Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan pada Areal Bekas Tebangan di PT Salaki Summa Sejahtera, Provinsi Sumatera Barat

dokumen-dokumen yang mirip
KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM


ABSTRACT PENDAHULUAN. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. Vlll No. 2 : (2002) Arti kel (Article) Trop. For. Manage. J. V111 (2) : (2002)

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994.

DINAMIKA PERMUDAAN ALAM AKIBAT PEMANENAN KAYU DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) MUHDI, S.HUT., M.SI NIP.

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI JENIS SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM TROPIKA SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

Potensi Jenis Dipterocarpaceae di Hutan Produksi Cagar Biosfer Pulau Siberut, Sumatera Barat

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

PERKEMBANGAN TEGAKAN SETELAH PENEBANGAN DI AREAL IUPHHK-HA PT. BARITO PUTERA, KALIMANTAN TENGAH

KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM RAWA GAMBUT

Amiril Saridan dan M. Fajri

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

Analisis Vegetasi Hutan Alam

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam. Muhdi

INVENTARISASI TEGAKAN TINGGAL WILAYAH HPH PT. INDEXIM UTAMA DI KABUPATEN BARITO UTARA KALIMANTAN TENGAH

IV. METODE PENELITIAN

Baharinawati W.Hastanti 2

BAB IV METODE PENELITIAN

KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. IX No. 2 : (2003)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

III. METODE PENELITIAN

KEANEKARAGAMAN JENIS VEGETASI PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN REGENERASI ALAMI DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI SUSI SUSANTI

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem

E ROUP PUROBli\1 .IURUSAN TEKNOLOGI BASIL HUTAN E C\KULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR. Oleh :

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR

Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda Jl. A. Syahrani Samarinda Telp. (0541) Fax (0541)

DAMPAK PEMANENAN KAYU DENGAN TEKNIK REDUCED IMPACT LOGGING TERHADAP KOMPOSISI TEGAKAN DI HUTAN ALAM TROPIKA MUHDI, S.HUT., M.SI NIP.

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

METODOLOGI PENELlTlAN

METODOLOGI PENELITIAN

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. dalam kawasan wisata alam Trinsing yang secara administratif termasuk ke dalam

DAMPAK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DAN KONVENSIONAL TERHADAP KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL DI HUTAN ALAM

STRUKTUR DAN KOMPOSISI TEGAKAN HUTAN DI PULAU SELIMPAI KECAMATAN PALOH KABUPATEN SAMBAS KALIMANTAN BARAT

III. METODE PENELTTIAN Tempat dan Waktu. Penelitian dilaksanakan di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu,

BAB III METODE PENELITIAN

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali.

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012

III. METODE PENELITIAN

STRUKTUR TEGAKAN DAN REGENERASI ALAMI HUTAN DI PULAU SIBERUT, SUMATERA BARAT ASTRIDA RM SIGIRO

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang

PEMADATAN TANAH AKIBAT PENYARADAN KAYU DENGAN TEKNIK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DI KALIMANTAN BARAT

STRUKTUR DAN KOMPOSISI JENIS PERMUDAAN HUTAN ALAM TROPIKA AKIBAT PEMANENAN KAYU DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI)

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

PERANCANGAN JALAN SAARAD UNTUK MEMINIMALKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

KEBERADAAN RAMIN (GONYSTYLUS BANCANUS (MIQ.) KURZ) DI KAWASAN HUTAN LINDUNG AMBAWANG KECIL KECAMATAN TELUK PAKEDAI KABUPATEN KUBU RAYA

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januarisampai dengan Februari

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

KEANEKARAGAMAN JENIS DAN POTENSI TEGAKAN PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG RAYA KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Pengambilan Data Metode Pengumpulan Data Vegetasi :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XI No. 1 : (2005)

MONITORING LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi

KEANEKARAGAMAN JENIS BAMBU (Bambusodae) DALAM KAWASAN HUTAN AIR TERJUN RIAM ODONG DUSUN ENGKOLAI KECAMATAN JANGKANG KABUPATEN SANGGAU

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

EVALUASI PENERAPAN PEMANENAN KAYU DENGAN TEKNIK REDUCED IMPACT LOGGING DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM MUHDI, S.HUT., M.SI NIP.

II. METODOLOGI. A. Metode survei

III. METODE PENELITIAN

Sejarah Pengelolaan Tanaman IUPHHK PT. Sukajaya Makmur merupakan salah satu dari enam perusahaan yang pertama kali menjadi tempat percontoha

III. METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI PE ELITIA

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN TINGKAT POHON PADA HUTAN ADAT GUNUNG BERUGAK DESA MEKAR RAYA KECAMATAN SIMPANG DUA KABUPATEN KETAPANG

BAB III METODE PENELITIAN

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. 6 No. 1 : 1-5 (2000)

ANALISIS VEGETASI PADA KAWASAN HUTAN DESA DI DESA NANGA YEN KECAMATAN HULU GURUNG KABUPATEN KAPUAS HULU

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

ANALISIS VEGETASI DAN PENDUGAAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN HUTAN CAGAR ALAM LEMBAH HARAU KABUPATEN 50 KOTA SUMATERA BARAT

BAB III METODE PENELITIAN

Transkripsi:

JURNAL Vol. 03 Desember SILVIKULTUR 2012 TROPIKA Vol. 03 No. 03 Desember 2012, Hal. 155 160 Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan 155 ISSN: 2086-8227 Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan pada Areal Bekas Tebangan di PT Salaki Summa Sejahtera, Provinsi Sumatera Barat Species Composition and Stand Structure in Logged Over Area in Forest Concession of PT Salaki Summa Sejahtera, Province of West Sumatra Iwan Hilwan 1 1 Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Corresponding author: ihilwan@yahoo.co.id ABSTRACT Production forest in Sumatra, Kalimantan, and other islands, are located in lowland tropical rain forest, where in this forest type were dominated by plant species of Dipterocarpaceae. Many tree per hectar was cut to produce major commercial timber. This timber harvesting activity with selective cutting method (TPTI sylviculture system) can rise impact to species composition and stand structure in logged over area (LOA). Because that condition, study on species composition and stand structure in primary forest or virgin forest and logged over area is very important to provide data and information for forest management. According vegetation analysis in 1 ha sample plot at virgin forest and logged over forest, species composition and stand structure in logged over area is not significantly different. This condition indicate that implemented of TPTI was not change to species composition and stand structure in logged over area. Species dominant and co-dominant at virgin forest and logged over forest are similar, which are species trees of Shorea (meranti) and Dipterocarpus (keruing). Stand structure at virgin forest and logged over forest are not different, they have J-reverse curve as characteristic of uneven-aged natural forest. Key words: LO, selective cutting, species composition, stand structure PENDAHULUAN Hutan produksi alami di Indonesia seluas 58.8 juta hektar, umumnya berupa hutan hujan dataran rendah pada lahan kering yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi serta potensi kayu yang melimpah. PT Salaki Summa Sejahtera (PT SSS) sebagai salah satu perusahaan pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IPHHK-HA) yang berlokasi di Pulau Siberut, Provinsi Sumatera Barat, telah lima tahun memproduksi kayu gelondongan (log) dari hutan produksi alam yang sebagian besar berupa kayu dari kelompok Dipterocarpaeae, utamanya jenisjenis keruing dan meranti. Sistem sulvikultur yang diterapkan adalah Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dengan siklus tebangan selama 30 tahun dan limit diameter tebang 50 cm. Formasi hutan di areal kerja PT SSS merupakan hutan hujan tropika dataran rendah (lowland tropical rain forest) yang didominasi jenisjenis anggota suku Dipterocarpaceae terutama dari marga Dipterocarpus (keruing) dan Shorea (meranti). Oleh karena itu tipe hutan demikian biasa juga disebut sebagai Hutan Dipterokarpa Campuran (Dipterocarps mixed forest). Aktivitas pemanenan kayu (timber logging) yang berupa pembukaan wilayah hutan (PWH), pembuatan jalan sarad, serta penebangan pohon (tree cutting), diperkirakan akan berdampak terhadap komposisi jenis pohon serta struktur tegakan. Guna mengetahui sejauh mana dampak kegiatan pembalakan kayu terhadap aspek komposisi jenis pohon serta struktur tegakan, maka perlu dikaji komposisi jenis dan tingkat keanekaragaman jenis pohon serta kondisi struktur tegakannya baik di dalam hutan alam primer (virgin forest/vf) maupun hutan bekas tebangan (logged over area/loa). BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2011 di hutan produksi alami Blok Tiniti, PT SSS, Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat. Beberapa peralatan yang digunakan antara lain: kompas, pita meter, kamera digital, tambang plastik, dan peralatan menulis. Adapun bahan penelitian sebagai obyek kajian adalah tegakan hutan primer (VF) dan hutan yang telah ditebang (LOA) pada tahun tebang 2008, 2009, 2010, dan 2011. Metode Penelitian Pengumpulan data lapangan menggunakan metode Analisis Vegetasi dengan membuat satu buah plot contoh berupa jalur berpetak 500m x 20 m (1 ha) pada masing-masing lokasi (VF, LOA 2008, LOA 2009, LOA 2010, dan LOA 2011). Di dalam plot contoh 1 ha tersebut kemudian dibuat petak-petak ukur (PU) secara bersarang (nested sampling), yaitu PU 20m x 25m untuk mendata tingkat pohon, PU 10m x 10m untuk tingkat tiang, PU 5m x5m untuk tingkat pancang, dan PU 2m x

156 Iwan Hilwan J. Silvikultur Tropika 2m untuk tingkat semai. Kriteria untuk setiap strata adalah: tingkat pohon (diameter setinggi dada/dbh 20 cm), tiang (dbh 10 19.9 cm), pancang (dbh 2-9.9 cm), dan semai (dbh < 2 cm, tinggi < 1.5 m). Di dalam PU 20m x 25m dan PU 10m x 10m (tingkat pohon dan tiang) dicatat nama jenis, dan diameter setinggi dada (dbh) atau kelilingnya. Adapun di dalam PU 5m x 5m (tingkat pancang) dan PU 2m x 2m (tingkat semai) dicatat nama jenis dan jumlahnya. Selanjutnya data diolah untuk menghitung kerapatan (K, bt/ha), Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Keanekaragaman Jenis (H ) Shannon-Wienner, Indeks Kesamaan Komunitas (IS), serta kondisi struktur tegakan. Indeks Nilai Penting (INP). Indeks Nilai Penting merupakan jumlah dari kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dan dominasi relatif (DR) (Soerianegara dan Indrawan 2005). Nilai-nilai K, F, D, dan INP, dapat menggambarkan struktur horizontal hutan alam tropika. Kerapatan suatu jenis (K) = Jumlah individu suatu jenis btg/ha Luas petak contoh Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan suatu jenis x 100% Kerapatan seluruh jenis Frekuensi suatu jenis (F) = Jumlah petak ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh petak Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi suatu jenis x 100% Frekuensi seluruh jenis Dominasi suatu jenis (D) = Luas bidang dasar suatu jenis cm 2 /ha Luas petak contoh Dominasi Relatif (DR) = Dominasi suatu jenis x 100% Dominasi seluruh jenis Indeks Nilai Penting (INP) = Strata Semai atau Pancang, INP = KR + FR (%) Strata Tiang atau Pohon, INP = KR + FR + DR (%) Indeks Keanekaragaman Jenis (H ). H dihitung menggunakan pendekatan indeks Shannon-Wiener (Krebs 1972 dalam Moore dan Chapman 1986) : s H = - Σ ( pi. ln pi), pi = ni i=1 N dimana: ni = jumlah individu jenis ke-i N = jumlah individu seluruh jenis S = jumlah jenis Kriteria tingkat keanekaragaman jenis adalah: tergolong tinggi bila H > 3,5, sedang bila H = 1,5 3,5 dan rendah bila H < 1,5 (Magurran 1988 dalam Wahyudi 2011). HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Jenis Pohon Jumlah jenis pohon yang tercatat di dalam petak ukur (PU) 1 ha berkisar antara 13-53 spesies, dimana strata tiang memiliki jumlah terkecil (Tabel 1). Tidak ada perbedaan yang mencolok dalam hal jumlah spesies tumbuhan antara vegetasi hutan bekas tebangan (LOA) dengan vegetasi hutan primer (VF). Meskipun begitu, pada Tabel 1 tampak bahwa jumlah jenis pohon pada beberapa strata pertumbuhan di areal LOA lebih banyak dibandingkan dengan VF. Menurut Whitmore (1990), begitu terjadi pembukaan tajuk akibat penebangan pohon, jenis-jenis pohon pionir akan segera tumbuh berkembang pada tapak yang telah terbuka tersebut dimana benihnya selama ini tersimpan di lantai hutan dalam keadaan dorman. Dengan demikian jumlah spesies pohon terutama di sekitar gap (tajuk yang terbuka) mengalami peningkatan. Kajian Bismark et al. (2008) di wilayah Kecamatan Siberut Selatan, di dalam plot-plot 0,25 ha untuk tumbuhan berdiameter > 5 cm, tercatat 28 spesies di hutan primer, 33 spesies di LOA 1 th, dan 26 spesies di LOA 5 th. Tampaknya jumlah jenis pohon tidak berkorelasi secara nyata dengan lokasi petak ukur, apakah di VF maupun di LOA. Dengan kata lain, hasil pengamatan ini mengindikasikan bahwa kegiatan penebangan, pada tingkat intensitas tebangan yang sama, tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan jumlah spesies pohon. Keanekaragaman Jenis Pohon Tingkat keanekaragaman jenis pohon cukup bervariasi, namun secara umum bila mengacu pada kriteria Magurran (1988) dalam Wahyudi (2011), tergolong sedang hingga tinggi, dengan indeks keanekaragaman jenis (H ) berkisar antara 2.31 3.65. Tegakan LOA 2009 dan LOA 2011 memiliki nilai H lebih tinggi pada keempat strata pertumbuhan dibandingkan dengan VF (Tabel 1). Pada Tabel 1 tersebut tampak strata semai memiliki tingkat keanekaragaman jenis yang lebih tinggi hampir di seluruh plot dibandingkan dengan strata lainnya. Hal ini mengisyaratkan proses regenerasi alami berjalan baik. Adanya proses suksesi dan persaingan antar-jenis maupun antar-individu, mengakibatkan hanya jenisjenis permudaan tertentu saja, biasanya jenis klimaks, yang mampu bertahan hingga mencapai strata pohon dan hidup dalam jangka waktu lama.

Vol. 03 Desember 2012 Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan 157 Tabel 1 Jumlah Jenis Pohon (S) dan Indeks Keanekaragaman Jenis Pohon (H ) Strata pertumbuhan Semai Pancang Tiang Pohon LOA LOA LOA LOA Parameter VF 2011 2010 2009 2008 S 43 49 34 45 38 H 3.12 3.65 2.99 3.38 3.06 S 47 47 39 42 32 H 3.23 3.45 2.93 3.35 3.04 S 17 32 13 32 17 H 2.17 3.11 2.31 3.24 2.35 S 49 44 39 53 36 H 2.90 3.30 2.73 3.42 2.68 Spesies Dominan dan Kodominan Jenis dominan adalah spesies tumbuhan yang memiliki INP tertinggi, sedangkan kodominan memiliki INP kedua tertinggi. Kedua spesies inilah yang mendominasi suatu komunitas dan sering dijadikan nama asosiasi suatu komunitas hutan. Nama spesies tumbuhan yang dominan dan kodominan di setiap plot pengamatan tersaji pada Tabel 2. Berdasarkan data pada Tabel 2 tersebut, jenis yang mendominasi adalah dari kelompok Dipterocarpaceae, khususnya anggota marga meranti (Shorea sp.) dan keruing (Dipterocarpus sp.), misalnya jenis elagan (Dipterocarpus hasseltii Blume), koka (Dipterocarpus elongatus Korth.) dan katuka (Shorea pauciflora King). Hasil pengukuran Bismark et al. (2008) di wilayah Selatan Pulau Siberut, diketahui bahwa jenis yang dominan di hutan primer dan LOA 1 th adalah koka (Dipterocarpus elongatus Korth.). Apabila mengacu pada kesamaan jenis yang dominan, tampak jenis pohon yang mendominasi tegakan hutan primer (VF) dan LOA tidak banyak berbeda. Dengan demikian, komposisi jenis tumbuhan khususnya pada jenis-jenis dominan, tidak terlalu terpengaruh oleh kegiatan pemanenan kayu. Pada Tabel 2 juga tampak jelas, jenis yang mendominasi di sebagian besar strata adalah jenis elagan (Dipterocarpus hasseltii Blume). Pada plot VF, sejak semai hingga strata pohon dikuasasi jenis elagan. Kondisi demikian hampir sama dengan yang dialami tegakan LOA 2008. Secara umum anggota suku Dipterocarpaceae tergolong sangat dominan di dalam komposisi jenis tegakan, sehingga hutan di areal konsesi PT SSS dapat disebut sebagai Hutan Dipterokarpa Campuran (Dipterocarps Mixed Forest) yang merupakan salah satu varian dari Hutan Hujan Dataran Rendah (Lowland Evergreen Rain Forest). Plot 1. Semai Tabel 2 Jenis-jenis tumbuhan dominan dan kodominan Nama jenis tumbuhan K (btg/ha) INP (%) VF Elagan Dipterocarpus hasseltii Blume 4000 33,09 Gutgut Mallotus subpeltatus Muell.Arg. 2875 15,31 2011 Potsaiguan Cleistanthus sp. 4250 28,34 Katuka Shorea pauciflora King 4000 24,58 2010 Elagan Dipterocarpus hasseltii Blume 5000 34,42 Potsaiguan Cleistanthus sp. 3625 24,07 2009 Potsaiguan Cleistanthus sp. 2375 19,77 Katuka Shorea pauciflora King 2750 19,18 2008 Potsaiguan Cleistanthus sp. 3875 23,39 Elagan Dipterocarpus hasseltii Blume 3750 22,91 2. Pancang VF Elagan Dipterocarpus hasseltii Blume 920 34,82 Katuka Shorea pauciflora King 280 13,42 2011 Longlongtuba Orophea sp. 360 16,52 Potsaiguan Cleistanthus sp. 320 14,68 2010 Potsaiguan Cleistanthus sp. 900 27,24 Elagan Dipterocarpus hasseltii Blume 820 25,83 2009 Koka Dipterocarpus elongatus Korth. 460 24,24 Potsaiguan Cleistanthus sp. 280 16,07 2008 Elagan Dipterocarpus hasseltii Blume 500 28,09 Longlongtuba Orophea sp. 360 22,18

158 Iwan Hilwan J. Silvikultur Tropika 3. Tiang VF Elagan Dipterocarpus hasseltii Blume 90 121,15 Posa Baccaurea deflexa Roxb. 20 30,33 2011 Potsaiguan Cleistanthus sp. 60 44,82 Giling Aporusa sp. 40 27,60 2010 Potsaiguan Cleistanthus sp. 30 88,64 Giling Aporusa sp. 15 35,30 2009 Giling Aporusa sp. 35 32,28 Potsaiguan Cleistanthus sp. 30 26,00 2008 Elagan Dipterocarpus hasseltii Blume 60 90,49 Potsaiguan Cleistanthus sp. 30 43,10 4. Pohon VF Elagan Dipterocarpus hasseltii Blume 75 113,14 Tumu Campnosperma macrophylla Hook.f. 12 15,55 2011 Renggeu Palaquium obovatum Engl. 17 43,00 Potsaiguan Cleistanthus sp. 20 37,79 2010 Elagan Dipterocarpus hasseltii Blume 61 85,62 Tetepana Hydnocarpus merrilliana Sleum. 30 39,89 2009 Tetepana Hydnocarpus merrilliana Sleum. 28 40,90 Katuka Shorea pauciflora King 16 34,99 2008 Elagan Dipterocarpus hasseltii Blume 49 81,06 Tetepana Hydnocarpus merrilliana Sleum. 14 33,74 Struktur Tegakan Hutan hujan tropika memiliki komposisi jenis yang heterogen dengan struktur umur pohon yang beragam pada setiap satuan tapaknya, sehingga disebut hutan heterogen tidak seumur (uneven-aged forest). Struktur tegakan menyatakan sebaran dimensi tegakan (luas bidang dasar per hektar atau banyaknya pohon per hektar) pada berbagai ukuran diameter pohonnya (Suhendang 1995). Bentuk struktur tegakan hutan alam akan menyerupai kurva huruf J-terbalik dengan persamaan matematis: N = N o e -kd. Pada Tabel 3 dirinci kerapatan tegakan pada setiap strata pertumbuhan di masing-masing plot. Adapun pada Tabel 4 dapat dilihat persamaan matematis struktur tegakan pada setiap plot analisis vegetasi, sedangkan kurvanya disajikan pada Gambar 1. Tabel 3 Kerapatan (K) setiap tingkat pertumbuhan Strata pertumbuhan K (N/ha) VF LOA 2011 LOA 2010 LOA 2009 LOA 2008 Semai 20.625 26.250 26.000 22.250 26.000 Pancang 3.980 4.080 5.660 3.080 3.020 Tiang 215 390 105 295 185 Pohon 200 139 205 206 144 Tabel 4 Persamaan matematis struktur tegakan Plot Persamaan R 2 (%) VF N = 504,48 e -0,080D 76 LOA 2011 N = 1176,415 e -0,077D 87 LOA 2010 N = 683,589 e -0,094D 69 LOA 2009 N = 976,668 e -0,098D 81 LOA 2008 N = 871,224 e -0,073D 80

Vol. 03 Desember 2012 Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan 159 Gambar 1 Struktur tegakan di dalam plot pengamatan Pada Tabel 3 serta Gambar 1 tampak sangat jelas bahwa struktur tegakan di dalam hutan bekas tebangan (LOA) dan hutan primer (VF) tidak banyak berbeda, yaitu sama-sama berbentuk kurva huruf J-terbalik. Perbedaannya hanya terletak pada tingkat kerapatan di setiap kelas diameter atau strata pertumbuhannya. Tabel 3 di atas juga menjelaskan adanya korelasi negatif antara kerapatan dengan kelas diameter atau strata pertumbuhan, dimana semakin besar diameter batang maka tingkat kerapatan semakin menurun. Hal demikian merupakan karakteristik tegakan hutan alam tidak seumur dimana kurva struktur tegakannya bersifat eksponensial negatif sehingga berbentuk huruf J- terbalik. Menurut Whitmore (1990), terbentuknya struktur tegakan hutan alam tropis menyerupai huruf J- terbalik tidak terlepas dari berbagai spesies tumbuhan penyusunnya. Pada hutan alam primer maupun hutan bekas tebangan yang masih baik kondisi tegakannya, jenis pohon paling dominan adalah dari jenis klimaks (climax species). Berbeda dengan jenis pionir (pioneer species), jenis klimaks memiliki karakteristik seperti: perkecambahan biji terjadi di bawah tajuk yang kemudian berkembang menjadi semai dalam jumlah melimpah (seedling bank), dan mampu hidup di bawah naungan (shade-tolerant). Akibat dari kondisi ini, terjadilah proses regenerasi secara in-situ (di bawah naungan tajuk) sehingga dari strata anakan hingga dewasa berkumpul bersama di satu tempat. Adanya persaingan tempat tumbuh menyebabkan kerapatan pohon yang lebih dewasa semakin berkurang. Hal ini pada gilirannya menciptakan struktur tegakan berbentuk huruf J-terbalik pada level individu jenis klimaks. Apabila jenis-jenis klimaks ini berkumpul dalam suatu tapak dan membentuk suatu komunitas, maka terwujudlah hutan alam dengan struktur tegakan berbentuk huruf J-terbalik. Dalam kaitan ini, Whitmore (1990) mengambil contoh pohon Parinari salomonensis sebagai jenis klimaks dan Endospermum medullosum sebagai jenis pionir yang keduanya tumbuh di hutan hujan dataran rendah Kolombangara, Kepulauan Salomon. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Komposisi jenis dan struktur tegakan hutan bekas tebangan dan hutan primer tidak banyak berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa sistem silvikultur yang diterapkan yaitu TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) tidak menimbulkan dampak berarti terhadap komposisi jenis dan struktur tegakan hutan. Jenis dominan dan atau kodominan pada hutan bekas tebangan dan hutan primer sama-sama berasal dari suku Dipterocarpaceae, khususnya marga Shorea (meranti) dan Dipterocarpus (keruing). Struktur tegakan hutan bekas tebangan dan hutan primer juga sama-sama berbentuk kurva huruf J- terbalik yang merupakan karakteristik tegakan hutan alam tidak seumur. Saran Kajian tentang komposisi jenis dan struktur tegakan hutan baik pada areal bekas tebangan maupun hutan primer perlu dilakukan pada plot contoh yang lebih besar, misalnya pada petak pengamatan seluas 2 ha, 3 ha, atau 4 ha, sehingga dapat diketahui luas plot contoh yang menghasilkan data dan informasi yang mewakili kondisi tegakan sebenarnya. DAFTAR PUSTAKA Bismark M, Heriyanto NM, Iskandar S. 2008. Biomasa dan Kandungan Karbon pada Hutan Produksi di Cagar Alam Pulau Siberut, Sumatera Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam V(5): 397-407. Moore PD and Chapman SB. 1986. Methods in Plant Ecology. Second Edition. Oxford: Blackwell Scientific Publication. Soerianegara I. dan Idrawan A. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan, Insitut Pertanian Bogor.

160 Iwan Hilwan J. Silvikultur Tropika Suhendang E. 1995. Ukuran Kenormalan pada Hutan Tidak Seumur. Di dalam: Suhendang E, Haeruman H, Soerianegara I, editor. Pengelolaan Hutan Produksi Lestari di Indonesia. Konsep, Permasalahan dan Strategi Menuju Era Ekolabel. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB, Yayasan Gunung Menghijau, dan Yayasan Pendidikan Ambarwati. Wahyudi 2011. Pertumbuhan Tanaman dan Tegakan Tinggal pada Sistem TPTI Intensif. [Disertasi] Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan. Whitmore TC. 1990. An Intoduction to Tropical Rain Forest. New York: Oxford University Press.