I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dirofilaria immitis (D. immitis) yang dikenal sebagai cacing jantung,

dokumen-dokumen yang mirip
PENYAKIT CACING JANTUNG. Infeksi cacing jantung (dirofilariasis) disebabkan oleh D. immitis,

Produksi Antibodi Anti-Dirofilaria immitis Untuk Pengembangan Diagnosis Dirofilariasis Pada Anjing

Antigen Ekskretori-Sekretori Cacing Jantung (Dirofilaria immitis) Jantan dan Betina yang Berpotensi Sebagai Marka Diagnosis

BAB 4 HASIL PENELITIAN

FAKTOR RISIKO MANAJEMEN PEMELIHARAAN ANJING TERHADAP KEJADIAN INFEKSI Dirofilaria immitis DI WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI RITA MARLINAWATY MANALU

Prevalensi pre_treatment

BAB I PENDAHULUAN. oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara

HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS. Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung

PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA ESMIRALDA EKA FITRI

INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING FITRIAWATI

KAJIAN FAKTOR RISIKO ENDOGEN INFEKSI CACING JANTUNG (Dirofilaria immitis) PADA BERBAGAI ANJING DI WILAYAH JAWA DAN BALI LAURENSIUS YUVIANTO

IDENTIFIKASI FILARIASIS YANG DISEBABKAN OLEH CACING NEMATODA WHECERERIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan yang lainnya sehingga mendorong manusia untuk memberi perhatian lebih.

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium.

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Dirofilaria immitis Gambaran Morfologi

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia

POTENSI NYAMUK Aeries albopictus (DLE'TERA : CULICIDAE) SEBAGAI. VEKTOR DirojiZaria inzmitis (NEMATODA : FILARIIDAE) PADA ANJING HAMNY B

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. tinggi pada manusia maupun hewan. Pada manusia, antara 20-30% dari pasien

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA ESMIRALDA EKA FITRI

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Hipertensi merupakan salah satu kondisi kronis yang sering terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. Separuh penduduk dunia berisiko tertular malaria karena hidup lebih dari 100

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ini tersebar di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat

ABSTRAK. Kata kunci: Cysticercus cellulosae, crude antigen, ELISA

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. terabaikan atau Neglected Infection Diseases (NIDs) yaitu penyakit infeksi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. maupun fungsional dari pengisian atau pompa ventrikel (Yancy et al., 2013).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit malaria masih merupakan masalah kesehatan bagi negara tropis/

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. TORCH merupakan suatu istilah jenis penyakit infeksi yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat E. ictaluri Ikan Lele ( Clarias sp.)

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

BAB XX FILARIASIS. Hospes Reservoir

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin

PENGARUH PERILAKU HIDUP SEHAT TERHADAP KEJADIAN ASCARIASIS PADA SISWA SD NEGERI SEPUTIH III KECAMATAN MAYANG KABUPATEN JEMBER

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. protozoa parasit Toxoplasma gondii (T.gondii), parasit tersebut dapat menginfeksi

KONFIRMASI KEBERADAAN CACING Dirofilaria immitis PADA ANJING BERDASARKAN TANDA-TANDA KLINIK

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia (Dastkhosh et al,2014). WHO memperkirakan orang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi neonatus khususnya sepsis neonatorum sampai saat ini masih

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan adalah hipertensi. Hipertensi adalah keadaan peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit jantung bawaan terjadi pada 8 bayi dari. setiap 1000 kelahiran. (Sommer, 2008) Penyakit jantung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kasus infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang ditandai oleh peningkatan kadar glukosa darah kronik (Asdi, 2000).

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. sepsis terbanyak setelah infeksi saluran nafas (Mangatas, 2004). Sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi dalam kehamilan masih merupakan masalah besar. dalam bidang obstetri, dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berhasil mencapai target Millenium Development Goal s (MDG s), peningkatan

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

PERBEDAAN CARDIOTHORACIC RATIO

PENDEKATAN DIAGNOSIS DEMAM BERDARAH DENGUE PADA ANAK DI SELURUH PUSKESMAS KEPERAWATAN WILAYAH KABUPATEN JEMBER PERIODE 1 JANUARI 31 DESEMBER 2007

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Glomerulonefritis akut masih menjadi penyebab. morbiditas ginjal pada anak terutama di negara-negara

I. PENDAHULUAN. disebut dengan kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Ikan ini memiliki potensi

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. kronik dan termasuk penyakit hati yang paling berbahaya dibandingkan dengan. menularkan kepada orang lain (Misnadiarly, 2007).

PARASITOLOGI. OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS

LAPORAN GAMBARAN DURATION OF IMMUNITY VAKSIN RABIVET 92. Pusat Veterinaria Farma ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. menular (PTM) yang meliputi penyakit degeneratif dan man made diseases.

BAB I PENDAHULUAN. individu. Pemberian antibiotik seperti penisilin pada streptococcal faringitis turut

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. sapi secara maksimal masih terkendala oleh lambatnya pertumbuhan populasi sapi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

METODOLOGI UMUM. KAJIAN ECP BAKTERI S. agalactiae MELIPUTI

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan kematian. Scabies merupakan salah satu penyakit kulit yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Hipertensi menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu kondisi

Mengukur Kemunculan dan Risiko Penyakit

I. PENDAHULUAN. metabolisme tubuh yang sudah tidak digunakan dan obat-obatan. Laju Filtrasi

Sehat merupakan kondisi yang ideal secara fisik, psikis & sosial, tidak terbatas pada keadaan bebas dari penyakit dan cacad (definisi WHO)

BAB I PENDAHULUAN. Pola penyakit saat ini telah mengalami perubahan yaitu adanya transisi

MATRIKS DOMESTIK MASUK MEDIA PEMBAWA HPHK BKP KELAS II GORONTALO

HIPERTENSI ARTERI PULMONAL IDIOPATIK

I. PENDAHULUAN. Iridoviridae yang banyak mendapatkan perhatian karena telah menyebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan parasit Plasmodium yang

BAB I. PENDAHULUAN. yang bernilai ekonomis adalah ikan Nila (Orcochromis niloticus). Budidaya ikan

Proses Penularan Penyakit

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun buatan manusia.

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kelahiran preterm, dan intrauterine growth restriction (IUGR) (Sibai, 2005;

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. disebabkan adanya penyempitan pada katup mitral (Rilantono, 2012). Kelainan

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan adanya peningkatan tekanan darah sistemik sistolik diatas atau sama dengan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dipompa dari jantung ke jaringan. Tekanan darah berubah-ubah sepanjang hari,

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dirofilaria immitis (D. immitis) yang dikenal sebagai cacing jantung, adalah penyebab penyakit parasit yang serius pada anjing, hidup pada ventrikel kanan dan arteri pulmonalis (Aranda et al., 1998; Cringoli et al., 2001; Atkins, 2005). Spesies hewan yang dapat terinfeksi D. immitis selain anjing adalah kucing, serigala, rubah, coyote, ferret, tikus air, singa laut, coatimundi (Atkins, 2005), dan orangutan (Duran-Struuck et al., 2005). Dirofilaria immitis sebagai agen penyebab penyakit cacing jantung tidak hanya menimbulkan masalah pada hewan tetapi juga bersifat zoonosis (Cruz- Chan, et al., 2009; Genchi, et al., 2009; Alia et al., 2013). Kasus pertama pada manusia dilaporkan pada tahun 1887 (Labarthe dan Guerrero, 2005). Prevalensi dirofilariasis pada anjing bervariasi antara 0,6% sampai 40% pada daerah yang berbeda di dunia (Tabel 2). Iskandar et al. (1997) melaporkan bahwa dari 175 ekor anjing yang diperiksa di Klinik Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada Oktober 1996 Maret 1997, 16 ekor di antaranya positif terinfeksi D. immitis. Situasi epidemiologi dirofilariasis saat ini mengalami perubahan yang sangat cepat, kejadian dirofilariasis di daerah endemis terus mengalami peningkatan dan bahkan telah terjadi penyebaran ke daerah yang sebelumnya bebas dirofilariasis walaupun telah banyak dilakukan upaya-upaya untuk mencegah dan mengontrol infeksi pada anjing. Penyebab yang diduga dapat 1

2 mengakibatkan perluasan infeksi cacing jantung adalah perubahan iklim, irigasi pertanian, penyebaran nyamuk sebagai vektor, perkembangan jenis inang nonanjing, dan perpindahan anjing yang mikrofilaremik. Kegagalan mengenali infeksi cacing jantung juga menyebabkan peningkatan penyebaran kasus dirofilariasis pada suatu populasi (Colby et al., 2011). Kebanyakan anjing yang terinfeksi tidak memperlihatkan gejala penyakit untuk jangka waktu lama (Atkins, 2005; Venco, 2007). Cacing D. immitis dapat mengakibatkan perubahan pada jantung (Wang et al., 2005), paru-paru (Atkins, 2005), hati (Ressang, 1984), dan ginjal (Paes-de-Almeida et al., 2003). Efek utama pada arteri pulmonalis berupa inflamasi, hipertensi pulmoner, gangguan keutuhan pembuluh arteri, dan fibrosis. Cacing D. immitis memberikan tekanan yang berlebihan terhadap jantung. Hipertrofi merupakan kompensasi pertama yang terjadi, dan pada infeksi yang parah akhirnya akan terjadi dekompensasi (gagal jantung kanan) (Atkins, 2005). Gangguan peredaran darah di dalam jantung kanan menyebabkan terjadinya pembendungan-pembendungan umum (edema, hati pala, dan sebagainya) (Ressang, 1984). Pada anjing penderita dirofilariasis juga dapat terjadi kerusakan ginjal berupa membrano-proliferative glomerulonephritis. Adanya deposit pada membran basal glomerular menunjukkan bahwa patogenesis penyakit ginjal pada kasus dirofilariasis berkaitan dengan deposit kompleks antigen-antibodi (Paes-de-Almeida et al., 2003). Untuk mendiagnosis infeksi oleh D.immitis pada anjing telah digunakan berbagai macam metode, di antaranya pemeriksaan secara klinis, pemeriksaan

3 ulasan darah secara mikroskopik, teknik konsentrasi sampel darah dan Knott s test untuk mendeteksi mikrofilaria, pemeriksaan dan identifikasi cacing dewasa pada nekropsi, radiografi, elektorkardiografi, uji antibodi dan antigen, dan metode molekuler. Penentuan diagnosis berdasarkan gejala klinis sangat sulit ditegakkan karena kebanyakan kasus infeksi cacing jantung adalah asimptomatik (Atkins, 2005) dan gejala penyakit cacing jantung pada anjing yang disebabkan oleh cacing dewasa, kalau ada, bersifat nonspesifik (Weil, 1989). Masalah utama dalam penegakan diagnosis dengan metode ulasan darah secara mikroskopik, teknik konsentrasi sampel darah, dan Knott s test untuk mendeteksi mikrofilaria adalah adanya occult infection (infeksi tanpa disertai adanya mikrofilaria di dalam darah tepi). Jumlah occult infection tersebut dapat mencapai 10 67% pada anjing yang terinfeksi secara alami (Song et. al., 2002). Penggunaan metode radiografi dan elektrokardiografi hasilnya juga kurang akurat. Hasil penelitian Akhtardanesh et al. (2010) menunjukkan bahwa pada kasus seropositif dirofilariasis, tanda-tanda khas yang ditemukan dengan metode radiografi hanya terlihat pada 50% kasus dan tanda-tanda khas dengan elektrokardiografi ditemukan hanya pada 30% kasus. Penegakan diagnosis dengan metode molekuler membutuhkan peralatan khusus dan peralatan tersebut tidak selalu tersedia. Uji untuk mendeteksi antibodi terhadap D. immitis memiliki beberapa kelemahan. Masalah utama dalam uji antibodi adalah kurang spesifik. Deteksi antibodi terhadap Dirofilaria dipengaruhi oleh banyak variabel dan tidak memberikan bukti langsung terhadap infeksi cacing jantung sehingga uji antibodi

4 tidak diterima sebagai metode serologis untuk mendeteksi cacing jantung pada anjing (Goodwin, 1998). Kesulitan dalam menegakkan diagnosis Dirofilaria menginspirasi upaya mendeteksi antigen parasit sebagai alternatif diagnosis yang dapat lebih diandalkan. Untuk mendeteksi antigen D. immitis yang beredar di dalam darah saat ini telah tersedia berbagai macam uji. Kelemahan diagnosis D. immitis dengan deteksi antigen di dalam darah adalah sensitivitasnya sangat rendah apabila jumlah cacing di dalam jantung sangat sedikit. Sebagian uji antigen D. immitis yang tersedia saat ini hanya mampu mendeteksi antigen cacing betina. McCall et al. (2000) menyatakan bahwa infeksi oleh cacing jantan saja tidak dapat dideteksi oleh sepuluh jenis/merk uji antigen D. immitis. Karena itu perlu dilakukan analisis profil protein excretory-secretory (ES) cacing jantan dan betina. Keberadaan cacing jantung di Indonesia sudah pernah dipublikasikan, tetapi penyakit ini masih kurang mendapat perhatian walaupun penyakit ini bersifat zoonosis. Bertitik tolak dari hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi cacing jantung secara morfologi, faktor-faktor risiko yang mempengaruhi infeksi, perbedaan profil protein ES cacing jantan dan betina, dan perubahan histopatologik yang ditimbulkan pada anjing di Indonesia. 1.2 Keaslian Penelitian Penelitian tentang D. immitis yang banyak dilakukan di luar negeri adalah penelitian tentang epidemiologinya. Analisis profil protein D. immitis yang telah banyak dipublikasikan adalah profil protein permukaan dan somatik. Di Indonesia, berdasarkan tinjauan kepustakaan yang ada, publikasi D. immitis

5 yang ada adalah tentang kajian patologik infeksi D. immitis pada anjing oleh Handharyani dan Wulansari (1995), dan konfirmasi keberadaan cacing D. immitis pada anjing berdasarkan tanda-tanda klinik oleh Iskandar et al. (1998). Identifikasi cacing dan mikrofilarianya, korelasi antara jumlah cacing dengan perubahan histopatologik jantung, paru-paru, hati, dan ginjal, serta kajian tentang profil protein ES cacing jantan dan betina belum pernah diteliti. Persamaan dan perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulu disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Persamaan dan perbedaan penelitian D. immitis terdahulu dengan penelitian ini Judul Persamaan Perbedaan Identifikasi cacing dan mikrofilaria Rajulani, (2013). Investigasi keberadaan D. immitis pada anjing di tempat pemotongan anjing di Gorontalo (identifikasi cacing secara makroskopis: panjang cacing jantan dan betina) Epidemiologi Banyak publikasi Internasional tentang epidemiologi D. immitis. Penelitian epidemilogi D. immitis di Indonesia: Iskandar et al., (1998). Konfirmasi keberadaan cacing D. immitis pada anjing berdasarkan tanda-tanda klinik (kasus klinik di Bogor) Suarsana, (1990). Pengaruh umur terhadap prevalensi infeksi cacing D. immitis pada anjing lokal Bali di Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng Identifikasi cacing D. immitis Konfirmasi keberadaan cacing D. immitis di Indonesia. Penelitian prevalensi dan pengaruh umur identifikasi mikrofilaria dan cacing dewasa secara makroskopis dan mikroskopis dan analisis korelasi jumlah cacing dengan jumlah mikrofilaria per ml darah. konfirmasi berdasarkan pemeriksaan cacing secara langsung pada jantung. selain pengaruh umur juga disertai analisis faktor risiko jenis kelamin, bangsa, dan asal anjing.

6 Tabel 1. Lanjutan Yuvianto, (2008). Kajian faktor risiko endogen infeksi cacing jantung pada berbagai anjing di wilayah Jawa dan Bali (pemeriksaasn dengan metode ELISA) Analisis antigen Kaneko et al., (1990). Antigenic identification of excretory secretory products of adult D. immitis (pada Western Blotting menggunakan serum anjing terinfeksi D. immitis) Karmil et al., (2007). Karakterisasi gut associated antigens dari larva L3 dan L4 D. immitis isolat lapang sebagai upaya penyempurnaan kehandalan kit diagnostik dan potensi vaksin asal kutikula Patologi Handharyani dan Wulansari, (1995). Infeksi D. immitis pada anjing: kajian patologik Carreton et al., (2012). Myocardial damage in dogs affected by D. immitis: Immunohistochemical study of cardiac myoglobin and troponin I in naturally infected dogs Paes-de-Almeida et al., (2003). Kidney ultrastructural lessions in dogs experimentally infected with D. immitis Analisis faktor risiko Identifikasi antigen ES Analisis antigen Kajian patologik infeksi D. immitis Pemeriksaan histopatologik myokardium Pemeriksaan histopatologik ginjal pemeriksaan cacing secara langsung pada jantung. pada Western Blotting menggunakan serum mencit yang diimunisasi dengan antigen D. immitis. analisis antigen ekskretorisekretori cacing dewasa. kajian patologik disertai analisis korelasi jumlah cacing dengan perubahan histopatologik. selain jantung juga pemeriksaan histopatologik paru-paru, hati, dan ginjal. penelitian kasus lapangan.

7 1.3 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana morfologi mikrofilaria dan cacing jantung yang ditemukan pada anjing di Indonesia? 2. Apakah ada korelasi antara jumlah cacing dengan jumlah mikrofilaria di dalam darah tepi? 3. Apa saja faktor risiko yang mempengaruhi prevalensi infeksi cacing jantung pada anjing di Indonesia? 4. Bagaimana profil protein ES cacing jantan dan betina? 5. Apakah dapat diproduksi antibodi anti-male excretory-secretory (anti-mes) dan anti-female excretory-secretory (anti-fes) untuk mendeteksi adanya protein ES pada serum anjing terinfeksi D. immitis? 6. Bagaimana perubahan histopatologik yang terjadi pada organ anjing? 7. Apakah perubahan histopatologik tersebut berkorelasi dengan jumlah cacing di dalam jantung? 1.4 Tujuan Penelitian Peneltian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui morfologi mikrofilaria dan cacing jantung yang ditemukan pada anjing di Indonesia.

8 2. Mengetahui korelasi antara jumlah cacing dengan jumlah mikrofilaria di dalam darah tepi. 3. Mengetahui prevalensi dan faktor risiko yang mempengaruhi infeksi cacing jantung pada anjing di Indonesia. 4. Mengetahui perbedaan profil protein ES cacing jantan dan betina. 5. Memproduksi antibodi anti-mes dan anti-fes untuk mendeteksi adanya protein ES pada serum anjing terinfeksi D. immitis. 6. Mengetahui perubahan histopatologik jantung, paru-paru, hati, dan ginjal anjing terinfeksi cacing jantung. 7. Mengetahui korelasi jumlah cacing dengan perubahan histopatologik jantung, paru-paru, hati, dan ginjal anjing terinfeksi cacing jantung. 1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi tentang keberadaan cacing jantung di Indonesia dalam hal morfologi, faktor-faktor risiko yang mempengaruhi infeksi, perubahan histopatologik, dan profil protein ES cacing jantan dan betina, serta kemungkinan dikembangkannya metode diagnosis dengan menggunakan antibodi anti-fes dan anti-mes.