BAB II LANDASAN TEORI. Disiplin kerja merupakan hal penting bagi organisasi, sebab dengan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORI. Kata disiplin itu sendiri berasal dari Bahasa Latin discipline yang berarti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam organisasi, harus diakui dan diterima oleh manajemen. Tenaga kerja adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perusahaan atau instansi pemerintah. Disiplin kerja digunakan untuk dapat meningkatkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Manajemen berasal dari kata to manage yang artinya mengelola, pengelolaan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Disiplin berasal dari kata disple yang artinya patuh, patuh baik

II. TINJAUAN PUSTAKA. dorongan untuk bekerja, kerjasama dan koordinasi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Disiplin Kerja Pegawai. kehidupan kelompok atau organisasi, baik organisasi formal maupun non

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Disiplin Kerja Pengertian Disiplin Kerja Disiplin kerja merupakan fungsi operatif keenam dari Manajemen

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORITIS. para pegawai. Kegiatan yang dimaksud adalah kegiatan yang dapat memberikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS. dari pandangan bahwa tidak ada manusia yang sempurna, pastinya manusia

Menurut Rivai dalam bukunya yang berjudul manajemen sumber daya manusia untuk perusahaan (2009;2) menyatakan :

BAB II LANDASAN TEORITIS. A. Disiplin Kerja. penguasaan diri dengan tujuan menahan impuls yang tidak diinginkan, atau untuk

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No Penelitian Uraian 1. Judul Penelitian

Bisma, Vol 1, No. 8, Desember 2016 FAKTOR-FAKTOR DISIPLIN KARYAWAN PADA CREDIT UNION MURA KOPA BALAI KARANGAN

BAB I PENDAHULUAN. Keith Davis ( 2007 ) mengemukakan bahwa : Dicipline is management action

Bisma, Vol 1, No. 6, Oktober 2016 INDIKATOR-INDIKATOR KEDISIPLINAN KERJA KARYAWAN PADA HOTEL KINI DI PONTIANAK

Bab I. Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. produksi pada perusahaan Keramik Pondowo malang, dengan hasil penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. karyawan itu sendiri yang menyebabkan karyawan dapat menyesuaikan diri

II. LANDASAN TEORI. seluruh faktor yang terdapat di perusahaan. Manajemen adalah seni dan ilmu perencanaan, pengorganisasian,

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS. pembentukan kerangka pemikiran untuk perumusan hipotesis.

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam menghadapi persaingan di era globalisasi perusahaan dituntut untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kepuasan kerja guru ditandai dengan munculnya rasa puas dan terselesaikannya tugastugas

BAB I PENDAHULUAN. Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten sesuai dengan SK 345/KPTS/DIR/2012

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Kepuasan kerja karyawan harus diciptakan sebaik-baiknya, supaya moral kerja,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Manajemen pada dasarnya dibutuhkan oleh semua perusahaan. atau organisasi, karena tanpa semua usaha ataupun kegiatan untuk

Fakultas Komunikasi dan Bisnis Inspiring Creative Innovation. Pemeliharaan Hubungan Pegawai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebaiknya meninjau terlebih dahulu pengertian manajemen itu sendiri. Manajemen

Bisma, Vol 1, No. 5, September 2017 KEDISIPLINAN KERJA KARYAWAN PADA CV JAYA RAYA DI NGABANG

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. kepada keputusan-keputusan, peraturan-peraturan dan nilai-nilai tinggi dari

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORITIS

Bisma, Vol 1, No. 3, Juli 2016 KEDISIPLINAN KERJA KARYAWAN PADA RESTORAN DAN ISTANA KUE CITA RASA DIPONTIANAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terdahulu yang dapat menjadi landasan untuk penelitian yang sekarang

BAB II URAIAN TEORITIS. Rosita Dewi (2008) jurnal dengan judul PENGARUH KOMITMEN ORGANISASI TERHADAP KEPUASAN KERJA AKUNTAN PUBLIK

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Definisi Manajemen Sumber Daya Manusia. 1. Menurut Tulus dalam Suharyanto dan Hadna (2005:16);

BAB II LANDASAN TEORI. A. Motivasi Kerja. dan bantuan yang kuat untuk bertahan hidup. Motivasi adalah memberikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI DEFINISI DAN PENGUKURAN KEPUASAN KERJA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kepuasan kerja merupakan salah satu studi yang secara luas dipelajari

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Bisma, Vol 1, No. 8, Desember 2016 FAKTOR-FAKTOR KEDISIPLINAN KERJA KARYAWAN PADA CREDIT UNION KELING KUMANG TP KANTOR PUSAT

BAB 2. Tinjauan Pustaka. Setiap orang pada dasarnya orang yang bekerja mempunyai tujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. telah di tentukan bersama. Setiap organisasi pastilah memiliki tujuan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. 2.1 Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) kesuksesan suatu organisasi. Banyak organisasi menyadari bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan selalu berusaha untuk mencapai tingkat laba tertentu yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. untuk memproduksi barang-barang yang berkualitas demi meningkatkan daya

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Dengan prestasi kerja yaitu proses melalui mana organisasi. mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan.

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Gaya Kepemimpinan Transaksional Definisi Gaya kepemimpinan Transaksional

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. ketidakpuasannya akan pekerjaannya saat ini. Keinginanan keluar atau turnover

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepuasan kerja menurut Martoyo (2004:132) adalah keadaan emosional karyawan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Tujuan pembangunan Indonesia adalah mewujudkan visi pembangunan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Setiap orang yang bekerja mengharapkan untuk memperoleh kepuasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI PENELITIAN

Bisma, Vol 1, No. 1, Mei 2016 DISIPLIN KERJA KARYAWAN PADA PT MALINDO PERSADA KHATULISTIWA KARANGAN ESTATE DI KARANGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berbagai pengaruh lingkungan seperti lingkungan psikologis, pengaruh sosial,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN : 107). Mathis dan Jackson (2006 : 98) menyatakan kepuasan kerja adalah

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. ada di daerahnya. Pembangunan daerah sebagai pembangunan yang dilaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik dan lingkungannya. Artinya guru memiliki tugas dan tanggung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. organisasi tersebut (Mathis & Jackson, 2006). Menurut Velnampy (2013)

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. yang positif dari individu yang disebabkan dari penghargaan atas sesuatu

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Organizational Citizenship Behavior. Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational

BAB I PENDAHULUAN. organisasi untuk membantu mewujudkan tujuan organisasi itu sendiri. Siswanto

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Kerja. sebuah evaluasi karakteristiknya. Rivai & Sagala (2009) menjelaskan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. perilaku serta sebagai suatu upaya untuk meningkatakan kesadaran dan kesediaan

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI A. Disiplin Kerja 1. Pengertian Disiplin Kerja Disiplin kerja merupakan hal penting bagi organisasi, sebab dengan kedisiplinan karyawan akan membuat pekerjaan yang dilakukan semakin efektif dan efisien. Apabila setiap karyawan dalam organisasi dapat berdisiplin untuk mengendalikan diri dan mematuhi semua peraturan dan norma yang berlaku, maka tujuan organisasi akan mudah tercapai. Menurut Mukijat (dalam Muhaimin, 2004:5), disiplin adalah kegiatan manajemen untuk menjalankan standar-standar organisasional. Secara etiomologis, kata disiplin berasal dari kata Latin diciplina yang berarti latihan atau pendidikan kesopanan dan kerohanian serta pengembangan tabiat. Davis (dalam Anwar Prabu, 2001:129) mengemukakan bahwa Discipline is management to enforce organization standards. Berdasaran pendapat Keith Davis, disiplin kerja dapat diartikan sebagai pelaksanaan manajemen untuk memperteguh pedoman-pedoman organisasi. Menurut Cascio (1995:543) disiplin kerja adalah suatu aturan yang layak dipatuhi untuk bertingkah laku di tempat kerja. Individu yang bekerja sesuai dengan aturan akan bertingkah laku baik dan tidak akan membuat pelanggaran. Dalam definisi di atas dijelaskan bahwa penerapan disiplin dalam kegiatan 10

organisasi ditunjukkan agar semua karyawan yang ada dalam organisasi bersedia dengan sukarela mematuhi dan mentaati segala peraturan dan tata tertib yang berlaku dalam perusahaan itu tanpa paksaan. Malayu Hasibuan (2007:193) disiplin kerja adalah kesadaran dan kesediaan individu menaati semua peraturan organisasi dan norma-norma sosial yang berlaku. Kesadaran sendiri diartikan sebagai sikap individu yang secara sukarela menaati semua peraturan dan sadar akan tugas dan tanggung jawabnya, sedangkan kesediaan adalah suatu sikap, tingkah laku dan perbuatan individu yang sesuai dengan peraturan organisasi, baik yang tertulis maupun tidak. Dalam hal ini individu akan mematuhi dan mengerjakan semua tugasnya dengan baik, dan bukan atas paksaan. Melengkapi definisi-definisi sebelumnya Gibson dkk. (1992:188) berpendapat bahwa disiplin adalah penggunaan beberapa bentuk hukuman atau sanksi jika karyawan menyimpang dari peraturan. Tidak semua ketentuan disiplin berbentuk hukuman. Pendapat dari Gibson menerangkan bahwa jika karyawan yang di hukum tidak menyukai pekerjaanya, karyawan tidak akan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang tidak disukai. Dalam keadaan seperti itu, orang yang dikenai disiplin belum tentu merasakan bahwa hal tersebut adalah hukuman. Para dosen BPA-UGM (dalam Pandji Anoraga & Sri Suyati, 1995:76) memberikan pengertian disiplin kerja adalah suatu keadaan tertib di mana individu-individu tergabung dalam suatu organisasi tunduk pada peraturan- 11

peraturan yang ada dengan senang hati. Melalui definisi tersebut dapat diambil suatu pemahaman bahwa individu yang memiliki persepsi yang sama untuk keberhasilan suatu organisasi akan menanamkan dalam diri individu untuk berdisiplin dalam kerja, berarti individu-individu tersebut dengan senang hati mengikuti semua peraturan yang ada dalam organisasi. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa disiplin kerja merupakan ketaatan setiap anggota organisasi terhadap semua aturan yang berlaku di dalam organisasi tersebut, yang terwujud melalui sikap, perilaku dan perbuatan yang baik sehingga tercipta keteraturan, keharmonisan, tidak ada perselisihan serta keadaan baik lainnya, juga dapat menerima sanksi apabila melanggar peraturan tersebut. 2. Jenis-jenis Disiplin Kerja Disiplin merupakan sikap mental yang positif diantara ketaatan terhadap nilai-nilai menghargai waktu, tenaga dan biaya serta tanggung jawab. Setiap anggota kelompok kerja yang terorganisir harus mengendalikan keinginankeinginan pribadi dan bekerja sama untuk kebaikan semua. Sehingga setiap anggota kelompok dapat melaksanakan pekerjaannya secara tertib dan dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Ada beberapa jenis disiplin, yang dalam prakteknya saling terkait, sebagaimana dijelaskan oleh Avin Fadilla Helmi (1996:35), Anwar Prabu (2001:129), juga Davis dan Newstrom (1995:89), antara lain adalah: 12

a. Disiplin manajerial (manajerian disciplines) Dimana pemimpin yang mengendalikan dan sekaligus memberikan teladan terhadap perilaku disiplin para karyawannya. Dengan arahan pemimpin secara individual karyawan dapat menciptakan kinerja yang dikehendaki. b. Disiplin tim (team disciplines) Kesempurnaan kinerja berasal dari saling ketergantungan satu sama lain, dan saling ketergantungan ini berasal dari suatu komitmen oleh setiap anggota terhadap keseluruhan organisasi. Kegagalan satu individu akan menjadikan kejatuhan kelompok. c. Disiplin diri (self disciplines) Perilaku disiplin sepenuhnya tergantung pada pelatihan, ketangkasan dan kendali diri. Dalam hal ini disiplin kerja merupakan kualitas yang bernilai bagi individu, meskipun bentuk disiplin tidak hanya tergantung pada individu, namun juga pada tugas dan cara tugas itu diorganisir. d. Disiplin preventif Selain ketiga jenis di atas, ada pula disiplin preventif, yaitu disiplin ditegakkan dalam rangka mengantisipasi pelanggaran peraturan atau norma yang berlaku dalam suatu organisasi. Melalui disiplin preventif, karyawan diarahkan mencegah perilaku-perilaku yang mengarah ketidakdisiplinan. e. Disiplin korektif Disiplin korektif adalah suatu upaya menggerakkan karyawan dalam menyatukan suatu peraturan dan mengarahkan untuk tetap mematuhi 13

peraturan sesuai dengan pedoman yang berlaku di organisasi. Apabila karyawan yang melanggar disiplin, diberikan tindakan pendisiplinan, dapat berupa peringatan. Tujuannya adalah untuk memperbaiki kegiatan di waktu yang akan datang bukan menghukum kegiatan di masa lalu, sehingga peraturan yang berlaku tetap terpelihara dan pelanggaran peraturan mendapatkan pelajarannya dari kesalahannya. e. Disiplin progresif Disiplin progresif adalah hukuman yang lebih berat akan dijatuhkan terhadap pengulangan pelanggaran. Tujuannya adalah memberikan kesempatan bagi karyawan untuk memperbaiki diri sebelum terkena hukuman yang lebih serius. Pelanggaran yang pertama dilakukannya teguran lisan dari atasan. Pelanggaran selanjutnya menimbulkan teguran tertulis, dengan mencantumkan catatan dalam arsip. Pelanggaran selanjutnya menimbulkan disipliner yang lebih keras, yang berakhir dengan putusnya hubungan kerja. Pada dasarnya masalah disiplin bersumber pada individu sendiri dan organisasi. Hal tersebut dapat dilihat dalam penanganan sumber daya manusia yang dapat memberikan kontribusi pada masalah disiplin. Seperti penempatan karyawan pada posisi yang tidak sesuai, pelatihan yang tidak tepat menimbulkan ketidakpuasan kerja, pimpinan juga berpotensi menimbulkan masalah disiplin melalui penerapan peraturan yang tidak adil juga gagal mengkomunikasikan standar-standar kinerja. 14

3. Pembinaan Disiplin Kerja Setiap perusahaan harus memiliki program pembinaan disiplin kerja karyawan. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi dampak kurang taatnya karyawan pada ketentuan yang berlaku serta kurangnya pengertian dan kesadaran dari tenaga kerja betapa pentingnya kedisiplinan. Menurut Siswanto Sastrohadiwiryo (2005:290) terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan dalam pembinaan disiplin kerja karyawan, diantaranya : a. Memberikan himbauan pada karyawan dengan penyampaian secara langsung oleh atasan atau dengan mengumumkannya pada para karyawan dengan cara ditempel di dinding. b. Diadakannya program pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh perusahaan. Hal ini dimaksudkan untuk memberitahukan pada karyawan yang kurang taat terhadap pedoman normatif mengenai dampak dibalik tindakan indisipliner tersebut. c. Memberikan peringatan dan sanksi-sanksi bagi pelaku indisipliner juga perlu dilakukan. Hal ini perlu dilakukan untuk mendidik para karyawan untuk bertingkah laku dan untuk melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Sanksi-sanksi tersebut dapat berupa penskoran tanpa kompensasi atau bahkan yang terberat adalah pemberhentian hubungan kerja. Merujuk penjelasan diatas pembinaan disiplin tersebut dapat dibedakan menjadi pencegahan dan pemberian sanksi. Pencegahan yaitu berupa pemberian himbauan dan diberikannya pendidikan dan pelatihan oleh perusahaan. Dari 15

uraian diatas dapat disimpulkan bahwa disiplin karyawan yang baik akan menguntungkan bagi organisasi dan disiplin yang kurang akan menjadi penghalang dan memperlambat dalam pecapaian organisasi. 4. Faktor-faktor Disiplin Kerja Disiplin berkaitan erat dengan sikap juga tingkah laku individu. Dengan mentaati tata tertib tersebut merupakan pencerminan dari besarnya tanggung jawab terhadap tugas-tugas yang diberikan. Oleh karena itu disiplin kerja yang baik harus dimiliki oleh karyawan. Grote (1995:58) menyatakan tiga faktor kedisiplinan, yang muncul dalam bentuk tampilan kerja karyawan dalam organisasi. Tiga faktor tersebut adalah : a. Kehadiran (Attendance) Kehadiran mencakup kedatangan karyawan untuk bekerja. Ketepatan waktu karyawan untuk datang ke tempat kerja setiap harinya, kedatangan karyawan untuk bekerja dan durasi kerja penuh sesuai dengan waktu kerja yang telah ditetapkan. b. Perbuatan (Performance) Perbuatan karyawan dalam perusahaan mencakup kualitas, kuantitas, pengeluaran dan waktu. Sebagai contoh beberapa di antaranya adalah minimalisasi pemborosan penggunaan peralatan kerja, penggunaan waktu kerja sebaik-baiknya, pencapaian tenggat waktu kerja, serta pencapaian hasil dari tujuan. 16

c. Perilaku (Conduct) Perilaku kerja mencakup ketaatan terhadap peraturan yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Di antaranya adalah mentaati prosedur pelaksanaan kerja yang diberikan, mentaati peraturan keselamatan kerja, dan ketaatan terhadap organisasi. Dalam penelitian ini faktor-faktor disiplin kerja dari Grote (1995:58) yang akan dijadikan alat ukur disiplin kerja karyawan di Agung Podomoro Group Project Blok B Tanah Abang, karena sesuai untuk menggali hubungan penting yang potensial antara dimensi disiplin kerja dengan kepuasan kerja dan komitmen organisasi secara spesifik. 5. Tingkat Dan Jenis Hukuman Disiplin Kerja Hukuman banyak digunakan dalam organisasi, namun penggunaannya tidak dipublikasikan secara luas karena pengertian negatif dari istilah hukuman itu sendiri. Anwar Prabu (2001:131) menjelaskan bahwa pelaksanaan hukuman terhadap pelanggaran disiplin kerja adalah dengan memberikan peringatan, harus segera, konsisten dan impersonal. a. Pemberian peringatan Karyawan yang melanggar disiplin kerja perlu diberikan surat peringatan pertama, kedua, ketiga. Tujuan pemberian peringatan adalah agar karyawan yang bersangkutan menyadari pelanggaran yang telah dilakukannya disamping itu pula surat peringatan tersebut dapat dijadikan bahan 17

pertimbangan dalam memberikan penilaian konduite (kemampuan) karyawan. b. Pemberian sanksi harus segera Karyawan yang melanggar disiplin harus segera diberikan sanksi yang sesuai dengan peraturan organisasi yang berlaku. Tujuannya, agar yang bersangkutan memahami sanksi pelanggaran yang berlaku di organisasi. Kelalaian pemberian sanksi akan memperlemah disiplin yang ada. Disamping itu, memberi peluang pelanggar untuk mengabaikan disiplin pada organisasi. c. Pemberian sanksi harus konsisten Pemberian sanksi kepada karyawan yang tidak disiplin harus konsisten. Hal ini bertujuan agar karyawan sadar dan menghargai peraturan-peraturan yang berlaku pada organisasi. Ketidakkonsistenan pemberian sanksi dapat mengakibatkan karyawan merasakan adanya diskriminasi karyawan, ringannya sanksi dan pengabaian disiplin. d. Pemberian sanksi harus impersonal Pemberian sanksi pelanggaran disiplin harus tidak membeda-bedakan karyawan, tua-muda, pria-wanita, tetap diberlakukan sama sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tujuannya agar karyawan menyadari bahwa disiplin kerja berlaku untuk semua karyawan dengan sanksi pelanggaran yang sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam organisasi. 18

Gouzali Saydam (1996:306) menerangkan bahwa hukuman disiplin adalah hukuman yang dijatuhkan pada karyawan yang telah jelas-jelas melanggar peraturan disiplin. Pasal 6 PP no. 30 tahun 1980 (dalam Gouzali Saydam, 1996:306) menyebutkan bahwa ada tiga tingkat hukuman disiplin dan sepuluh jenis hukuman disiplin yang masing-masingnya adalah : a. Hukuman disiplin ringan yang terdiri dari teguran lisan, teguran tertulis dan pernyataan tidak puas secara tertulis. b. Hukuman disiplin sedang yang terdiri penundaan kenaikan gaji berkala maksimum satu tahun, penundaan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala maksimum satu tahun dan penundaan kenaikan pangkat maksimum satu tahun. c. Hukuman disiplin berat yang terdiri dari penurunan pangkat setingkat maksimum satu tahun, pembebasan dari jabatan, pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dan pemberhentian tidak dengan hormat. Berat atau ringannya sanksi hukuman yang akan diterapkan ikut mempengaruhi baik atau buruknya kedisiplinan karyawan. Sanksi hukuman harus ditetapkan berdasarkan pertimbangan logis, masuk akal, tidak bersifat impersonal dan diinformasikan secara jelas kepada setiap karyawan. Sanksi hukuman seharusnya tidak terlalu ringan atau terlalu berat supaya hukuman itu dapat mendidik karyawan untuk mengubah perilakunya. 19

6. Dampak Disiplin Kerja Disiplin dan ketidakdisiplinan kerja berdampak baik bagi individu atau karyawan yang bersangkutan maupun organisasi. Dampak-dampak dari disiplin dan ketidakdisiplinan kerja tersebut diantaranya adalah disebutkan oleh Ahmad Tohardi (2002:394), yaitu: a. Kepuasan kerja Ada hubungan yang erat antara kepuasan kerja dengan disiplin kerja. Karyawan yang mendapatkan kepuasan bekerja secara otomatis akan disiplin dan bekerja dengan baik sesuai dengan peraturan yang ada di dalam organisasi. Sebaliknya karyawan yang tidak mendapatkan kepuasan kerja akan tidak disiplin dalam bekerja. b. Produktivitas kerja Karyawan yang berdisiplin akan memiliki kinerja yang baik dan akan memiliki prestasi kerja yang baik juga. Hal ini akan sangat berpengaruh pada produktivitas organisasi. Bila dalam suatu organisasi banyak karyawan yang berdisiplin maka produktivitas kerja akan meningkat dan sebaliknya bila dalam suatu organisasi terdapat banyak karyawan yang tidak disiplin maka produktivitas kerja akan menurun. c. Kecelakaan kerja Ketidakdisiplin karyawan akan berpengaruh pada keselamatan kerja karyawan itu sendiri. Apabila karyawan tidak disiplin dengan tidak sesuai dengan prosedur kerja atau tidak menggunakan alat-alat keselamatan kerja 20

yang telah disediakan organisasi maka kecelakaan kerja akan dengan mudah dapat terjadi. d. Panutan Kedisiplinan dan indisipliner dapat menjadi panutan bagi orang lain. Jika dalam suatu lingkungan kerja semua karyawan berdisiplin maka karyawan baru yang masuk dalam lingkungan kerja tersebut juga akan ikut berdisiplin. Sebaliknya bila lingkungan kerja dalam organisasi menunjukkan indisipliner maka karyawan baru yang akan masuk dalam lingkungan kerja tersebut akan tidak disiplin juga. Oleh karena itu sulit bagi lingkungan kerja untuk menetapkan disiplin bila tidak ada keteladanan. e. Pencapaian tujuan Apabila ketidakpatuhan karyawan banyak terjadi dalam suatu organisasi pencapaian tujuan perusahaan itu akan sulit tercapai. Oleh karena itu kerja tim yang baik dan berdisiplin sangat dibutuhkan. f. Stabilitas organisasi Jika pada presentase tertentu jumlah karyawan yang tidak disiplin lebih banyak dari yang berdisiplin, maka stabilitas organisasi akan sangat berpengaruh. g. Merusak citra Bagi sebuah organisasi, citra sangatlah penting. Citra memiliki dua dimensi, yaitu dimensi internal dan eksternal. Dimensi internal akan memberikan semangat kerja atau kepuasan kerja serta meningkatkan loyalitas pada 21

karyawan suatu organisasi. Sedangkan dimensi eksternal akan memberikan kepercayaan yang tinggi pada organisasi atau perusahaan yang bersangkutan. Dapat disimpulkan bahwa dampak-dampak dari disiplin kerja adalah dapat mengubah tingkah laku karyawan menjadi lebih baik dan meningkatkan motivasi kerja sehingga produktivitas kerja akan meningkat. 7. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Disiplin Kerja Kedisiplinan sebagai suatu hal yang sangat penting bagi perusahaan dan juga bagi karyawan. Kedisiplinan memiliki beberapa faktor yang dapat mempengaruhi. Malayu Hasibuan (2007:194) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi disiplin kerja karyawan dalam suatu organisasi, yaitu : a. Tujuan dan Kemampuan Tujuan dan kemampuan ikut mempengaruhi tingkat komitmen organisasi bagi kedisiplinan karyawan. Tujuan yang akan dicapai harus jelas dan ditetapkan secara ideal serta cukup menantang bagi kemampuan karyawan. Yang berarti tujuan (pekerjaan) yang dibebankan kepada karyawan harus sesuai dengan karyawan yang bersangkutan, agar ia bekerja dengan sungguh-sungguh dan disiplin dalam mengerjakannya. b. Teladan Pimpinan Pimpinan harus memberikan contoh yang baik, berdisiplin yang baik, jujur, adil serta sesuai kata dengan perbuatan. Dengan teladan pimpinan yang 22

baik, kedisiplinan bawahan pun akan ikut baik. Jika teladan pimpinan kurang baik (kurang disiplin) maka bawahan pun akan kurang disiplin. c. Balas Jasa Balas jasa (kompensasi) ikut mempengaruhi kedisiplinan karyawan karena balas jasa akan memberikan kepuasan dan kecintaan karyawan pada organisasi. Jika kecintaan karyawan semakin baik pada pekerjaan, kedisiplinan karyawan akan semakin baik pula. d. Keadilan Keadilan yang dijadikan dasar kebijaksanaan dalam pemberian balas jasa (pengakuan) atau hukuman yang akan merangsang terciptanya kedisiplinan karyawan yang baik, maka dari itu keadilan harus ditetapkan dengan baik pada setiap perusahaan. e. Pengawasan Melekat Pengawasan melekat (waskat) adalah tindakan nyata dan paling efektif dalam mewujudkan kedisiplinan karyawan. Dengan waskat berarti atasan harus aktif dan langsung mengawasi perilaku, moral, sikap, gairah kerja dan prestasi kerja bawahannya. Waskat efektif merangsang kedisiplinan dan moral kerja karyawan, karena karyawan akan merasa mendapatkan perhatian, bimbingan petunjuk, pengarahan dan pengawasan dari atasannya. f. Sanksi Hukuman Sanksi hukuman berperan penting dalam memelihara kedisiplinan karyawan. Berat atau ringannya sanksi hukuman yang akan diterapkan ikut 23

mempengaruhi baik buruknya kedisiplinan karyawan. Dengan sanksi hukuman yang semakin berat, karyawan akan semakin takut melanggar peraturan-peraturan organisasi, sikap dan perilaku indisipliner karyawan yang berkurang. g. Hubungan Kemanusiaan Hubungan kemanusiaan yang harmonis diantara sesama karyawan ikut menciptakan kepuasan kerja yang bisa mengarah pada kedisiplinan yang baik pada suatu organisasi. Hubungan-hubungan baik yang bersifat vertikal maupun yang horizontal hendaknya harmonis. h. Ketegasan Ketegasan pimpinan dalam melakukan tindakan akan mempengaruhi kedisiplinan karyawan. Pimpinan harus berani dan tegas, bertindak untuk menghukum setiap karyawan yang indisipliner sesuai dengan sanksi hukuman yang ditetapkan. Disiplin yang baik mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab individu terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Hal ini mendorong gairah kerja, semangat kerja, kepuasan kerja, komitmen kerja, juga terwujudnya tujuan organisasi dan karyawan. Sama halnya dengan A. Usmara (2003:66) yang mengatakan bahwa karyawan yang merasa sangat puas memiliki keinginan kuat untuk bekerja dengan disiplin dan datang tepat waktu, sedangkan karyawan yang merasa sangat tidak puas akan memiliki keinginan yang kuat untuk tidak datang tepat waktu mengakibatkan tingkat kedisiplinan karyawan rendah. Dapat 24

diduga bahwa karyawan yang puas akan pekerjaannya akan meningkatkan disiplin kerja karyawan tersebut. B. Kepuasan Kerja 1. Pengertian Kepuasan Kerja Kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual, dapat mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Setiap karyawan akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya, semakin banyak aspek-aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan karyawan tersebut, maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan, sekaligus hal tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat absensi, semangat kerja, produktivitas, prestasi kerja dan masalah lainnya. Hal ini tentu saja harus menjadi perhatian pihak manajemen dan pembuat kebijakan dalam sebuah organisasi. Locke (dalam A.S. Munandar, 2001:350) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah penilaian pekerjaan seseorang sebagai sesuatu yang menyenangkan atau membiarkan seseorang memperoleh nilai pekerjaan yang penting, memberikan nilai-nilai ini sejalan dengan atau membantu pemenuhan kebutuhan dasar seseorang. Merujuk batasan Locke tersebut dapat disimpulkan adanya dua unsur penting dalam kepuasan kerja yaitu nilai pekerjaan dan kebutuhan dasar. Nilai pekerjaan adalah tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan tugas 25

pekerjaan, dan kebutuhan dasar yang ingin dicapai adalah nilai-nilai pekerjaan yang dianggap penting oleh individu. Robert Hoppecl (dalam Pandji Anoraga, 2005:82), mendefinisikan kepuasan kerja merupakan penilaian dari karyawan yaitu seberapa jauh pekerjaannya secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya. Definisi tersebut menyiratkan bahwa terdapat suatu penilaian dari individu terhadap organisasi tempat bekerja. Penilaian tersebut menjadi suatu sikap yakni suka atau tidak suka yang mengarahkan aktivitas kerjanya dalam organisasi. Bila individu puas terhadap organisasi tersebut maka individu akan berupaya bekerja dengan baik di organisasi tersebut. Tokoh lain yaitu T. Hani Handoko (1992:193) menyatakan kepuasan kerja adalah emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaannya. Ini terlihat dalam reaksi positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya. Oleh karena hal itu mempengaruhi tingkat absensi, perputaran tenaga kerja, semangat kerja, keluhan-keluhan dan masalah vital lainnya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah suatu reaksi emosi individu yang menggambarkan tingkat perasaan puas, senang dan sejahtera terhadap pekerjaannya seperti situasi kerja, penyesuaian diri dan hubungan antara para pekerja, dan kerja sama antara pimpinan dengan bawahan serta antara sesama karyawan yang dapat memuaskan kebutuhannya. 26

2. Teori Kepuasan Kerja Beberapa teori dikemukakan untuk menerangkan mengapa individu puas dengan pekerjaannya. Berikut ini dikemukakan beberapa teori dari para ahli yang membahas masalah kepuasan kerja Wexley dan Yulk (2003:130) menjelaskan ada tiga macam teori tentang kepuasan kerja, yaitu : (a) Teori Pertentangan (Discrepancy theory), (b) Teori Keseimbangan (Equity theory), (c) Teori Dua Faktor (Two factor theory). Masing-masing teori tersebut akan dijabarkan seperti dibawah ini : a. Teori Pertentangan (Discrepancy theory) Pertama kali teori ini dikemukakan oleh Porter (dalam Moh. As ad, 2004:103). Ia berpendapat bahwa mengukur kepuasan dapat dilakukan dengan cara menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Menurut Locke (dalam A.S. Munandar, 2001:354), kepuasan kerja seseorang bergantung kepada perbedaan antara seharusnya dengan apa yang menurut perasaannya telah diperoleh dalam pekerjaannya. Dengan demikian orang akan merasa puas bila tidak ada perbedaan antara yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan, karena batas minimum yang diinginkan telah terpenuhi. Apabila yang didapat sesuai dengan harapan yang diinginkan, maka karyawan akan menjadi puas. Sebaliknya jika yang didapat lebih rendah daripada yang diharapkan akan menyebabkan karyawan menjadi tidak puas. 27

b. Teori Keseimbangan (Equity theory) Teori ini dikembangkan oleh Adams (dalam Anwar Prabu, 2001:120). Adapun komponen dari teori ini adalah masukan (input), perolehan (outcomes), perbandingan dengan orang lain (comparison person), keadilan (equity) dan ketidakadilan (inequity). Prinsip teori ini adalah orang akan merasa puas atau tidak puas tergantung apakah seseorang akan merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak pada situasi tertentu. Menurut definisi tersebut dapat di ambil suatu pemahaman bahwa perasaan terhadap keadilan atau ketidakadilan atas situasi, diperoleh dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang pada suatu tempat yang sama maupun di tempat yang lain. Menurut A.S. Munandar (2001:355) berdasarkan teori keadilan dari Adams bahwa orang yang menerima upah yang dipersepsikan terlalu kecil atau terlalu besar akan mengalami ketidakpuasan. Definisi tersebut menerangkan hal yang terpenting ialah sejauh mana upah yang diterimanya dirasa adil. Jika upah dipersepsikan sebagai adil didasarkan tuntutan-tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu dan standar upah yang berlaku untuk pekerjaan tertentu, maka kepuasan kerja muncul. c. Teori Dua Faktor (Two factor theory) Menurut Gibson dkk. (1992:107), teori dua faktor adalah faktor-faktor instrinsik berhubungan dengan kepuasan kerja, sedangkan faktor-faktor ekstrinsik berhubungan dengan ketidakpuasan. Hygiene factor mencakup 28

upah, jaminan pekerjaan, kondisi kerja, status, prosedur perusahaan, mutu supervisi, mutu hubungan antapribadi di antara rekan sekerja, dengan atasan dan dengan bawahan. Bila faktor-faktor tidak memadai, akan menghasilkan ketidakpuasan di kalangan karyawan. Jika faktor-faktor tersebut ada, maka tidak perlu memotivasi karyawan. Gibson dkk (1992:108) menjelaskan kondisi intrinsik disebut pemuas atau motivator, yang meliputi prestasi, pengakuan, tanggung jawab, kemajuan, pekerjaan itu sendiri, kemungkinan berkembang. Apabila serangkaian kondisi intrinsik ada dalam pekerjaan tersebut akan menggerakkan tingkat motivasi yang kuat, yang dapat menghasilkan prestasi kerja yang baik. Jika kondisi tersebut tidak ada, maka tidak akan timbul rasa ketidakpuasan yang berlebihan. Secara umum ketiga teori di atas (teori pertentangan, teori keseimbangan dan teori dua faktor) menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan sikap individu terhadap hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan, dikaitkan juga dengan perasaan, kepercayaan dan kecenderungan untuk bertingkah laku. Karyawan menuntut adanya rasa keadilan yang diterima, kesesuaian yang diinginkan terpenuhi dan faktor motivasi yaitu pekerjaan yang menarik, kesempatan untuk berprestasi, jaminan keselamatan, pengakuan dari individu lain dan promosi, juga pemenuhan hygiene factor yaitu kebijakan dan administrasi perusahaan, penyelia dan gaji yang bila memadai dalam pekerjaan tertentu, menentramkan pekerja. Jika perasaan terhadap pekerjaan positif dapat diartikan dengan kepuasan kerja, bila negatif berarti tidak adanya kepuasan kerja karyawan. 29

3. Dampak Kepuasan Kerja Kepuasan kerja merupakan generalisasi sikap-sikap terhadap pekerjaannya yang di dasarkan atas aspek-aspek pekerjaannya. Menurut Robbins (2001:151), kepuasan kerja cenderung berpusat pada dampaknya terhadap kinerja kerja karyawan. Banyak penelitian yang menggambarkan untuk menilai dampak kepuasan kerja pada produktivitas, kemangkiran dan keluarnya karyawan. a. Kepuasan dan produktivitas Asumsi yang mengatakan bahwa kepuasan kerja yang tinggi menghasilkan produktivitas tinggi, tidaklah selalu benar. Menurut Robbins (2001:151) karyawan yang puas adalah karyawan yang berproduksi tinggi, sedang atau rendah dan cenderung meningkatkan tingkat produktivitas yang dapat menimbulkan kepuasan. Lawler dan Porter (A.S. Munandar, 2001:364) menyebutkan produktivitas yang tinggi menyebabkan peningkatan dari kepuasan kerja hanya jika karyawan mempersepsikan ganjaran intrinsik (misalnya rasa telah mencapai sesuatu) dan ganjaran ekstrinsik (misalnya gaji) yang diterimanya adil dan wajar dan diasosiasikan dengan unjuk kerja yang unggul. b. Kepuasan dan kemangkiran Karyawan yang tidak puas lebih besar kemungkinan melesat tidak masuk kerja. Namun menurut Davis dan Newstrom (1995:109), karyawan yang tidak puas tidak harus merencanakan untuk mangkir, tetapi karyawan lebih merasa lebih mudah bereaksi terhadap kesempatan untuk melakukan itu. 30

Dapat dijelaskan bahwa karyawan yang puas akan hadir di tempat tugas kecuali ada alasan yang benar-benar kuat sehingga ia tidak disiplin (tidak patuh). Sebaliknya karyawan yang merasa tidak puas, akan menggunakan berbagai alasan untuk mangkir. Sedangkan T. Hani Handoko (1992:197) mengatakan karyawan yang kurang mendapatkan kepuasan kerja cenderung lebih sering absen dan menggunakan berbagai alasan untuk absen. c. Kepuasan dan tingkat keluarnya karyawan Menurut Robbins (2001:153), kepuasan dihubungkan secara negatif dengan keluarnya (turn over) karyawan. Karyawan yang lebih puas kemungkinan besar akan bertahan lebih lama dalam organisasinya. Pergantian karyawan cukup merugikan organisasinya. Di samping itu Davis dan Newstrom (1995:108) menerangkan kerugian langsung dan tidak langsung bagi organisasi untuk mengganti karyawan, para karyawan yang tetap tinggal mungkin akan merasa tidak puas karena harus berpisah dengan rekan kerja yang bernilai dan menimbulkan gangguan terhadap pola sosial yang telah dibina selama ini. Sedangkan Gomes (2005:178) memberikan pendapat bahwa kepuasan kerja dari karyawan itu sendiri mungkin mempengaruhi kehadirannya pada kerja, dan keinginannya untuk ganti pekerjaan juga bisa mempengaruhi kesediaan untuk bekerja. Robbins (2001:154) menyatakan bahwa ketidakpuasan karyawan dapat diungkapkan ke dalam berbagai macam cara, yaitu : 31

1) Keluar (exit), perilaku yang mengarahkan untuk meninggalkan organisasi. Mencakup pencarian suatu posisi baru maupun meminta berhenti. 2) Menyuarakan (voice), dengan aktif dan konstruktif mencoba memperbaiki kondisi. Mencakup berbicara membela organisasi dan memercayai organisasi. 3) Pengabaian (neglect), secara pasif membiarkan kondisi memburuk, termasuk absen karyawan, datang terlambat ke kantor, upaya yang dikurangi dan tingkat kekeliruan yang meningkat. d. Kepuasan dan kesehatan karyawan Terdapatnya beberapa bukti tentang adanya hubungan antara kepuasan kerja dengan kesehatan fisik mental juga disimpulkan oleh AS. Munandar (2001:368) bahwa ukuran-ukuran dari kepuasan kerja merupakan peramal yang baik bagi panjang umur atau rentang kehidupan. Pekerjaan menuntut keefektifan dan kecakapan yang berkaitan dengan nilai kesehatan mental yang tinggi, di duga bahwa kepuasan kerja menunjang tingkat dan fungsi fisik dan mental serta kepuasan kerja itu sendiri yang merupakan tanda dari kesehatan. Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan, kepuasan kerja berdampak pada produktivitas, kesehatan, absensi dan keluarnya karyawan, apabila hal tersebut dapat dipenuhi karyawan dan ditunjang dengan keadaan organisasi maka 32

kepuasan kerja akan terlihat pada setiap karyawan sehingga tujuan organisasi dapat dicapai. 4. Faktor-faktor Kepuasan Kerja Faktor-faktor kepuasan kerja dalam peranannya memberikan kepuasan kepada karyawan tergantung pada individu masing-masing karyawan. Kepuasan atau ketidakpuasan karyawan terhadap pekerjaannya juga dipengaruhi oleh beberapa aspek, yakni dari pekerjaan itu sendiri, organisasi dan dari dalam diri karyawan. Robbins (2006:149) menjelaskan beberapa faktor-faktor kepuasan kerja individu : a. Kerja yang secara mental menantang, karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi kesempatan pada karyawan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan serta menawarkan beragam tugas, kebebasan dan umpan balik mengenai seberapa baik pekerjaan yang telah dilakukan. Pada kondisi tantangan tersebut, kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan. b. Ganjaran yang pantas, apabila ganjaran yang diberikan sesuai dengan tingkat keterampilan individu dan tuntutan pekerjaan kemungkinan besar akan menghasilkan kepuasan. Selain itu sistem promosi yang dibuat dengan cara adil merupakan salah satu penyebab kepuasan kerja. c. Kondisi kerja yang mendukung, lingkungan kerja yang baik dapat membantu individu menyelesaikan tugasnya dengan baik, selain itu keadaan 33

fisik lingkungan yang tidak berbahaya serta tidak merepotkan (aman, fasilitas yang bersih, temperatur ruangan, besarnya cahaya dalam ruangan, ruangan yang modern, peralatan memadai) juga turut berperan tercapainya kepuasan kerja. d. Rekan sekerja yang mendukung, umumnya penelitian menunjukkan bahwa kepuasan karyawan meningkat bila penyelia ramah, mengisi kebutuhan dan interaksi sosial, mendengarkan pendapat karyawan, memahami, memberikan pujian akan prestasi dan teman yang mendukung sangat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja individu. Menurut Robbins (2006:103) faktor-faktor yang umumnya disertakan dalam mengukur kepuasan kerja adalah suasana pekerjaan, pengawasan, tingkat upah saat ini, peluang promosi dan hubungan dengan mitra kerja. Dalam penelitian ini faktor-faktor kepuasan kerja dari Robbins yang akan dijadikan alat ukur kepuasan kerja karyawan di Agung Podomoro Group Project Blok B Tanah Abang. C. Komitmen Organisasi 1. Pengertian Komitmen Organisasi Karyawan yang berkomitmen terhadap pekerjaan, telah menunjukkan bahwa karyawan meluangkan waktu lebih banyak dalam pengembangan keahliannya dan menunjukkan niat yang rendah untuk menarik diri dari pekerjaannya. Konsep komitmen sendiri yang dikenal pula sebagai loyalitas dari individu yang 34

secara umum diartikan sebagai suatu kekuatan yang mengikat individu untuk berperilaku. Greenberg dan Baron (2003:160) menyatakan bahwa komitmen terhadap organisasi merupakan kesediaan individu untuk melibatkan dirinya dalam jangka waktu yang panjang pada suatu organisasi dan tidak berkeinginan untuk meninggalkan organisasi tersebut. Dari definisi diatas menunjukkan bahwa terdapat suatu penilaian dari individu terhadap organisasi tempat bekerja. Penilaian tersebut menjadi suatu sikap yaitu rasa suka atau tidak suka yang akan mengarahkan aktivitas kerjanya dalam organisasi. Bila individu menyukai organisasi dan pekerjaan di organisasi tersebut maka individu tersebut akan berupaya untuk tetap dapat bekerja. Robbins (2006:92) mengemukakan bahwa komitmen pada organisasi adalah sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi tersebut. Sedangkan Steers (dalam Davis dan Newstrom, 1995:32) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai rasa identifikasi (kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi), keterlibatan (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi) dan loyalitas (keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh seorang pegawai terhadap organisasinya. Steers berpendapat bahwa komitmen organisasi merupakan kondisi dimana karyawan sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai, dan sasaran organisasinya. Komitmen terhadap 35

organisasi artinya lebih dari sekedar keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan. Berdasarkan definisi ini, dalam komitmen organisasi tercakup unsur loyalitas terhadap organisasi, keterlibatan dalam pekerjaan, dan identifikasi terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi. Komitmen sendiri diartikan oleh Porter dkk. (dalam Allen dan Meyer, 1990:2) sebagai suatu kekuatan relatif dari identifikasi individu dan keterlibatannya terhadap sebuah organisasi. Identifikasi yang dimaksud oleh Porter dkk. dapat diasumsikan sebagai sejauh mana keyakinan seorang karyawan bahwa nilai-nilai dan tujuan-tujuan yang dibawa serta oleh dirinya pada saat memasuki organisasi sesuai dengan nilai dan tujuan organisasi. Ketika kesesuaian tersebut semakin besar maka pekerja tersebut akan semakin terikat dengan organisasinya. Kesesuaian ini tidak tercipta dengan sendirinya, namun harus ada usaha yang mendukung terciptanya situasi ini, baik dari pihak karyawan maupun pihak organisasi. Berdasarkan uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa komitmen organisasi adalah ikatan antara individu dengan organisasinya yang dengan sengaja dipertahankan dengan melibatkan diri dalam kegiatan organisasi demi mencapai tujuan dan kepentingan organisasi. 36

2. Dampak Komitmen Organisasi Sebuah organisasi atau perusahaan yang memiliki anggota-anggota yang mempunyai tingkat komitmen yang tinggi terhadap organisasinya akan merasakan dampak-dampak positif. Sikap-sikap karyawan yang memiliki komitmen yang tinggi akan cenderung bernilai positif dibandingkan yang tidak memiliki komitmen terhadap organisasinya.greenberg dan Baron (2003:186) mengemukakan beberapa dampak dari komitmen terhadap organisasi : a. Komitmen dan kecenderungan penarikan diri karyawan Seorang karyawan yang memiliki tingkat komitmen yang tinggi terhadap organisasinya cenderung tidak memiliki keinginan untuk menghindarkan diri dari pekerjaan dan keluar dari organisasi. b. Komitmen dan kemauan untuk berkorban bagi organisasi Karyawan yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasinya akan bersedia berbagi dan melakukan pengorbanan yang besar untuk organisasinya yang diperlukan agar organisasi tetap tumbuh dan berkembang. c. Komitmen dan biaya produksi organisasi Karyawan yang tidak memiliki komitmen terhadap organisasi akan keluar dari dan mencari pekerjaan lain. Dalam hal ini organisasi dirugikan karena harus mengeluarkan biaya untuk pergantian karyawan. Dalam hal ini organisasi dan karyawan (individu) harus secara bersama-sama menciptakan kondisi yang kondusif untuk mencapai komitmen yang dimaksud. 37

Sebagai contoh: seorang karyawan yang semula kurang memiliki komitmen, namun setelah bekerja ternyata selain ia mendapat imbalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku ternyata didapati adanya hal-hal yang menarik dan memberinya kepuasan. Hal itu tentu akan memupuk berkembangnya komitmen individu tersebut terhadap organisasi. Apalagi jika tersedia faktor-faktor yang dapat memberikan kesejahteraan hidup atau jaminan keamanan, koperasi, fasilitas transportasi dan fasilitas yang mendukung kegiatan kerja maka dapat dipastikan ia dapat bekerja dengan penuh semangat, lebih produktif, dan efisien dalam menjalankan tugasnya. 3. Faktor-faktor Komitmen Organisasi Komitmen terhadap organisasi merefleksikan tiga faktor utama, yaitu komitmen dipandang merefleksikan orientasi afektif terhadap organisasi, pertimbangan kerugian jika meninggalkan organisasi, dan beban moral untuk terus berada dalam organisasi. Meyer dkk. (dalam Spector, 2000:217) dalam penelitiannya mengemukakan tiga faktor utama dari komitmen organisasi, yaitu: a. Komitmen afektif (Affective commitment) Komitmen afektif terjadi ketika keinginan karyawan untuk tetap bekerja di organisasi karena adanya ikatan emosional. Individu dengan komitmen afektif yang kuat akan mengidentifikasi dirinya dengan perusahaan, sangat menyenangi keanggotaannya dalam perusahaan dan akan terlibat secara penuh pada kegiatan-kegiatan perusahaan. Individu terikat dan tetap 38

bertahan pada perusahaan karena memiliki kedekatan emosional dan identifikasi pada tujuan-tujuan perusahaan. Komitmen ini diartikan sebagai keinginan karyawan untuk tetap bekerja dalam perusahaan. Kata kunci dari komitmen afektif adalah ingin untuk (want to). b. Komitmen kesinambungan (Continuance commitment) Komitmen kesinambungan terjadi ketika karyawan harus tetap bertahan di organisasi, disebabkan karyawan membutuhkan keuntungan-keuntungan dari perusahaan juga gaji dari perusahaan atau karyawan tidak dapat menemukan pekerjaan lain. Kata kunci dari komitmen kesinambungan adalah kerelaan berkorban dan kebutuhan untuk bertahan (need to). c. Komitmen normatif (Normative commitment) Komitmen normatif ini didasarkan atas norma-norma yang berlaku di dalam diri karyawan, komitmen normatif ini lebih melihat seberapa besar perasaan tanggung jawab karyawan terhadap perusahaan sehingga karyawan dengan komitmen normatif yang tinggi akan bertahan lama dalam perusahaan, serta para karyawan percaya dan merasa memiliki organisasi dengan bekerja sebaik mungkin karyawan tetap bertahan dalam organisasi karena merasa wajib untuk setia (loyal) terhadap organisasi. Kata kunci yang tepat untuk menggambarkan komitmen normatif adalah kewajiban untuk bertahan (ought to). Merujuk pengertian dari ketiga faktor-faktor komitmen organisasi diatas mencerminkan keadaan psikologis dalam diri karyawan, dimana keadaan 39

psikologis tersebut berbentuk keinginan, kebutuhan dan kewajiban untuk berkomitmen kepada organisasi. Karyawan bertahan dalam organisasi bukan hanya karena adanya keinginan dari dalam dirinya, namun juga karena dirasakan bahwa organisasi telah memberikan keuntungan-keuntungan bagi dirinya, sehingga karyawan merasa harus berkomitmen pada organisasi. Dalam penelitian ini faktor-faktor dari Meyer, dkk (dalam Spector, 2000:217), yaitu komitmen afektif, komitmen kesinambungan, dan komitmen normatif dijadikan alat ukur untuk melihat komitmen organisasi di Agung Podomoro Group Project Blok B Tanah Abang. D. Kerangka Berpikir Hubungan Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi dengan Disiplin Kerja Karyawan Setiap individu dalam organisasi, merupakan sumber daya yang mempunyai cara berpikir, sikap, tingkah laku dan kebutuhan yang berbeda-beda, keadaan ini merupakan masalah yang rumit bagi organisasi yang harus memberikan perhatian khusus dalam mengelola sumber daya manusianya, sebab jika pengelolaannya tidak baik maka masalahpun akan bermunculan yaitu tingkat absensi yang tinggi, ketidakpuasan akan kondisi kerja, kurangnya semangat kerja karyawan untuk berprestasi, rendahnya komitmen kerja, dan lain-lain. Semua masalah yang timbul ini akan berpengaruh terhadap kelancaran aktivitas organisasi dalam mencapai tujuan. 40

Disiplin kerja adalah aspek penting dalam kinerja karyawan dalam menjalankan tugasnya. Disiplin, merupakan salah satu kata kunci yang dapat membangun organisasi menuju keberhasilan. Menurut Robbins (2006:153) disiplin kerja dipengaruhi oleh kepuasan kerja, karyawan dengan tingkat kepuasan yang tinggi mempunyai kehadiran yang jauh lebih tinggi dari pada karyawan dengan tingkat kepuasan lebih rendah. Sama halnya dengan A. Usmara (2003:66) yang mengatakan bahwa karyawan yang merasa sangat puas memiliki keinginan kuat untuk bekerja dengan disiplin dan datang tepat waktu, sedangkan karyawan yang merasa sangat tidak puas akan memiliki keinginan yang kuat untuk tidak datang tepat waktu mengakibatkan tingkat kedisiplinan karyawan rendah. Dapat diduga bahwa karyawan yang puas akan pekerjaannya akan meningkatkan disiplin kerja karyawan tersebut. Oleh karena itu kepuasan kerja sangat mempengaruhi disiplin kerja dari para karyawannya. Di era kompetitif seperti saat ini pemanfaatan waktu dapat mengupayakan berbagai keunggulan. Efisiensi kerja juga dapat terasa lebih bermanfaat apabila seluruh anggota organisasi dapat menerapkan disiplin dengan datang kerja tepat waktu, tidak memperlambat pekerjaan dan juga perilaku lainnya yang menaati prosedur kerja maupun prosedur perusahaan demi tercapainya tujuan organisasi maupun individu masing-masing. Keterlibatan karyawan merupakan peran serta karyawan dalam situasi kelompok yang mendorong karyawan untuk memberikan kontribusi kepada tujuan kelompok sehingga karyawan lebih ikut bertanggung jawab pada 41

pelaksanaan putusan dan segala aspek pekerjaannya. Dengan adanya keterlibatan karyawan itu sendiri dapat menciptakan komunikasi yang lebih baik, jujur dan terbuka serta rasa percaya karyawan terhadap organisasi (Davis & Newstrom, 1995:32). Hal ini akan menyebabkan karyawan bersungguhsungguh sehingga disiplin kerja meningkat. Disiplin tidak saja datang dari luar individu, tetapi juga datang dari dalam diri karyawan yang bersangkutan. Karenanya dalam penerapannya organisasi perlu memahami berbagai faktor yang mempengaruhi disiplin kerja, karena tidak semua disiplin yang diterapkan dipatuhi dan di terima oleh karyawan. Dalam dunia kerja, disiplin kerja dapat dipengaruhi oleh komitmen organisasi tempat karyawan bekerja. Robbins (2006:92) mengemukakan bahwa komitmen pada organisasi adalah sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi tersebut. Menurut Afin Fadilla Helmi (1996:40) bahwa disiplin kerja tidak hanya patuh dan taat terhadap sesuatu yang terlihat atau kasat mata seperti penggunaan seragam kerja, datang dan pulang sesuai jam kerja, tetapi juga patuh dan taat terhadap sesuatu yang tidak kasat mata tetapi melibatkan komitmen, baik dengan diri sendiri ataupun komitmen dengan organisasi. Dengan kata lain semakin sesuai kepuasan kerja dengan harapan karyawan dan makin baik komitmen karyawan terhadap organisasinya maka makin baik disiplin kerja karyawan. 42