BAB I PENDAHULUAN. Implementasi kebijakan..., Atiek Meikhurniawati, FISIP UI, Universitas Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
Strategi RUTAN dan LAPAS yang ada di DKI Jakarta saat ini dalam mengatasi over capacity adalah melakukan penambahan gedung hunian dan

Oleh : MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Asimilasi. Pembebasan Bersyarat.

BAB I PENDAHULUAN. Dasar hukum dari Pembebasan bersyarat adalah pasal 15 KUHP yang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG

Semoga dokumen ini memberikan manfaat bagi peningkatan kinerja Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Penjara bagi kalangan awam adalah tempat bagi penjahat/ kriminal

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

2016, No Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pem

PETUNJUK TEKNIS ANTARA. NOMOR : PAS-07.HM TAHUN 2414 NOMOR : J U KNlSlO 1 llt,l201 4 BARESKRIM

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kesatuan hubungan hidup antara warga binaan dengan masyarakat.

MENUNAIKAN HAK PELAYANAN KESEHATAN NAPI DAN TAHANAN

LAKIP Rutan Rangkasbitung Tahun

2015, No. -2- untuk melaksanakan ketentuan Pasal 50 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor

BAB I PENDAHULUAN. Para pelaku tindak pidana tersebut,yang memperoleh pidana penjara

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN JL. VETERAN NO. 11

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia Keberhasilan pembebasan..., Windarto, FISIP UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

RENCANA INDUK PEMBANGUNAN UNIT PELAKSANA TEKNIS PEMASYARAKATAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA BAB I PENDAHULUAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2011, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

2016, No Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843); 3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang

Institute for Criminal Justice Reform

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan undang-undang Dasar 1945 pasal 28H ayat (1) tentang Hak

2 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara R

BAB I PENDAHULUAN. Indie (Kitab Undang Undang Hukum pidana untuk orang orang. berlaku sejak 1 januari 1873 dan ditetapkan dengan ordonasi pada tanggal

BAB I PENDAHULUAN. untuk anak-anak. Seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang

PEDOMAN PELAKSANAAN RENCANA AKSI PENANGGULANGAN DAN PEMBERANTASAN NARKOBA DI LAPAS/RUTAN DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :M.01-PK TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

BAB I PENDAHULUAN. L.P.Sinambela, Reformasi Pelayanan Publik : Teori, Kebijakan dan Implementasi, Jakarta: Bumi Aksara, 2008, hlm.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2006 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai

BAB II TINJAUAN TEORI YANG DIGUNAKAN

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Lampung

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatakan bahwa setiap orang

Institute for Criminal Justice Reform

BAB I PENDAHULUAN. pelaku dan barang bukti, karena keduanya dibutuhkan dalam penyidikkan kasus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pergeseran paradigma dalam hukum pidana, mulai dari aliran klasik,

2018, No bersyarat bagi narapidana dan anak; c. bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS INDONESIA. Kualitas Pelayanan Kesehatan..., Keynes,FISIP UI, 2009

Oleh : Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia KEMENTRIAN HUKUM DAN HAM RI

BAB 1 PENDAHULUAN. data-data yang dimiliki harus aman dari berbagai gangguan. system, yang kemudian dikembangkan lagi menjadi database system.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

TINJAUAN YURIDIS PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A PALU IRFAN HABIBIE D ABSTRAK

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

MENTERI KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

BAB V PENUTUP. bab sebelumnya, maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut :

BAB V PENUTUP. dijabarkan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan :

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI

BAB II LANDASAN HUKUM PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP Dasar Hukum Pemberian Remisi di Indonesia.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. landasan pendiriannya yang telah tertuang dalam Undang-Undang Dasar

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-01.PW TAHUN 2011 TENTANG PENGAWASAN INTERN PEMASYARAKATAN.

PERATURAN BERSAMA KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG

(BIDANG HUKUM, PERUNDANG-UNDANGAN, HAM DAN KEAMANAN)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. terpercaya terkait dengan Strategi Humas Badan Narkotika Nasional Pada

BAB 1 PENDAHULUAN. Problema dan solusi..., Djoni Praptomo, FISIP UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. bagaimana bersikap, bertutur kata dan mempelajari perkembangan sains yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mayashafira (2007) melakukan penelitian dengan judul Tentang Perspektif

PENETAPAN INDIKATOR KINERJA UTAMA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA R.I. KEPUTUSAN MENTERI HUKUM DAN HAM Nomor : M.HH-13.0T.02.

PELAKSANAAN TUGAS KEAMANAN DALAM MENCIPTAKAN KEAMANAN DAN KETERTIBAN DI RUTAN KLAS II B JEPARA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. 1 Hal ini berarti setiap

LAPORAN KUNJUNGAN LAPANGAN KOMISI III DPR RI KE LAPAS KEROBOKAN, DENPASAR BALI NOVEMBER

BAB I PENDAHULUAN. penyiksaan dan diskriminatif secara berangsur-angsur mulai ditinggalkan melalui

menegakan tata tertib dalam masyarakat. Tujuan pemidanaan juga adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. kemerdekaan yang wajar sesuai dengan Perundang-undangan yang berlaku dan normanorma


I. PENDAHULUAN. Penanganan dan pemeriksaan suatu kasus atau perkara pidana baik itu pidana

BAB I PENDAHULUAN. Terabaikannya pemenuhan hak-hak dasar warga binaan pemasyarakatan

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tamba

LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS RUTAN KLAS IIB MAMUJU PERIODE

2011, No b. bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang pemberantasannya perlu dilakukan secara luar biasa, namun dalam pelaksan

PENGAWASAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (LAPAS) KLAS IIA ABEPURA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak akan pernah sembuh. Berbagai fakta dan kenyataan yang diungkapkan oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan narapidana untuk dapat membina, merawat, dan memanusiakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daniati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah Negara hukum, sebagaimana tertuang dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sistem pemasyarakatan yang merupakan proses pembinaan yang

BAB II URAIAN TEORITIS. Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. berusia tahun, korban berusia 6 12 tahun sebanyak 757 kasus (26 %)

Peran ORI dalam penyelesaian laporan/pengaduan dan pengawasan implementasi UU Pelayanan Publik

Institute for Criminal Justice Reform

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDATIULUAN. Kerjasama dan koordinasi antara aparat penegak hukum bertujuan untuk meningkatkan kerja sama dan koordinasi keduanya PETUNJUK TEKNIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Hari Raya Natal tahun 2014 bagi narapidana dan anak pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. 2. Persamaan perlakuan dan pelayanan; 5. Penghormatan harkat dan martabat manusia;

BAB III PENUTUP. disimpulkan dalam penelitian ini bahwa dengan dikeluarkannya Peraturan

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Direktorat Jenderal Pemasyarakatan marupakan instansi pemerintah yang berada dibawah naungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI yang memiliki visi pemulihan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan warga binaan pemasyarakatan sebagai individu, anggota masyarakat dan mahluk Tuhan Yang Maha Esa. Dengan misi melaksanakan perawatan tahanan, pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan serta pengelolaan benda sitaan negara dalam kerangka penegakkan hukum, pencegahan dan penanggulangan kejahatan serta pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Tugas utama birokrasi atau institusi pemerintah adalah memberikan pelayanan yang prima terhadap masyarakat. Dengan demikian sebagai salah satu instansi pemerintah, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menjalankan fungsi sebagai organisasi pelayanan publik yang bergerak dibidang penegakkan hukum melalui pelaksanaan tugas-tugas sesuai dengan visi dan misi yang diemban. Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan masih menghadapi kendala sehingga tidak dapat berjalan dengan optimal. Kelebihan kapasitas masih menjadi masalah utama Lembaga Pemasyarakatan (lapas) di Indonesia. (Yunanto,2008,hal.1). Kelebihan kapasitas yang terjadi di Lapas/Rutan di sebagian besar wilayah Indonesia merupakan permasalahan yang sangat klasik dalam pelaksanaan pembinaan bagi narapidana dan pelayanan tahanan, khususnya di Jakarta. Menurut Untung Sugiyono (Tempo,2008; hal12), Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Kelebihan kapasitas penjara di Jakarta mencapai 300%. Data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Januari 2009 menunjukkan bahwa sejak tahun 2005 hingga tahun 2008 terjadi peningkatan angka kelebihan kapasitas, hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :

2 Grafik 1.1 POPULASI LAPAS DAN RUTAN Sumber : Bagian Penyusunan Program dan Laporan Ditjenpas Januari 2009 Dari data di atas dapat dilihat bahwa telah dilakukan penambahan kapasitas lapas setiap tahunnya, bahkan pada tahun 2006 terjadi penambahan yang signifikan dari tahun 2005, yaitu dari kapasitas 68.141 pada tahun 2005 menjadi 76.550 pada tahun 2006. Terjadi peningkatan kapasitas sebesar 8.409 atau sebesar 12,34%, akan tetapi penambahan kapasitas Lapas/Rutan yang telah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan belum mampu mengatasi kelebihan kapasitas yang terjadi, hal tersebut dikarenakan peningkatan kapasitas hunian Lapas/Rutan diiringi pula dengan pertambahan jumlah penghuni yang setiap tahunnya mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Peningkatan jumlah narapidana dan tahanan di Indonesia ditunjukkan pada tabel di bawah ini :

3 Grafik 1.2 Sumber : Direktorat Bina Registrasi dan Statistik Ditjenpas Januari 2009 Grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah isi lapas dari tahun ke tahun mengalami kenaikan, hanya pada tahun 2003 terjadi sedikit penurunan, akan tetapi di tahun berikutnya yaitu 2004 terjadi peningkatan yang sangat signifikan, khususnya pada jumlah narapidana. Dampak terjadinya kelebihan kapasitas di lapas/rutan menyebabkan sarana dan prasarana menjadi terbatas untuk melaksanakan pembinaan sedangkan disisi lain terjadi peningkatan kebutuhan pelayanan dalam lapas akibat jumlah penghuni yang terus meningkat. Keterbatasan sarana tersebut dapat mendorong terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di lapas/rutan seperti terjadinya perkelahian akibat berebut tempat tidur atau fasilitas kamar mandi, pelayanan kesehatan, makanan, dan lain sebagainya. Hal ini didukung pula dengan meluasnya rentang kendali antara jumlah petugas keamanan dengan jumlah penghuni sehingga pengawasan yang dilakukan tidak optimal. Pengawasan yang minim akan memberikan peluang terjadinya penyimpangan dan gangguan-gangguan keamanan dan ketertiban di lapas/rutan,

4 seperti terjadinya penganiayaan atau perkelahian antar narapidana atau tahanan. Seperti yang dilansir dalam detiknews berkaitan dengan kelebihan kapasitas, menyebutkan bahwa kelebihan kapasitas itu, tak pelak menimbulkan sejumlah masalah di lapas. Diantaranya soal lemahnya pengawasan dari petugas lapas kepada narapidana dan tahanan. Buntut lemahnya pengawasan ini berimbas pula pada tingkat kriminalitas di lapas. (Yunanto, 2008, hal. 2) Gangguan keamanan dan ketertiban yang terjadi di lapas/rutan menyebabkan terjadinya suatu pergeseran fungsi utama pemasyarakatan yang menitik beratkan pada sisi pembinaan mengarah pada sisi keamanan dan pembinaan menjadi cenderung terabaikan atau dinomorduakan. Padahal dalam program-program pembinaan narapidana itulah terdapat berbagai bentuk pelayanan publik yang merupakan hak bagi warga binaan dalam hal ini narapidana. Data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan terkait dengan Gangguan Keamanan dan Ketertiban se-indonesia pada tahun 2007 ditunjukkan pada tabel berikut : Tabel 1.1 Gangguan Keamanan dan Ketertiban Se-Indonesia Tahun 2007 No. Jenis Gangguan Kamtib Jumlah Kasus Jumlah yang Terlibat 1. Perkelahian 7 10 2. Pemberontakan 3 458 3. Penganiayaan/kekerasan 8 52 4. Kerusuhan 5 876 5. Temuan hasil penggeledahan (hasil temuan berupa narkoba) 141 157 6. Penghuni keluar tanpa alasan yang jelas 3 72 7. Melarikan diri 84 264 Jumlah 170 1.889 Sumber : Direktorat Keamanan dan Ketertiban Ditjenpas januari 2009

5 Dari tabel di atas, jenis gangguan kamtib yang paling banyak terjadi adalah keberadaan narkoba yang merupakan obat terlarang dan juga barang yang dilarang di lapas/rutan sebanyak 141 temuan. Temuan narkoba di dalam lapas/rutan menunjukkan bahwa pengawasan yang kurang optimal dapat menyebabkan terjadinya penyelundupan dan penggunaan obat terlarang tersebut. Kondisi-kondisi inilah yang menyebabkan kinerja pemasyarakatan menjadi menurun dan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dinilai belum optimal. Perlu upaya tertentu yang menjadi solusi untuk meningkatkan pengawasan dalam lapas/rutan, sehingga gangguan keamanan dapat diminimalisir terjadi di dalam lapas/rutan. Gangguan keamanan yang dapat ditekan akan memberikan kemungkinan bahwa kegiatan pelayanan di dalam lapas/rutan dapat lebih dimaksimalkan, dan dengan pelayanan yang optimal maka kinerja Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dapat ditingkatkan. Dengan demikian jelas bahwa masalah kelebihan kapasitas yang terjadi di dalam lapas/rutan menyebabkan pelayanan yang diberikan oleh lapas/rutan yang merupakan Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Pemasyarakatan cenderung buruk. Kondisi tersebut dapat berpengaruh terhadap penilaian kinerja Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Bahkan dewasa ini kinerja Direktorat Jenderal Pemasyarakatan telah dinilai belum optimal, hal tersebut dibuktikan dengan hasil survei integritas pelayanan publik di 30 institusi pusat di daerah yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada bulan Agustus hingga Oktober 2007. Berdasarkan hasil survei KPK, Departemen hukum dan HAM (Depkumham) tercatat sebagai departemen atau lembaga negara yang paling buruk dari 11 lembaga yang integritasnya paling rendah dalam pelayanan publik. Buruknya pelayanan Departemen Hukum dan HAM terjadi di tiga unit kerja, yakni kenoktariatan (4,13), keimigrasian (4,21), dan lembaga pemasyarakatan (skor 4,33) (Sindo, 2008,hal 2). Komisi Pemberantasan Korupsi merilis terdapat 11 instansi yang memiliki skor integritas sektor publik di bawah rata-rata (rendah) dapat dilihat dalam tabel di bawah ini : (KPK, 2008, hal 4)

6 Tabel 1.2 11 Lembaga dengan Skor Integritas Terendah Lembaga/Instansi Skor Integritas Departemen Kelautan dan Perikanan 5,41 Mahkamah Agung 5,28 Departemen Kesehatan 5,25 PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) 5,16 Departemen Agama 5,15 Departemen Tenaga Kerja dan 4,85 Transmigrasi (Depnakertrans) Kepolisian Republik Indonesia 4,81 (POLRI) PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) 4,76 Departemen Perhubungan (Dphub) 4,24 Badan Pertahanan Nasional (BPN) 4,16 Departemen Hukum dan HAM 4,15 Hasil survei KPK, 2008 Berkaitan dengan hasil survei tersebut, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan juga memiliki laporan dalam bentuk rekapitulasi dari pengaduan yang diterima. Pengaduan tersebut dimungkinkan belum mencakup data dari seluruh Indonesia, akan tetapi dapat digunakan sebagai gambaran sebagian dari wujud pelayanan yang diberikan unit pelaksana teknis khususnya lembaga pemasyarakatan (lapas)/rumah tahanan negara (rutan). Dengan keberadaan pengaduan tersebut, menunjukkan bahwa masih terdapat ketidakpuasan masyarakat terhadap beberapa pelayanan teknis pemasyarakatan (lapas/rutan) khususnya dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada umumnya. Hasil laporan berupa pengaduan yang diterima oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini :

7 Tabel 1.3 Daftar Pengaduan Terhadap Pelaksanaan Tugas Pemasyarakatan Tahun 2007 No. Jenis Pengaduan Jumlah Kasus 1. Pungutan Liar 9 2. Penganiayaan 4 3. Penyalahgunaan Jabatan 12 4. Pengeluaran tidak sah 2 5. Pemerasan 1 6. Lain-lain 6 Jumlah 34 Sumber : Direktorat Keamanan dan Ketertiban 2008 Dari tabel di atas, pengaduan yang paling banyak diterima oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan adalah tentang penyalahgunaan jabatan sebanyak 12 kasus. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat masyarakat yang mengeluhkan pelayanan publik terkait dengan adanya penyelewengan dan penyalahgunaan jabatan oleh oknum tertentu dalam pelaksanaan tugas pemasyarakatan khususnya di lapas/rutan. Penyelewengan terjadi karena adanya tuntutan dan kesempatan yang dapat digunakan untuk kepentingan pribadi. Demikian pula halnya di lapas/rutan karena ada tuntutan tertentu dari penghuni (narapidana/tahanan) akibat kondisi yang serba terbatas di dalam lapas/rutan mempengaruhi petugas (pejabat) dengan iming-iming tertentu yang menguntungkan bagi oknum pejabat dimaksud. Kehilangan kemerdekaan di dalam lapas/rutan menyebabkan penghuni (narapidana/tahanan) tertekan, apalagi

8 jika ditambah dengan kondisi lapas/rutan yang serba terbatas akibat kelebihan kapasitas di dalam lapas/rutan. Upaya peningkatan kinerja dan pelayanan yang prima pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, diperlukan strategi tertentu dalam menghadapi permasalahan kelebihan kapasitas tersebut. Dalam hal ini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menetapkan beberapa strategi sebagai upaya penanganannya melalui: (Pusat Informasi & Komunikasi Departemen Hukum & HAM, 2008, hal 1) a. Mutasi Narapidana atau pemindahan narapidana dari Lapas yang padat atau kelebihan ke lapas yang cenderung masih memiliki daya tampung. Upaya ini diharapkan dapat membantu untuk memeratakan tingkat kepadatan hunian di lapas-lapas seluruh Indonesia. Namun demikian, cara ini memiliki hambatan terutama terkait dengan kepentingan pembinaan narapidana yang bersangkutan. Penolakan pemindahan tidak hanya berasal dari narapidana yang bersangkutan, akan tetapi juga berasal dari keluarga. Sistem pemasyarakatan membutuhkan peran keluarga dalam rangka mendukung keberhasilan pembinaan, yaitu memberikan motivasi dan dorongan bagi narapidana yang bersangkutan untuk menyesal dan menyadari kesalahan serta tidak mengulang kembali perbuatannya, selain itu juga membantu proses integrasi kembali dengan anggota masyarakat. Cara ini belum mampu memberikan sumbangan yang berarti terhadap penyelesaian masalah kelebihan kapasitas. Pemindahan narapidana dilakukan bukan dalam rangka pemerataan tingkat hunian lapas akan tetapi dititik beratkan pada unsur keamanan dan pembinaan. b. Pembangunan Unit Pelaksana Teknis Baru atau penambahan kapasitas terhadap Unit Pelaksana Teknis yang telah ada. Hal tersebut dilakukan untuk mengatasi kehidupan di dalam lapas/rutan yang semakin sesak dan bahkan memungkinkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia terkait dengan perlakuan terhadap

9 narapidana dan tahanan. Pada dasarnya narapidana yang berada di dalam lapas hanya diperkenankan kehilangan kebebasan. Maka dari itu, keadaan-keadaan dalam penjara (lapas/rutan) tidaklah boleh digunakan sebagai hukuman tambahan. Dampak yang kurang baik dari pemenjaraan haruslah diminimalkan. Walaupun kehidupan dalam penjara tidak pernah normal, namun kondisi dalam penjara harus sedekat kehidupan normal sebisa mungkin, terlepas dari masalah kehilangan kebebasan.(penal Reform International, 2001, hal 7) Dengan penambahan kapasitas dan pembangunan lapas/rutan baru diharapkan mampu mewujudkan suatu keadilan bagi narapidana dalam menjalani hukumannya. c. Pelaksanaan Pembinaan, yaitu dengan melalui kegiatan pembinaan antara lain : Pemebebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB), dan Cuti Bersyarat (CB) serta remisi. Program-program pembinaan tersebut diharapkan dapat mendorong narapidana untuk bebas lebih cepat dari masa pidana yang seharusnya dijalani. Percepatan narapidana keluar dari lapas/rutan (bebas) dapat mengurangi jumlah penghuni di dalam lapas/rutan. Pada tahun 2008 pelaksanaan Cuti Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Pembebasan Bersyarat telah berhasil mengurangi jumlah narapidana sebanyak 29.832 orang. Untuk lebih rinci dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1.4 Rekapitulasi Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang Memperoleh CB, PB, dan CMB Tahun 2008 No Narapidana Jumlah 1. Cuti Bersyarat 11.702 orang 2. Pembebasan Bersyarat 16.728 orang 3. Cuti Menjelang Bebas 1.402 orang Jumlah 29.832 orang Sumber : Direktorat Bina Bimbingan Kemasyarakatan Ditjenpas 2009

10 Dari tabel di atas, jumlah narapidana yang keluar dari lapas/rutan akibat penerapan program pembinaan (PB, CMB, dan CB) cukup besar untuk mengurangi kelebihan kapasitas yang terjadi yaitu sebanyak 29.832 orang. Dan program pembinaan yang memberikan sumbangan terbesar untuk mengurangi kelebihan kapasitas adalah pembinaan Pembebasan Bersyarat. Sebagai salah satu cara yang legal dan mendukung tujuan dari sistem Pemasyarakatan, yaitu memulihkan kesatuan hidup, penghidupan dan kehidupan, dengan memberikan kesempatan kepada narapidana untuk dapat berintegrasi dengan masyarakat lebih cepat sebelum masa pidana habis dijalani, sehingga Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mengeluarkan suatu kebijakan untuk melaksanakan Optimalisasi Pembebasan Bersyarat. Kebijakan tersebut dikeluarkan melalui Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Yang kemudian ditindak lanjuti dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor PAS.OT.03.01 Tahun 2008 tanggal 4 Februari 2008 tentang Pelaksanaan Instruksi Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH.01.03.02 Tahun 2008 tentang Bulan Tertib Pemasyarakatan. Dimana pada salah satu program Bulan Tertib Pemasyarakatan, yaitu program tertib pembinaan dan pembimbingan terdapat kegiatan optimalisasi Pembebasan Bersyarat yaitu terdapat pada butir f yang berbunyi Optimalisasi Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Bahkan sebelumnya yaitu pada tanggal 9 Oktober 2007 dalam Surat Edarannya terkait Rekapitulasi narapidana yang mendapat Pembebasan Bersyarat selama tahun 2006, Direktur Jenderal Pemasyarakatan menyebutkan bahwa program Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas dijadikan sebagai salah satu indikator penilaian terhadap kinerja kepala lapas/rutan. Dengan demikian secara tidak langsung tersirat bahwa adanya anjuran untuk mengoptimalkan usulan Pembebasan Bersyarat.

11 Optimalisasi Pembebasan Bersyarat yang telah dilakukan semenjak Agustus 2007 memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap pengurangan jumlah hunian lapas/rutan (kelebihan kapasitas), hal tersebut dapat terlihat dari perkembangan rekapitulasi narapidana yang mendapat Pembebasan Bersyarat dari tahun 2006 mengalami peningkatan, seperti yang nampak pada tabel berikut : Tabel 1.5 Rekapitulasi Narapidana yang mendapat Pembebasan Bersyarat No. Tahun Jumlah 1. 2006 5.346 2. 2007 9.308 3. 2008 16.728 Sumber : Ditbinbimkemas 2009 Tabel di atas menunjukkan terjadi lonjakan yang cukup signifikan yaitu pada tahun 2008, secara implisit nampak bahwa program optimalisasi Pembebasan Bersyarat memberikan pengaruh yang cukup besar yaitu terjadi kenaikan sebesar 7.420 terhadap jumlah narapidana yang bebas karena mendapat Pembebasan Bersyarat. Selain itu dengan adanya program optimalisasi Pembebasan Bersyarat tersebut, data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menunjukkan adanya penghematan anggaran melalui pengurangan biaya bahan makanan, perawatan kesehatan, pakaian narapidana, dan biaya umum lapas/rutan sebesar Rp. 47.507.520.000,- selama tahun anggaran 2008. Untuk lebih rinci dapat dilihat pada tabel berikut ini :

12 Tabel 1.6 Penghematan Anggaran dari Kegiatan PB Tahun 2008 No. Bidang Penghematan Jumlah Narapidana Jumlah Hari Indeks Biaya Jumlah 1. Bahan Makanan 10.500 Rp. 42.154.560.000,- 2. Perawatan/ 1.000 Rp. 4.014.720.000,- kesehatan 16.728 240 3. Perlengkapan/ 50.000 Rp 836.400.000,- pakaian 4. Biaya Umum 30.000 Rp 501.840.000,- JUMLAH Rp 47.507.520.000,- Sumber : Bagian Penyusunan Program dan Laporan, 2009 Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa program optimalisasi Pembebasan Bersyarat merupakan strategi yang memiliki keunggulan lebih sebagai solusi dalam menangani kelebihan kapasitas bila dibandingkan dengan kedua strategi lainnya (mutasi dan pembangunan/penambahan kapasitas). Berdasarkan data yang ada menunjukkan bahwa Pembebasan Bersyarat memiliki keunggulan antara lain : 1. Merupakan program yang sangat mendukung dengan paradigma pembinaan dalam pemasyarakatan terutama terkait dengan program integrasi sosial narapidana dengan masyarakat 2. Mempunyai angka yang signifikan dalam mengurangi jumlah narapidana di dalam lapas/rutan, secara logika ini sangat membantu upaya penanganan kelebihan kapasitas 3. Dengan percepatan narapidana keluar dari lapas/rutan maka dampak lain yang ditimbulkan adalah adanya penghematan terhadap biaya narapidana tersebut sesuai dengan sisa pidana yang seharusnya dijalani. Dengan keunggulan yang dimiliki, program optimalisasi Pembebasan Bersyarat tersebut menjadi hal menarik untuk dikaji secara ilmiah, terutama terkait dengan keberhasilan pelaksanannya. Wilayah DKI Jakarta yang merupakan wilayah dengan tingkat kelebihan kapasitas tertinggi (mencapai 300%), diharapkan mampu memanfaatkan program tersebut sebagai sarana untuk mengurangi tingkat kelebihan kapasitas. Untuk itu tema yang diangkat adalah :

13 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN OPTIMALISASI PEMBEBASAN BERSYARAT BAGI NARAPIDANA DI LAPAS KLAS I CIPINANG. 1.2 Permasalahan Berdasarkan dari latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dijabarkan pokok permasalahan yang diteliti, yaitu berupa pertanyaan penelitian antara lain : 1. Bagaimana implementasi optimalisasi Pembebasan Bersyarat ditinjau dari aspek konten dan konteks sebagai suatu kebijakan? 2. Bagaimanakah pelaksanaan program optimalisasi Pembebasan Bersyarat di Lapas Klas I Cipinang? 1.3 Tujuan Penulisan Dengan melihat latar belakang dan pokok masalah tersebut diatas, serta dalam upaya memberikan saran atau input terhadap kebijakan penanganan kelebihan kapasitas di lapas/rutan, khususnya terkait dengan permasalahan optimalisasi Pembebasan Bersyarat dalam pelaksanaan pembinaan bagi narapidana, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah untuk : 1. Menggambarkan implementasi kebijakan optimalisasi pembebasan bersyarat ditinjau dari aspek konten dan konteks sebagai suatu kebijakan. 2. Menjelaskan pelaksanaan program optimalisasi pembebasan bersyarat di Lapas Klas I Cipiang.. 1.4 Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini sebagaimana dalam tujuan penelitian di atas maka manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : 1. Secara akademis diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi Ilmu Administrasi kekhususan administrasi dan kebijakan publik terutama berkaitan dengan pengetahuan tentang kebijakan publik pada umumnya dan implementasi kebijakan publik khususnya. 2. Secara praktis adalah diharapkan penelitian ini menjadi bahan masukan bagi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan terkait dengan penanganan kelebihan

14 kapasitas, khususnya dalam pelaksanaan pembinaan yang terkait dengan Pembebasan Bersyarat yang diberikan secara optimal kepada narapidana agar tercapai tujuan dari sistem pemasyarakatan. 1.5 Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan hasil penulisan yang sistematis maka penulis membagi menjadi lima bagian penulisan yaitu : BAB I : Pendahuluan yang berisikan Latar Belakang, BAB II BAB III : : Permasalahan, Tujuan Penulisan, Signifikasi Penelitian, dan Sistematika Penulisan Tinjauan Literatur, yang menguraikan kerangka pikir yang bersumber dari teori-teori atau konsep-konsep dari berbagai literature dimana konsep yang ada disini adalah tentang kebijakan publik dan implementasinya. Metode Penelitian, yang akan menyajikan metode penelitian yang digunakan, meliputi pendekatan penelitian, jenis penelitian, teknik pengumpulan data, populasi dan sampel, teknik analisis data, dan BAB IV : keterbatasan penelitian. Di dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang gambaran umum lokasi penelitian yaitu Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang Jakarta dan gambaran tentang Pembebasan Bersyarat di Indonesia dan di Australia sebagai pembanding. BAB V : Pembahasan yang berisikan tentang analisa pelaksanaan program optimalisasi Pembebasan BAB VI : Bersyarat ditinjau dari aspek konten dan konteks dan pelaksanaannya di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang Jakarta. Penutup berisikan tentang simpulan dari penulis dan mengemukakan saran-saran berdasarkan tinjauan di lapangan.