I. PENDAHULUAN. 1 Pendidikan sosial yang dimaksud adalah pendidikan bagi berbagai komponen dalam pesantren

dokumen-dokumen yang mirip
MANIFESTASI NILAI TEOLOGI DALAM GERAKAN EKOLOGI. (Studi Kasus di Pesantren Al Amin Sukabumi dan Pesantren Daarul Ulum Lido Bogor) HUSNUL KHITAM

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Islam sebagai agama tidak dapat dipisahkan dari politik. Dalam artian

BAB V PENUTUP. merupakan jawaban dari rumusan masalah sebagai berikut: 1. Historisitas Pendidikan Kaum Santri dan kiprah KH. Abdurrahan Wahid (Gus

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari kondisi sosial kultural masyarakat. Pendidikan memiliki tugas

BAB IV PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP PESANTREN

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas, bertanggung jawab, dan bermanfaat bagi kehidupannya. Dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mubarak Ahmad, 2014

III. METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. melestarikan dan mengalihkan serta mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Kementrian Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, (Jakarta: Kementrian Agama RI, 2003), 1. 2

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim

BAB I PENDAHULUAN. sangat besar terhadap dunia pendidikan dan pembentukan sumber daya manusia

Kontekstualisasi Teologi sebagai Basis Gerakan Ekologi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lembaga sekolah, non formal yakni keluarga dan informal seperti halnya pondok

BAB I PENDAHULUAN. kyai memberikan pengaruh yang cukup besar dalam perpolitikan di Martapura

BAB I PENDAHULUAN. (Jakarta: Amzah, 2007), hlm Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur an,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan agama khususnya Pendidikan agama Islam sangat dibutuhkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Era globalisasi dewasa ini dan di masa datang sedang dan akan. mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. hadis Nabi yang paling populer menyatakan bahwa ulama adalah pewaris para

BAB V PENUTUP. telah dikaji oleh banyak sejarawan. Hubungan historis ini dilatarbelakangi dengan

BAB V PENUTUP. didalam ranah kajian ilmu-ilmu sosial bahkan hingga saat ini. Berbagai macam jenis

BAB V PENUTUP. pendidikan Pesantren Bumi Damai al Muhibbin, dapat dikategorikan menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Dakwah merupakan suatu kegiatan atau usaha yang di lakukan kaum

BAB 1 PENDAHULUAN. tradisional tertua di Indonesia. Pesantren adalah lembaga yang bisa dikatakan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. aspek, termasuk dalam struktur sosial, kultur, sistem pendidikan, dan tidak

BAB VI PENUTUP. Paiton, memiliki pandangan yang moderat, inklusif-pluralis, terhadap fakta

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Identitas manusia jejak langkah hidup manusia selalu membutuhkan komunikasi.

BAB V PENUTUP. 1. Pendidikan Islam di Nusantara pada masa KH. Ahmad Dahlan sangat

BAB VI KESIMPULAN. masyarakat hidup bersama biasanya akan terjadi relasi yang tidak seimbang. Hal

BAB I PENDAHULUAN. merupakan watak agama Islam yang dibawanya semenjak lahir.banyak cara. kesempatan untuk meninggikan syi ar Islam.

BAB V PENUTUP. maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1)diri sendiri, yang meliputi aspekfisik dan psikis berupa aspek

BAB I PENDAHULUAN. dalam rangka menyikapi globalisasi dan persoalan-persoalan lain yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan sesama manusia, yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad

BAB I PENDAHULUAN. diakui oleh masyarakat. Dalam lembaga pendidikan formal, aktifitas pendidikan. terlaksana melalui kegiatan pembelajaran.

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi

BAB I PENDAHULUAN. Jurnal Teologi Gema Duta Wacana edisi Musik Gerejawi No. 48 Tahun 1994, hal. 119.

BAB I PENDAHULUAN. manusia, karena berkaitan dengan hubungan kita kepada Allah dan hubungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PENDIDIKAN PANCASILA. Pendahuluan. Ramdhan Muhaimin, M.Soc.Sc. Teknik Sipil. Modul ke: Fakultas. Program Studi.

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang lain. Mereka terikat oleh norma-norma yang berlaku di dalam

BAB I PENDAHULUAN. dalam ikut serta mencerdaskan bangsa. Banyaknya jumlah pesantren di Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. harus berhadapan langsung dengan zaman modern. dilepas dari kehidupan manusia. Islam juga mewajibkan kepada manusia

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB V PENUTUP. 1. Model Pengelolaan Wakaf Produktif dengan kerangka kerja yang professional merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Jember fashion..., Raudlatul Jannah, FISIP UI, 2010.

BAB VIII KESIMPULAN. kesengsaraan, sekaligus kemarahan bangsa Palestina terhadap Israel.

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian. Bangsa Indonesia sebagai bagian dari dunia, apabila

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Lia Nurul Azizah, 2013

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB IV PENUTUP. (tradisional) adalah pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab

BAB I PENDAHULUAN. Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan menyatakan tidak berpolitik

BAB I PENDAHULUAN. sempurna yang bertaqwa pada Allah SWT. Serta untuk mencapai kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum. Menurut Hamid

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat yang berjiwa religius,

BAB I PENDAHULUAN. (Bandung: Mizan,1995), hlm Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat,

Meski siswa SMK pakainnya penuh oli lantaran bergelut dengan mesin otomotif, tetap tunaikan shalat tanpa alasan tanggung kotor.

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK SIPIL SIKAP

BAB V PENUTUP. telah dibahas. Berdasarkan analisis penelitian tentang pengembangan dan

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta

PENDAHULUAN. Sejak zaman penjajahan Belanda dan Jepang, pondok pesantren merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Karena itu pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan untuk penanaman nilainilai

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teologi Lingkungan dalam Perspektif Islam

Gerakan Sosial. -fitri dwi lestari-

BAB 1 PENDAHULUAN. saling bekerja sama dalam meningkatkan kualitas kerja agar menghasilkan output yang

BAB IV KARAKTERISTIK PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID TENTANG HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA

PENELITIAN TINDAKAN KELAS (CLASSROOM ACTION RESEARCH) Yoyo Mulyana. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU. DINA MARTIANY, S.H., M.Si.

INTERAKSI SOSIAL PADA AKTIVIS IMM DAN KAMMI. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. tanggung jawab. Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam harus dapat menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi merupakan struktur koordinasi terencana yang formal, yang melibatkan

BAB VI PENUTUP. Perkembangan Pondok Pesantren Hidayatullah ditandai dengan berdirinya

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI. Pada bagian akhir tesis ini akan dikemukakan hal-hal pokok yang

BAB IV MEMAKNAI HASIL PENELITIAN BUDAYA POLITIK SANTRI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pengertian bimbingan pertama kali dikemukakan dalam Years Book of

BAB I PENDAHULUAN. bagi kemajuan suatu bangsa. Masa anak-anak disebut-sebut sebagai masa. yang panjang dalam rentang kehidupan.

MANIFESTASI NILAI TEOLOGI DALAM GERAKAN EKOLOGI

BAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN. A. Manajemen Pendidikan Life Skills Santri di Pondok Pesantren Darul

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan.

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan

BAB IV PERANAN PONDOK PESANTREN PABELAN DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA PABELAN KECAMATAN MUNGKID KABUPATEN MAGELANG JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada.

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii UCAPAN TERIMA KASIH... iii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR BAGAN... x

BAB VI PENUTUP. Pada bab ini akan dikemukakan mengenai A) Kesimpulan; B) Implikasi

KIAI WAHID HASYIM SANG PEMBAHARU PESANTREN. Oleh, Novita Siswayanti, MA. *

BAB IV ANALISIS IMPLEMENTASI SEKOLAH BERBASIS PESANTREN DI SMP DARUL MA ARIF BANYUPUTIH KABUPATEN BATANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

PERLUKAH PERGURUAN TINGGI PASCA PESANTREN. Disusun oleh : Azwan Lutfi Pembina Ponpes As ad Jambi

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK PERTANIAN DAN BIOSISTEM SIKAP

UKDW BAB I PENDAHULUAN

PROGRAM STUDI D3 MEKANISASI PERTANIAN SIKAP

BAB V PENUTUP. menengah perkotaan, mereka menyadari bahwa penampilan memegang peranan

PESANTREN BERBASIS MASYARAKAT (Studi Tentang Manajemen Pesantren al-mubarok Lanbulan Sampang-Madura) Mad Sa i

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pondok pesantren merupakan sebuah institusi pendidikan yang menjadi model khas yang dimiliki oleh Indonesia. Kekhasan yang dimiliki ini menjadi salah satu nilai sosial yang terus dipertahankan dan menjadi identitas masyarakat tertentu khususnya umat Islam di Indonesia. Kondisi ini menjadi mungkin dikarenakan Indonesia yang memiliki jumlah pemeluk agama Islam mayoritas lebih menjadikan pesantren sebagai salah satu penggerak dalam upaya melakukan gerakan yang terkait dengan permasalahan lingkungan sekitar dimana pesantren tersebut berdomisili. Pilihan pesantren tentu berdasarkan alasan-alasan yang sangat relevan mengingat jumlah pemeluk serta ikatan sosial yang terbangun antara pesantren dengan masyarakat sekitarnya. Posisi pesantren setidaknya dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi pendidikan yang menjadi ranah utama terutama pendidikan keagamaan. Sisi lainnya yaitu sisi pengembangan kemasyarakatan. Pemberdayaan masyarakat ini dapat dilihat dari peran pesantren dalam upaya mendorong masyarakat melakukan aktivitas pemberdayaan masyarakat seperti gerakan konservasi lingkungan dan lainnya. Kedua sisi ini sesuai dengan ungkapan Houben (2003) yang menjelaskan bahwa sesungguhnya Islam sebagai suatu agama tidak hanya terbatas pada wilayah teologis saja, tetapi lebih luas menjadi cara hidup (way of life) yang menjadi petunjuk seluruh umat pemeluknya mulai dari sisi teologis hingga hal-hal praktis, dari ruang yang sifatnya privat dan individual hingga ruang yang sifatnya lebih publik. Kondisi ini menjadi dasar kenapa pesantren kemudian melakukan terobosan dengan mencoba keluar dari pemahaman umum yang hanya berkutat pada domain pendidikan keagamaan yang kemudian mencoba meluas pada pendidikan sosial 1 1 Pendidikan sosial yang dimaksud adalah pendidikan bagi berbagai komponen dalam pesantren untuk lebih memahami kondisi sosial masyarakat disekitar pesantren. Dalam sejarahnya, model pendidikan pesantren ini mewujud dalam bentuk aktivitas sosial santri seperti yang banyak dipraktekkan di beberapa pesantren seperti Pesantren Pabelan, Pesantren An Nuqayah, Pesantren Tebuireng, Pesantren Maslakul Huda, Pesantren Cipasung, Pesantren Darunnajah dan lainnya.

Secara geografis, mayoritas pesantren berada pada wilayah pedesaan yang sebagian masyarakatnya berpenghidupan secara agraris meskipun terdapat juga sejumlah pesantren yang berada di perkotaan. Kondisi geografis seperti ini menyebabkan begitu banyaknya pesantren yang berhubungan langsung dengan masyarakat baik secara teologis maupun sosial dan secara jelas berimplikasi pada pengembangan masyarakat disekitarnya. Hal ini karena secara sosiologis banyak pemimpin pesantren tersebut juga melakukan aktivitas atau memiliki sumber penghidupan yang sama dengan masyarakat sekitarnya yaitu agraris. Hermansyah (2003) menyebutkan bahwa peran agama yang secara kelembagaan seperti pesantren dapat mendorong terwujudnya tindakan sosial yang penuh dengan nilai dan makna religius. Tindakan sosial ini dapat muncul apabila ada keterlibatan berbagai macam instrumen masyarakat seperti elit agama, elit ekonomi dan masyarakat biasa sehingga mendorong terbentuknya kohesivitas sosial. Bentuk implementasi nilai teologi yang dilakukan oleh pesantren dapat dilihat dari pemaparan Abd A la (2006) yang menjelaskan bahwa pesantren menyadari bahwa da wah bi al-aqwal yang telah dilaksanakan perlu dikembangkan dan diintegrasikan ke dalam da wah bi al-hal. Dalam ungkapan lain, nilai keagamaan tentang keadilan, kesejahteraan, dan sejenisnya yang diperkenalkan melalui lembaga lokal perlu didorong kearah kerja-kerja yang konkret. Lebih lanjut A la menjelaskan bahwa upaya tersebut dapat menimbulkan kesadaran yang kemudian dibingkai secara teologis yang substansial dan nondikotomis sehingga dapat mengantarkan pesantren mengembangkan pola pendekatan baru dalam menyebarkan keberagamaan dalam bentuk kegiatan yang lebih kontekstual dan lebih bernilai transformatif. Salah satu bentuk yang diupayakan oleh pesantren adalah upaya pemberdayaan masyarakat. Upaya pemberdayaan masyarakat menurut Sairin (2002) dikategorikan menjadi tiga pendekatan yaitu pendekatan mobilisasi yang menjadikan perencana pembangunan menjadi subjek dan masyarakat sebagai objek. Pendekatan kedua yaitu pendekatan partisipatif yang melibatkan seluruh komponen yang terkait dalam pembangunan guna merancang dan memikirkan pembangunan yang diperlukan oleh masyarakat. Pendekatan yang ketiga adalah 2

pendekatan akulturatif yaitu pendekatan yang dapat mempertahankan identitas masyarakat itu sendiri serta mendorong peran lebih besar dari masyarakat itu sendiri. Eksistensi pesantren sendiri dalam sejarahnya bukan tanpa perdebatan sengit. Setidaknya, apa yang ditunjukkan oleh M Dawam Rahardjo dalam pengantar buku Pergulatan Dunia Pesantren, Membangun Dari Bawah menyebutkan bagaimana Ki Hadjar Dewantara dengan Sultan Takdir Alisyahbana saling kritik. Takdir menyebutkan Ki Hadjar dan beberapa intelektual lain yang menyerukan penguatan pendidikan khas seperti pesantren, akan tetapi Takdir justru beranggapan bahwa seruan itu lebih mendorong pada anti intelektualisme, individualisme, egoisme dan materialisme (Rahardjo, 1985). Premis ini berangkat dari budaya pesantren yang menurutnya sangat kolot dan terpaku pada wilayah keagamaan saja serta kedudukan kyai yang sangat tinggi sehingga tidak menimbulkan semangat modernisasi yang diagungkan oleh Takdir. Perdebatan tersebut terus bergulir dan menjadi kritik terhadap pesantren itu sendiri. Dalam perjalanannya, pesantren berusaha untuk menyesuaikan diri dengan berbagai perkembangan zaman dan tidak lagi hanya berkutat pada domain keagamaan. Kondisi ini mendorong gugurnya dikotomi antara keduniaan dengan keakhiratan yang selama ini lekat sekali dengan pesantren sehingga mendorong transformasi besar dalam tubuh pesantren. Meskipun demikian, tidak semua pesantren yang ada di Indonesia melakukannya. Akan tetapi setidaknya, terdapat beberapa pesantren yang mencoba melakukan transformasi tersebut dengan berusaha menempatkan dirinya menjawab berbagai permasalahan yang muncul di masyarakat sekitarnya seperti permasalahan ekonomi, sosial, budaya, ekologi dan sebagainya (Yacub, 1983; Rahardjo, 1985; Effendy, 1990; Ghazali, 2003). Bentuk pengembangan pesantren yang lebih memasyarakat ini sebenarnya merupakan jawaban terhadap perdebatan yang selama ini muncul. Dapat dipahami bahwa meskipun dalam sejarahnya para Kyai sebagai pimpinan pesantren memiliki kontribusi besar terhadap negara seperti apa yang dilakukan oleh Kyai Hasyim Asy ari, Kyai Ahmad Dahlan, Kyai Agus Salim dan lainnya, tetapi secara lokal perlu dilakukan kajian lebih mendalam tentang peran pesantren tersebut 3

dalam usaha menjawab permasalahan kekinian terutama terkait dengan masalahmasalah ekologi. Salah satu bentuk kegiatan yang lebih kontekstual dan transformatif tersebut dapat terlihat dari munculnya gerakan ekologis yang didorong oleh pesantren sehingga mampu mendorong masyarakat melakukan upaya perbaikan dan konservasi lingkungan. Bentuk konservasi lingkungan yang dilakukan beberapa pesantren di Indonesia setidaknya terlihat pada apa yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Pabelan, Pondok Pesantren An Nuqayah, Pondok Pesantren Maslakul Huda, Pondok Pesantren Cipasung, Pondok Pesantren Darunnajah dan beberapa pesantren lainnya pada era 80-an. Beberapa pesantren yang disebutkan didepan pernah mendapatkan penghargaan dari pemerintah berupa penghargaan Kalpataru sebagai apresiasi atas kepedulian mereka terhadap lingkungan. Capaian yang mereka peroleh bermula pada akhir tahun 70-an, pesantrenpesantren tersebut pernah mengikuti Latihan Tenaga Pengembangan Masyarakat (LTPM) yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yang juga melibatkan beberapa pesantren serta alumni dan mahasiswa IAIN. Beberapa peserta pelatihan ini sekembalinya mereka ke pesantren masing-masing, melakukan upaya menjawab persoalan masyarakat terutama yang terkait dengan ekologi seperti yang dilakukan oleh pesantren Pabelan, Cipasung, dan lainnya. Begitu juga Pesantren An- Nuqayah pasca pelatihan tersebut banyak melakukan inisiasi yang mendorong pemberdayaan masyarakat setidaknya sebagai salah satu upaya mencari solusi atas permasalahan masyarakat disekitarnya. Pesantren juga berupaya memformulasi pemecahan kelangkaan air yang menimpa masyarakat. Sebagai bentuk apresiasi dan pengakuan terhadap karya besar pesantren tersebut, pemerintah Indonesia kemudian juga menghadiahkan penghargaan Kalpataru kepada Pesantren An Nuqayah sebagai bentuk kepeduliannya kepada lingkungan. Sebagai contoh lain, atas inisiasi dan kepedulian terhadap lingkungan, pesantren lain yaitu pesantren Pabelan juga mendapatkan penghargaan Aga Khan Award sebagai pengakuan internasional atas sumbangsihnya terhadap lingkungan. 4

Pada tahun 2008, kegiatan konservasi lingkungan semakin meluas dan mempengaruhi pesantren untuk kemudian terjun dan berperan aktif. Serupa dengan apa yang dilakukan oleh pesantren semacam Pabelan dan An Nuqayah, di Sukabumi juga terdapat beberapa pesantren yang melalukan inisiasi konservasi. Pondok Pesantren Al Amin di Cidahu Sukabumi sebagai contoh menginisiasi suatu kegiatan yang mengarah pada terminologi pesantren konservasi. Selain itu juga terdapat pesantren lain yang menempatkan dalam kurikulum pembelajaran mereka materi yang menyangkut konsevasi dan lingkungan. Pesantren lain seperti yang telah di teliti oleh tim peneliti dari LIPI, terdapat beberapa pesantren di daerah Jawa Barat, terutama di Kabupaten Bandung, Garut dan Ciamis yang melakukan aktivitas serupa dengan pesantren diatas (Budiman dan Arief, 2007; Yamin, 2007). Tentu ini merupakan upaya positif yang terus terbangun dan saling bersambutan sebagai bentuk tanggungjawab pesantren terhadap problem sosial di masyarakat. Namun, pertanyaan besar yang kemudian muncul adalah, hingga sejauh mana aktivitas tersebut mengakar dalam pesantren maupun masyarakat disekitar pesantren tersebut. Kontradiksi ini menjadi terlihat ketika muncul beberapa kegiatan dalam pesantren yang justru lebih bernuansa politis ketimbang memikirkan upaya pemberdayaan masyarakat yang bertumpu pada upaya membangun kesadaran dalam intern pesantren maupun masyarakat. Upaya berbagai Pesantren tersebut dalam menjawab permasalahan lingkungan tersebut harus diapresiasi sebagai upaya mencari solusi baik bagi dirinya sendiri maupun bagi masyarakat disekitarnya. Munculnya peran besar lembaga keagamaan ini mempunyai peran tersendiri sehingga pada akhirnya mewujud pada tindakan sosial yang penuh dengan nilai dan makna religius. Religiusitas yang muncul akhirnya juga mendorong peran lembaga keagamaan seperti pesantren menjadi motor penggerak utama masyarakat baik dari sisi keagamaan maupun sosial ekonomi dan ekologi. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana inisiasi tersebut dapat muncul pada pesantren-pesantren tersebut dengan latar waktu yang berbeda. Kondisi ini tentu dilatari oleh kondisi sosio-historis yang berbeda serta pola yang terbangun pada pesantren itu sendiri. Selain itu, menjadi lebih menarik untuk menyelami latar teologis yang mendasari masing-masing gerakan tersebut. Hal ini juga terkait 5

dengan upaya pesantren menjembatani dikotomi keagamaan dengan keduniaan yang dahulu seakan terpisah dan pesantren hanya berkutat pada hal-hal yang bersifat akhirat. Berdasarkan sudut pandang di atas, menjadi penting untuk mengetahui sejauh mana peran pesantren dalam pengembangan masyarakat pedesaan terutama kaitannya secara sosiologis maupun teologis dalam memunculkan gerakan ekologi sebagai upaya mempertahankan lingkungan disekitarnya. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana Pesantren memaknai masalah lingkungan dari perspektif ekoteologi? 2. Bagaimana nilai teologis tersebut termanifestasikan dalam gerakan ekologi yang dilakukan oleh pesantren? 3. Bagaimana arah gerakan ekologi yang dilakukan oleh pesantren tersebut? 1.3. Tujuan Penelitian Merujuk pada beberapa pertanyaan yang diajukan diatas, secara umum tujuan penelitian ini adalah menjelaskan bagaimana pesantren memanifestasikan nilai teologi yang mereka yakini sebagai landasan dalam melakukan gerakan ekologi. Secara spesifik tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mengkaji bagaimana Pesantren melakukan pemaknaan atas masalah lingkungan dengan menggunakan perspektif eko-teologi. 2. Mengkaji bagaimana nilai teologis tersebut termanifestasikan dalam gerakan ekologi yang dilakukan oleh pesantren. 3. Mengkaji bagaimana arah gerakan ekologi yang dilakukan oleh pesantren tersebut. 1.4. Kegunaan penelitian Beberapa kegunaan penelitian yang penulis harapkan dapat dicapai pada penelitian ini antara lain terbagi pada beberapa aras. Pada aras akademik, 6

penelitian ini diharapkan dapat mengisi kekosongan khazanah intelektual terutama yang menghubungkan nilai teologi atau keagamaan yang termanifestasikan dalam pesantren dan mewujud pada gerakan ekologi sehingga dapat dilihat hubungan dan peranan agama dengan konstruk sosial yang terbangun di masyarakat. Kegunaan penelitian lain yang diharapkan adalah pada aras praksis. Pada aras ini penelitian ini nantinya diharapkan mewujud pada pemahaman bahwa upaya penyelamatan lingkungan tidak bisa dilepaskan dengan konstruksi masyarakat lokal yang dalam hal ini pesantren serta nilai-nilai keagamaan yang mereka pahami. Kondisi ini kemudian mengharuskan para pengambil kebijakan melihat lebih kedalam dan membumi bahwa bagaimanapun peran masyarakat lokal seperti pesantren tidak dapat dinafikan dalam mempertahankan lingkungan disekitarnya. 7