BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tulang merupakan suatu jaringan ikat tubuh terkalsifikasi yang terdiri dari

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tulang merupakan suatu jaringan ikat tubuh terkalsifikasi yang terdiri dari matriks dan sel-sel. Tulang mengandung matriks organik sekitar 35%, dan matriks anorganik sekitar 55%. Matriks organik tulang terdiri dari 90% kolagen tipe I, serta substansia dasar seperti glikoprotein, proteoglikan dan glikosaminoglikan, sedangkan matriks anorganik tulang terdiri dari kation, anion, dan kalsium fosfat seperti hidroksiapatit Ca 10 (PO 4 ) 6 OH 2 (Elgazar, 2014). Tulang merupakan bagian tubuh yang memiliki fungsi utama sebagai pembentuk rangka dan alat gerak tubuh, pelindung organ-organ internal, tempat produksi darah serta penyimpanan mineral (Djuwita dkk., 2012). Kerusakan tulang dalam praktek kedokteran gigi sering terjadi akibat dari tindakan bedah maupun proses resorpsi pada penyakit periodontal (Chairuddin, 2003; Chandrashekar dan Saxena, 2009). Kasus yang sering terjadi adalah fraktur mandibula, maksilofasial dan defek pasca ekstraksi gigi (Abdurrachman, 2007). Setelah ekstraksi gigi, tulang akan terus-menerus mengalami resorbsi jika tidak dilakukan penanganan yang tepat. Mengingat pentingnya fungsi tulang, terjadinya kerusakan tulang harus diiringi dengan penyembuhan yang sempurna (Chairuddin, 2003; Misch and Judy, 2000). Proses penyembuhan tulang secara garis besar terdiri dari 4 tahap, yaitu pembentukan hematoma dan inflamasi, pembentukan kalus fibrocartilaginea, 1

2 2 pembentukan tulang (osifikasi), dan remodelling. Pada tahap pembentukan hematoma, pembuluh darah putus di periosteum dan jaringan sekitar tulang serta terjadi pendarahan. Tahap ini terjadi pada hari ke-1 sampai 2 pasca kerusakan tulang kemudian dilanjutkan pembentukan jendalan darah pada hari ke-5. Saat pembentukan kalus fibrocartilaginea, terbentuk kalus primer oleh fibroblas dan osteoblas, tetapi masih belum cukup kuat untuk menerima tekanan. Pada tahap osifikasi (osteogenesis), kalus fibrocartilaginea mengalami maturasi. Pada tahap remodelling, kalus yang berlebih akan diresorbsi dan terjadi penyempurnaan bentuk serta fungsi tulang (Porth, 2011). Keempat tahap ini berjalan tumpang tindih satu sama lain akibat dari proses penyembuhan yang berjalan terus-menerus (Lieberman dan Friedlaencer, 2005). Pembentukan pembuluh darah baru atau yang biasa disebut dengan angiogenesis (neovaskularisasi) pada bagian tepi jendalan darah mulai terjadi pada tahap hematoma (Porth, 2011). Pembuluh darah berperan dalam transport nutrisi, oksigen dan faktor yang dapat larut ke berbagai jenis sel hingga seluruh jaringan dalam tubuh. Asupan nutrisi dari pembuluh darah yang cukup menyebabkan sel mesenkim berdiferensiasi menjadi sel osteoblas dan osteoklas. Pertumbuhan dan perkembangan pembuluh darah merupakan peristiwa awal dalam organogenesis sehingga menjadi hal yang penting dalam penyembuhan tulang. Pembentukan pembuluh darah baru menjadi hal yang penting bagi sel mesenkim untuk berdiferensiasi menjadi sel osteoblas dan osteoklas yang berperan pada osteogenesis, remodelling dan penyatuan bone graft dengan tulang (Porth, 2011; Kanczler dan Oreffo, 2008).

3 3 Proses penyembuhan tulang dapat dipercepat dengan penambahan material bone graft pada daerah kerusakan tulang (Oryan dkk., 2014). Dalam praktek kedokteran gigi, bone graft diperlukan pada bidang bedah mulut seperti augmentasi lengkung alveolar, augmentasi sinus dan mencegah hilangnya tulang kortikal yang berlebihan (Annusavice, 2003). Pemilihan bone graft yang sesuai tergantung pada beberapa faktor, yaitu viabilitas jaringan, ukuran defek, ukuran graft, bentuk, volume, penanganan serta karakteristik biologis dan biomekanisnya (Kumar dkk., 2013). Bone graft terbagi menjadi 4 jenis, yaitu autograft, allograft, xenograft, dan material sintetis. Bone graft yang memanfaatkan tulang bagian lain pada individu itu sendiri disebut sebagai autograft. Bone graft yang berasal dari individu lain satu spesies baik dari donor hidup maupun yang sudah mati disebut sebagai allograft. Xenograft merupakan jenis bone graft yang yang berasal dari spesies berbeda seperti sapi, sedangkan material sintetis berasal dari bioglass, kalsium sulfat, dan keramik seperti hidroksiapatit (Kumar dkk., 2013; Oryan dkk., 2014). Sifat-sifat idel yang dimiliki bone graft antara lain biocompatible, bioabsorbable, strukturnya hampir sama dengan tulang, mudah digunakan, dan harganya terjangkau (Greenwald dkk., 2010). Syarat utama material bone graft haruslah memiliki sifat osteokonduktif, osteoinduktif, dan osteogenik (Kumar dkk., 2013). Hidroksiapatit sebagai material sintesis saat ini sering digunakan karena mudah didapat, dapat meningkatkan Vascular Endhotelial Growth Factor (VEGF) dan Fibroblast Growth Factor-2 (FGF-2), memiliki sifat osteokonduksi, kekerasan yang baik, serta biocompatible (Mima dkk., 2012).

4 4 Tuna sirip kuning (Thunnus albacares) banyak hidup di daerah tropis terutama perairan Indonesia (Ghufran, 2010). Ikan tuna merupakan salah satu komoditas ekspor andalan dari Indonesia. Penangkapan ikan tuna jenis ini juga semakin meningkat tiap tahunnya, namun ikan tuna jenis ini sebagian besar dimanfaatkan hanya bagian dagingnya. Produksi ikan tuna sirip kuning pada tahun 2007 mencapai ton (Andamari dkk., 2012). Meningkatnya jumlah produksi ikan tuna sirip kuning yang dimanfaatkan dagingnya saja akan menyebabkan peningkatan jumlah limbah tulang ikan tersebut. Tulang ikan tuna sirip kuning memiliki kadar kalsium lebih tinggi dibandingkan dengan tulang ikan lainnya seperti catfish (Riyanto dkk., 2013). Kandungan mineral dari tulang ikan tuna sirip kuning yaitu kalsium 62,12%, fosfor 6,25%, natrium 0,36% dan zat besi 0,03% (Venkatesan dan Kim, 2010; Ismanadji dkk., 2000). Kandungan kalsium pada tulang ikan tuna sirip kuning yang tinggi dapat berikatan dengan fosfor membentuk apatit atau trikalsiumfosfat yang mudah diserap tubuh. Tulang ikan tuna sirip kuning dengan kandungan kalsium yang tinggi dapat disintesis menjadi hidroksiapatit sehingga kemungkinan dapat dijadikan alternatif material bone graft dalam mempercepat proses penyembuhan tulang (Orias, 2008). B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut timbul permasalahan, bagaimana pengaruh implantasi bone graft berbasis tulang ikan tuna sirip kuning terhadap jumlah pembuluh darah pada proses penyembuhan tulang tikus wistar?

5 5 C. Keaslian Penelitian Penelitian tulang ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) telah dilakukan oleh Trilaksani dkk. (2006). Pada penelitian ini dilakukan autoclaving dengan frekuensi perebusan yang berbeda untuk menghasilkan tepung tulang ikan tuna berkalsium tinggi. Kadar kalsium tepung tulang ikan tuna didapatkan tertinggi sebesar 39,24% dan bioavailabilitas kalsium sebesar 0,86%, sehingga tepung kalsium tulang ikan tuna yang difortifikasi ke dalam bahan makanan lain dapat membantu penyerapan di usus.. Penelitian mengenai pengaruh implantasi bone graft berbasis tulang ikan tuna sirip kuning terhadap jumlah pembuluh darah pada proses penyembuhan tulang tikus wistar, sejauh penulis ketahui belum pernah dilakukan. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh implantasi bone graft tulang ikan tuna berbasis sirip kuning terhadap jumlah pembuluh darah pada proses penyembuhan tulang tikus wistar. E. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain: 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat diketahui mekanisme bone graft berbasis tulang ikan tuna sirip kuning dalam mempengaruhi vaskularisasi pada proses penyembuhan tulang tikus wistar.

6 6 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi alternatif material bone graft dalam mempercepat proses penyembuhan tulang. 3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas pemanfaatan limbah tulang ikan tuna sirip kuning sebagai alternatif bahan bone graft. 4. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi ilmiah mengenai pengaruh implantasi bone graft berbasis tulang ikan tuna sirip kuning terhadap jumlah pembuluh darah pada proses penyembuhan tulang tikus wistar. 5. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan atau referensi untuk penelitian selanjutnya.