Ditulis oleh Aziz Rabu, 07 Oktober :16 - Terakhir Diperbaharui Minggu, 11 Oktober :06

dokumen-dokumen yang mirip
POTENSI DAN PROSPEK PENGEMBANGAN PERTAMBANGAN RAKYAT DI NAD

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia pun kena dampaknya. Cadangan bahan tambang yang ada di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

WILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL. Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEGIATAN PEMETAAN DAN PERENCANAAN TEKNIS PENGEMBANGAN POTENSI SUMBER DAYA MINERAL, BATUBARA DAN PANAS BUMI DI PROVINSI BANTEN (83.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Boks.1 MODEL PENGELOLAAN PERTAMBANGAN BATUBARA YANG BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DINAS PERTAMBANGAN DAN ENERGI KABUPATEN MUSI BANYUASIN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Maksud dan Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan

BAB I - Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sektor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi

LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH KABUPATEN ACEH TIMUR KEPADA PT. ACEH TIMUR ENERGI DAN MINERAL

BUPATI KAUR PROVINSI BENGKULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAUR NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN RAKYAT

BAB I PENDAHULUAN. pertambangan antara lain, Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang

BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. meliputi emas, perak, tembaga, minyak dan gas bumi, batu bara, bijih besi, dan

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. potensial yang ada seperti sektor pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan dan

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:

KAJIAN ZONASI DAERAH POTENSI BATUBARA UNTUK TAMBANG DALAM PROVINSI KALIMANTAN SELATAN BAGIAN TENGAH

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. Batubara merupakan salah satu tambang yang berpotensi untuk. dimanfaatkan lebih lanjut oleh pemerintah selain minyak dan gas bumi.

SNI Standar Nasional Indonesia. Pengawasan eksplorasi bahan galian BSN. ICS Badan Standardisasi Nasional

INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN 50 KOTA DAN SIJUNJUNG, PROVINSI SUMATERA BARAT

PENYELIDIKAN EKSPLORASI BAHAN GALIAN

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

PERTAMBANGAN DAN GALIAN KABUPATEN MALUKU TENGAH

KERANGKA ACUAN KERJA KEGIATAN PENYUSUNAN POTENSI SERTA NERACA SUMBERDAYA DAN CADANGAN MINERAL DI JAWA TENGAH

KONSEP PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PELAPORAN BAHAN GALIAN LAIN DAN MINERAL IKUTAN. Oleh : Tim Penyusun

BUPATI BANDUNG BARAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II DESKRIPSI INDUSTRI PERTAMBANGAN

BAB I PENDAHULUAN. sebuah lembaga pemerintahan yang bergerak dibidang pertambangan umum yang. dengan tugas dekonsentrasi dibidang pertambangan.

Pendahuluan. Distribusi dan Potensi. Kebijakan. Penutup

Dr. Firman Muntaqo, SH, MHum Dr. Happy Warsito, SH, MSc Vegitya Ramadhani Putri, SH, S.Ant, MA, LLM Irsan Rusmawi, SH, MH

PERATURAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO NOMOR 6 TAHUN 2011 T E N T A N G PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATU BARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 37 TAHUN 2013 TENTANG KRITERIA TEKNIS KAWASAN PERUNTUKAN PERTAMBANGAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN UMUM

Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Tengah

: ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL ORGANISASI : DINAS ENERGI DAN SUMBERDAYA MINERAL Halaman. 362.

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/DPD RI/I/ TENTANG HASIL PENGAWASAN

BAB I PENDAHULUAN. Cipta. hlm Salim HS Hukum Penyelesaian Sengketa Pertambangan di Indonesia. Bandung: Pustaka Reka

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

2017, No Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4435) sebagaimana telah beberapa kal

MATRIK USULAN KEGIATAN TAHUN ANGGARAN 2014

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Lamandau bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Palangka Raya

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

LAPORAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA MELALUI KPPN DAN BUN

BAB I PENDAHULUAN JUDUL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. haves and the have nots. Salah satu sumberdaya alam yang tidak merata

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2007 TENTANG KEGIATAN USAHA PANAS BUMI

BAB II PENGATURAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN UMUM DI INDONESIA. pemanfaatan sumber daya alam tambang (bahan galian) yang terdapat dalam bumi

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 32 TAHUN 2007 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN BUPATI PENAJAM PASER UTARA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi

NOMOR 11 TAHUN 2OO9 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN

2016, No Tata Cara Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan dan Sistem Informasi Wilayah Pertambangan Mineral dan Batubara; Mengingat : 1. Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Batu bara

BAB I PENDAHULUAN. Penambangan (mining) dapat dilakukan dengan menguntungkan bila sudah jelas

Penetapan kebijakan pengelolaan mineral, batubara, panas bumi dan air tanah nasional.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi di Indonesia menyebabkan terjadinya pergeseran

BAB I PENDAHULUAN. administratif termasuk ke dalam provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Di Pulau

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG

MEDAN, 25 MARET 2015 OLEH : GUBERNUR ACEH

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

PENYUSUNAN PEDOMAN TEKNIS EKSPLORASI BIJIH BESI PRIMER. Badan Geologi Pusat Sumber Daya Geologi

PROGRAM KERJA TAHUN DINAS ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL PROVINSI JAWA TIMUR

KONSEP PEDOMAN TEKNIS INVENTARISASI BAHAN GALIAN TERTINGGAL DAN BAHAN GALIAN BERPOTENSI TERBUANG PADA WILAYAH USAHA PERTAMBANGAN. Oleh : Tim Penyusun

Transkripsi:

POTENSI DAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MINERAL DAN ENERGI UNTUK MENINGKATKAN POTENSI EKONOMI DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Said Aziz Al-Idruss PhD. Pusat Survey Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Email: saziz@grdc.esdm.go.id Sari Kemajuan suatu negara dan besarnya suatu bangsa ditentukan oleh 3 faktor yaitu; faktor sumber daya alam sumber daya manusia dan sumber daya teknologi yang dimiliki. Sumberdaya salah satunya adalah sumber daya mineral, yang terdiri atas bahan galian mineral logam dan non logam, serta energi (Migas dan batubara). Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terletak di ujung baratlaut Pulau Sumatera, merupakan daerah mineralisasi yang cukup potensial, hal ini disebabkan oleh faktor geologi, terutama karena berada pada jalur Patahan Sumatera dan adanya jalur tunjaman (subduction zone) di sebelah barat Sumatra yang masih aktif sampai saat ini, akibat tujaman tersebut sebagian batuannya mengalami mineralisasi. Selain itu terdapat batuan sedimen Tersier yang cukup tebal disebelah timurnya, ini merupakan indikasi terdapatnya kandungan hidrokarbon (MIGAS) yang cukup potensial di bagian timur wilayah NAD. Meskipun produksi MIGAS sekarang sudah sangat menurun dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu, hal ini bukan berarti MIGAS di Aceh hampir habis, akan tetapi disebabkan belakangan ini (lebih dari 10 tahun) tidak ada lagi dilakukan explorasi MIGAS di Aceh karena faktor keamanan. Padahal ditinjau dari sudut geologi kandungan MIGAS di Aceh masih cukup besar. Meskipun demikian keterdapatan Sumberdaya Mineral dan Migas disuatu wilayah tidak akan memberikan manfaat sebelum SDM tersebut dapat di tambang dengan ekonomis. 1 / 5

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33, ayat 3, menyatakan bahwa segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai Negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Berdasarkan Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) no. 11, yang telah disahkan oleh DPR bulan Juli 2006, dalam pasal 156 sd 159 tentang pertambangan umum dan pasal 160 sd 161 tentang MIGAS. Pemda NAD mempunyai kewenangan sendiri dalam mengatur dan melakukan usaha pertambangan Sumber Daya Mineral dan Migas di wilayahnya. Oleh karena itu kesempatan ini harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menggali potensi Sumber Daya Mineral dan Migas di NAD demi meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Pemetaan geologi yang dilakukan oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, menunjukkan bahwa Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terletak di ujung baratlaut Pulau Sumatera, merupakan daerah mineralisasi yang cukup potensial (Sunarya.Y., 1989 ; Peta 1). Pemineralan tersebut disebabkan oleh faktor geologi, terutama karena berada pada jalur Patahan Sumatera dan adanya jalur tunjaman (subduction zone) di sebelah barat Sumatra yang masih aktif sampai saat ini, akibat tujaman tersebut sebagian batuannya mengalami mineralisasi. Sedangkan di bagian timur wilayahnya kaya akan kandungan MIGAS. Adanya Undang-Undang PA no. 11 bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, merupakan instrumen penting dalam sektor pertambangan dimana PEMDA bisa lebih pro-aktif melakukan inventarisasi dan explorasi Sumber Daya Mineral di wilayahnya, dengan melokalisir daerah mana mengandung mineral yang berpotensi untuk diekplorasi lebih lanjut. Kemudian data explorasi tersebut dapat digunakan untuk mendeliniasi daerah yang potensi untuk dikembangkan sebagai wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), atau bisa diperuntukkan bagi para investor atau koperasi untuk diexplorasi lebih rinci sampai tahap exploitasi. Untuk mengembangkan perekonomian rakyat dalam sektor pertambangan Pemda dapat menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang didasarkan pada data explorasi yang lebih akurat, dengan demikian diharapkan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan serta kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pertambangan rakyat dapat dikurangi. Selama ini kita melihat di berbagai daerah terutama di Kalimantan, Sulawesi Utara dan Sumatera bagian Selatan, banyak sekali Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang melakukan kegiatannya tanpa di dasari data explorasi, sehingga memicu terjadi kerusakan lingkungan. Mereka melakukan penambangan tanpa melakukan eksplorasi sebelumnya, sehingga sistim penambangannya sering berpindah-pindah. Keadaan tersebut membuat 2 / 5

kerusakan lingkungan yang cukup parah. Oleh karena itu explorasi emas di daerah-daerah yang diperkirakan mengandung emas, sangat perlu dilakukan oleh Pemda setempat pada tahap awal untuk mengetahui potensi bahan galian emas tersebut. PERAN PEMDA PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Berdasarkan hasil pemetaan geologi Departemen Pertambangan dan Energi, potensi Sumber Daya Mineral yang terdapat di Propinsi Naggroe Aceh Darussalam, sebagian besar terletak di bagian tengah dan barat Provinsi Naggroe Aceh Darussalam, sedangkan dibagian timur wilayahnya sebagian besar mengandung Minyak dan Gas bumi. Untuk mengetahui lebih rinci tentang potensi SDM di wilayah ini maka pemda NAD mulai saat ini sudah harus melakukan inventarisasi diwilayahnya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Pemda-pemda yang lain di Indonesia, kemudian dari hasil inventarisasi di tindak lanjuti dengan explorasi awal untuk mengetahui mineral apa dan kira-kira seberapa besar kandungan mineral yang terdapat di daerah tersebut. Hal ini penting, dengan mengetahui sebaran dan potensi mineral tersebut maka selanjutnya dapat dibuatkan peta potensi SDM, yang memuat data awal tentang jenis mineral dan kadar dan potensi yang diperkirakan. Hasil survey awal ini bisa menjadi bahan pertimbangan yang penting bagi para investor untuk melakukan investasi. Sekiranya potensi emas di suatu daerah cukup memberikan harapan maka tahapan selanjutnya adalah melakukan explorasi lanjut yang lebih rinci, untuk menentukan daerah tersebut mengandung emas yang ekonomis untuk ditambang atau tidak. Kalau cadangan emas di daerah tersebut diperkirakan cukup besar, maka Pemda bisa mengalokasikan wilayah tersebut untuk ditambang oleh badan usaha milik daerah, koperasi, atau dijadikan sebagai wilayah pertambangan emas rakyat. Dengan demikian, Pemda mendapatkan tambahan pemasukan kas daerah atau PAD dari sektor pertambangan dan sekaligus membuka lapangan kerja baru dan mengurangi kerusakan lingkungan akibat pertambangan rakyat yang berpindah-pindah. Adanya peta potensi SDM di suatu daerah akan mempermudah rencana pengembangan wilayah di daerah tersebut dalam hal ini BAPEDA, sehingga lahan yang diperkirakan mengandung SDM yang prospek tidak di alokasikan kepada perkebunan, perumahan, ataupun untuk daerah hutan lindung. Contoh yang sangat jelas terjadi di NAD pada masa lalu adalah penempatan transmigrasi di KAWAI 16, Kabupaten Aceh Barat, padahal 2 meter sampai 4 meter dibawah permukaan tanah yang dijadikan lokasi transmigrasi terdapat deposit batubara yang cukup potensial untuk di tambang. Lebih parah lagi karena ada batubara dibawahnya pohon kelapa / kelapa sawit yang ditanam di daerah tersebut sesudah 4 tahun daunnya menguning dan tidak berbuah, ini sangat merugikan para petani. Disamping itu adanya lokasi transmigrasi diwilayah tersebut juga menyebabkan biaya explorasi/exploitasi menjadi mahal dan bahkan tidak ekonmis lagi. Oleh karena itu hal seperti ini perlu diantisipasi sejak awal oleh Pemda dalam hal ini BAPEDA agar potensi SDM yang terdapat di wilayah NAD dapat digunakan secara maksimal untuk kemakmuran masyarakatnya. Pertambangan merupakan investasi padat modal dan memakan waktu yang cukup lama 3 / 5

sehingga faktor keamanan politik dan sosial sangat berpengaruh dalam mengundang para investor. Sebagai contoh PT.ARA TUTUT di Melaboh, eksplorasi memakan waktu selama 10 tahun, sejak tahun 1979 sampai 1986 baru sampai pada tahap ditambang, disamping itu memerlukan tenaga ahli yang berpengalaman. Oleh karena itu untuk mempercepat pengelolaan pertambangan sebaiknya pemda NAD mengundang para investor untuk melakukan explorasi di NAD. Disamping itu adanya kegiatan survey dan explorasi yang di lakukan oleh para investor sekaligus membuka lapangan kerja baru bagi penduduk setempat dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui iuran KP, PBB dan pajak-pajak yang lain. Untuk memaksimalkan PAD sektor pertambangan, terutama pertambangan emas plaser, Pemda dapat melakukan survey dan explorasi untuk melokalisir wilayah yang mengandung emas. Datanya dapat disajikan kepada para investor, atau dijadikan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Karena teknik penambangan emas plaser cukup sederhana, dan modal yang diperlukan tidak terlalu besar, maka disarankan sistim penambangannya secara berkelompok atau koperasi. (Aziz, 2003) Untuk mencapai maksud tersebut diatas diharapkan Pemda bisa mengambil inisiatif untuk melakukan inventarisasi potensi endapan emas plaser di masing-masing wilayahnya, baik melalui Dinas Pertambangan Daerah atau konsultan pertambangan. Dalam melakukan penambangan emas skala kecil, perlu diketahui metoda apa yang cocok dilakukan disuatu daerah dan sesuai dengan keadaan sosial masyarakat setempat sehingga program tersebut dapat diterima oleh mereka. Karena meskipun bagaimana canggihnya suatu peralatan yang ada kalau tidak sesuai dengan kultur masyarakat setempat maka teknologi tersebut akan terhambat penerapannya. Berdasarkan pengalaman dalam mempelajari emas plaser diberbagai wilayah di Indonesia dan Afrika, maka metoda penambangan semi mekanis, sangat baik diterapkan di Provinsi NAD, diperkirakan akan mendapat respon yang baik dari masyarakat Aceh. Karena metoda ini sudah dilaksanakan oleh masyarakat penambang dibeberapa daerah di Indonesia dan sangat ekonomis,, dengan modal yang tidak begitu besar (penambangan skala kecil) serta mudah dioperasikannya. Yang penting dalam penerapannya kita harus benar-benar mendapat dukungan Pemda dan masyarakat di wilayah tersebut. Sebagian besar peralatannya bisa didapatkan di daerah Aceh dan sebagian kecil yang masih perlu didatangkan dari Jakarta. Pengoperasian peralatan penambangan ini bisa dilakukan oleh mereka yang tamatan STM atau orang yang mengetahui peralatan mesin. Dalam melakukan penambangan, tiap unitnya dioperasikan oleh satu kelompok kerja yang terdiri dari beberapa orang dan biasanya berkisar antara 5 sampai 8 orang. Dan tiap unit penambangan bisa menghasilkan emas 10-20 gram perhari tergantung dari kandungan emas yang terdapat didalamnya. Banyak investor, baik di dalam maupun luar negeri, yang pada masa pemerintahan Orde Baru melakukan explorasi mineral terutama emas di Prop. NAD. Namun hanya satu yang sampai pada tahap exploitasi, yaitu pertambangan emas plaser di Kr. Woyla, Kab. Aceh Barat. Hal ini bukan berarti bahwa mineral yang terdapat di NAD tidak bernilai ekonomis, tetapi lebih banyak 4 / 5

disebabkan oleh faktor gangguan keamanan yang dialami oleh para investor dimasa lalu. Dalam melakukan penambangan emas skala kecil, perlu diketahui metoda apa yang cocok dilakukan disuatu daerah dan sesuai dengan keadaan sosial masyarakat setempat sehingga program tersebut dapat diterima oleh mereka. Karena meskipun bagaimana canggihnya suatu peralatan yang ada kalau tidak sesuai dengan kultur masyarakat setempat maka teknologi tersebut akan terhambat penerapannya. Berdasarkan pengalaman dalam mempelajari emas plaser diberbagai wilayah di Indonesia dan Afrika, maka metoda penambangan semi mekanis, sangat baik diterapkan di Provinsi NAD, diperkirakan akan mendapat respon yang baik dari masyarakat Aceh. Karena metoda ini sudah dilaksanakan oleh masyarakat penambang dibeberapa daerah di Indonesia dan sangat ekonomis,, dengan modal yang tidak begitu besar (penambangan skala kecil) serta mudah dioperasikannya. Yang penting dalam penerapannya kita harus benar-benar mendapat dukungan Pemda dan masyarakat di wilayah tersebut. Sebagian besar peralatannya bisa didapatkan di daerah Aceh dan sebagian kecil yang masih perlu didatangkan dari Jakarta. Pengoperasian peralatan penambangan ini bisa dilakukan oleh mereka yang tamatan STM atau orang yang mengetahui peralatan mesin. Dalam melakukan penambangan, tiap unitnya dioperasikan oleh satu kelompok kerja yang terdiri dari beberapa orang dan biasanya berkisar antara 5 sampai 8 orang. Dan tiap unit penambangan bisa menghasilkan emas 10-20 gram perhari tergantung dari kandungan emas yang terdapat didalamnya. Kesimpulan Berdasarkan hasil pemetaan geologi Departemen Pertambangan dan Energi, potensi Sumber Daya Mineral yang terdapat di Propinsi Naggroe Aceh Darussalam, sebagian besar terletak di bagian tengah dan barat Provinsi Naggroe Aceh Darussalam, sedangkan dibagian timurnya kaya dengan kandungan Minyak dan Gas bumi. Kurangnya sumberdaya manusia menyebabkan wilayah tersebut belum dapat dikelola dengan baik. Di samping itu, kurangnya informasi dan infra struktur yang memadai menyebabkan potensi SDM tersebut tidak diketahui oleh para investor, baik itu dari dalam negeri maupun asing. Oleh karena itu berdasarkan UUPA no 11 tahun 2006 diharapkan Pemda NAD bisa lebih proaktif melakukan pengelolaan sumberdaya mineral dan MIGAS. Adanya kegiatan survey, eksplorasi dan eksploitasi di daerah ini dapat membuka lapangan kerja baru bagi masyarakatnya serta meningkatkan PAD dari sektor pertambangan. Khusus pertambangan emas plaser, untuk menigkat perekonomian rakyat dan membuka lapangan kerja baru Pemda dapat mengarahkan masyarakat untuk mengelola pertambangan emas plaser di suatu daerah, karena teknik penambangannya sangat sederhana dan modal untuk penambangan jauh lebih kecil dibandingkan dengan pertambangan emas primer. Daftar Pustaka : Sunarya, Y. 1989, Overview of gold exploration and exploitation in Indonesia. Geol. Indo. V 12, n 1,345 357. Jakarta. Aziz, S. 1995, The Quarternary Stratigraphy and Gold Placer Exploration In The Sintang Area, West-Kalimantan, Indonesia. Doc. Thesis Free University of Brussels. Aziz, S. 2003, Potensi Emas Plaser di Wilayah Timur Indonesia. Forum Litbang ESDN 2003, 244-152. Jakarta. 5 / 5