, 2009, Implikasi dan Implementasi Putusan Konstitusional Bersyarat (Conditionally Constitutional) dalam Pengujian Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Periode 2003-2008, Skripsi, Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 11.

Penulis di atas lebih menekankan pada pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi secara umumnya, sedangkan penulis lebih fokus membahas mengenai implikasi putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat atau inkonstitusional bersyarat. Kedua, penulis penelitian di atas lebih membahas mengenai pola dan bentuk pelaksanaan putusan yang dikaitkan dengan terwujudnya konstitusionalisme, sedangkan penulis lebih berfokus pada pembahasan mengenai implikasi putusan bersyarat terhadap sifat final dan mengikatnya putusan Mahkamah Konstitusi. Selain ketiga perbedaan di atas, rumusan masalah yang diangkat oleh penulis berbeda dengan penelitian di atas, yang mana rumusan masalah dari penelitian di atas, yaitu: 33 1) Bagaimana pola dan bentuk pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam perkara pengujian undang-undang? 2) Apakah pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam perkara pengujian undang-undang sudah mewujudkan konstitusionalisme? Selain dua penelitian di atas, terdapat pula beberapa penelitian yang membahas mengenai putusan bersyarat baik konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) atau konstitusional tidak bersyarat (conditionally unconstitutional). Namun demikian, pembahasan yang dilakukan pada umumnya lebih membahas mengenai implementasi putusan bersyarat baik yang konstitusional bersyarat atau inkonstitusional bersyarat. Hal yang membedakan dengan penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya adalah bahwa penelitian ini lebih fokus membahas 33 Sri Wahyuni, 2011, Pola dan Bentuk Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam Perkara Pengujian Undang-Undang untuk Mewujudkan Konstitusionalisme, Skripsi, Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, hlm. 8.

secara mendalam mengenai implikasi dari putusan bersyarat terhadap sifat final dan mengikatnya putusan Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan penjelasan di atas, jelas terdapat perbedaan yang signifikan antara penelitian ini dengan penelitian yang telah ada sebelumnya. Selain itu penelitian ini bukanlah merupakan tindakan plagiasi. Dengan demikian, unsur keaslian penelitian ini dapat terpenuhi dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.