BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. antar profesi kesehatan (IPE) pada bulan September 2013 setelah melalui

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Definisi Keselamatan Pasien (Patient Safety)

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Kesiapan (readiness) terhadapinteprofesional Education (IPE)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan melibatkan sekelompok mahasiswa atau profesi kesehatan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan, dari, dan tentang satu sama lain untuk meningkatkan kolaborasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. bersama, belajar dari profesi kesehatan lain, dan mempelajari peran masingmasing

BAB II TINJUAN PUSTAKA. a. Standar Kompetensi Sarjana Farmasi

Bab II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Kompetensi Apoteker Indonesia adalah :

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN KESIAPAN MAHASISWA FKIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA MENGHADAPI INTERPROFESIONAL EDUCATION (IPE)

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem pelayanan kesehatan untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. kerawanan terjadi kesalahan medik (medical error). Kasus kematian akibat

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. medical error antara % dari jumlah pasien dengan %. Medical

BAB 1 PENDAHULUAN. tradisional yang berbasis silo dimana setiap tenaga kesehatan tidak mempunyai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan mereka untuk melakukan tugas dan fungsinya dalam kehidupan

Pendekatan Interprofessional Collaborative Practice dalam Perawatan Pasien Katastropik

BAB I PENDAHULUAN. memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu. Pelayanan yang bermutu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masa kehamilan (Prawirohardjo, 2000). Menurut Manuaba (2001), tujukan pada pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim.

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan kesehatan, di Amerika Serikat penyebab kematian nomer tiga pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbahaya, salah satunya medical error atau kesalahnan medis. Di satu sisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. serta kualitas pelayanan kesehatan (Majumdar, et al., 1998; Steinert, 2005).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. memegang tanggung jawab paling besar untuk perawatan pasien dalam kerangka

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena yang terjadi saat ini menunjukan bahwa peran masing-masing

Tujuan pendidikan kesehatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Yogyakarta (UMY). Semua responden adalah mahasiswa tahap klinik (coass)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERSEPSI DOSEN STIKES AISYIYAH SURAKARTA TERHADAP INTER PROFESIONAL EDUCATION (IPE)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terfragmentasi dan kebutuhan kesehatan masyarakat tidak terpenuhi. Tenaga

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan di era global. Pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terdiri dari Persepsi (perception), Respon terpimpin (Guided Respons),

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai obat generik menjadi faktor utama

Bab IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. World Health Organization (WHO) menyatakan setiap menit seorang wanita

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pengetahuan adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN orang meninggal pertahun akibat medication error. Medication error

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sejak dua dekade yang lalu (Wynia et al., 1999). Banyak hal yang

Kerangka Kompetensi Kepemimpinan Klinik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. diberikan kepada klien oleh suatu tim multi disiplin. Tim pelayanan kesehatan

BAB V PEMBAHASAN. A. Pembahasan keterkaitan antara kategori attachment, patient-centered

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS

Interprofessional Education: Sebuah Ulasan Singkat. Zakka Zayd Zhullatullah Jayadisastra. Staff Kajian Medical Education and Profession (MEP) ISMKI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN. korelasional yaitu dengan mengkaji hubungan kesiapan IPE dan kemampuan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. angka kematian bayi, angka kelahiran, dan angka kematian ibu.( A.Gde Munin

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adalah proses komunikasi interprofesional dan pembuatan keputusan yang

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

BAB I DEFINISI BAB II A. DEFINISI

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Pembelajaran IPE berbasis komunitas memberikan dampak positif dengan

PERBEDAAN PERSEPSI MAHASISWA TAHAP PROFESI DI FKIK UMY TENTANG INTERPROFESSIONAL EDUCATION DI ASRI MEDICAL CENTER YOGYAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. tentang diagnosa, melakukan kerjasama dalam asuhan kesehatan, saling

BAB I PENDAHULUAN. menunjang kinerja setelah lepas dari institusi pendidikan (Barr, 2010)

BAB I PENDAHULUAN. pengajar dan peserta didik dalam mencapai tujuan learning outcome.

INTERPROFESIONAL EDUCATION DALAM PANDANGAN DOKTER GIGI. Oleh : drg Laelia Dwi Anggraini, SpKGA

LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RS (...) NOMOR :002/RSTAB/PER-DIR/VII/2017 TENTANG PANDUAN EVALUASI STAF MEDIS DOKTER BAB I DEFINISI

BAB 3. TATA KELOLA, KEPEMIMPINAN, DAN PENGARAHAN (TKP)

GAMBARAN KERJASAMA (TEAMWORK) INTERPROFESI MAHASISWA FK UNDIP YANG TERPAPAR INTERPROFESSIONAL EDUCATION (IPE) PADA TAHUN 2017

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Marilah kita kaji sejenak arti kata belajar menurut Wikipedia Bahasa

II. TINJAUAN PUSTAKA. Metode discovery adalah suatu prosedur mengajar yang menitikberatkan

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORI. berasal dari kata courier yang berarti berlari (to run). Kurikulum berarti suatu

SMART PHARMACY ADVANCING PHARMACY PRACTICE AND EDUCATION IN INDONESIA KUTA - BALI, APRIL 2018 TRAIN-THE-TRAINER WORKSHOP

Komunikasi dengan tenaga kesehatan lain. Lilik s

Berbagai Teori Tentang Sikap dan Perilaku Menurut Beberapa Referensi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penderita gangguan jiwa di dunia pada tahun 2001 adalah 450 juta jiwa, menurut

TATA KELOLA, KEPEMIMPINAN DAN PENGARAHAN (TKP) > 80% Terpenuhi 20-79% Terpenuhi sebagian < 20% Tidak terpenuhi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebuah rekomendasi dari WHO (2010) yang bertema Framework For Action On

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif non-eksperimental

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pharmaceutical care menggeser paradigma praktik kefarmasian dari drug

BAB III METODE PENELITIAN. digunakan adalah deskriptif analitik yaitu metode penelitian yang menggali. dengan faktor efek (Notoatmodjo, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. adalah profesi kesehatan yang berfokus pada individu,

BAB I PENDAHULUAN. Keperawatan sebagai bagian intergral dari pelayanan kesehatan, ikut menentukan mutu dari pelayanan kesehatan.

Emiliana Tarigan Staf Pengajar STIK Sint Carolus Jakarta

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN. 1. Telah dikembangkan model 6 langkah pembelajaran reflektif klinik yang

Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2003) :

BAB II TINJAUAN TEORI. a. Pengertian Kanker Leher Rahim

BAB I PENDAHULUAN. terselenggaranya pelayanan kesehatan yang berkualitas juga (Depkes, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan administrasi. Rumah sakit dengan peralatan yang canggih dan

BAB I PENDAHULUAN. segala sesuatu yang terjadi di rumah sakit sebagaimana dimaksud dalam pasal. 46 UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

BAB I PENDAHULUAN. siswa untuk memahami nilai-nilai warga negara yang baik. Sehingga siswa

Oleh: Rusmiati SD Negeri 1 Punjul Karangrejo Tulungagung

BAB 1 PENDAHULUAN. karakteristik tersendiri dan dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tersebut dan tujuan atau akhir daripada gerakan atau perbuatan. Motivasi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1 Interprofessional Education (IPE) a. Pengertian IPE Interprofessional education (IPE) adalah metode pembelajaran yang interaktif, berbasis kelompok, yang dilakukan dengan menciptakan suasana belajar berkolaborasi untuk mewujudkan praktik yang berkolaborasi, dan juga untuk menyampaikan pemahaman mengenai interpersonal, kelompok, organisasi dan hubungan antar organisasi sebagai proses profesionalisasi (Royal College of Nursing, 2006). IPE dapat terjadi ketika dua atau lebih mahasiswa dari program studi kesehatan yang berbeda belajar bersama yang bertujuan untuk meningkatkan kerja sama dan kualitas pelayanan kesehatan (CAIPE, 2002). Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa di dalam dunia kesehatan, IPE dapat terwujud apabila para mahasiswa dari berbagai program studi di bidang kesehatan serta disiplin ilmu terkait berdiskusi bersama mengenai konsep pelayanan kesehatan dan bagaimana kualitasnya dapat ditingkatkan demi kepentingan masyarakat luas. Secara spesifik, 9

10 IPE dapat dimanfaatkan untuk membahas isu-isu kesehatan maupun kasus tertentu yang terjadi di masyarakat supaya melalui diskusi interprofesional tersebut ditemukan solusi-solusi yang tepat dan dapat diaplikasikan secara efektif dan efisien. Penerapan IPE diharapkan dapat membuka mata masing-masing profesi, untuk menyadari bahwa dalam proses pelayanan kesehatan, seorang pasien menjadi sehat bukan karena jasa dari salah satu profesi saja, melainkan merupakan konstribusi dari tiap profesi yang secara terintegrasi melakukan asuhan kesehatan (HPEQ- Project, 2011). World Health Organization (WHO) tahun 2010 menyatakan bahwa banyak sistem kesehatan di negara-negara di dunia yang sangat terfragmentasi pada akhirnya tidak mampu menyelesaikan masalah kesehatan di negara itu sendiri. Hal ini kemudian disadari karena permasalahan kesehatan sebenarnya menyangkut banyak aspek dalam kehidupan, dan untuk dapat memecahkan satu persatu permasalahan tersebut atau untuk meningkatkan kualitas kesehatan itu sendiri, tidak dapat dilakukan hanya dengan sistem uniprofessional. Kontribusi berbagi disiplin ilmu ternyata memberi dampak positif dalam penyelesaian berbagai masalah kesehatan (WHO, 2010).

11 b. Manfaat IPE untuk Perkembangan Dunia Kesehatan Interprofessional education dalam dunia pendidikan tinggi di bidang kesehatan bertujuan mengarahkan dosen untuk membantu mempersiapkan mahasiswa profesi kesehatan untuk nantinya mampu terlibat dan berkontribusi aktif positif dalam collaborative practice. IPE memegang peranan penting yaitu sebagai jembatan agar di suatu negara collaborative practice dapat dilaksanakan. IPE berdampak pada peningkatan apresiasi siswa dan pemahaman tentang peran, tanggung jawab, dan untuk mengarahkan siswa supaya berpikir kritis dan menumbuhkan sikap profesional (Galle & Rolelei, 2010). World Health Organization (2010) menyajikan hasil penelitian di 42 negara tentang dampak dari penerapan collaborative practice dalam dunia kesehatan. Hasil dari penelitian ternyata sangat menjanjikan bukan hanya bagi negara terkait, namun juga apabila digunakan di negara-negara lain. Penelitian tersebut menunjukkan hasil bahwa collaborative practice dapat meningkatkan: 1) Keterjangkauan serta koordinasi layanan kesehatan 2) Penggunaan sumber daya klinis spesifik yang sesuai 3) Outcome kesehatan bagi penyakit kronis, dan 4) pelayanan serta keselamatan pasien.

12 Disamping itu, collaborative practice dapat menurunkan 1) total komplikasi yang dialami pasien, 2) jangka waktu rawat inap, 3) ketegangan dan konflik di antara pemberi layanan (caregivers), 4) biaya rumah sakit, 5) rata-rata clinical error, dan 6) rata-rata jumlah kematian pasien (WHO, 2010). Dosen berperan untuk mengarahkan mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan untuk berkontribusi dalam pemecahan masalah kesehatan ketika nanti telah menjadi tenaga kesehatan yang sesungguhnya. Mahasiswa harus mampu memahami konsep IPE sedini mungkin untuk dapat bersamasama memecahkan masalah kesehatan di kemudian hari. Mahasiswa yang sejak awal mampu bekerja secara interprofesi diharapkan sudah siap untuk memasuki dunia kerja dan masuk ke dalam tim collaborative practice. Proses IPE membentuk proses komunikasi, tukar pikiran, proses belajar, sampai kemudian menemukan sesuatu yang bermanfaat antar para pekerja profesi kesehatan yang berbeda dalam rangka penyelesaian suatu masalah atau untuk peningkatan kualitas kesehatan (Thistlethwaite & Monica, 2010). Interprofessional education harus menjadi bagian dari partisipasi dosen dan mahasiswa terhadap sistem pendidikan tinggi ilmu kesehatan. Dosen dan mahasiswa merupakan elemen penting dalam IPE serta modal awal untuk terjadinya

13 collaborative practice di suatu negara. Oleh karena itu, sebagai sesuatu hal yang baru, IPE haruslah pertama-tama dipahami konsep dan manfaatnya oleh para dosen yang mengajar mahasiswa agar termotivasi untuk mewujudkan IPE dalam proses pendidikannya. Secara umum IPE mengandung beberapa elemen berikut, yang setidaknya harus dimiliki agar konsep pembelajaran ini dapat dilaksanakan dalam pendidikan profesi kesehatan di Indonesia yaitu kolaborasi, komunikasi yang saling menghormati, refleksi, penerapan pengetahuan dan keterampilan, dan pengalaman dalam tim interprofesional. Konsep inilah yang seharusnya ditanamkan oleh dosen kepada mahasiswa sejak awal proses pendidikan. Untuk mampu terlibat dalam IPE dalam pendidikan kesehatan di Indonesia, dosen setidaknya memahami elemen-elemen yang diperlukan dalam pelaksanaan IPE sehingga mampu membekali dirinya dengan elemen-elemen tersebut (HPEQ-Project, 2011). c. Kompetensi IPE Proses pembelajaran IPE membutuhkan pengajar (dosen) yang memiliki kompetensi pembelajaran IPE. Freeth et al. (2005) mengungkapkan dosen harus mampu untuk memberikan kesempatan yang sama demi pembelajaran individu yang efektif bagi masing-masing anggota kelompok.

14 Freeth et al. (2005) mengungkapkan kompetensi dosen atau fasilitator IPE antara lain adalah 1) sebuah komitmen terhadap pembelajaran dan praktik interprofesional, 2) kepercayaan dalam hubungan pada focus tertentu dari pembelajaran interprofesional di mana staf pendidik berkontribusi, 3) model peran yang positif, 4) pemahaman yang dalam terhadap metode pembelajaran interaktif dan percaya diri dalam menerapkannya, 5) kepercayaan dan fleksibilitas untuk menggunakan perbedaan profesi secara kreatif dalam kelompok, 6) menghargai perbedaan dan kontribusi unik dari masing-masing anggota kelompok, 7) menyesuaikan kebutuhan individu dengan kebutuhan kelompok, dan 8) meyakinkan dan memiliki selera humor dalam menghadapi kesulitan. Kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh mahasiswa dengan metode pembelajaran IPE adalah kemampuan untuk mengembangkan kompetensi yang diperlukan untuk berkolaborasi. Barr (1998) menjelaskan kompetensi kolaborasi yaitu yaitu: 1) memahami peran, tanggung jawab dan kompetensi profesi lain dengan jelas, 2) bekerja dengan profesi lain untuk memecahkan konflik dalam memutuskan perawatan dan pengobatan pasien, 3) bekerja dengan profesi lain untuk mengkaji, merencanakan, dan memantau perawatan pasien, 4) menoleransi perbedaan, kesalahpahaman dan kekurangan profesi

15 lain, 5) memfasilitasi pertemuan interprofesional, dan 6) memasuki hubungan saling tergantung dengan profesi kesehatan lain. American College of Clinical Pharmacy (ACCP) (2009) membagi kompetensi untuk IPE terdiri atas empat bagian yaitu pengetahuan, keterampilan, sikap, dan kemampuan tim. d. Pendekatan Pembelajaran IPE Tidak ada satu pun metode penerapan IPE yang menjadi pilihan utama, metode pembelajaran IPE dapat berubah sewaktuwaktu sesuai dengan kebutuhan belajar peserta didik dan bagaimana cara dosen untuk menjaga perhatian peserta didik terhadap pelajaran. Metode-metode balajar yang ada dapat saling memperkuat, tidak berdiri sendiri. Pendekatan belajar mengajar yang dapat diterapkan dalam IPE yaitu exchange-based learning, action-based learning, practice-based learning, simulation-based learning, observation-based learning, dan e-based learning (Sedyowinarso dkk., 2011). e. Hambatan IPE Berbagai penelitian mengenai hambatan IPE sudah banyak dilakukan. Hambatan ini terdapat dalam berbagai tingkatan dan terdapat pada pengorganisasian, pelaksanaan, komunikasi, budaya ataupun sikap. Sangat penting untuk mengatasi hambatanhambatan ini sebagai persiapan mahasiswa dan praktisi profesi kesehatan yang lebih baik demi praktik kolaborasi hingga

16 perubahan sistem pelayanan kesehatan (Sedyowinarso, dkk., 2012). Hambatan-hambatan yang mungkin muncul adalah penanggalan akademik, peraturan akademik, struktur penghargaan akademik, lahan praktek klinik, masalah komunikasi, bagian kedisiplinan, bagian profesional, evaluasi, pengembangan pengajar, sumber keuangan, jarak geografis, kekurangan pengajar interdisipliner, kepemimpinan dan dukungan administrasi, tingkat persiapan peserta didik, logistik, kekuatan pengaturan, promosi, perhatian dan penghargaan, resistensi perubahan, beasiswa, sistem penggajian, dan komitmen terhadap waktu (ACCP, 2009). 2 Kesiapan terhadap IPE Kesiapan (readiness) merupakan keseluruhan sifat atau kekuatan yang membuat seseorang beraksi dengan cara tertentu. Kesiapan dapat dilihat dari antusiasme mahasiswa dan keinginan mahasiswa terhadap penerimaan sesuatu yang baru. Kesiapan mahasiswa sangat mempengaruhi pelaksanaan IPE (Parsell & Bligh, 2009). Mahasiswa yang siap dan mampu untuk menerapkan IPE adalah syarat mutlak dari penerapan IPE. Kesiapan IPE dapat dilihat dengan tiga domain umum yaitu: 1) identitas profesional, 2) teamwork, 3) peran dan tanggung jawab. Ketiga domain ini saling

17 berhubungan dalam membangun kesiapan untuk penerapan IPE (Lee, 2009). Identitas profesi merupakan suatu hal yang penting karena hal ini menjadi ciri khas profesi yang akan membedakan dengan profesi lain. Pullon (2008) dalam Fauziah (2010) menjelaskan identitas profesi adalah komponen kunci dari sebuah profesionalisme yang merupakan bagian integral dari filosofi pelayanan kesehatan. Identitas profesi harus dikembangkan seiring perkembangan zaman. Ini dapat dilakukan melalui interaksi dengan profesi lain untuk membentuk dasar pemahaman mengenai interprofesional antar tenaga kesehatan. Teamwork dalam kolaborasi merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki mahasiswa dalam IPE. Kompetensi teamwork meliputi: a. Kekompakan tim, yaitu kekuatan tim yang membuat anggotanya untuk tetap setia menjadi bagian sebuah tim yang merupakan salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi sebuah tim, b. Saling percaya, yaitu sebuah sikap positif dari anggota tim terhadap anggota yang lainnya, meliputi perasaan, mood dan lingkungan internal kelompok, c. Berorientasi kolektif, maksudnya sebuah keyakinan bahwa pendekatan secara tim merupakan cara yang lebih kondusif dari pendekatan secara personal dalam menyelesaikan persoalan,

18 d. Mementingkan kerja sama, yaitu sikap positif yang ditunjukkan anggota tim dengan mengacu pada bekerja sebagai tim (ACCP, 2009). e. Peran menurut Robbins (2005) dalam Fauziah (2010) merupakan seperangkat perilaku yang diharapkan pada seseorang dengan posisi yang diberikan dalam unit sosial. Pemahaman terhadap peran masing-masing terbentuk jika masing-masing individu menjalankan perannya secara konsisten. Peran dosen dalam IPE diharapkan mampu membentuk peserta didik yang dapat memahami tugas dan kewenangan masing-masing profesi sehingga akan muncul tanggung jawab yang sesuai dalam penyelesaian suatu masalah. Peran dan tanggung jawab sebagai tenaga kesehatan sangat diperlukan untuk kesiapan dan pencapaian kompetensi IPE (A la, 2010). 3 Pengetahuan a. Pengertian Pengetahuan Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan dipengaruhi oleh pendidikan formal. Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan, bahwa bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah mutlak

19 berpengetahuan rendah pula. Hal ini mengingat bahwa peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh melalui pendidikan non formal (Wawan & Dewi, 2010). b. Tingkat Pengetahuan Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour). Dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yakni: 1) Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari, antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya. 2) Memahami (Comprehension)

20 Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. Misalnya dapat menjelaskan mengapa harus makan makanan yang bergizi. 3) Aplikasi (Application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan-perhitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah di dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan. 4) Analisis (Analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek ke dalam komponen-komponen,

21 tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya. 5) Sintesis (Synthesis) Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada. 6) Evaluasi (Evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Misalnya dapat membandingkan antara anak yang cukup gizi dengan anak yang kekurangan gizi. c. Cara memperoleh pengetahuan

22 Terdapat 2 cara untuk memperoleh pengetahuan, yaitu dengan cara kuno dan cara modern (Wawan & Dewi, 2010): 1) Cara Kuno a) Cara coba salah (Trial and Error) Cara ini telah dipakai orang sebelum kebudayaan, bahkan mungkin sebelum adanya peradaban. Cara coba salah ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam memecahkan masalah, dan apabila kemungkinan itu tidak berhasil maka akan dicoba kemungkinan yang lain sampai masalah tersebut dapat dipecahkan. b) Cara kekuasaan atau otoriter Sumber pengetahuan cara ini dapat berupa pemimpin-pemimpin masyarakat, baik formal atau informal, ahli agama, pemegang pemerintah, dan berbagai prinsip oarang lain yang menerima, mempunyai yang dikemukakan oleh orang yang mempunyai otoritas, tanpa menguji terlebih dahulu, atau membuktikan kebenarannya, baik berdasarkan fakta empiris maupun penalaran sendiri. c) Berdasarkan pengalaman pribadi Pengalaman pribadi pun dapat digunakan sebagai upaya memperoleh pengetahuan dengan cara mengulang

23 kembali pengalaman yang pernah diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi masa lalu. 2) Cara modern Cara ini disebut metode penelitian ilmiah atau lebih populer atau disebut dengan metodologi penelitian. Cara ini mula-mula dikembangkan oleh Francis Bacon (1561-1626), kemudian dikembangkan oleh Deobold Van Daven. Akhirnya lahir suatu cara untuk melakukan penelitian yang dewasa ini kita kenal dengan nama penelitian ilmiah. d. Cara ukur pengetahuan Pengetahuan dapat diukur dengan cara melakukan wawancara atau memberikan angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden. Pada pengisian angket pengetahuan yang dinilai hanyalah pengetahuan pada tingkat dua yaitu memahami (Notoatmodjo, 2010). Pengukuran pengetahuan dapat diketahui dengan cara orang bersangkutan mengungkapkan apa yang diketahuinya dalam bentuk jawaban lisan maupun tulisan. Menurut Arikunto (2010) pertanyaan tes yang biasa digunakan dalam pengukuran pengetahuan ada dua bentuk yaitu : 1) Bentuk objektif

24 Bentuk ini lazim disebut tes objektif, yaitu tes yang menjawabnya dapat diberi skor nilai secara lugas menurut pedoman yang ditentukan sebelumnya. Ada lima macam tes yang termasuk dalam evaluasi ragam objektif ini yaitu : a) Tes benar-salah b) Tes pilihan ganda c) Tes pelengkap melengkapi 2) Bentuk subjektif Tes subjektif adalah alat pengukur pengetahuan yang menjawabnya tidak ternilai dengan skor atau angka pasti, seperti bentuk objektif. Hal ini disebabkan banyaknya ragam gaya jawaban yang diberikan oleh para responden. Menurut Notoatmodjo (2010) pengetahuan atau penilaian pengetahuan dapat dikategorikan menjadi empat yaitu: a) Baik : jika pertanyaan di jawab benar oleh responden 76%-100%. b) Cukup baik : jika pertanyaan di jawab benar oleh responden 56%-75%. c) Kurang baik : jika pertanyaan di jawab benar oleh responden <55%.

25 e. Faktor yang mempengaruhi pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2010) faktor yang mempengaruhi pengetahuan antara lain: 1) Tingkat pendidikan Pendidikan adalah upaya untuk mencari pengetahuan sehingga terjadi perubahan perilaku positif, sehingga pendidikan juga mempengaruhi pemahaman dan pengetahuan. 2) Informasi Seseorang yang mempunyai sumber informasi yang lebih banyak akan memperoleh pengetahuan yang lebih luas. 3) Budaya Tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhan yang meliputi sikap dan kepercayaan. 4) Pengalaman Sesuatu yang dialami seseorang akan menambah pengetahuan.

26 B. Kerangka Konsep Variabel Bebas Variabel Terikat Tingkat pengetahuan tentang IPE Kesiapan mahasiswa FKIK UMY dalam menghadapi Interprofesional Education (IPE). Variabel Pengganggu: 1. Informasi 2. Budaya 3. Pengalaman Gambar 2 Kerangka Konsep Keterangan: -------- : Tidak Diteliti : Diteliti C. Hipotesis Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan tentang IPE dengan kesiapan mahasiswa FKIK UMY dalam menghadapi Interprofesional Education (IPE).