BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Pemberian Campuran Onggok dan Molase Terfermentasi terhadap Koefisien Cerna Bahan Kering (KcBK)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Nutrien Silase dan Hay Daun Rami (%BK)

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar. Kecernaan adalah bagian zat makanan dari pakan/ransum yang tidak

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Pemberian Onggok Terfermentasi Bacillus mycoides terhadap

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kendala pada peternak disebabkan mahalnya harga bahan baku, sehingga

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Domba adalah salah satu ternak ruminansia kecil yang banyak. Indonesia populasi domba pada tahun 2015 yaitu ekor, dan populasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh wilayah Indonesia. Kambing Kacang memiliki daya adaptasi yang tinggi

HASIL DAN PEMBAHASAN 482,91 55, ,01 67,22

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Nutrien

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Penggunaan Onggok Kering Terfermentasi Probiotik dalam Ransum Terhadap Konsumsi Pakan Ayam Pedaging

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Isa Brown, Hysex Brown dan Hyline Lohmann (Rahayu dkk., 2011). Ayam

I. PENDAHULUAN. dalam memenuhi kebutuhan protein hewani adalah kambing. Mengingat kambing

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pakan Penelitian

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar. Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi

Keterangan: * = berbeda nyata (P<0,05)

PENDAHULUAN. terhadap lingkungan tinggi, dan bersifat prolifik. Populasi domba di Indonesia pada

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN. Rataan kecernaan protein ransum puyuh yang mengandung tepung daun lamtoro dapat dilihat pada Tabel 7.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa kambing menyukai pakan

BAB I PENDAHULUAN. mengandung protein dan zat-zat lainnya seperti lemak, mineral, vitamin yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. betina yang umumnya dipanen pada umur 5-6 minggu dengan tujuaan sebagai

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan NDF. dengan konsumsi (Parakkasi,1999). Rataan nilai kecernaan NDF pada domba

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Potensi Kambing sebagai Ternak Penghasil Daging

BAB I PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan penyedia protein hewani yang cukup tinggi sehingga

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya dari pulau Madura. Sapi Madura merupakan ternak yang dikembangkan

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering

I. PENDAHULUAN. pesat. Perkembangan tersebut diiringi pula dengan semakin meningkatnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

MATERI DAN METODE. Materi

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu (Bligon) merupakan kambing hasil persilangan antara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan %

PENDAHULUAN. sebagai penghasil telur dan daging sehingga banyak dibudidayakan oleh

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan masalah yang mendasar dalam suatu usaha peternakan. Minat

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juni 2016 dengan tiga

I. TINJAUAN PUSTAKA. A. Puyuh

I. PENDAHULUAN. membuat kita perlu mencari bahan ransum alternatif yang tersedia secara

PENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau

I. PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah penduduk yang disertai dengan meningkatnya kesadaran

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. luas. Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi ayam broiler adalah pakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menghasilkan daging untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Ternak itik

HASIL DAN PEMBAHASAN. dengan kaidah-kaidah dalam standar peternakan organik. Pemeliharaan

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Kandungan Nutrien Daging pada Beberapa Ternak (per 100 gram daging) Protein (g) 21 19, ,5

I. PENDAHULUAN. Limbah industri gula tebu terdiri dari bagas (ampas tebu), molases, dan blotong.

BAB I PENDAHULUAN. Ternak sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil bahan

I. PENDAHULUAN. pakan ternak. Produksi limbah perkebunan berlimpah, harganya murah, serta tidak

TINJAUAN PUSTAKA. Masyarakat saat ini mengenal tiga tipe ayam yaitu ayam tipe ringan, tipe medium

PENGARUH PENGGUNAAN AMPAS KECAP SEBAGAI SUBSITUSI BUNGKIL KEDELAI DALAM RANSUM TERHADAP NILAI KECERNAAN AYAM PEDAGING BROILER PERIODE GROWER SKRIPSI

I. PENDAHULUAN. Minat masyarakat yang tinggi terhadap produk hewani terutama, daging kambing,

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ayam broiler sangat dipengaruhi oleh

I. PENDAHULUAN. hijauan serta dapat mengurangi ketergantungan pada rumput. seperti jerami padi di pandang dapat memenuhi kriteria tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian menggunakan 24 ekor Domba Garut jantan muda umur 8 bulan

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing lokal Indonesia yang memiliki

TINJAUAN PUSTAKA Kelinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kualitas Sabut Kelapa Sawit Fermentasi oleh Pleurotus ostreatus dan Kandungan Ransum Penelitian

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan waktu, pertambahan jumlah penduduk,

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Ransum

TINJAUAN PUSTAKA. baik dalam bentuk segar maupun kering, pemanfaatan jerami jagung adalah sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Standar Performa Mingguan Ayam Broiler CP 707

Gambar 6. Pemberian Obat Pada Domba Sumber : Dokumentasi Penelitian

I. PENDAHULUAN. Ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan baik kualitas, kuantitas

Transkripsi:

49 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Pengaruh Penggunaan Ampas Kecap Sebagai Substitusi Bungkil Kedelai dalam Ransum Terhadap Nilai Kecernaan Bahan Kering (KcBK) Pengolahan ataupun peracikan bahan pakan adalah tidak lain bertujuan untuk meningkatkan palatabilitas dan nilai kecernaan, yang pada gilirannya juga dapat meningkatkan produktivitas ternak. Oleh sebab itu pengolahan limbah ampas kecap pada ransum dalam rangka meningkatkan nilai manfaatnya dapat diteliti melalui pengukuran kecernaan pada ayam broiler. Hasil statistika penelitian ini menunjukkan bahwa substitusi ampas kecap pada perlakuan memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kecernaan bahan kering pada ransum (P < 0,05). Ringkasan analisis data menggunakan One-way ANOVA ditunjukkan pada tabel di bawah ini. Tabel 4.1 Hasil kecernaan bahan kering (KcBK) dengan analisis statistika Oneway ANOVA SK db JK KT F hitung F5% Perlakuan 3 3,281 1,274 4,908* 3,24 Galat 16 4,152 0,260 Total 19 Keterangan *: menunjukkan berbeda nyata Dari hasil tersebut dilakukan uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil) sebagaimana tercantum pada tabel 4.2 untuk mengetahui perbedaan tiap perlakuan 49

Rata-rata (%) Kecernaan BK 50 tentang pengaruh penggunaan ampas kecap dalam ransum terhadap nilai kecernaan bahan kering (KcBK) Ayam broiler jantan Periode grower. Tabel 4.2 Ringkasan Uji BNT tentang pengaruh penggunaan ampas kecap sebagai subsitusi bungkil kedelai terhadap kecernaan bahan kering (KcBK). Perlakuan Rata-rata (%) Notasi BNT P0 0% 70,492 a P3 30% 71,174 ab P2 20% 71,291 b P1 10% 71,708 b Keterangan: Angka yang didampingi oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata Rata-rata kecernaan bahan kering dalam ransum perlakuan tertinggi dicapai oleh ayam yang diberi ransum dengan ampas kecap sebesar 10% (P1) yaitu 71,708%, kemudian berturut diikuti oleh P2 (ampas kecap sebesar 20%) dengan rata-rata 71,291%, P3 (ampas kecap sebesar 30%) dengan 75,36%, dan yang terendah P0 (ampas kecap 0%) sebesar 70,492 %. 72 71,5 71 70,5 70 69,5 P0 P1 P2 P3 Perlakuan Gambar 4.1 Grafik rata-rata kecernaan bahan kering (BK) Hasil uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil) menunjukkan bahwa penggunaan ampas kecap pada taraf 10% dan 20 % nyata dapat meningkatkan kecernaan bahan kering dalam ransum, sedangkan pada taraf 30% nyata dapat menggantikan penggunaan bungkil kedelai atau kurang lebih sama baiknya, sehingga dalam hal ini ampas kecap adalah nyata dapat dijadikan pengganti

51 bungkil kedelai dalam ransum terhadap peningkatan nilai kecernaan bahan kering. Nilai kecernaan bahan kering yang tinggi menunjukkan tingginya kualitas ransum (Bautrif, 1990). Tinggi rendahnya tingkat kecernaan bahan kering setiap perlakuan juga dapat dipengaruhi oleh masing-masing komposisi kimia ransum perlakuan. Anggorodi (1979), menjelaskan bahwa yang berpengaruh terhadap daya cerna diantaranya adalah bentuk fisik pakan, komposisi ransum, dan pengaruh terhadap perbandingan nutrien lainnya. Faktor-faktor lain yang diduga ikut mempengaruhi nilai daya cerna bahan kering ransum adalah (1) tingkat proporsi bahan pakan dalam ransum; (2) komposisi kimia; (3) tingkat protein ransum; (4) persentase lemak; dan (5) mineral (Wahju 1997). Rendahnya daya cerna bahan kering ransum pada perlakuan P3 kemungkinan disebabkan oleh meningkatnya kandungan serat kasar dalam ransum walaupun kandungan yang lain juga tinggi (Tabel 3.2) sehingga menyebabkan daya cerna zat-zat makanan lainnya menurun. Bahan kering merupakan cerminan dari besarnya karbohidrat yang terdapat di dalam bahan pakan penyusun ransum, karena sekitar 50-80 % bahan kering tanaman tersusun dari karbohidrat. Ranjhan (1980) menjelaskan bahwa tipe dan kuantitas karbohidrat dalam bahan atau penambahannya dalam ransum merefleksikan daya cerna zat-zat makanan lainnya, terutama dengan meningkatnya kandungan serat kasar dalam ransum, maka daya cerna zat-zat makanan lainnya akan menurun. Namun tinggi rendahnya daya cerna zat-zat makanan dalam ransum juga dapat dipengaruhi oleh keseimbangan kandungan zat-zat makanan yang terdapat di dalam ransum tersebut.

52 4.2 Pengaruh Pengaruh Pengaruh Penggunaan Ampas Kecap Sebagai Substitusi Bungkil Kedelai dalam Ransum Terhadap Nilai Kecernaan Bahan Organik (KcBO) Tingginya nilai kecernaan bahan kering limbah ampas kecap 10% dan 20 % terhadap ransum (Tabel 4.2) ikut mempengaruhi nilai kecernaan bahan organik, hal yang sama dijelaskan oleh Morisson (1961) bahwa bahan organik merupakan bagian dari bahan kering sehingga apabila kecernaan bahan kering meningkat maka daya cerna terhadap bahan organik juga meningkat. Hasil kecernaan bahan organik (KcBO) pada ransum dengan analisis statistika One-wa ANOVA menunjukkan bahwa substitusi ampas kecap pada perlakuan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap nilai kecernaan bahan organik pada ransum (P < 0,05) seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah ini. Tabel 4.3 Hasil kecernaan bahan organik (KcBO) dengan analisis statistika Oneway ANOVA. SK db JK KT F hitung F5% Perlakuan 3 15,035 5,012 7,440* 3,24 Galat 16 10,778 0,674 Total 19 Keterangan *: menunjukkan berbeda nyata Hasil tersebut dilanjutkan dengan uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil) yakni untuk mengetahui perbedaan antara masing-masing perlakuan terhadap nilai kecernaan bahan organik (KcBO) sebagaimana yang tertera pada tabel dibawah. Tabel 4.4 Ringkasan Uji BNT tentang pengaruh penggunaan ampas kecap sebagai subsitusi bungkil kedelai terhadap kecernaan bahan organik (KcBO). Perlakuan Rata-rata (%) Notasi BNT P3 30% 92,733 a P0 0% 93,110 a P2 20% 94,368 b

Rata-rata (%) Kecernaan BO 53 P1 10% 94,837 b Keterangan: Angka yang didampingi oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata Rataan kecernaan bahan organik dalam ransum perlakuan, tertinggi dicapai oleh ayam yang diberi ransum dengan ampas kecap sebesar 10% (P1) yaitu 94,837%, dan diikuti oleh P2 (ampas kecap sebesar 20%) dengan rata-rata 94,368%, kemudian P0 (ampas kecap 0%) dengan 93,110%, dan selanjutnya yang terendah adalah P3 (ampas kecap 30%) sebesar 92,733%. Rerata dalam bentuk grafik bisa dilihat pada grafik di bawah ini. 95 94,5 94 93,5 93 92,5 92 91,5 P0 P1 P2 P3 Perlakuan Gambar 4.2 Grafik rata-rata kecernaan bahan kering (BO) Dari notasi BNT di atas menunjukkan perbedaan yang signifikan antara penggunaan ampas kecap sebesar 10 % (P1) dan 20 % (P2) dengan penggunaan ampas kecap sebesar 30% (P3) dan 0% (P0), artinya penggunaan ampas kecap pada P1 dan P2 membuat pencernaan bahan organik dalam ransum semakin meningkat, berbeda dengan P3 yang menunjukkan nilai kecernaan bahan organik (KcBO) terendah namun dilihat dari notasi di atas masih dapat diterima sebagai pengganti bungkil kedelai yang artinya sama baiknya dengan penggunaan bungkil kedelai. Rendahnya kecernaan bahan organik pada perlakuan P3 disebabkan oleh

54 rendahnya kecernaan bahan kering pada perlakuan tersebut. Hal ini sejalan dengan prinsip perhitungan bahan organik dari analisis proksimat, dimana semakin rendah persentase bahan kering maka akan diikuti pula oleh penurunan persentase bahan organik (Bautrif, 1990). Rendahnya nilai cerna bahan organik (KcBO) pada perlakuan P3 juga disebabkan juga oleh kandungan seratnya yang tinggi (tebel 3.2). Tillman, dkk (1998) menerangkan bahwa serat kasar dari suatu bahan pakan merupakan komponen kimia yang besar pengaruhnya terhadap kecernaan. Serat kasar yang tinggi biasanya diikuti dengan kandungan lignin yang tinggi sehingga dapat menurunkan kecernaan. Penggunaan serat kasar yang tinggi, selain dapat menurunkan komponen yang mudah dicerna juga menyebabkan penurunan aktivitas enzim pemecah zat -zat makanan, seperti enzim yang membantu pencernaan karbohidrat, protein dan lemak (Parrakasi, 1983; Tulung, 1987). Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya pada nilai kecernaan bahan kering (KcBK) bahwa fisik pakan, komposisi ransum, dan pengaruh terhadap perbandingan nutrien lainnya juga sangat ikut berperan mengapa dalam kecernaan bahan kering (KcBK) pada P3 masih lebih tinggi daripada P0 dan berbeda terbalik pada kecernaan bahan organik (KcBO). Hal ini dapat dihubungkan dengan kandungan serat tinggi yang diikuti kandungan lignin yang tinggi juga. Lignin memiliki kemampuan untuk mengikat nutrient lain berupa protein pada tingkat berbeda sejalan dengan komposisi nutrient yang berbeda juga dalam bahan pakan menjadi lignoprotein. Lignin merupakan senyawa yang heterogen dengan berbagai tipe ikatan sehingga sulit diuraikan oleh enzim hidrolisis (Hofrichter

55 2002), oleh karena itu tingginya kadar serat pada ransum dapat membawa nutrient lain pada feses yang artinya bahan yang keluar dari feses adalah zat yang tidak tercerna. Menurut Tillman dkk. (1998) bahwa kecernaan campuran bahan pakan tidak selalu sama dengan kecernaan masing-masing komponen yang menyusunnya. Selanjnjutnya juga dijelaskan bahwa kandungan serat kasar dan protein pakan, perlakuan terhadap bahan pakan, faktor jenis ternak dan jumlah pakan juga dapat mempengaruhi nilai kecernaan. 4.3 Pengaruh Pengaruh Pengaruh Penggunaan Ampas Kecap Sebagai Substitusi Bungkil Kedelai dalam Ransum Terhadap Nilai Kecernaan Protein Kasar (KcPK) Protein merupakan struktur yang sangat penting untuk jaringan-jaringan lunak di dalam tubuh hewan seperti urat daging, tenunan pengikat, kolagen kulit, bulu, kuku dan bagian tanduk dan paruh (Wahyu, 1997). Hasil kecernaan protein kasar (KcPK) dengan analisis statistika One-wa ANOVA pada penelitian ini menunjukkan bahwa substitusi ampas kecap pada perlakuan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap nilai kecernaan protein kasar pada ransum (P < 0,05) pada tabel 4.5. Tabel 4.5 Hasil kecernaan protein kasar (KcPK) dengan analisis statistika Oneway ANOVA. SK db JK KT F hitung F5% Perlakuan 3 18,271 6,090 11,700* 3,24 Galat 16 8,329 0,521 Total 19 Keterangan *: menunjukkan berbeda nyata

Rata-rata (%) Kecernaan PK 56 Untuk mengetahui perbedaan nilai kecernaan protein kasar (KcPK) setiap perlakuan dilanjutkan dengan uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil), hasil tertulis pada tabel 4.6 dibawah ini. Tabel 4.6 Ringkasan Uji BNT tentang pengaruh penggunaan ampas kecap sebagai subsitusi bungkil kedelai terhadap kecernaan protein kasar (KcPK). Perlakuan Rata-rata (%) Notasi BNT P3 30% 74,215 a P0 0% 75,464 b P2 20% 76,280 bc P1 10% 76,729 c Keterangan: Angka yang didampingi oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata Rata-rata kecernaan protein kasar tertinggi dicapai oleh ayam yang diberi ransum dengan ampas kecap sebesar 10% (P1) yaitu 76,729%, kemudian berturut diikuti oleh P2 (ampas kecap sebesar 20%) dengan rata-rata 76,280%, P0 (ampas kecap sebesar 0%) dengan 75,464%, dan yang terendah P3 (ampas kecap 0%) sebesar 74,215 %. 77 76,5 76 75,5 75 74,5 74 73,5 73 72,5 P0 P1 P2 P3 Perlakuan Gambar 4.3 Grafik rata-rata kecernaan protein kasar (KcPK) Berdasar pada notasi uji BNT (Beda Nyata Terkecil) diketahui bahwa kecernaan protein kasar (KcPK) terbagus ada pada P1 dengan penggunaan ampas kecap sebesar 10% yang artinya dalam notasi di atas penggunaan ampas kecap

57 10% dapat meningkatkan kecernaan protein kasar (KcPK), sedangkan pada taraf 20% adalah sama baiknya dengan penggunaan ampas kecap 0% yang artinya 30% bungkil kedelai tanpa adanya ampas kecap, sehingga dalam hal ini ampas kecap adalah nyata dapat dijadikan pengganti bungkil kedelai dalam ransum terhadap peningkatan nilai kecernaan protein kasar (KcPK). Widodo (2002), menjelaskan bahwa semakin banyak protein tercerna dalam ransum yang dapat diserap oleh tubuh, maka koefisien daya cerna ransum juga semakin meningkat. Sehingga menunjukkan bahwa ransum tersebut adalah bagus untuk digunakan sebagai pakan ternak. Sedangkan kecernaan protein (KcPK) pada perlakuan P3 menunjukkan kecernaan paling rendah padahal pada kecernaan bahan kering (KcBK) masih lebih bagus daripada P0. Morrison (1961) menerangkan bahwa protein merupakan bagian dari bahan kering sehingga apabila kecernaan bahan kering meningkat maka kecernaan protein juga akan meningkat. Namun Widodo (2002), menjelaskan bahwa koefisien daya cerna atau tingkat kecernaan suatu ransum dipengaruhi oleh keseimbangan kandungan zat makanan antara protein dan serat kasar bukan semata-mata dilihat dari satu kecernaan saja seperti tingkat kecernaan bahan kering. Perbedaan nilai kecernaan bahan kering dan protein disebabkan pula oleh adanya perbedaan pada sifat-sifat makanan yang diproses, termasuk kesesuaiannya untuk dihidrolisis oleh enzim pencernaan unggas (Wahyu, 1997). Rasyaf (1994), menerangkan pencernaan protein ini terjadi pada bagian proventriculus. Pada bagian ini disekresikan asam hidroklorik dan pepsin dari

58 dinding provetriculus untuk memecah protein menjadi asam amino. Smith dan Circle (1972) menambahkan bahwa kelarutan protein merupakan salah satu sifat produk protein yang dihubungkan dengan manfaat produk tersebut terhadap tubuh. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa semakin tinggi kelarutannya semakin mudah diserap oleh system pencernaan tubuh sehingga semakin tinggi pula manfaatnya. Protein dalam keadaan natif tidak mudah dicerna, sedangkan protein yang struktur alaminya telah rusak lebih mudah untuk dicerna (Montgomery et al. 1983). Berbeda pada perlakuan P0 (0% ampas kecap), pada kecernaan bahan keringnya masih lebih bagus P3. Namun pada tingkat kecernaan proteinnya mampu melebihi P3. Hal ini kemungkinan disebabkan keseimbangan komposisi zat-zat makanan dari tiap-tiap ransum. Seperti pada bahasan sebelumnya bahwa keseimbangan kandungan zat-zat makanan akan mempengaruhi keefisienan penggunaan ransum. Keefisienan ransum akan rendah, jika kandungan zat-zat makanannya tidak seimbang sekalipun dalam rasio protein tinggi dengan serat kasar tidak berimbang dan terlalu rendah. Sejalan dengan hasil tersebut Blakely dan Bade (1998) menerangkan bahwa campuran dari berbagai jenis bahan pakan dapat saling melengkapi dan dapat meningkatkan efisiensi serta palatabilitas pakan secara keseluruhan sehingga ternak dapat mencapai produksi maksimum.

59 4.4 Pengaruh Pengaruh Pengaruh Penggunaan Ampas Kecap Sebagai Substitusi Bungkil Kedelai dalam Ransum Terhadap Nilai Kecernaan Lemak Kasar (KcLK) Peranan lemak dalam bahan pangan, yang utama adalah sebagai sumber energi. Soeparno (1989), menerangkan bahwa lemak merupakan komponen kimia pada daging ayam broiler yang paling bervariasi, pada umumnya persentase protein, mineral, dan vitamin menurun apabila persentase lemak naik, oleh karenanya variasi nilai nutrisi daging unggas ayam broiler dipengaruhi oleh kandungan lemak. Hal ini sejalan dengan hasil kecernaan lemak kasar (KcLK) pada penelitian ini yakni dengan analisis statistika One-wa ANOVA menunjukkan bahwa substitusi ampas kecap pada perlakuan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap nilai kecernaan lemak kasar pada ransum (P < 0,05) pada tabel 4.6 di bawah ini. Tabel 4.7 Hasil kecernaan lemak kasar (KcLK) dengan analisis statistika Oneway ANOVA. SK db JK KT F hitung F5% Perlakuan 3 4,451 1,484 1953,994* 3,24 Galat 16 0,012 0,001 Total 19 Keterangan *: menunjukkan berbeda nyata Dari hasil tersebut kemudian dilakukan uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil) untuk melihat perbedaan tingkat kecernaan lemak kasar (KcLK) masingmasing perlakuan. Hasil diperlihatkan sebagaimana tercantum pada tabel 4.8. Tabel 4.8 Ringkasan Uji BNT tentang pengaruh penggunaan ampas kecap sebagai subsitusi bungkil kedelai terhadap kecernaan lemak kasar (KcLK). Perlakuan Rata-rata (%) Notasi BNT P0 0% 95,420 a P1 10% 95,705 b

Rata-rata (%) Kecernaan LK 60 P2 20% 96,289 c P3 30% 96,619 d Keterangan: Angka yang didampingi oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata Berdasarkan hasil pengamatan, rataan kecernaan lemak kasar antar perlakuan memperlihatkan perbedaan tingkat kecernaan yang sangat jelas (gambar 4.4 dan table 4.8). Berbeda dengan kecernaan BK, BO, dan PK, kecernaan lemak kasar tertinggi pada perlakuan dicapai oleh P3 dengan ampas kecap sebesar 30% (P1) yaitu 96,619%, kemudian berturut diikuti oleh P2 (ampas kecap sebesar 20%) dengan rata-rata 96,289%, P1 (ampas kecap sebesar 10%) dengan 95,705%, dan P0 (ampas kecap 0%) sebesar 95,420%. Rata-rata kecernaan lemak kasar (KcLK) seperti pada gambar di bawah ini. 97 96,5 96 95,5 95 94,5 P0 P1 P2 P3 Perlakuan Gambar 4.4 Grafik rata-rata kecernaan lemak kasar (KcLK) Hasil uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil) menunjukkan bahwa penggunaan ampas kecap pada persentase berbeda sangat nyata terhadap penyiapan nutrisi lemak. Seperti pada tabel di atas, notasi persentase antar perlakuan menunjukkan tingkat perbedaan yang nyata sekali. Hal ini dikarenakan faktor yang menyebabkan tingginya daya ikat terhadap bahan lemak dan minyak adalah kandungan serat seperti pada table 3.2 (Lopez et al 1996). Perbedaan antar perlakuan dijelaskan oleh Lebas (1983) bahwa semakin meningkat kandungan

61 serat kasar dalam ransum, kandungan dan koefisien cerna energy semakin menurun, sebaliknya kebutuhan energi untuk mencerna serat kasar meningkat. Dalam saluran pencernaan, lemak dan minyak akan lebih lama berada di dalam lambung dibandingkan dengan karbohidrat dan protein, demikian juga proses penyerapan lemak yang lebih lambat dibandingkan unsur lainnya. Oleh karena itu, makanan yang mengandung lemak mampu memberikan rasa kenyang yang lebih lama dibandingkan makanan yang kurang atau tidak mengandung lemak. Perbedaan antar perlakuan dijelaskan pula oleh Hoover dan Heitman (1972) menerangkan semakin tinggi kandungan serat kasar ransum, konsumsi semakin meningkat dan laju pergerakan isi saluran pencernaan juga semakin meningkat oleh karena itu semakin banyak serat kasar yang masuk, maka kemampuan mencerna serat kasar akan semakin meningkat sehingga kebutuhan energy dari lemak akan lebih besar untuk dihabiskan mencerna serat kasar. Menurut Mahardika (1996), lemak digunakan sebagai sumber energi utama terutama pada periode kerja yang lama dan protein akan segera digunakan bila beban kerja terus ditingkatkan. Meningkatnya lemak sebagai sumber energi pada broiler yang mendapat beban kerja mencerna serat akan menyebabkan meningkatnya air metabolik yang dihasilkan, karena oksidasi lemak menghasilkan air metabolik yang lebih tinggi ketimbang karbohidrat. Keadaan ini didukung oleh meningkatnya jumlah urine yang dikeluarkan. Perbedaan tingginya kadar serat dalam ransum menyebabkan pola aktivitas kecernaan dalam tubuh semakin besar, sehingga mempengaruhi besarnya konversi energi dan lemak pada daging. Nimawati (2011), melaporkan pemanfaatan ampas

62 kecap biasanya terkendala oleh serat kasar yang tinggi, ketika pemberian ampas dalam ransum mencapi angka maksimal maka serat kasar yang terkandung juga semakin banyak. Semakin banyak ampas kecap yang ditambahkan dalam ransum ayam broiler periode grower maka kadar lemak daging semakin menurun. 4.5 Pengaruh Pengaruh Pengaruh Penggunaan Ampas Kecap Sebagai Substitusi Bungkil Kedelai dalam Ransum Terhadap Nilai Kecernaan Serat Kasar (KcSK) Seperti yang dijelaskan sebelumnya rendah dan tingginya semua nilai kecernaan baik bahan kering (BK), bahan organic (BO), protein kasar (PK) dan lemak kasar (LK) adalah tidak lain akibat dari pengaruh besar rendahnya kandungan serat dalam ransum. Kandungan serat dalam ransum perlakuan 0% ampas kecap adalah 3.886 %, ransum 10% ampas kecap adalah 4.020%, ransum 20% ampas kecap adalah 4.270% dan pada ransum 30% ampas kecap adalah 4.270%. Analisis statistika One-wa ANOVA menunjukkan bahwa substitusi ampas kecap pada perlakuan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap nilai kecernaan serat kasar (KcSK) pada ransum (P< 0,05) seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah ini. Tabel 4.9 Hasil kecernaan serat kasar (KcSK) dengan analisis statistika One-way ANOVA. SK db JK KT F hitung F5% Perlakuan 3 11,321 3,774 6,294* 3,24 Galat 16 9. 592 0.600 Total 19 Keterangan *: menunjukkan berbeda nyata

Rata-rata (%) Kecernaan SK 63 Hasil tersebut dilanjutkan dengan uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil) yakni untuk mengetahui perbedaan antara masing-masing perlakuan sebagaimana yang tertera pada tabel dibawah ini. Tabel 4.4 Ringkasan Uji BNT tentang pengaruh penggunaan ampas kecap sebagai subsitusi bungkil kedelai terhadap kecernaan bahan organik (KcBO). Perlakuan Rata-rata (%) Notasi BNT P0 0% 3.514 a P1 10% 3.671 a P2 20% 4.154 a P3 30% 5.430 b Keterangan: Angka yang didampingi oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata Hasil rata-rata kecernaan bahan serat kasar dalam ransum perlakuan, tertinggi dicapai oleh ayam yang diberi ransum dengan ampas kecap sebesar 30% (P3) yaitu 5,430%, dan diikuti oleh P2 (ampas kecap sebesar 20%) dengan ratarata 4,154%, kemudian P1 (ampas kecap 10%) dengan 3,671%, dan selanjutnya yang terendah adalah P0 (ampas kecap 0%) sebesar 3,514%. Rata-rata disajikan dalam bentuk grafik di bawah ini. 6 5 4 3 2 1 0 P0 P1 P2 P3 Perlakuan Gambar 4.5 Grafik rata-rata kecernaan serat kasar (KcSK) Dari notasi BNT di atas menunjukkan perbedaan yang signifikan antara penggunaan ampas kecap sebesar 30 % (P3) sedangkan P0 (0% ampas kecap), P1 (10% ampas kecap), dan P2 (20% ampas kecap) adalah sama atau tidak berbeda

64 nyata. Dilihat dari tingginya kadar serat dalam ransum pada perlakuan P3 (table 3.2) merupakan serat tertinggi diantara semua perlakuan yang ada. Oleh karena itu kecernaan dari ayam yang diberi perlakuan P3 ini adalah tertinggi juga. Dari semua kecernaan kandungan nutrisi dalam ransum baik P0, P1, P2 pada pembahasan sebelumnya bahwa tinggi rendahnya kecernaan adalah disebabkan oleh pengaruh dari serat kasar. Sehingga hasil dari kecernaan terhadap bahan nutrisi lain pada P3 ini menunjukkan kecernaan yang rendah. Serat merupakan komponen yang dapat mengikat nutrisi lain dalam pakan dan sulit dicerna sehingga akhirnya akan dikeluarkan melalui feses atau tinja. Serat yang tinggi membuat kandungan lignin yang dibawanya juga ikut tinggi. Menurut Lubis (1963) kadar serat kasar yang tinggi dapat mengganggu pencernaan zat-zat yang lainnya, akibatnya tingkat kecernaan menjadi menurun. Kadar serat yang tinggi akan menurunkan nilai TDN (Total Digestible Nustrients) dari bahan makanan (Stevenson, 1959). Djajanegara (1986) menjelaskan kecernaan serat pakan bukan hanya ditentukan oleh kandungan lignin, tetapi juga ditentukan oleh kuatnya ikatan lignin dengan gugus karbohidrat lainnya. Jafar dan Hassan (1990) menyatakan bahwa kandungan lignin, selulosa dan hemiselulosa mempengaruhi kecernaan makanan dan telah diketahui bahwa antara kandungan liginin dan kecernaan bahan kering berhubungan sangat erat terutama pada rumput-rumputan. Lignin dan selulosa sering membentuk senyawa lignoselulosa dalam dinding sel tanaman, lignoselulosa ini merupakan suatu ikatan yang kuat (Sutardi, 1980).

65 Dari senyawa penyusun serat kasar, hanya selulosa, lignin dan silika yang tidak dapat dicerna oleh unggas, sedangkan hemiselulosa masih dapat dihidrolisa oleh kondisi asam di dalam proventikulus dan ampela (Wahju, 1985). Selain itu enzim pankreas asteslase yang disekresikan pada duodenum mampu melisiskan serat terlarut (Adri, 1989). Ayam broiler merupakan salah satu ternak yang mengalami kesulitan untuk mencerna serat karena dalam pencernaannya tidak terdapat mikroba yang dapat membantu menguraikan lignin seperti pada pencernaan ruminansia. Oleh karena itu, banyak sebagian peternak ayam memberikan asupan probiotik untuk membantu pencernaannya. Winugroho et al. (1983) menjelaskan kandungan serat kasar yang tinggi akan menghambat gerak laju digesta di dalam saluran pencernaan. Oleh karena itu tingginya kecernaan serat pada P3 ini diiringi rendahnya kecernaan yang lain. Pemberian pakan pada ternak perlu mempertimbangkan komposisi nutrisi penyusun energi yang terimpan pada ransum, dan pengaruh terhadap perbandingan nutrien lainnya sehingga pakan dalam ransum lebih efektif dan efisien. Penyusunan kadar nutrisi pakan dalam ransum harus disusun berdasarkan sistem dan sifat-sifat fisiologi pencernaan ayam. Semua mahluk di bumi ini mempunyai kadar kemampuannya masing-masing sebagaimana yang tercantum dalam Al-Quran Surat surat Al-Furqaan ayat 2: Artinya: Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya (Q.S. Al-Furqaan: 2)

66 Setiap makhluk hidup yang diciptakan Allah dimuka bumi ini mempunyai ukuran dan fungsi yang sesuai dengan makhluk tersebut (Al-Jazairi, 2009). Allah menganugerahi semua mahluknyasesuai ukuran dan kadar kemampuannya, sehingga dengan demikian setiap makhluk yang ada di bumi ini mempertahankan jenis dan kelangsungan hidupnya. Maha Suci Allah yang yang menciptakan dan menyempurnakan penciptaan-nya dan menentukan kadar masing-masing dan memberi petunjuk bagi hamba-nya. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa untuk pembuatan pakan ayam broiler periode grower yang baik adalah dengan mempertimbangkan kadar persentase masing-masing nutrisi dan pengaruhnya terhadap nutrisi yang lain. Dalam penelitian ini P1 menunjukkan kecernaan yang seimbang atas semua bahan yang terkandung dalam ransum.