DAMPAK PELAKSANAAN INSEMINASI BUATAN (IB) TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN PETERNAK SAPI PERAH DI DAERAH JAWA BARAT

dokumen-dokumen yang mirip
EFESIENSI USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH DALAM MENGHADAPI ERA PERDAGANGAN BEBAS

PELUANG DAN TANTANGAN PENINGKATAN PRODUKSI SUSU NASIONAL

OPTIMALISASI PENDAPATAN USAHA PEMELIHARAAN SAPI PERAH DALAM UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI SUSU NASIONAL

PERFORMA PRODUKSI SUSU DAN REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN DI BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI YUNI FITRIYANI

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam

Animal Agricultural Journal, Vol. 2. No. 2, 2013, p 1-7 Online at :

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPRODUKSI SUSU SAPI PERAH LAKTASI MELALUI PERBAIKAN PAKAN DAN FREKUENSI PEMBERIANNYA

PENINGKATAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH LAKTASI MELALUI PERBAIKAN PAKAN SKRIPSI. Disusun oleh: DEDDI HARIANTO NIM:

PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI SAPI PERAH MELALUI KAWIN TEPAT WAKTU

Evaluasi Penerapan Aspek Teknis Peternakan pada Usaha Peternakan Sapi Perah Sistem Individu dan Kelompok di Rejang Lebong

HASIL DAN PEMBAHASAN. Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lokasi

UPAYA MEMACU PENINGKATAN POPULASI SAPI POTONG MELALUI PELAK- SANAAN INSEMINASI BUATAN DI DAERAH CIAMIS JAWA BARAT ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu produk peternakan yang berperan dalam

PERFORMANS REPRODUKSI INDUK SAPI LOKAL PERANAKAN ONGOLE YANG DIKAWINKAN DENGAN TEKNIK INSEMINASI BUATAN DI KECAMATAN TOMPASO BARAT KABUPATEN MINAHASA

UPAYA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS SAPI PERAH DAN PENINGKATAN PRODUKSI SUSU MELALUI PEMBERDAYAAN KOPERASI SUSU

ANALISIS POTENSI SAPI POTONG BAKALAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Hubungan Antara Umur dan Bobot Badan...Firdha Cryptana Morga

SISTEM PEMBERIAN PAKAN DALAM UPAYA MENINGKATKAN PRODUKSI SUSU SAN PERAH

PENGGUNAAN PROGESTERON SINTETIK PADA SAPI PERAH FRIES HOLLAND (FH) PENERIMA INSEMINASI BUATAN DAN DI EMBRIO SAPI MADURA

Evaluasi Atas Keberhasilan Pelaksanaan Kawin... Afghan Arif Arandi

Contak person: ABSTRACT. Keywords: Service per Conception, Days Open, Calving Interval, Conception Rate and Index Fertility

ESTIMASI OUTPUT SAPI POTONG DI KABUPATEN SUKOHARJO JAWA TENGAH

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Ternak perah merupakan ternak yang mempunyai fungsi sebagai penghasil

PERBANDINGAN DUA METODE PENDUGAAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH BERDASARKAN CATATAN SEBULAN SEKALI

PERFORMA REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN BETINA DI PETERNAKAN RAKYAT KPSBU DAN BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI OKTARIA DWI PRIHATIN

KAJI KOMPARATIF PENDAPATAN USAHA TERNAK SAPI PERAH BERDASARKAN SKALA PEMILIKAN TERNAK DI KABUPATEN REJANG LEBONG

TEKNIK DAN MANAJEMEN PRODUKSI BIBIT SAPI BALI DI SUBAK KACANG DAWA, DESA KAMASAN, KLUNGKUNG ABSTRAK

Peluang Pengembangan Usaha Sapi Perah di Daerah Dataran Rendah Kabupaten Cirebon

STATUS REPRODUKSI DAN ESTIMASI OUTPUT BERBAGAI BANGSA SAPI DI DESA SRIWEDARI, KECAMATAN TEGINENENG, KABUPATEN PESAWARAN

PENDAHULUAN. kebutuhan susu nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya.

EFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN MOJOKERTO. Oleh : Donny Wahyu, SPt*

SERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR

ANALISIS EKONOMI PEMBERIAN KREDIT SAPI TERHADAP TINGKAT PENDAPATAN PETERNAK SAPI PERAH DI KECAMATAN PAKEM KABUPATEN SLEMAN YOGYAKARTA

Manfaat Finansial Penggunaan Ransum Berbasis Silase... Andrian Lutfiady

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur

Kinerja Reproduksi Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) di Kecamatan Pudak, Kabupaten Ponorogo

Agros Vol. 16 No. 1, Januari 2014: ISSN

Moch. Makin, dan Dwi Suharwanto Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).

KREDIT SAM PERAH, MASALAH DAN PENANGGULANGANNYA

PENINGKATAN ADOPSI TEKNOLOGI INSEMINASI BUATAN PADA SAPI POTONG DI KECAMATAN LALABATA,KABUPATEN SOPPENG

ABSTRAK ANALISIS KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN PADA SAPI BALI DI KABUPATEN KARANGASEM

TINGKAT KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN SAPI POTONG DI TINJAU DARI ANGKA KONSEPSI DAN SERVICE PER CONCEPTION. Dewi Hastuti

KINERJA REPRODUKSI SAPI POTONG PADA PETERNAKAN RAKYAT DI DAERAH KANTONG TERNAK DI JAWA TENGAH

IDENTIFIKASI POLA PERKAWINAN SAPI POTONG DI WILAYAH SENTRA PERBIBITAN DAN PENGEMBANGAN

PEMANFAATAN TURUNAN SEMEN BEKU IMPOR PADA PROGRAM' IB SAPI PERAH DI KELOMPOK INDUK PRODUKSI TINGGI DI SENTRA USAHATERNAK SAP] PERAH DI JAWA TIMUR

Reny Debora Tambunan, Reli Hevrizen dan Akhmad Prabowo. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung ABSTRAK

Evaluasi Kecukupan Nutrien pada Sapi Perah Laktasi... Refi Rinaldi

ANALISIS PENDAPATAN PETERNAK SAPI PERAH LOKAL DAN EKS-IMPOR ANGGOTA KOPERASI WARGA MULYA DI KABUPATEN SLEMAN YOGYAKARTA

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu

EVALUATION OF SLAUGHTERED FRIESIAN HOLSTEIN CROSSBREED DIARY COWS IN PRODUCTIVE AGE AT KARANGPLOSO SUB DISTRICT MALANG

E. Kurnianto, I. Sumeidiana, dan R. Yuniara Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang ABSTRAK

POLA PEMBESARAN SAPI PEDET Pola pembesaran pedet yang sangat menonjol di Kab. Boyolali ada 3 sistem yaitu : (1) pembesaran secara tradisional, (2) pem

ANALISIS PENDAPATAN PETERNAK SAPI POTONG DAN SAPI BAKALAN KARAPAN DI PULAU SAPUDI KABUPATEN SUMENEP

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Usaha Penggemukan Sapi (Kasus di Kelurahan Ekajaya, Kecamatan Jambi Selatan Kotamadya Jambi)

HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS),SUHU RECTAL DAN KETEBALAN VULVA TERHADAP NON RETURN RATE (NR) DAN CONCEPTION RATE (CR) PADA SAPI POTONG

ANALISIS PEMBIAYAAN PENGADAAN CALON INDUK SAPI PERAH ANTAR WILAYAH SENTRA PENGEMBANGAN SAPI PERAH

KORELASI GENETIK DAN FENOTIPIK ANTARA BERAT LAHIR DENGAN BERAT SAPIH PADA SAPI MADURA Karnaen Fakultas peternakan Universitas padjadjaran, Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan

ANALISIS FINANSIAL USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH (Studi Kasus Peternakan HMB Agro, Desa Sukajaya Kecamatan Taman Sari Kabupaten Bogor)

Salmiyati Paune, Jurusan Peternakan Fakultas Ilmu-ilmu Pertanian Universitas Negeri Gorontalo, Fahrul Ilham, Tri Ananda Erwin Nugroho

EFISIENSI EKONOMI USAHA SAPI PERAH DI KAWASAN USAHA PETERNAKAN (KUNAK) KECAMATAN PAMIJAHAN KABUPATEN BOGOR

PENDAHULUAN. dimiliki oleh petani masih dalam jumlah yang sangat terbatas.

PENGARUH BANGSA PEJANTAN TERHADAP PRODUKTIVITAS PEDET SAPI POTONG HASIL INSEMINASI BUATAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

ANALISIS USAHA TERNAK SAPI POTONG (Studi Kasus: Desa Ara Condong, Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat)

PENDAHULUAN. (KPBS) Pangalengan. Jumlah anggota koperasi per januari 2015 sebanyak 3.420

PERBANDINGAN PERFORMA PRODUKSI SAPI PERAH FRIES HOLLAND IMPOR DENGAN KETURUNANNYA (Studi Kasus di PT. UPBS Pangalengan)

ANALISIS KEUNTUNGAN PETERNAK SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) YANG MENGGUNAKAN INSEMINASI BUATAN (IB) DI KECAMATAN TOMPASO BARAT

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Sapi Perah

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN BOJONEGORO. Moh. Nur Ihsan dan Sri Wahjuningsih Bagian Produksi Ternak Fakultas Peternakan UB, Malang

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

PENGGEMUKAN SAPI POTONG POLA LOW EXTERNAL INPUT SUSTAINABLE AGRICULTURE

LOUNCHING PROVEN BULL SAPI PERAH INDONESIA

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelahiran anak per induk, meningkatkan angka pengafkiran ternak, memperlambat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

STUDY POTENSI DAN PEMANFAATAN CACING TANAH UNTUK PAKAN UNGGAS

PEDOMAN PELAKSANAAN UJI PERFORMAN SAPI POTONG TAHUN 2012

JURNAL TERNAK Vol. 06 No.01 Juni

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

SKRIPSI EVALUASI PENERAPAN GOOD BREEDING PRACTICE SAPI POTONG DI UPT BALAI KAJI TERAP PETERNAKAN SRI PULAU KOTA DUMAI PROVINSI RIAU

PENDAPATAN TENAGA KERJA KELUARGA PADA USAHA TERNAK SAPI POTONG DI KECAMATAN TOROH KABUPATEN GROBOGAN

ANALISIS PENDAPATAN PETERNAK SAPI PERAH KECAMATAN BANYUMANIK, KECAMATAN GETASAN, DAN KECAMATAN CEPOGO. D. Anindyasari, A. Setiadi, dan T.

Pemotongan Sapi Betina Produktif di Rumah Potong Hewan di Daerah Istimewa Yogyakarta

KINERJA PRODUKTIVITAS SAPI PERAH IMPOR DAN HASIL TURUNANNYA DI JAWA TIMUR: STUDI KASUS DI DATARAN RENDAH DAN DATARAN TINGGI PASURUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

Kajian Komparatif Parameter Ekonomi (Harga Susu dan Pakan) Terhadap Efisiensi Penggunaan Teknologi Pakan Pada Usaha Sapi Perah

KANDUNGAN LEMAK, TOTAL BAHAN KERING DAN BAHAN KERING TANPA LEMAK SUSU SAPI PERAH AKIBAT INTERVAL PEMERAHAN BERBEDA

Kata Kunci : Kerbau Betina, Karakteristik Reproduksi, Tingkat Kesuburan. Keyword: Female Buffalo, Reproductive Characteristics, Fertility Rate

ANALISIS PENDAPATAN USAHATERNAK SAPI PERAH (Studi Kasus di Perusahaan X, Desa Cibeureum Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor) SKRIPSI SHCYNTALIA HERTIKA

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI. Koperasi berasal dari kata ( co = bersama, operation = usaha) yang secara

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

Analisis Biaya dan keuntungan...simon pardede

PENDAHULUAN. pangan hewani. Sapi perah merupakan salah satu penghasil pangan hewani, yang

EVALUASI PERFORMA PRODUKSI SUSU SAPI PERAH FRIESHOLLAND (FH) KETURUNAN SAPI IMPOR (Studi Kasus di PT. UPBS, Pangalengan, Jawa Barat)

KERAGAAN USAHA SAPI PERAH DAN UPAYA PERBAIKANNYA: KASUS DI KABUPATEN REJANG LEBONG-BENGKULU

Analisis Break Even Point (BEP) Usahatani Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Sleman

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

Transkripsi:

DAMPAK PELAKSANAAN INSEMINASI BUATAN (IB) TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN PETERNAK SAPI PERAH DI DAERAH JAWA BARAT TATIT SUGIARTI dan SORI B. SIREGAR Balai Penelitian Ternak P. O. Box 221, Bogor 16002, Indonesia (Diterima dewan redaksi 5 Oktober 1998) ABSTRACT TATIT SUGIARTI and SORI B. SIREGAR. 1999. Effect of artificial insemination practices on the improvement of income of dairy cattle farmers in West Java. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 4(1): 1-6. A study was done to evaluate the effect of artificial insemination (AI) on the improvement of farmers income. This study was conducted in Bandung district, where doing cattle population was concentrated, from which four locations were chosen, namely : Pangalengan, Kertasari, Lembang and Cisarua. In this study 1,800 non pregnant and healthy cows were selected. Artificial Insemination practices applied were : insemination at 60-90 days post partum precise check estrous and precise insemination time (9-24 hour after the first sign of estrous). Data of these 1,800 cows collected in the previous study was used as control data. Pregnancy was determined through non return rate (NRR) method and confirmed by rectal palpation. To study the impact of AI on farmers income, 30 farmers from each location were sampled. Data was obtained through a survey and was analysed based on descriptive and partial methods as it is commonly used in similar studies. The dairy cattle farming in each location was only part of the agriculture business own by farmers. Therefore the composition of cattle raised was not balanced productive and nonproductive cattle. Practices of AI in this study significantly reduce the lactation length : 363 to 312 days for Pangalengan, 355 to 316 days for Kertasari, 368 to 313 days for Lembang and 348 to 321 days for Cisarua. This optimalization of lactation length increases the farmers income as much as follow : Rp 615.02/head/days for Pangalengan, Rp 615.17 /head/day for Kertasari, Rp 601.32/head/day for Lembang and Rp 301.08/head/day for Cisarua. The application of AI practices in this study affect the income of farmers significantly, but the real application in rural areas needs special attention especially on the facilities for AI, in order to get the optimum result. Key words : Dairy cows, AI, lactation length, milk production, farmers income ABSTRAK TATIT SUGIARTI dan SORI B. SIREGAR. 1999. Dampak pelaksanaan inseminasi buatan (IB) terhadap peningkatan pendapatan peternak sapi perah di daerah Jawa Barat. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 4(1): 1-6. Penelitian untuk mengetahui dampak pelaksanaan IB terhadap peningkatan pendapatan peternak sapi perah, telah dilakukan di Kabupaten Bandung yang merupakan usaha pemeliharaan sapi perah terpadat di daerah Jawa Barat. Dari Kabupaten tersebut dipilih empat lokasi penelitian, yaitu kecamatan yang padat usaha sapi perahnya dan IB yang sudah intensif dilaksanakan, yakni Pangalengan, Kertasari, Lembang dan Cisarua. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan 1.800 ekor sapi perah induk yang tidak bunting (kosong) dan tidak mengidap penyakit atau pun kelainan reproduksi. Perlakuan yang diberikan adalah berupa pelaksanaan inseminasi 60-90 hari setelah beranak, deteksi berahi yang tepat dan akurat serta inseminasi yang tepat waktu, yakni 9-24 jam setelah tanda-tanda berahi pertama terlihat. Sebagai pembanding atau kontrol adalah penelitian IB yang dilakukan sebelumnya terhadap materi sapi perah induk yang sama dengan materi penelitian yang digunakan pada penelitian ini. Penentuan terhadap kebuntingan dilakukan dengan metode Non Return Rate (NRR) yang dilanjutkan dengan metode palpasi. Untuk mengetahui dampak perlakukan IB terhadap peningkatan pendapatan, dilakukan pengambilan sampel sebanyak 30 peternak di masing-masing lokasi penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei dan dianalisis secara deskriptif maupun secara partial dengan menggunakan analisis yang umum dilakukan terhadap usaha pemeliharaan sapi perah. Usaha pemeliharaan sapi perah di tiap lokasi penelitian dapat dikatakan masih relatif kecil dan merupakan komponen dari substansi lainnya. Komposisi sapi perah yang dipelihara belum merupakan usaha pemeliharaan yang ekonomis karena ketidakseimbangan antara jumlah sapi induk produktif dengan jumlah sapi non produktif. Perlakuan IB yang dilakukan telah dapat mengoptimalkan panjang laktasi dari sapi-sapi perah induk di tiap lokasi penelitian, yakni dari 363 hari menjadi 312 hari di lokasi Pangalengan, dari 355 hari menjadi 516 hari di lokasi Kertasari, dari 368 hari menjadi 313 hari di lokasi Lembang dan dari 348 hari menjadi 321 hari di lokasi Cisarua. Optimalisasi panjang laktasi tersebut telah memberi dampak terhadap peningkatan pendapatan peternak di masing-masing lokasi penelitian, yakni sebesar Rp 615,02/ekor/hari di lokasi Pangalengan, Rp 615,17/ekor/hari di lokasi Kertasari, Rp 601,32/ekor/hari di lokasi Lembang dan Rp 301,08/ekor/hari di lokasi Cisarua. Walaupun perlakukan IB 1

TATIT SUGIARTI dan SORI B. SIREGAR : Dampak Pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) Terhadap Peningkatan Pendapatan Peternak sebagaimana yang dilakukan dalam penelitian ini memberikan dampak yang nyata terhadap peningkatan pendapatan, namun dalam inplementasinya di lapangan harus ditunjang dengan sarana pelaksanaan IB yang memadai. Kata kunci : Sapi perah induk, IB, panjang laktasi, produksi susu, pendapatan PENDAHULUAN Teknologi Inseminasi Buatan (IB) merupakan teknologi yang sudah lama dikenal, namun masih relevan untuk digunakan sekarang ini. IB mulai dilaksanakan di Indonesia pada tahun 1952 oleh Balai Penyelidikan Hewan di Bogor (sekarang Balai Penelitian Ternak) pada sapi-sapi perahnya. Namun pelaksanaan IB dapat dikatakan mulai berkembang semenjak dimulainya penggunaan semen beku pada sapi-sapi perah di daerah Bogor dan sekitarnya pada tahun 1972 oleh Lembaga Penelitian Ternak (SIREGAR dan SITORUS, 1977). Kemudian pada awal 1973, Direktorat Jenderal Peternakan, terutama setelah mendapat bantuan semen beku dari Selandia Baru, mulai mengintensifkan dan menyebarluaskan pelaksanaan IB pada sapi perah dan sapi potong ke beberapa daerah di Jawa termasuk di Jawa Barat. Salah satu masalah utama yang dialami oleh sebagian besar peternak sapi perah dewasa ini adalah selang beranak yang semakin panjang. Penelitian yang telah dilakukan di daerah Bogor dan Lembang mendapatkan, bahwa selang beranak dari sapi-sapi perah induk yang dipelihara di kedua daerah tersebut, masing-masing adalah 453 hari dan 418 hari (SIREGAR dan RAYS, 1992). Sementara itu, YUSRAN et al. (1994) melaporkan bahwa di daerah Pasuruan, selang beranak dari sapi-sapi perah induk yang dipelihara mencapai rata-rata 398 hari. Terlepas dari masalah penyakit maupun kekurangan gizi, selang beranak yang panjang selalu diikuti pula dengan panjang laktasi atau masa pemerahan yang semakin panjang. Panjang laktasi yang paling optimal adalah (305±4) hari = 309 hari dan selang beranak yang optimal adalah (309±56) hari = 365 hari atau setahun (BARRET dan LARKIN, 1974). Selama 4 hari setelah melahirkan tidak dihitung sebagai panjang laktasi, dikarenakan masa 4 hari tersebut itu adalah masa pemberian kolostrum. Sebagaimana dipahami, bahwa proses terjadinya produksi susu adalah dikarenakan terjadinya kelahiran. Jarak atau pun selang beranak yang tidak optimal akan berakibat pula terhadap panjang laktasi yang tidak optimal dan hal ini akan mengurangi pendapatan peternak. Oleh karena itulah selang beranak dan panjang laktasi merupakan dua hal pokok yang selalu harus diperhatikan dalam pelaksanaan IB, khususnya pada sapi perah. Pelaksanaan IB pada sapi perah harus mampu menghasilkan selang beranak yang tidak kurang dan tidak lebih dari setahun dengan panjang laktasi yang optimal, yakni sekitar 10 bulan (BARRET dan LARKIN, 1974). Panjang laktasi yang kurang dari 10 bulan akan berakibat pada pengurangan jumlah produksi susu yang diperoleh, dan hal ini akan mengurangi pendapatan maupun keuntungan peternak. Sebaliknya panjang laktasi yang melampaui 10 bulan akan menjadi tidak ekonomis dikarenakan nilai dari pertambahan produksi susu tidak seimbang dengan biaya produksinya. Sejalan dengan pengutaraan di atas dapat dinyatakan bahwa panjang laktasi yang optimal memberikan tingkat pendapatan yang maksimal. Oleh karena itu terhadap sapi-sapi perah induk laktasi selalu terus diupayakan agar mencapai panjang laktasi yang optimal melalui pengaturan pelaksanaan IB, sehingga pendapatan peternak dapat ditingkatkan. Hal inilah yang merupakan tujuan pelaksaan penelitian ini. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan pada peternak-peternak sapi perah di Kabupaten Bandung, yang merupakan pemeliharaan sapi perah terpadat di Jawa Barat. Dari kabupaten tersebut dipilih empat kecamatan yang di samping potensial dalam pemeliharaan sapi perah, juga IB sudah intensif dilakukan. Kecamatan terpilih yang merupakan lokasi penelitian ini masing-masing adalah Pangalengan, Kertasari, Lembang dan Cisarua. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan 1.800 ekor sapi perah induk yang berada dalam keadaan tidak bunting (kosong) dan tidak mengidap penyakit atau pun kelainan reproduksi. Sapi-sapi perah induk tersebut merupakan lanjutan penelitian IB yang telah dilaksanakan selama setahun sebelumnya, namun belum diberi perlakuan dan merupakan kontrol terhadap penelitian yang dilakukan ini. Perlakuan yang diberikan adalah berupa pelaksanaan inseminasi 60 hari setelah beranak, deteksi berahi yang tepat dan akurat dan inseminasi yang tepat waktu, yakni sekitar 9-24 jam setelah tanda-tanda berahi pertama terlihat. Setiap sapi perah induk yang digunakan sebagai materi penelitian ini dilengkapi dengan sebuah kartu yang berisikan catatan-catatan pelaksanaan inseminasi (waktu berahi dan pelaksanaan inseminasi). Penentuan kebuntingan dilakukan dengan metode non return rate (NRR) dan palpasi. Dalam hal ini, sapi-sapi perah induk yang sudah diinseminasi, 60-90 hari setelah inseminasi tidak lagi memperlihatkan tanda-tanda berahi, dianggap sudah bunting dan kemudian dilakukan palpasi rektal. Perlakuan IB yang dilaksanakan berakibat terhadap optimalisasi panjang laktasi yang memberikan 2

Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner Vol. 4 No. 1 Th. 1999 dampak terhadap peningkatan pendapatan. Untuk mengetahui besarnya peningkatan pendapatan tersebut telah dipilih sampel sebanyak 30 peternak di masingmasing lokasi penelitian. Sampel tersebut sudah dianggap memadai jumlahnya mengingat keadaan pemeliharaan sapi perah yang seragam di tiap lokasi. Pendapatan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai selisih antara besarnya penerimaan dengan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi susu. Pengumpulan data untuk analisis pendapatan ini dilakukan dengan menggunakan metode survei. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif maupun secara parsial sebagai mana analisis yang umumnya dilakukan terhadap usaha pemeliharaan sapi perah (SIREGAR, 1992). HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah dan komposisi pemeliharaan sapi perah Untuk mengetahui dampak pelaksanaan IB terhadap peningkatan pendapatan para peternak, perlu diketahui terlebih dahulu jumlah dan komposisi sapi perah yang dipelihara. Dalam usaha pemeliharaan sapi perah, penerimaan yang utama adalah dari penjualan susu. Ada tiga sumber penerimaan dalam usaha pemeliharan sapi perah, yaitu penjualan susu, penjualan sapi-sapi afkir atau sapi-sapi yang tidak diproyeksikan sebagai peremajaan dan dari penjualan kotoran sapi, berupa pupuk kandang. Susu diproduksi oleh sapi-sapi perah yang produktif, yakni sapi-sapi induk yang sedang berproduksi susu atau laktasi. Sapi laktasi yang baik, berproduksi susu selama kira-kira 10 bulan, dan kemudian memasuki masa tidak berproduksi susu atau masa kering selama sekitar 2 bulan (BARRET dan LARKIN, 1974). Peternak umumnya tidak hanya memelihara sapi laktasi, tetapi juga sapi kering kandang dan sapi-sapi lainnya yang belum produktif, yang diperuntukkan sebagai peremajaan sapi-sapi induk yang tidak ekonomis lagi untuk dipelihara terus. Sapi-sapi tersebut terdiri dari pedet, anak atau dara. Komposisi pemeliharaan sapi perah yang terdiri dari sapi laktasi dan nonlaktasi akan mempengaruhi tingkat efisiensi pemeliharaan sapi perah. Hal ini disebabkan, efisiensi pemeliharaan sapi perah sangat tergantung pada perimbangan antara sapi-sapi perah induk dengan sapisapi perah lainnya dalam satu usaha pemeliharaan sapi perah. Dalam hal ini, semakin banyak sapi induk yang dipelihara akan semakin ekonomis. Sapi induk adalah sapi laktasi dan sapi yang sedang kering kandang. Dari Tabel 1 terlihat, bahwa jumlah sapi induk di lokasi Lembang lebih rendah dibandingkan dengan di lokasi lainnya. Pemeliharaan sapi perah di lokasi penelitian masih termasuk dalam usaha kecil, karena jumlah pemeliharaan sapi perah induk masih sangat terbatas. Hal ini berarti, peternak di tiap lokasi penelitian umumnya belum dapat sepenuhnya menggantungkan hidupnya dari usaha pemeliharaan sapi perah, namun masih ada usaha lainnya, terutama adalah bertani yang di tiap lokasi berkisar antara 46,70-91,70%. Tabel 1. Jumlah dan komposisi pemeliharaan sapi perah di tiap lokasi penelitian Komposisi sapi perah Lokasi penelitian Pangalengan Kertasari Lembang Cisarua Betina (ekor) : Laktasi 3,3 ± 2,5 3,1 ± 1,6 2,5 ± 1,6 2,9 ± 1,5 Kering 1,9 ± 1,3 1,3 ± 0,8 1,3 ± 0,4 1,2 ± 0,4 > 24 bulan 1,3 ± 0,5 1,2 ± 0,4 1,3 ± 0,4 0,7 ± 0,5 12-24 bulan 1,5 ± 0,9 1,0 ± 0,0 1,3 ± 0,5 1,3 ± 0,5 6 12 bulan 1,3 ± 0,4 1,3 ± 0,5 1,2 ± 0,4 1,2 ± 0,4 3 5 bulan 1,5 ± 0,5 1,0 ± 0,0 1,3 ± 0,5 1,3 ± 0,5 < 3 bulan 1,0 ± 0,0 1,2 ± 0,4 1,0 ± 0,0 1,7 ± 0,8 Jantan (ekor) : 3 5 bulan 0,0 0,0 1,0 ± 0,0 1,2 ± 0,4 < 3 bulan 1,1 ± 0,3 1,4 ± 0,5 0,0 1,6 ± 1,0 Jumlah 12,9 ± 0,8 11,5 ± 0,5 10,9 ± 0,5 13,1 ± 0,7 Komposisi pemeliharaan sapi perah di tiap lokasi menunjukkan, bahwa perimbangan antara sapi-sapi perah produktif (laktasi dan kering) dengan sapi-sapi lainnya yang non produktif di tiap lokasi, masingmasing adalah 1:0,60 di lokasi Pangalengan, 1:0,64 di lokasi Kertasari, 1:0,77 di lokasi Lembang dan 1:0,75 di lokasi Cisarua (dalam satuan ternak). Komposisi sapi perah di tiap lokasi tersebut belum termasuk ekonomis, 3

TATIT SUGIARTI dan SORI B. SIREGAR : Dampak Pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) Terhadap Peningkatan Pendapatan Peternak artinya komposisi sapi perah yang demikian itu tidak berorientasi kepada keuntungan yang optimal. Hal ini ditandai dengan masih terlalu banyak sapi-sapi perah yang non produktif dibandingkan dengan sapi-sapi yang produktif dan keadaan ini berakibat pada biaya produksi yang tinggi. SHAW (1970) yang disitasi oleh KUSNADI et al. (1983) menyatakan, bahwa komposisi pemeliharaan sapi perah yang ekonomis adalah apabila setiap ekor induk produktif maksimal menanggung beban pemeliharaan 0,40 satuan ternak sapi perah non produktif. Biaya produksi yang semakin tinggi akan semakin mengurangi tingkat pendapatan. Optimalisasi panjang laktasi dan peningkatan pendapatan Sebagaimana telah diutarakan, bahwa penerimaan utama dalam suatu usaha pemeliharaan sapi perah adalah dari penjualan susu. Penelitian terhadap sumber penerimaan di tiap lokasi penelitian menunjukkan, bahwa besarnya penerimaan dari penjualan susu masing-masing adalah 80,47% di lokasi Pangalengan, 67,40% di lokasi Kertasari, 65,35% di lokasi Lembang dan 80,92% di lokasi Cisarua (Tabel 2). Besarnya kontribusi penjualan susu terhadap penerimaan tersebut menunjukkan peranan yang sangat besar dari penjualan susu terhadap penerimaan di tiap lokasi usaha pemeliharaan sapi perah. Dengan demikian semakin banyak susu yang diproduksi akan semakin banyak pula susu yang dapat dijual, dan hal ini akan berakibat kepada penerimaan yang semakin besar. Produksi susu dari tiap peternak ditentukan oleh banyaknya sapi-sapi laktasi dan produksi susu rata-rata per ekor, yang sangat tergantung pula pada panjang laktasi. Produksi susu yang optimal dari setiap ekor sapi laktasi adalah pada 305 hari pemerahan (ACKER, 1971). Panjang laktasi yang kurang dari 305 hari akan berakibat pada penurunan produksi susu dan hal ini akan menurunkan pendapatan peternak. Sementara itu, apabila panjang laktasi lebih dari 305 hari akan berakibat perpanjangan selang beranak dan hal ini pun akan menurunkan pendapatan peternak. Hasil penelitian di daerah Garut menunjukkan, bahwa selang beranak yang lebih dari satu tahun sebagai akibat dari perpanjangan panjang laktasi yang lebih dari 305 hari akan berakibat pada pengurangan pendapatan peternak sebasar Rp 2.333,92/ekor/hari (SIREGAR dan RAYS, 1992). Tabel 2. Rataan penerimaan, biaya produksi dan pendapatan per peternak di tiap lokasi penelitian Uraian Lokasi penelitian Pangalengan Kertasari Lembang Cisarua I. Penerimaan (Rp/hari) a. Penjualan susu 45.752,37 39.273,07 26.432,33 38.477,10 b. Penjualan sapi pedet dan afkir 10.322,06 17.417,70 13.417,70 8.586,00 c. Pupuk kandang 783,93 1.576,23 599,77 486,93 Jumlah I 56.858,36 58.267,00 40.449,80 47.550,03 II. Biaya produksi (Rp/hari) a. Pakan 9.419,00 10.499,00 10.658,00 11.658,97 b. Tenaga kerja 4.166,67 3.743,49 3.548,18 4.231,77 c. Obat dan IB 10.140,47 6.112,33 4.866,67 6.916,70 d. Penyusutan peralatan 3.114,97 2.583,63 1.975,00 3.968,50 e. Penyusutan kandang 1.145,67 785,00 845,00 942,33 f. Lain-lain 1.399,34 1.486,17 1.094,64 1.375,92 Jumlah II 29.386,12 25.209,62 22.987,49 29.094,19 III. Pendapatan (I-II): 27.472,24 33.057,38 17.462,31 18.455,84 Perlakuan yang diberikan dalam pelaksanaan IB berupa optimalisasi masa kosong (days open), diagnosa berahi yang tepat dan akurat dan inseminasi yang tepat waktu, telah mampu mengoptimalkan panjang laktasi di tiap lokasi penelitian. Sebelum penelitian dilakukan, panjang laktasi rata-rata di tiap lokasi penelitian adalah 363 hari di lokasi Pangalengan, 355 hari di lokasi Kertasari, 368 hari di lokasi Lembang dan 348 hari di lokasi Cisarua (SUDARISMAN et al., 1996). Dengan perlakuan-perlakuan yang diberikan, telah mampu 4

Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner Vol. 4 No. 1 Th. 1999 mengoptimalkan panjang laktasi rata-rata di tiap lokasi menjadi 312 hari di lokasi Pangalengan, 316 hari di lokasi Kertasari, 313 hari di lokasi Lembang dan 321 hari di lokasi Cisarua. Pertambahan pendapatan yang diakibatkan oleh optimalisasi panjang laktasi dapat dihitung dengan menghitung terlebih dahulu rataan pendapatan yang diperoleh tiap peternak di tiap lokasi penelitian. Pada Tabel 2 terlihat, bahwa rataan pendapatan yang diperoleh oleh tiap peternak di tiap lokasi penelitian, masing-masing adalah sebesar Rp 27.472,24/hari/peternak di lokasi Pangalengan, Rp 33.057,38/hari/peternak di lokasi Kertasari, Rp 17.462,31/hari/peternak di lokasi Lembang dan Rp 18.455,84/hari/peternak di lokasi Cisarua. Rataan pendapatan tersebut adalah dengan jumlah sapi laktasi sebagaimana tertera pada Tabel 1. Berdasarkan jumlah sapi laktasi tersebut dapat dihitung pendapatan yang diperoleh dari tiap ekor sapi laktasi, yang masingmasing adalah Rp 27.472,24 : 3,3 = Rp 8.324,92/hari di lokasi Pangalengan, Rp 33.057,38 : 3,1 = Rp 10.663,67 di lokasi Kertasari, Rp 17.462,31 : 2,5 = Rp 6.984,92 di lokasi Lembang dan Rp 18.455,84 : 2,9 = Rp 6.364,08 di lokasi Cisarua. Produksi susu rata-rata per ekor sapi laktasi di tiap lokasi, masing-masing adalah 17,6 l/hari di lokasi Pangalengan, 15,6 l/hari di lokasi Kertasari, 15,1 l/hari di lokasi Lembang dan 14,8 l/hari di lokasi Cisarua. Berdasarkan produksi susu rata-rata per ekor tersebut dapat pula dihitung pendapatan yang diperoleh tiap peternak dari setiap liter susu yang diproduksi, yaitu sebesar Rp 8.324,92 : 17,6 = Rp 473,00/l di lokasi Pangalengan, Rp10.663,67 : 15,6 = Rp 683,57/l di lokasi Kertasari, Rp 6.984,92 : 15,1 = Rp 462,58/l di lokasi Lembang dan Rp 6.364,08 : 14,8 = Rp 430,00/l di lokasi Cisarua. Pendapatan yang diperoleh tiap peternak dari setiap ekor sapi laktasi atau pun dari setiap liter susu yang diproduksi sebagaimana yang diutarakan di atas adalah dengan panjang laktasi yang dapat dicapai dengan pelaksanaan perlakuan IB. Rataan panjang laktasi yang dapat dicapai di tiap lokasi penelitian, masing-masing adalah 312 hari di lokasi Pangalengan, 316 hari di lokasi Kertasari, 313 hari di lokasi Lembang dan 321 di lokasi Cisarua. Pengamatan yang dilakukan pada sapi-sapi perah induk yang didata secara sampel di tiap lokasi penelitian menunjukkan, bahwa terjadi penurunan Tabel 3. Parameter produksi dan pendapatan sebelum dan sesudah perlakuan IB produksi susu rata-rata dari setiap ekor sapi laktasi dengan terjadinya perpanjangan laktasi yang melampaui 10 bulan, masing-masing 46,0% di lokasi Pangalengan, 44,0% di lokasi Kertasari, 43,5% di lokasi Lembang dan 43,2% di lokasi Cisarua. Penurunan produksi susu rata-rata per ekor per hari yang terjadi di tiap lokasi penelitian, masing-masing adalah 17,6 x 46% = 8,1 l di Pangalengan, 15,6 x 44% = 6,9 l di Kertasari, 15,1 x 43,5% = 6,6 l di Lembang dan 14,8 x 43,2% = 6,4 l di Cisarua. Berdasarkan data-data yang diutarakan di atas dapat dirumuskan produksi susu rata-rata dari sapi perah induk yang digunakan sebelum perlakuan IB di tiap lokasi penelitian, sebagai berikut : P 1 =L 2 xp 2 +(L 1 -L 2 )PX L 1 L 1 = Panjang laktasi (hari) sebelum perlakuan IB dilaksanakan (tahap pertama penelitian = kontrol) L 2 = Panjang laktasi (hari) setelah perlakuan IB P 1 = Produksi susu rata-rata (l/ekor/hari) sebelum perlakuan IB P 2 = Produksi susu rata-rata (l/ekor/hari) setelah perlakuan IB PX = Penurunan produksi susu rata-rata (l/ekor/hari) dengan terjadinya perpanjangan laktasi lebih dari 10 bulan Hasil rumusan serta analisis data yang diutarakan di atas dapat menunjukkan besarnya peningkatan pendapatan rata-rata sebagai dampak dari perlakuan IB, sebagaimana disajikan pada Tabel 3. Perlakuan IB sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3, telah dapat meningkatkan pendapatan peternak yang besarnya di masing-masing lokasi penelitian adalah Rp 615,02/ekor/hari di Pangalengan, Rp 615,17/ekor/hari di Kertasari, Rp 601,32/ekor/hari di Lembang dan Rp 301,08/ekor/hari di Cisarua. Besar kecilnya peningkatan pendapatan tersebut sangat tergantung pada produksi susu rata-rata dan pertambahan panjang laktasi, setelah 10 bulan laktasi. Produksi susu rata-rata yang semakin tinggi dengan panjang laktasi yang semakin mendekati 10 bulan akan memberikan peningkatan pendapatan yang semakin tinggi. Uraian Lokasi Penelitian Pangalengan Kertasari Lembang Cisarua A. Sebelum perlakuan IB a. Panjang laktasi (hari) 363 355 368 348 5

TATIT SUGIARTI dan SORI B. SIREGAR : Dampak Pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) Terhadap Peningkatan Pendapatan Peternak b. Rataan produksi susu (l/ekor/hari) 16,3 14,7 13,8 14,1 c. Pendapatan (Rp/ekor/hari) 7.709,90 10.048,50 6.383,60 6.063,00 B. Setelah perlakuan IB a. Panjang laktasi (hari) 312 316 313 321 b. Rataan produksi susu (l/ekor/hari) 17,6 15,6 15,1 14,8 c. Pendapatan (Rp/ekor/hari) 8.324,92 10.663,67 6.984,92 6.364,08 C. Peningkatan pendapatan (Rp/ekor/hari) 615,02 615,17 601,32 301,08 Perlakuan yang diberikan pada pelaksanaan IB berupa optimalisasi masa kosong (days open), deteksi berahi yang tepat dan akurat serta inseminasi yang tepat waktu, telah mampu mengoptimalkan panjang laktasi yang memberikan dampak terhadap peningkatan pendapatan peternak. Walaupun perlakuan IB sebagaimana yang dilakukan pada penelitian ini memberikan dampak yang nyata terhadap peningkatan pendapatan peternak, namun dalam implementasinya di lapangan harus ditunjang dengan sarana pelaksanaan IB yang memadai. Sarana tersebut adalah berupa penyediaan semen yang berkualitas baik, inseminator yang handal dan fasilitas pelaksanaan IB yang lengkap. KESIMPULAN Usaha pemeliharaan sapi perah di setiap lokasi penelitian dapat dikatakan masih relatif kecil dan merupakan komponen dari usaha tani lainnya. Komposisi sapi perah yang dipelihara belum merupakan usaha pemeliharaan sapi perah yang ekonomis karena ketidakseimbangan antar sapi induk produktif dengan sapi non produktif. Perlakuan IB yang telah dilakukan telah dapat mengoptimalkan panjang laktasi dari sapi perah induk di tiap lokasi penelitian, yakni dari 363 menjadi 312 di Pangalengan, dari 355 hari menjadi 316 hari di Kertasari, dari 368 hari menjadi 313 hari di Lembang dan 348 hari menjadi 321 hari di Cisarua. Optimalisasi panjang laktasi tersebut telah memberi dampak terhadap peningkatan pendapatan peternak di masing-masing lokasi penelitian yakni sebesar Rp 615,02/ekor/hari di Pangalengan, Rp 615,17/ekor/hari di Kertasari, Rp 601,32/ekor/hari di Lembang dan Rp 301,08/ekor/hari di Cisarua. Walaupun perlakuan IB sebagaimana dilakukan pada penelitian ini memberikan dampak yang nyata terhadap peningkatan pendapatan, namun dalam implementasinya di lapangan harus ditunjang dengan sarana pelaksanaan IB yang memadai. BARRET, M. A. and P. J. LARKIN. 1974. Milk and Beef Productions in the Tropics. Oxford University, Oxford. KUSNADI, M., SOEHARTO, dan M. SABRANI. 1983. Efisiensi usaha peternakan sapi perah yang tergabung dalam koperasi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Procedings Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. hal. 94-103. SIREGAR, S. B. 1992. Sapi Perah: Jenis, Teknik Pemeliharaan dan Analisa Usaha. P.T. Penebar Swadaya. Edisi ke-2. Jakarta. SIREGAR, S. B. dan A. K. RAYS. 1992. Dampak jarak beranak sapi perah induk terhadap pendapatan peternak sapi perah. Ilmu dan Peternakan 1:11-15. SIREGAR, S. B. dan P. SITORUS. 1977. Pertumbuhan dan produksi susu dari F1 "grading-up" sapi perah Friesien dengan semen beku impor. Lembaran LPP 3:1-9. SUDARISMAN, T. SUGIARTI, dan E. TRIWULANINGSIH. 1996. Pengkajian Teknologi Inseminasi Buatan pada Sistem Usaha Pertanian Berbasis Sapi Perah di Daerah Jawa Barat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. YUSRAN, M. A., MARIYONO, L. AFFANDI, dan UUM UMIYASIH. 1994. Tampilan beberapa sifat reproduksi kelompok sapi perah produksi susu tinggi di daerah dataran tinggi. Prosiding Pertemuan Ilmiah Pengolahan dan Komunikasi Hasil Penelitian Sapi Perah. Balai Penelitian Ternak, Bogor. hal. 109-113. DAFTAR PUSTAKA ACKER, D. 1971. Animal Science and Industry. Prentice Hall, Inc. Englewood Cliff. New Jersey. 6