LESTARI PAPER NO. 03 PERAN HPH DALAM MENJAGA KEBERLANJUTAN HUTAN ALAM. Nana Suparna

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

Perkembangan Bisnis Kehutanan Indonesia dan Permasalahannya

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya

Perkembangan Bisnis Kehutanan Indonesia dan Permasalahannya

Kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Kehutanan 2015

BAB I PENDAHULUAN. peradaban umat manusia di berbagai belahan dunia (Maryudi, 2015). Luas hutan

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

BAB I PENDAHULUAN. menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

PERSIAPAN DUKUNGAN BAHAN BAKU INDUSTRI BERBASIS KEHUTANAN. Oleh : Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Kementerian Kehutanan

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

KRITERIA CALON AREAL IUPHHK-RE DALAM HUTAN PRODUKSI

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

Mencegah Kerugian Negara Di Sektor Kehutanan: Sebuah Kajian Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penatausahaan Kayu

KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI OLEH DIREKTUR JENDERAL BUK SEMINAR RESTORASI EKOSISTEM DIPTEROKARPA DL RANGKA PENINGKATAN PRODUKTIFITAS HUTAN

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

SISTEMATIKA PENYAJIAN :

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN RESTORASI EKOSISTEM

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang

REVITALISASI KEHUTANAN

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI

I. PENDAHULUAN. (DJR/DR) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH/IHH). Penerimaan ini

Policy Brief Perbaikan Regulasi Lahan Gambut Dalam Mendukung Peran Sektor Industri Kelapa Sawit Indonesia 2017

LESTARI BRIEF KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri

PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR

Oleh : Ketua Tim GNPSDA. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pontianak, 9 September 2015

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

Ekspansi Industri Pulp: Cara Optimis Penghancuran Hutan Alam

ISU ISU STRATEGIS KEHUTANAN. Oleh : Ir. Masyhud, MM (Kepala Pusat Humas Kemhut) Pada Orientasi Jurnalistik Kehutanan Jakarta, 14 Juni 2011

BUPATI INDRAGIRI HILIR

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

Kesiapan dan Tantangan Pengembangan Sistem MRV dan RAD/REL Provinsi Sumbar

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang

PERHUTANAN SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT YANG EFEKTIF

DAMPAK BENCANA ASAP TERHADAP KEBERLANJUTAN INDUSTRI KEHUTANAN

EXSPOSE PENGELOLAAN PERTAMBANGAN, KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN DI PROVINSI LAMPUNG

BAB I PENDAHULUAN. (renewable resources), namun apabila dimanfaatkan secara berlebihan dan terusmenerus

PROGRAM : PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI DAN USAHA KEHUTANAN (Renstra Ditjen PHPL )

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.128, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Tata Cara. Perizinan. Karbon. Hutan Lindung. Produksi. Pemanfaatan.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya disekitar hutan dan juga penciptaan model pelestarian hutan yang efektif.

Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra

LUAS KAWASAN (ha)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

BAB I. PENDAHULUAN. dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam

TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG

BAB 3 OBJEK PENELITIAN. IKH termuat di dalam Akte Pendirian Perseroan. Akte ini telah disahkan oleh

I. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI. 6.1 Kesimpulan. sektor kehutanan yang relatif besar. Simulasi model menunjukkan bahwa perubahan

Cakupan Paparan : Outlook industri pulp dan kertas (IPK) Gambaran luasan hutan di indonesia. menurunkan bahan baku IPK

SISTEM HAK PENGUSAHAAN HUTAN DAN MANAJEMEN HUTAN. Oleh : Budi Nugroho

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI. Presiden Republik Indonesia,

SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA KONFERENSI INTERNASIONAL EKOSISTEM MANGROVE BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INDUSTRI PENGGUNA HARUS MEMBERSIHKAN RANTAI PASOKAN MEREKA

I. INVESTOR SWASTA. BISNIS: Adalah Semua Aktifitas Dan Usaha Untuk Mencari Keuntungan Dengan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN. telah berlangsung sebelum legalitas hukum formal ditetapkan oleh pemerintah.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dea Indriani Fauzia, 2013

Praktik Korupsi Bisnis Eksploitasi Kayu

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.62/Menhut-II/2011 TENTANG

Oleh: PT. GLOBAL ALAM LESTARI

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode

SERBA SERBI HUTAN DESA (HD)

REFLEKSI PEMBANGUNAN BIDANG KEHUTANAN DIKEPEMIMPINAN GUBERNUR JAMBI BAPAK Drs. H. HASAN BASRI AGUS, MM

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA PEMBUKAAN RAPAT KOORDINASI TEKNIS PEMBANGUNAN KEHUTANAN BIDANG BINA PRODUKSI KEHUTANAN (Jakarta, 14 Juli 2010)

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PR MENTERI LKH: TUTUP CELAH KORUPSI MELALUI REVISI REGULASI SEKTOR KEHUTANAN

Peluang untuk Meningkatkan Produktivitas dan Profiabilitas Petani Kecil Kelapa Sawit di Kalimantan Tengah

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 7 TAHUN 1990 (7/1990) Tentang HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI

Monitoring Implementasi Renaksi GN-SDA oleh CSO. Korsup Monev GN-SDA Jabar Jateng DIY Jatim Semarang, 20 Mei 2015

BAB I PENDAHULUAN. memilikinya,melainkan juga penting bagi masyarakat dunia.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis

Oleh Kepala Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua

LESTARI BRIEF EKOWISATA INDONESIA: PERJALANAN DAN TANTANGAN USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

CATATANKEBIJAKAN. Peta Jalan Menuju EITI Sektor Kehutanan. No. 02, Memperkuat Perubahan Kebijakan Progresif Berlandaskan Bukti.

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

PEDOMAN PELAPORAN KEUANGAN PEMANFAATAN HUTAN PRODUKSI DAN PENGELOLAAN HUTAN (DOLAPKEU PHP2H)

I. PENDAHULUAN. Sejak awal tahun 1980-an peranan ekspor minyak dan gas (migas) terus

PERHUTANAN SOSIAL SEBAGAI SALAH SATU INSTRUMEN PENYELESAIAN KONFLIK KAWASAN HUTAN

Transkripsi:

LESTARI PAPER NO. 03 PERAN HPH DALAM MENJAGA KEBERLANJUTAN HUTAN ALAM Nana Suparna

Daftar Isi: 1. Pendahuluan 2. Prospek Hutan Produksi 3. Perkembangan Usaha IUPHHK-HA 4. Penutup 1 1 2-5 5-6 Publikasi ini dibuat dengan dukungan dari Rakyat Amerika Serikat melalui United States Agency for International Development (USAID). Isi dari publikasi ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Tetra Tech dan tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.

1. Pendahuluan 2. Prospek Hutan Produksi Indonesia memiliki kawasan hutan seluas 120,53 juta ha atau sekitar 63% dari luas daratannya, yang terdiri dari kawasan hutan konservasi (21,90 juta ha), kawasan hutan lindung (29,64 juta ha), dan kawasan hutan produksi (68,99 juta ha). Hutan tropis di Indonesia merupakan salah satu yang terluas di dunia selain Brazil dan Republik Kongo (Tolo 2012). Sebagai sumber daya alam yang tidak saja bernilai tinggi bagi konservasi, hutan Indonesia juga dieksploitasi sejak jaman kerajaan untuk kepentingan sosial. Intensitas eksploitasi terhadap hutan menjadi semakin tinggi pada masa VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). Demikian pula ketika era pemerintahan Soekarno, dimana tata kelola kehutanan bersifat desentralistik. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 64 tahun 1957, pemerintah mendesentralisasikan tata kelola kehutanan di luar Pulau Jawa kepada pemerintah propinsi. Puncak dari eksploitasi hutan sebagai komoditi ekonomi adalah di era pemerintah orde baru. Sumber daya hutan seluas 143 juta hektar telah dijadikan sebagai sumber devisa negara yang penting untuk pembangunan. Hingga tahun 2000, jumlah Hak Pengusahaan Hutan (HPH) meningkat sekitar 600 unit dengan mengusahakan areal hutan lebih dari 64 juta hektar. Devisa negara yang disumbangkan cukup besar setelah minyak bumi. Pada tahun 1980-an sebesar USD 200 juta per tahun; tahun 1990-an sebesar USD 9 milyar per tahun; sampai dengan awal 1990-an sektor kehutanan memberikan kontribusi terhadap pendapatan nasional kedua terbesar setelah minyak dan gas (Nurrochmat, 2005). Kawasan hutan produksi yang luasnya mencakup 57% dari total kawasan hutan, pada dasarnya memiliki peran cukup signifikan baik dalam konteks pembangunan ekonomi maupun dalam konteks menjaga kelangsungan kawasan hutan di Indonesia. Sekalipun dalam beberapa tahun terakhir mulai menurun kontribusinya. Hal ini disebabkan banyaknya perusahaan yang tidak aktif akibat biaya transaksi yang mahal, risiko bisnis yang meningkat, regulasi yang kurang kondusif serta lemahnya status lahan kehutanan. Termasuk harga kayu dalam negeri yang murah. Dari sekitar 269 jumlah perusahaan HPH diperkirakan ada sekitar 30% yang tidak aktif. 1 Dalam peta jalan (roadmap) pembangunan hutan produksi tahun 2016 2045, disebutkan bahwa untuk mengoptimalkan hutan produksi salah satu langkahnya adalah dengan meningkatkan produktivitas hutan alam dan membangun hutan tanaman dari tahun 2016 hingga 2045. Luas lahan yang dibutuhkan sekitar 17,05 juta hektar tanaman dan diprediksi dapat menghasilkan kayu bulat mencapai 572 juta m3/tahun. Sementara untuk hutan alam, pengelolaannya perlu dilakukan secara optimal pada areal seluas 20 juta hektar sehingga menghasilkan kayu bulat sekitar 28 juta m3 per tahun. 2 Dalam prakteknya, keberadaan hutan alam produksi sangat ditentukan oleh keberlanjutan usaha para pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) dan profesionalisme unit manajemennya. Dengan kata lain, pengelolaan hutan alam produksi secara lestari (PHPL) menjadi kunci dari keberhasilan menjaga hutan alam produksi, dan secara tidak langsung juga menjaga keberadaan kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan lindung. Dengan demikian, profesionalisme dan kinerja Unit Manajemen (UM) pengelola hutan alam produksi menjadi penentu atas keberhasilan pengelolaan hutan alam produksi. Sebaliknya kegagalan pengelolaan hutan alam produksi oleh UM berkontribusi terhadap degradasi dan deforestasi hutan. Untuk konteks Indonesia, ternyata tidak hanya sekedar persoalan profesionalisme dan kinerja dari UM yang berkontribusi terhadap keberadaan dan kelangsungan fungsi hutan, namun juga persoalan ada tidaknya pihak/institusi yang bertanggung jawab terhadap hutan di lapangan (site) juga memiliki peran sangat penting. Mengingat tatkala tidak ada pihak/institusi yang bertanggung jawab di lapangan, maka hampir dapat dipastikan bahwa kawasan hutan tersebut akan beralih menjadi aset tak bertuan. Dalam arti akses pemanfaatan hutan menjadi sangat terbuka untuk siapa saja, dan ada kecenderungan dikelola secara ilegal. Situasi ini menjadi potensi deforestasi dan konversi hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan. Ini berarti, keberadaan dan keberlanjutan usaha dari pemegang IUPHHK-HA dengan jaminan pengelolaannya secara lestari merupakan keniscayaan. Mengingat hal ini menjadi kunci untuk mempertahankan keberadaan dan fungsi dari hutan alam produksi. 1 Sugiono, Munas Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Jakarta, 19 Oktober 2016. 2 Roadmap Pembangunan Hutan Produksi Indonesia 2016-2045 1

3. Perkembangan Usaha IUPHHK-HA Tanpa ada jaminan secara formal dan mengikat atas pengelolaan yang lestari, maka keberadaan pemegang izin dapat menjadi beban dalam pembangunan kehutanan Indonesia dimasa depan. Dalam perkembangannya, usaha IUPHHK-HA atau usaha konsesi hutan alam dari tahun ke tahun ternyata terus menurun. Pada tahun 1992, dari 580 UM telah dikelola areal hutan sebesar 61,36 juta hektar. Kemudian tahun 2015, hanya ada 269 UM (178 aktif) dengan wilayah kelola hanya 20,62 juta hektar. Ini berarti luas kawasan hutan alam produksi yang dikelola berkurang sekitar 66% selama kurun waktu 23 tahun. Dengan demikian, maka luas kawasan hutan alam produksi eks HPH (secara defacto tidak ada pengelolaannya) menjadi semakin terlantar dan berpotensi open akses. Sehingga pada akhirnya mengakibatkan kerusakan kawasan hutan secara masif dan permanen. Tidak hanya pada HPH, hal yang sama juga terjadi dengan HTI dimana dari luas lahan konsesi sebanyak 10,57 juta hektar tercatat sekitar 35% yang tidak dikelola. Kemudian, kawasan hutan produksi yang dikonversi menjadi kebun (sawit dll) ada sekitar 10 juta ha. 3 Perkembangan usaha konsesi hutan alam dalam kurun waktu 23 tahun terakhir dapat dilihat pada tabel 1 berikut. Tabel 1. Perkembangan Usaha Konsesi Tahun Jumlah Konsesi (unit) Luas Areal Konsesi (x Juta Ha) Surat Keputusan Luas Efektif Kuota Realisasi Produksi (x Juta m3) Produktivitas Hutan alam (m3/ha/th) 1 2 3 4 5 6 7(6/4) 1992 580 61.38 42.97-26.05 0.61 2000 362 39.16 27.41-3.45 0.12 2001 351 36.42 25.49 5.6 1.81 (32%) 0.07 2002 270 28.08 19.66 5.3 3.02 (57%) 0.15 2003 267 27.80 19.46 6.1 4.10 (67%) 0.21 2004 287 27.82 19.47 6.7 3.51 (52%) 0.18 2005 285 27.72 19.40 7.2 5.72 (79%) 0.29 2006 322 28.78 20.15 9.1 5.59 (61%) 0.28 2007 323 28.16 19.71 9.1 6.11 (67%) 0.31 2008 308 25.90 18.13 9.1 4.69 (52%) 0.26 2009 304 25.66 19.96 9.1 5.42 (60%) 0.27 2010 304 24.95 17.46 9.1 5.75 (63%) 0.33 2011 295 23.24 16.27 9.1 6.28 (69%) 0.39 2012 294 23.90 16.73 8.72 5.07 (58%) 0.30 2013 286 22.80 15.96 8.72 3.68 (42%) 0.23 2014 275 20.69 11.48 10.55 5.35 (51%) 0.34 2015 269 20.62 14.43 10,98 5.83 (53%) 0.40 Note : Dari 269 konsesi yang ada pada tahun 2015, hanya 178 konsesi yang aktif, atau hanya 66%. 3 APHI, 2016 2

Tabel 1 diatas menunjukkan bahwa luas hutan alam produksi yang open akses, berbanding lurus dengan jumlah usaha (UM) konsesi hutan alam yang berhenti. Karenanya, untuk mencegah kawasan semakin terdegradasi dan disisi lain mengembalikan produktivitasnya, maka sebagian areal hutan alam eks konsesi hutan alam dapat diubah sebagai areal Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Restorasi ekosistim (RE), Jasa Lingkungan, Hasil Hutan Bukan Kayu, Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan (IUPK) dan usahausaha perkebunan. Tabel 2. Perkembangan Kawasan Hutan Produksi Note: : Total luas kawasan hutan alam produksi eks konsesi hutan (HPH). Kondisi tahun 2015 : dikonversi menjadi kebun sekitar 10 juta ha dialokasikan untuk HTI, HTR, HKm, HD, RE, Jasling, HHBK dan IUPK 12,62 juta ha, dan masih merupakan kawasan hutan terlantar yang open akses 35,75 juta ha (termasuk 7,72 juta ha yang dimoratorium) : Total luas areal kerja izin konsesi hutan alam tahun 2015 : 20,62 juta ha. 3

adalah salah satu pertahanan terakhir dalam menjaga fungsi ekosistem dan konservasi hutan tropis di Indonesia. Kerusakan vegetasi hutan alam akan semakin menambah dan mempercepat keterpurukan kehidupan masyarakat terutama yang sumber penghidupannya tergantung pada hutan. Setidaknya ada 4 (empat) faktor utama yang menentukan agar hutan alam produksi di Indonesia dapat dikelola secara berkelanjutan, yaitu: 1.Kepastian Status Kawasan Kepastian hak di dalam kawasan hutan produksi merupakan salah satu faktor penentu dalam keberhasilan pengelolaan hutan alam produksi. Namun hal ini tidaklah mudah mengingat kompleksitas persoalan dalam pengelolaan kawasan. Diantaranya adalah tumpang tindih antara hak pengelolaan adat dan hak negara yang belum dapat diatasi, sehingga kawasan hutan negara, termasuk areal kerja konsesi hutan alam, terus menyusut menjadi hak masyarakat tertentu. Persoalan kepastian dan jaminan kawasan hutan tidak bisa diserahkan kepada unit usaha, sebab UM tidak mempunyai hak memiliki atas tanah hutan dan tidak mempunyai kewenangan hukum untuk mengatasinya. Tanah hutan tetap merupakan aset negara, sedangkan pemegang IUPHHK hanya berhak memanfaatkan kayu/hutan yang ada diatasnya saja dengan beberapa pembatasan. Upaya yang sedang dilakukan oleh pemerintah dalam menjamin kepastian kawasan adalah pembuatan tata ruang, pelaksanaan batas partisipatif, one map policy, pengukuhan kawasan hutan, pemutihan hak tanah dan penegakkan hukum. Namun usaha-usaha tersebut perlu akselerasi dan penjabaran yang tepat agar bisa efektif dalam pelaksanaannya dan dapat optimal pencapaiannya. 2. Memiliki Nilai Ekonomi Sekalipun masih terdapat 269 unit usaha konsesi di tahun 2015, namun diperkirakan hanya 60% yang aktif beroperasi. Sementara 40% selebihnya tidak berlanjut. Hal ini dikarenakan kegiatan pengusahaan hutan secara ekonomis tidak menguntungkan. Beberapa faktor yang menyebabkan kegiatan usaha ini terhenti beroperasi adalah biaya produksi yang terus meningkat, harga jual kayu bulat yang relatif stagnan, areal kerja yang bermasalah dan potensi hutan yang menurun. Terkait dengan meningkatnya biaya produksi kayu bulat pada hakekatnya sulit dihindari. Mengingat kondisi ekonomi politik dalam 3 tahun terakhir yang mencakup kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) setiap tahun, kenaikan harga suku cadang dan barang penunjang produksi lainnya hampir setiap tahun akibat inflasi, dan kenaikan pungutan dari kegiatan administrasi. Kegiatan pengusahaan hutan yang tergolong bisnis dengan biaya ekonomi tinggi semakin sulit dikelola ketika pada sisi lain dihadapkan pada harga jual kayu bulat yang semakin rendah, konflik di areal kerja baik dengan perusahaan lain (tambang) dan hak-hak masyarakat lokal atas lahan. Termasuk kondisi iklim/cuaca yang tidak menentu. Dalam 15 tahun terakhir ada kecenderungan jika riap tumbuh hutan semakin kecil. Sehingga jatah tebang tahunan menurun dan berpengaruh negatif terhadap besarnya biaya produksi. Terlebih lagi kegiatan investasi dalam membangun hutan alam melalui penanaman jenis-jenis unggulan setempat tidak berjalan efektif atau kurang dilakukan karena biaya modal yang terbatas. Oleh karena itu, Dana Reboisasi (DR) yang sebelumnya ditempatkan sebagai Dana Jaminan Reboisasi (DJR) penting untuk dikembalikan fungsinya sebagai DJR, agar dapat membiayai kegiatan pembangunan hutan alam produksi. Pada sisi lain, harga jual kayu bulat dari hutan alam sangat tertekan akibat rendahnya efisiensi dan daya saing industri kayu pertukangan dalam negeri, sehingga tidak mampu membeli kayu bulat dengan standar harga internasional. Ada disparitas harga kayu bulat hutan alam antara harga internasional dengan domestik yang mencapai 100% dibanding harga internasional. Harga kayu bulat hutan alam internasional jauh lebih mahal dari pada harga domestik, namun tidak bisa dimanfaatkan karena ada pelarangan ekspor kayu bulat. Yang lebih ironis, harga jual kayu bulat yang rendah juga diperburuk dengan peredaran kayukayu bulat hutan alam yang ilegal. Dengan demikian adanya kebijakan yang dapat meningkatkan harga jual kayu bulat dari konsesi hutan alam akan sangat membantu meningkatkan kinerja konsesi hutan alam saat ini, yang pada gilirannya membantu kemampuan perusahaan untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan alamnya berdasarkan prinsip-prinsip kelestarian hutan. 3. Fungsi menjaga lingkungan hidup. Sistem dan praktek pengelolaan hutan alam produk- 4

si harus dapat dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kelestarian. Kegiatan produksi di hutan alam dituntut mempertahankan fungsi hutan alam produksi terhadap lingkungan, baik fungsi hydro orology, iklim maupun keanekaragaman hayati. Fungsi lingkungan hutan alam produksi dapat dicapai dengan penerapan pembalakan ramah lingkungan (Reduce Impact Logging), dan melalui pengelolaan yang terarah dan tepat dari areal-areal hutan alam yang mempunyai nilai konservasi tinggi. Namun saat ini hanya sekitar 12,3% saja dari UM konsesi hutan alam yang beroperasi yang sudah melaksanakan teknik Reduce Impact Logging (RIL) secara utuh. Demikian pula halnya UM yang sudah melaksanakan pengelolaan kawasan yang mempunyai nilai konservasi tinggi (HCV), jumlahnya tidak berbeda jauh dengan yang sudah melaksanakan teknik RIL dalam pengelolaannya, dimana salah satu indikatornya adalah adanya pencapaian standar pengeloaan hutan alam berdasarkan standar Forest Stewardship Council (FSC standard) yang baru mencapai 11,8 %. Adanya kebijakan dan insentif serta upaya yang sungguh-sungguh dari pemerintah yang dapat mendorong penerapan praktik teknik RIL di konsesi hutan alam, serta diterapkannya pengelolaan areal-areal yang mempunyai nilai konservasi tinggi secara tepat dan terarah menjadi salah satu kunci keberhasilan pengelolaan hutan alam produksi dari aspek lingkungan. Namun demikian, tanpa peran dan kebijakan pemerintah yang kondusif, praktek pembalakan yang ramah lingkungan sulit dicapai. Demikian pula tanpa kejelasan status areal kerja serta lemahnya penegakan hukum, maka pengelolaan areal-areal yang mempunyai nilai konservasi tinggi tidak akan berhasil. 4. Diterima secara sosial budaya oleh masyarakat. Keberadaan usaha konsesi hutan alam akan diterima masyarakat setempat manakala sekurang-kurangnya 3 (tiga) hal dapat dipenuhi oleh perusahaan, yaitu: 1.Proses penerbitan izin konsesi Peta izin konsesi yang diberikan pemerintah kepada pemegang konsesi, seringkali tidak diakui dan dihormati oleh masyarakat setempat. Akibatnya terjadi ketidakharmonisan antara UM konsesi dengan masyarakat setempat. Di banyak kasus, biasanya hal ini diselesaikan dengan pemberian kompensasi produksi per satuan volume produksi kepada masyarakat setem- pat. Namun itupun tidak menjamin bahwa areal kerja UM tidak diserobot sebagai tempat bertani/berladang masyarakat. Kapan saja masyarakat setempat memerlukannya, pemegang izin konsesi tidak mampu mencegahnya. Dengan demikian pada saat sebelum izin konsesi hutan diberikan kepada perusahaan, maka seharusnya ada mekanisme persetujuan masyarakat setempat untuk mengakui secara dejure dan menghormatinya secara defacto izin konsesi yang dimiliki perusahaan untuk melakukan kegiatan usahanya di lapangan. 2. Keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan usahanya. Kondisi disharmoni pada poin 1 diatas semakin terbuka ketika masyarakat yang berada di sekitar konsesi tidak menikmati manfaat ekonomi dan hanya sebagai penonton dari kegiatan usaha pemegang konsesi. Para pemegang izin konsesi umumnya berkeinginan untuk menggunakan tenaga kerja setempat sejauh memenuhi persyaratan sesuai dengan keperluan dan bidang kerjanya. Namun seringkali tenaga kerja lokal dinilai kurang produktif karena persoalan etos kerja dan keterampilan kerja. Karena itu, upaya yang terus menerus dan efektif yang dapat meningkatkan keterampilan dan produktivitas tenaga kerja setempat menjadi penting dalam mengurangi disharmoni. 3. Manfaat rente ekonomi terhadap masyarakat setempat Iuran kehutanan yang disetorkan oleh pemegang izin konsesi kepada pemerintah secara resmi meliputi: Iuran Izin Konsesi, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Dana Reboisasi (DR) dan Penggantian Nilai Tegakan (PNT). Iuran izin konsesi dan PBB dibayar berdasarkan luas konsesi, dan khusus PBB dibayar setiap tahun. Sedangkan PSDH, DR dan PNT dibayar berdasarkan volume produksi kayu. Disamping itu, ada pembayaran kompensasi kepada masyarakat setempat, yang merupakan pungutan tidak resmi dan tidak ada standarnya, kecuali di Papua dan Papua Barat yang diatur melalui Peraturan Gubernur. Karenanya, agar masyarakat sekitar hutan merasa memiliki keberadaan pengusahaan hutan yang ada di sekitarnya, maka pemerintah seharusnya mengalokasikan secara khusus biaya pembangunan dan pemberdayaan masyarakat setempat dari kelima jenis iuran yang telah dipungut dari pemegang konsesi. 5

4. Penutup Terlepas dari kekurangan yang ada dari kehadiran Unit Manajemen (UM) pengelola hutan alam, namun yang pasti hingga sekarang pemegang izin konsesi hutan mempunyai peran penting dan positif dalam menjaga dan mengelola hutan alam produksi untuk kepentingan ekonomi, lingkungan dan sosial budaya masyarakat, selama dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah kelestarian hutan. Usaha konsesi hutan alam yang menguntungkan secara ekonomi dan dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip kelestarian di kawasan hutan alam produksi tidak lagi bisa dihindari untuk menjaga hutan alam produksi. Beberapa kebijakan dan regulasi yang perlu dibangun dan dikembangkan untuk mendorong terlaksananya pengelolaan hutan alam produksi yang berkelanjutan adalah sebagai berikut : 1. Sebelum izin konsesi hutan diberikan kepada perusahaan, sangat penting dibangun suatu mekanisme persetujuan masyarakat setempat agar bersedia mengakui secara dejure dan menghormatinya secara defacto ketika pemegang izin konsesi melakukan kegiatan usahanya di lapangan. Proses awal dimaksud tentu saja merupakan kebijakan dan regulasi pemerintah yang diberlakukan pada saat sebelum izin konsesi diterbitkan. 2. Adanya kebijakan yang dapat meningkatkan harga jual kayu bulat dari konsesi hutan alam, sehingga pada gilirannya pemegang izin konsesi hutan alam memiliki kemampuan untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan alamnya berdasarkan prinsip-prinsip kelestarian hutan. 3. Dana Reboisasi (DR) yang sebelumnya ditempatkan sebagai Dana Jaminan Reboisasi (DJR) harus dikembalikan fungsinya sebagai DJR, sehingga dapat membiayai kegiatan pembangunan hutan alam produksi dalam rangka peningkatan riap tumbuh hutan dan membantu menekan biaya produksi dari kayu bulat yang dipanennya. 4. Terbangunnya peran dan kebijakan Pemerintah yang kondusif yang dapat mendorong terlaksananya pengelolaan hutan untuk menjaga fungsi lingkungan hidup, melalui : a. Implementasi teknik pembalakan yang ramah lingkungan (RIL); b. Pengelolaan areal-areal hutan yang mempunyai nilai konservasi tinggi (HCV); c. Kejelasan status areal kerja; d. Penegakan hukum. 5. Perbaikan cara penilaian kinerja terhadap UM pengelola konsesi hutan alam dan peningkatan kompetensi lembaga penilai kinerja pengelolaan hutan untuk memperbaiki kepatuhan pelaku usaha melaksanakan kewajibannya sesuai ketentuan. 6. Adanya upaya yang terus menerus dan efektif yang dapat meningkatkan keterampilan dan produktivitas kerja tenaga kerja setempat (sekitar konsesi hutan) agar tidak menimbulkan disharmoni baik dengan tenaga-tenaga pendatang dari kota maupun perusahaan itu sendiri. 7. Dana atau iuran yang dibayarkan oleh pemegang konsesi kepada pemerintah seharusnya sebagian dialokasikan secara khusus untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat setempat. 6