I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dilakukan jika menutupi gigi yang akan dicabut (Archer, 1975). Pencabutan gigi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. satu contoh luka terbuka adalah insisi dengan robekan linier pada kulit dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pencabutan gigi merupakan tindakan yang cukup sering dilakukan di bidang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dkk., 2006). Secara fisiologis, tubuh manusia akan merespons adanya perlukaan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan luka, sehingga pasien tidak nyaman. Luka merupakan rusaknya

BAB I PENDAHULUAN. karies parah, nekrosis pulpa, impaksi gigi, untuk tujuan perawatan ortodontik, 3

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan pencabutan gigi adalah sebesar 1:6 bahkan di beberapa daerah lebih besar

BAB I PENDAHULUAN. pengobatan, gigi impaksi dan untuk keperluan prosedur ortodontik. 1, 2

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. minor walaupun belum secara jelas diutarakan jenis dan aturan penggunaanya

BAB I PENDAHULUAN. semua orang tidak mengenal usia, golongan dan jenis kelamin. Orang yang sehat

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terakhir dalam perawatan gigi dan mulut karena berbagai alasan, antara lain untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. oleh dokter gigi untuk menghilangkan gigi dari dalam soketnya dan menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sebagai perawatan jaringan periodontal dengan tujuan untuk menghilangkan poket

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mukosa rongga mulut memiliki fungsi utama sebagai pelindung struktur

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengalami penyembuhan luka (Fedi dkk., 2004). Proses penyembuhan luka meliputi beberapa fase yaitu fase inflamasi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Koloni bakteri pada plak gigi merupakan faktor lokal yang mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penghilangan gigi dari soketnya (Wray dkk, 2003). Pencabutan gigi dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. kimia, kini penggunaan obat-obatan herbal sangat populer dikalangan

BAB I PENDAHULUAN UKDW. 2013; Wasitaatmadja, 2011). Terjadinya luka pada kulit dapat mengganggu

BAB I PENDAHULUAN. luka ini dapat berasal dari trauma, benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan mengelilingi gigi. Gingiva terbagi menjadi gingiva tepi, gingiva cekat dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. gigi, puskesmas, dan rumah sakit adalah pencabutan gigi. Pencabutan gigi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. yaitu : hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan remodeling. Setiap fase penyembuhan

BAB 1 PENDAHULUAN. Denture stomatitis merupakan suatu proses inflamasi pada mukosa mulut

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. mulut secara sengaja maupun tidak sengaja. Ulkus traumatikus pada mukosa

BAB I PENDAHULUAN. Usia harapan hidup perempuan Indonesia semakin meningkat dari waktu ke

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka bakar merupakan suatu bentuk trauma yang sering terjadi pada kulit

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Luka merupakan gangguan integritas jaringan yang menyebabkan kerusakan

BAB I PENDAHULUAN. Luka adalah kasus yang paling sering dialami oleh manusia, angka kejadian luka

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masalah kesehatan terutama pada kesehatan gigi dan mulut semakin kompleks

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. karena dapat menyebabkan berbagai keluhan dan ketidaknyaman pasien. Komplikasi

BAB I PENDAHULUAN. 3% - 21%, dan infeksi daerah operasi (IDO) mencakup 5% - 31% dari total

BAB I PENDAHULUAN. mulut, yang dapat disebabkan oleh trauma maupun tindakan bedah. Proses

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berbagai penyakit. Tumbuhan yang merupakan bahan baku obat tradisional

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Perawatan ortodontik berhubungan dengan pengaturan gigi geligi yang tidak teratur

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan terapi saluran akar bergantung pada debridement

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Luka merupakan rusaknya integritas kulit, permukaan mukosa atau suatu

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi cedera luka bakar di Indonesia sebesar 2,2% dimana prevalensi

BAB I PENDAHULUAN. Luka merupakan kasus cedera yang sering dialami oleh setiap manusia. Luka

BAB I PENDAHULUAN. didefinisikan sebagai hilangnya integritas epitelial dari kulit (Schwartz et al.,

BAB 1 PENDAHULUAN. tubuh dari serangan fisik, kimiawi, dan biologi dari luar tubuh serta mencegah

EFEKTIVITAS PERASAN DAUN PEPAYA TERHADAP JUMLAH OSTEOBLAS PASCA PENCABUTAN GIGI PADA TIKUS WISTAR JANTAN

BAB I PENDAHULUAN. seperti kesehatan, kenyamanan, dan rasa percaya diri. Namun, perawatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan

I. PENDAHULUAN. (Nurdiana dkk., 2008). Luka bakar merupakan cedera yang mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. Ulkus diabetikum merupakan salah satu komplikasi yang umum bagi

BAB I PENDAHULUAN. digunakan sebagai obat tradisional yang dapat dikembangkan secara luas. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diagnosis (Melrose dkk., 2007 sit. Avon dan Klieb, 2012). Biopsi merupakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jintan hitam (Nigella sativa) terhadap jumlah sel Neutrofil pada proses. Tabel 1. Hasil Perhitungan Angka Neutrofil

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Flora mulut kita terdiri dari beragam organisme, termasuk bakteri, jamur,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kulit merupakan barier penting tubuh terhadap lingkungan termasuk

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. karakteristik hiperglikemia (kadar gula darah yang tinggi) yang terjadi karena

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit periodontal adalah penyakit yang umum terjadi dan dapat ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Periodontitis kronis, sebelumnya dikenal sebagai periodontitis dewasa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Salah satu bagian terpenting di dalam rongga mulut manusia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengambil kebijakan di bidang kesehatan. Beberapa dekade belakangan ini,

ASEPSIS SESUDAH TINDAKAN BEDAH MULUT

BAB I PENDAHULUAN UKDW. meliputi empat fase, yakni : fase inflamasi, fase destruktif, fase proliferasi dan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Gigi yang sehat adalah gigi yang rapi, bersih, didukung oleh gusi yang kuat dan

I. PENDAHULUAN. A. LatarBelakangPermasalahan. dental. Implan dental merupakan salah satu cara mengganti gigi yang hilang dengan

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. angka yang pasti, juga ikut serta dalam mengkontribusi jumlah kejadian infeksi. tambahan untuk perawatan dan pengobatan pasien.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dunia dan mencapai 50% dari jumlah populasi dewasa (Carranza & Newman,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit periodontal merupakan radang atau degenerasi pada jaringan yang

BAB I PENDAHULUAN. benda tajam ataupun tumpul yang bisa juga disebabkan oleh zat kimia, perubahan

BAB I PENDAHULUAN. stomatitis apthosa, infeksi virus, seperti herpes simpleks, variola (small pox),

BAB I PENDAHULUAN. Luka merupakan suatu diskontinuitas dari suatu jaringan. Luka merupakan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sering ditemukan pada orang dewasa, merupakan penyakit inflamasi akibat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. koronal prosesus alveolaris (Wolf dan Hassell, 2006). Berbagai tindakan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit periodontal merupakan penyakit yang terjadi pada jaringan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tulang seperti halnya jaringan hidup lainnya pada tubuh manusia dapat

E. Keaslian Penelitian (Tabel.1) No Penulis Judul Hasil

BAB 2 DAMPAK MEROKOK TERHADAP PERIODONSIUM. penyakit periodontal. Zat dalam asap rokok seperti; nikotin, tar, karbon monoksida

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tulang merupakan suatu jaringan ikat tubuh terkalsifikasi yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kondisi ini dapat tercapai dengan melakukan perawatan gigi yang

BAB I PENDAHULUAN. yang mengenainya. Terdapat tipe - tipe dari luka, diantaranya luka insisi, memar,

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang disebabkan oleh infeksi bakteri (Lee dkk., 2012). Periodontitis kronis sering

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya adalah dengan menggunakan obat kumur antiseptik. Tujuan berkumur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pulpitis adalah penyebab utama di antara seluruh jenis nyeri yang dirasakan

BAB I PENDAHULUAN. biasanya dibagi dalam dua jenis, yaitu trauma tumpul dan trauma tajam. Trauma

A. DEFINISI Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusakatau hilang. Ketika luka tim

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendalaman sulkus gingiva ini bisa terjadi oleh karena pergerakan margin gingiva

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. imunitas gingiva yang salah satu penyebabnya adalah infeksi. Infeksi disebabkan oleh

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pencabutan gigi adalah tindakan pengambilan gigi pada soketnya tanpa atau dengan pembukaan jaringan lunak dan jaringan keras. Pengurangan tulang dilakukan jika menutupi gigi yang akan dicabut (Archer, 1975). Pencabutan gigi merupakan tindakan dalam kedokteran gigi yang paling sering dilakukan. Ratio angka pencabutan gigi di Indonesia jika dibanding dengan penambalan gigi adalah 6 dibanding 1 (Iis, 2006). Tindakan pencabutan gigi menyebabkan luka pada jaringan lunak dan jaringan keras di daerah bekas pencabutan. Menurut Mansjoer et al (2000) luka adalah hilangnya kontinuitas dari struktur jaringan yang utuh dan kadang disertai dengan hilangnya sebagian jaringan. Selain meninggalkan suatu kavitas berupa soket gigi, pencabutan gigi juga menyebabkan terjadinya defek tulang rahang yang diakibatkan karena tindakan pengurangan tulang. Luka yang terjadi karena tindakan pencabutan gigi dan atau pembedahan akan mengalami proses penyembuhan secara alami dengan melewati tahap-tahap proses penyembuhan luka. Secara mendasar tahap tersebut dibagi 3 yaitu inflammatory, fibroplastic atau proliferasi dan remodeling (Hupp, 2003). Ketiga tahap proses penyembuhan luka tersebut terjadi secara tumpang tindih (Kalfas, 2001). Proses penyembuhan luka pada tulang alveolar pasca pencabutan gigi mengikuti fase penyembuhan luka pada umumnya tetapi yang membedakan

adalah adanya keterlibatan osteoblas dan osteoclas (Hupp, 2003). Secara histologis pada fase proliferasi proses penyembuhan luka tulang diawali dengan proses mineralisasi soft callus. Kolagen tipe I yang menyusun matriks akan disintesa oleh osteoblas menjadi hard callus pada hari ke-7 pasca fraktur (Janquiera, 1975). Peranan kolagen pada proses penyembuhan tulang yang rusak, berhubungan dengan pembentukan serabut kolagen tipe I oleh fibroblas yang memberi kemampuan jaringan untuk membentuk jaringan baru (Linder, 1993; Kalfas, 2001). Peranan osteoblas yang merupakan sel pembentuk tulang, akan melakukan sintesis dan sekresi mineral ke seluruh substansi dasar dan substansi pada daerah yang memiliki kecepatan metabolisme tinggi yang mensintesis dan menjadi perantara mineralisasi osteoid (Linder,1993). Terdapat faktor-faktor lokal yang dapat menghambat proses penyembuhan secara alami. Faktor-faktor tersebut adalah adanya benda asing, jaringan mati, ischemia, dan wound tension. Perencanaan perawatan luka sebaiknya mempertimbangkan 4 hal tersebut agar memperoleh proses penyembuhan yang baik. Benda asing dan jaringan mati yang terdapat pada luka dapat digunakan bakteri sebagai perlindungan diri ketika terdapat pertahanan dari host, sehingga dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya infeksi yang dapat menghambat proses penyembuhan luka (Hupp, 2003). Infeksi luka pasca operasi merupakan kejadian yang sering ditemukan pada kasus tindakan bedah. Sekitar 10-16% dari seluruh kasus infeksi di rumah sakit adalah infeksi luka (Singhal dan Zammitt, 2002) dan 77% dari kasus infeksi tersebut menyebabkan kematian (Mangram, 1999). Luka yang terinfeksi akan

menghambat proses penyembuhan bahkan menyebabkan luka semakin memburuk (Dow et al, 1999). Mikroorganisme patogen dapat menghambat penyembuhan luka melalui beberapa mekanisme seperti memproduksi zat mediator inflamasi secara persisten, produk metabolik, racun dan pemeliharaan fase aktivasi netrofil yang menghasilkan enzim sitolitik dan radikal oksigen bebas (Laato et al, 1988). Sel bakteri bersaing dengan sel host untuk mendapatkan nutrisi dan oksigen yang diperlukan untuk proses penyembuhan. Hal tersebut membuat para klinisi melakukan rencana berupa tindakan preoperative dan perawatan luka postoperative untuk mengendalikan infeksi sehingga menghasilkan proses penyembuhan yang baik. Pengendalian infeksi pada luka operasi dilakukan dengan memberikan perawatan sebelum, selama dan sesudah operasi. Tujuan dari perawatan tersebut adalah untuk meminimalkan resiko terkena infeksi sehingga menunjang proses pertumbuhan jaringan sehat. Penggunaan antiseptik selama operasi merupakan salah satu bentuk perawatan luka. Tindakan tersebut juga secara umum dapat meningkatkan proses penyembuhan luka. Penggunaan bahan antiseptik pada luka dapat untuk menghilangkan eksudat, debris, kotoran dan bahan-bahan yang mengkontaminasi. Pembersihan luka operasi secara teliti menunjukkan penurunan angka infeksi (Khan, 2005). Dalam bidang bedah mulut dan maksilofasial penggunaan antiseptik dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan area operasi yang bersih sebagai bentuk pencegahan infeksi. Resiko infeksi pada tindakan bedah di dalam mulut antara lain dapat disebabkan karena kontaminasi dari flora bakteri di dalam mulut

dan penggunaan bahan antiseptik menjadi salah satu bentuk pengendalian terhadap kontaminasi tersebut (Martin et al, 1996). Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa larutan antiseptik mengurangi jumlah bakteri dalam mulut dan menurunkan bakterimia selama operasi. Penggunaan bahan antiseptik maxillofasial masih kontroversial. sebelum operasi di bedah mulut dan Banyak penelitian melaporkan tindakan tersebut menurunkan infeksi selama tindakan operasi di dalam mulut, tetapi banyak ahli bedah juga tidak merasa yakin dengan efek antiseptik dalam menurunkan infeksi setelah operasi (Toljanik, 1992; Veksler, 1991 sit Kosutic, 2009). Sebagian besar ahli bedah mulut dan maxillofasial anggota asosiasi bedah mulut di Amerika masih ragu dengan efektifitas tindakan tersebut sebagai tindakan dekontaminasi (Summers, 2000). Standar Pelayanan Medis Rumah Sakit DR Sardjito dan Rumah Sakit Gigi dan Mulut Prof Soedomo menetapkan penggunaan antiseptik sebagai tindakan yang dilakukan sebelum tindakan bedah mulut minor walaupun tidak secara jelas disebutkan jenis larutan dan konsentrasi serta aturan penggunaannya (Komite Medis RS DR Sardjito, 2005; Komite Medis RSGM Prof Soedomo, 2008). Evaluasi tentang penggunaan larutan antiseptik sebagai pengendali infeksi dan efeknya terhadap proses penyembuhan dalam tindakan bedah mulut dan maksilofasial sebagai dasar pertimbangan pemilihan larutan antiseptik yang digunakan di ke-2 rumah sakit tersebut sampai saat ini belum pernah dilakukan. Pemilihan bahan antiseptik untuk perawatan luka juga didasarkan pada pertimbangan keamanan penggunaan bahan terhadap sel host dan efektivitasnya.

Keamanan dari bahan untuk perawatan luka dapat ditentukan dari pengaruhnya terhadap kecepatan proses penyembuhan luka. Efektifitasnya dapat dinilai secara in vitro dengan melihat kemampuan bahan antiseptik membunuh bakteri dan secara in vivo dengan melihat kemampuanya menurunkan infeksi pada luka yang dirawat (Burks, 1998). Khan (2005) menyebutkan bahwa berbagai bahan antiseptik menunjukkan efek antibakteri namun bersifat sitotoksik terhadap sel host. Penelitian secara in vitro menunjukan efek toksik pada sel host tetapi secara klinis tidak menunjukan hasil yang berbeda secara signifikan jika dibandingkan dengan kontrol. Sifat sitotoksik dari bahan antiseptik menjadi pertimbangan untuk menggunakannya dalam merawat luka karena dapat menghambat proses penyembuhan (Drosou et al, 2003). Kurangnya penelitian secara klinis, menyebabkan belum ada standar aturan baku yang ditetapkan dalam penggunaan bahan antiseptik (Khan, 2005) Povidone-iodine (PI) secara rutin telah digunakan dalam tindakan di bidang bedah mulut (Cabral dan Fernandes, 2007). Penggunaannya untuk obat kumur preoperative secara signifikan menurunkan jumlah bakteri selama operasi (Kosutic, 2009). Povidone-iodine adalah sebuah iodofor dengan antibakteri berspektrum luas dan aktifitas antimikrobia yang tinggi, resistensi bakteri dan efek samping yang rendah serta harga yang sangat murah (Greenstein, 1999). Konsentrasi sediaan yang banyak digunakan di klinik adalah 10%. Bahan ini telah diuji dapat menurunkan postoperative bakterimia setelah operasi di rongga mulut (Rhan, 1995). Povidone-iodine juga digunakan sebagai bahan irigasi pada soket setelah pencabutan gigi (Arakeri dan Brennan, 2011)

Pemakaian bahan antiseptik dengan konsentrasi yang tinggi pada rongga mulut mungkin dapat mempunyai efek samping terhadap sel host. PI seperti antiseptik yang lain mempunyai mekanisme aksi non selective. Sifat sitotoksisitas PI dilaporkan pada percobaan secara in vitro mempengaruhi fibroblas kulit, paruparu dan gingiva, keratinosit, osteoblas pada embrio ayam, fibroblas pada embrio binatang bertaring, dan pada sel tulang tikus (Cabral dan Fernandes, 2007). Chlorhexidine (CHX) merupakan bahan antiseptik yang secara luas telah digunakan dan diuji. Bahan ini mempunyai aktivitas antimikrobial berspektrum luas, berpengaruh terhadap berbagai mikroorganisme oral pathogen, memiliki toleransi yang baik dan tidak resisten terhadap bakteri (Seymour, 1992). Menurut Kosutic et al (2009) konsentrasi yang biasa digunakan sebagai bahan irigasi dalam bedah mulut dan maksilofasial adalah 0,12%, 0,2% dan 0,1%. CHX secara signifikan menurunkan jumlah populasi mikrobia mulut dan kejadian alveolar osteitis (Delibasi, 2002). Namun pada penelitian in vitro, bahan ini menunjukkan bersifat sitotoksik terhadap sel darah, keratinosit, fibroblas, osteoblas, osteoklas dan makrofag (Cabral dan Fernandes, 2007). Menurut Thomas et al (2009) dalam penelitiannya secara in vitro menunjukkan bahwa povidone-iodine berpotensial memperlambat laju proliferasi fibroblas dalam proses penyembuhan sedangkan CHX terbukti sebaliknya tetapi pada konsentrasi yang tinggi CHX merusak sel fibroblas. Penelitian in vivo dilakukan oleh Sanches et al (1988) untuk melihat efek CHX diacetat dan PI terhadap penyembuhan luka pada anjing. Luka dibuat pada kulit dengan melakukan eksisi full thickness. Hasil penelitian menunjukan bahwa sitotoksisitas

dari chlorhexidine diacetat 0,05% terhadap fibroblas secara in vitro ternyata tidak berhubungan dengan proses penyembuhan secara in vivo. Berdasarkan latar belakang, penulis ingin meneliti perbedaan efek antara CHX dengan PI terhadap proses penyembuhan luka pasca pencabutan gigi dengan menilai peningkatan jumlah osteoblas dan kepadatan kolagen pada hewan percobaan (cavia cobaya) secara in vivo. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas maka muncul permasalahan bagaimanakah perbedaan pengaruh PI 10% dan CHX 0,2% terhadap peningkatan jumlah osteoblas dan kepadatan kolagen pada luka pasca pencabutan gigi. C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan pengaruh PI 10% dan CHX 0,2% terhadap peningkatan jumlah osteoblas dan kepadatan kolagen pada luka pasca pencabutan gigi. D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah mendapatkan perbedaan pengaruh PI 10% dan CHX 0,2% terhadap peningkatan jumlah osteoblas dan kepadatan kolagen pada luka pasca pencabutan gigi.

Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi dan sumbangan pengetahuan bagi dokter gigi dan ahli bedah mulut dan maksilofasial mengenai efektifitas dan keamanan CHX 0,2% dan PI 10% sebagai bahan antiseptik dalam proses penyembuhan luka pasca tindakan bedah minor, dengan melihat peningkatan jumlah osteoblas dan kepadatan kolagen pada proses penyembuhan pasca pencabutan gigi E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai pengaruh CHX dan PI terhadap proses penyembuhan luka secara in vivo dilakukan oleh Shances et al (1988) pada luka di kulit anjing. Thomas et al (2009) melakukan penelitian secara in vitro terhadap efek CHX dan PI pada kultur normal human dermal fibroblast dengan melihat proliferasi, migrasi, serta MMP-2 dan MMP-9. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya karena penelitian ini untuk melihat perbedaan efek CHX dan PI terhadap proses penyembuhan luka dalam soket gigi pasca pencabutan secara in vivo dengan pengamatan histologi untuk menilai jumlah osteoblas dan kepadatan kolagen.