ANALISIS SEMIOTIK TEKSKIDUNG RUMEKSA ING WENGI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 3 OBJEK DAN METODE PENELITIAN. (Ratna, 2004:34). Metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai cipta sastra karena teks yang terdapat dalam teks mengungkapkan

PATHISARI. Wosing těmbung: Sěrat Pangracutan, suntingan lan jarwanipun teks, kalěpasan.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. rangkaian dari kebudayaan-kebudayaan masa lalu. Tidak ada salahnya bila ingin

SERAT MUMULEN (SUNTINGAN TEKS DAN KAJIAN SEMIOTIK)

KAJIAN SEMIOTIK SYAIR SINDHEN BEDHAYA KETAWANG PADA NASKAH SERAT SINDHEN BEDHAYA

BAB I PENDAHULUAN. bangunan besar, benda-benda budaya, dan karya-karya sastra. Karya sastra tulis

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra tulis terdiri dari dua bentuk, yaitu karya sastra tulis yang berbentuk

BAB I PENDAHULUAN. pikir manusia demi menunjang keberlangsungan hidupnya. Dalam Kamus Besar

BAB I PENDAHULUAN. Naskah kuno merupakan warisan budaya masa lampau yang penting dan patut

BAB I PENDAHULUAN. terbesar di dunia. Perkembangan Islam di Indonesia khususnya pulau Jawa sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang luas yang mencakup bidang kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

2015 KRITIK TEKS DAN TINJAUAN KANDUNGAN ISI NASKAH WAWACAN PANDITA SAWANG

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada kertas, lontar, kulit kayu atau rotan (Djamaris, 1977:20). Naskah

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1

BAB I PENDAHULUAN. dipegang yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil

BAB 1 PENDAHULUAN. Masyarakat Jawa telah mengenal budaya bersusastra melalui tulisan yang

BAB I PENDAHULUAN. Tradisi tulis yang berkembang di masyarakat Jawa dapat diketahui melalui

BAB II KAJIAN TEORI. Filologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu philos yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia memiliki beragam suku dan tentu saja bahasa daerah

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan masa lampau, karena naskah-naskah tersebut merupakan satu dari berbagai

BAB I PENDAHULUAN. rahmat Allah SWT karena leluhur kita telah mewariskan khazanah kebudayaan

BAB 1 PENDAHULUAN. dulu sampai saat ini. Warisan budaya berupa naskah tersebut bermacam-macam

BAB I PENDAHULUAN. Kesusastraan Melayu klasik telah ada sebelum mesin cetak digunakan di

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan terbentuk sebagai hasil sintesis dari pengalaman-pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Butir-butir mutiara kebudayaan Indonesia pada masa lampau sebagai

BAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR. A. Kajian Pustaka

2014 SAJARAH CIJULANG

BAB II KAJIAN TEORI. Filologi adalah suatu ilmu yang objek penelitiannya naskah-naskah lama

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Zainal Arifin Nugraha, 2013

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak hanya berupa arca atau prasasti, tetapi juga dapat berasal dari naskahnaskah

BAB II KAJIAN TEORI. A. Pengertian Filologi. kebudayaan suatu bangsa melalui teks-teks tertulis di dalam naskah-naskah klasik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. teks yang ditulis dengan huruf bahasa daerah atau huruf Arab-Melayu. Naskah

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. rakyat, sejarah, budi pekerti, piwulang, dll. (Nindya 2010:1). Manfaat dalam

MANFAAT STUDI FILOLOGI

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI SERAT CARETA SAMA UN: SUNTINGAN TEKS DISERTAI ANALISIS RESEPSI. Oleh MUHAMMAD HASAN NIM

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan bangsa yang sangat kaya. Salah satu kekayaan yang

Kawruh warnining udheng-udhengan (suatu tinjauan filologis) Budi Kristiono C UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB I PENDAHULUAN

TINJAUAN FILOLOGI DAN AJARAN MORAL DALAM SÊRAT DRIYABRATA

MERANCANG PENELITIAN NASKAH

BAB I PENDAHULUAN. tentang kehidupan, berbagai buah pikiran, gagasan, ajaran, cerita, paham dan

BAB I PENDAHULUAN. bahasa, dan sastra (Baried, 1983: 4). Cipta sastra yang termuat dalam naskah,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Suatu negara atau kerajaan tentu mempunyai sistem hirarki dalam

BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis Penelitian. sebuah penelitian diperlukan penggunaan metode yang tepat agar hasil penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Karya-karya Raden Ngabehi Ranggawarsita banyak dipengaruhi oleh kepustakaan. 1988: 40). Kebenaran bahwa SC dikarang oleh Raden

NASKAH KH ANWAR RANJI WETAN MAJALENGKA. (Kajian Filologis) Proposal Skripsi

BAB 3 OBJEK DAN METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. hasil pemikiran orang-orang terdahulu yang dituangkan ke dalam sastra dan

BAB I PENDAHULUAN. dapat dibaca dalam peningglan-peninggalan yang berupa tulisan.

BAB I PENDAHULUAN. dapat berupa benda (tangible culture) atau budaya-budaya non-benda (intangible

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB V PENUTUP. ditemukan dua varian naskah, yaitu naskah Sêrat Driyabrata dengan nomor

BAB I PENDAHULUAN. Tutur merupakan salah satu jenis teks sastra tradisional yang mengandung

BAB 1 PENDAHULUAN. Aspek-aspek laku..., Lulus Listuhayu, FIB UI, Universitas Indonesia

Teks, Tekstologi, dan Kritik Teks

Wahyu Aris Aprillianto Universitas Muhammadiyah Purworejo

: SUNTINGAN TEKS BESERTA KAJIAN PRAGMATIK

BAB 1 PENDAHULUAN. Akan tetapi, hingga saat ini masih sedikit peneliti yang memberikan 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan berbagai etnis, kaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. belum pernah dilakukan kegiatan transliterasi teks atas naskah Wawacan Rawi

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa sekarang banyak masyarakat yang berburu naskah-naskah kuna

BAB I PENDAHULUAN. sistem konvensi sastra tertentu yang cukup ketat. Geguritan dibentuk oleh pupuh

KAJIAN FILOLOGI DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN MORAL DALAM SERAT AMBEK SANGA SKRIPSI

2016 TEKS NASKAH SAWER PANGANTEN: KRITIK, EDISI, DAN TINJAUAN FUNGSI

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan karya sastra Bali khususnya kidung masih mendapat tempat di hati

ASPEK-ASPEK DIDAKTIS DALAM NASKAH SERAT WEWULANG KARYA PAKUBUWANA IX SKRIPSI

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. teks dibagi menjadi tiga yaitu teks lisan, teks tulisan tangan dan teks cetakan

BAB V KESIMPULAN. Berdasarkan hasil inventarisasi naskah didapatkan bahwa naskah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mampu menentramkan kehidupan manusia terlebih dalam hal kerohanian.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Rizwan, 2013

KAJIAN FILOLOGI NASKAH PIWULANG PATRAPING AGÊSANG SKRIPSI

SYAIR NEGERI PATANI : Suntingan Teks dan Analisis Semiotik

Nilai Pendidikan Moral dalam Serat Pamorring Kawula Gusti dan Relevansinya dalam Kehidupan Sekarang

BAB I PENDAHULUAN. karya sastra Indonesia bisa diketahui dengan banyaknya karya sastra

METODE EDISI: STEMMA

Darmawasita: suntingan teks dan kajian isi BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II KEDUDUKAN FILOLOGI DI ANTARA ILMU-ILMU LAIN

KAJIAN FILOLOGI SÊRAT DWIKARÅNÅ

2014 KONSEP KESEJAHTERAAN HIDUP DALAM MANTRA

BAB I PENDAHULUAN. seperti kebudayaan Minang, Sumba, Timor, Alor dan lain-lain). Dalam Ilmu

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. berkembang mengiringi kebudayaan dari zaman ke zaman.akibat perkembangan itu

WASIAT NABI MUHAMMAD SAW : Suntingan Teks, Analisis Struktur, dan Fungsi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ABSTRAK ANALISIS WACANA KRITIS KIDUNG RUMĚKSA ING WĚNGI

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN

ISSN: METODOLOGI PENELITIAN FILOLOGI Mendekati Teks Kebahasaan dari Sudut Kesejarahan. Fina Aunul Kafi UIN Sunan Ampel Surabaya

BAB I PENDAHULUAN. nenek moyang yang memiliki nilai-nilai luhur budaya. Bali bukan hanya sebagai

BAB V PENUTUP. Indonesia ini menghasilkan beberapa temuan sebagai berikut: Kanjeng Pangeran Harya Cakraningrat. Kitab ini merupakan jilid pertama

BAB I PENDAHULUAN. serta menyalin dan menciptakan karya-karya sastra baru. Lebih-lebih pada zaman

Transkripsi:

ANALISIS SEMIOTIK TEKSKIDUNG RUMEKSA ING WENGI A. PENDAHULUAN Indonesia mempunyai khasanah sastra klasik yang beraneka ragam, yang terdiri dari sastra-sastra daerah. Sastra klasik adalah sastra dalam bahasa daerah yang timbul sebelum zaman modern (Robson, 1994: 3). Karya sastra klasik merupakan warisan budaya nenek moyang yang sepatutnya dilestarikan. Berbeda dengan produk sastra masa kini, karya sastra klasik (terutama tulis) berada dalam kondisi yang terkadang tidak dapat diterima dengan jelas oleh pembaca masa sekarang (Baried, 1994: 1). Oleh karena itu, untuk dapat memanfaatkan karya sastra klasik diperlukan adanya pengkajian dan penelitian secara filologis terhadap karya sastra klasik. Salah satu karya sastra klasik adalah Kidung Rumeksa Ing Wengi. Teks Kidung Rumeksa Ing Wengi tersebut didapatkan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Dalam garis besar isi naskah di katalog naskah lama PNRI jilid 4 dapat diketahui bahwa naskah Kidung Rumeksa Ing Wengi yang kemudian disebut dengan KRIW berisi tentang kidung berbentuk tembang macapat yang dinyanyikan untuk menghantarkan tidur di malam hari. Pada zamannya naskah ini dibaca atau dinyanyikan untuk menolak segala macam bahaya yang dapat menimpa manusia pada waktu malam. Macapat menurut J. Karts dan R.D. Hadiwidjana dalam Padmapuspita (1991: 503-512) biasanya terdapat dalam beberapa jenis di antaranya adalah; suluk, babad, dan serat. Serat adalah karya sastra lama dan biasanya mempunyai tema pokok berupa ajaran atau nasehat, misalnya Serat Chandrarini, Serat Wulangreh, Serat Centini. Babad adalah kisah yang isinya menceritakan sejarah yang dikemas secara fiktif (Endraswara, 2003:12), misalnya Babad Jawa Barat, Babad Tanah Jawi, Babad Demak. Suluk adalah sastra mistik yang berbentuk tembang macapat, isinya mengenai tasawuf (Simuh, 2002: 20), misalnya Suluk Daka, Suluk Wujil. Permasalahanya adalah Kidung Rumeksa ing Wengi Belum termasuk ke dalam salah satu penggolongan di atas. Untuk dapat menggolongkan KRIW perlu diungkap dari sudut pandang makna dan isi teks. Makna dan isi teks juga sangat penting untuk diungkap karena KRIW merupakan bentuk sebuah pemikiran masyarakat Jawa pada masa lalu, sehingga sayang jika warisan pemikiran masa lalu ini tidak diketahui makna dan isinya.

Selain mengungkap makna dan isi teks penelitian filologi juga akan menghasilkan terjemahan KRIW, hingga suntingan teks KRIW. Oleh karena itu rumusan masalah dalam penelitian ini adalah pertama mengungkap terjemahan dan suntingan teks KRIW, kedua mengungkap makna dan isi teks KRIW. B. ISI Untuk dapat mengungkap permasalahan-permasalahan dalam pendahuluan di atas diperlukan dua metode, pertama adalah metode filologi, dan yang kedua metode semiotik. Metode filologi digunakan untuk dapat menentukan teks utama yang akan menjadi landasan penyuntingan. Metode semiotik digunakan untuk mengungkap makna teks KRIW. Menurut Djamaris (1977: 23), ada enam cara kerja peneliti filologi, di antaranya inventarisasi naskah, deskripsi naskah, perbandingan naskah, dasar dasar penentuan naskah yang akan ditransliterasi, singkatan naskah atau garis besar naskah, dan transliterasi naskah atau penyuntingan naskah. 1. Pengumpulan data. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan inventarisasi naskah. Inventarisasi naskah adalah langkah yang bertujuan untuk mendapatkan semua varian naskah yang akan diteliti. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mencatat mengenai jumlah naskah, nomer naskah, tempat penyimpanan naskah, ukuran naskah, dan sebagainya melalui katalog-katalog yang terdapat di perpustakaan, museum atau yang didapat dari koleksi pribadi. Penelitian ini berhasil menemukan delapan eksemplar naskah yang semuanya didapat dari studi katalog. 2. Pengolahan data Pengolahan data dalam penelitian ini meliputi deskripsi naskah, perbandingan naskah, transliterasi dan terjemahan. Deskripsi naskah dilakukan untuk memberikan petunjuk atau gambaran mengenai naskah yang diteliti. Halhal yang perlu dilakukan dalam mendeskripsikan naskah adalah judul naskah, nomor naskah, tempat penyimpanan naskah, keadaan naskah, ukuran naskah, tebal naskah, jumlah baris per halaman, huruf, penulisan, bahan yang digunakan, bahasa naskah, umur naskah, pengarang, asal-usul naskah, fungsi sosial naskah, dan juga ikhtisar teks (Djamaris, 1977 : 29). Hasil dari proses deskripsi akan menjadi bahan untuk diperbandingkan naskah mana yang lebih unggul.

Setelah keseluruhan naskah selesai dideskripsikan. Aspek-aspek yang dideskripsikan tersebut dapat diperbandingkan sebagai acuan untuk menentukan naskah dasar yang akan disunting, hal ini disebut dengan metode perbandingan (Djamaris, 2002 :13). Selanjutnya Djamaris (2002 : 14) menjelaskan bahwa ada dua langkah yang harus dipilih untuk menetukan naskah, yaitu penentuan naskah asli dan penentuan naskah yang berwibawa. Penentuan naskah asli dapat dilakukan jika penurunan teks bersifat vertikal, atau kesalahan yang terdapat dalam teks adalah kesalahan bersama. Penentuan naskah asli tidak selamanya dapat dilakukan, karena pada kenyataanya ada juga naskah yang diturunkan secara horizontal. Dalam penurunan teks yang bersifat horizontal kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam teks tidak berarti kesalahan bersama, sehingga kita tidak dapat menyusun silsilah naskah untuk dapat menentukan naskah asli. Hal tersebut di atas juga terjadi dalam KRIW, hal tersebut dapat dibuktikan dengan perbedaan bahasa dan aksara yang digunakan dalam masing-masing varian naskah KRIW, oleh karena itu untuk menentukan naskah asli digunakan cara yang kedua, yaitu penentuan naskah yang berwibawa (Autoritatif). Naskah autoritatif adalah naskah yang dianggap paling unggul dari naskah-naskah lain yang ditemukan, khususnya dari segi isi dan bahasa. Secara lebih rinci Djamaris (2002 : 17) menjelaskan kriterian naskah yang autoritatif tersebut diantaranya adalah kelengkapan isi teks, aksara asli (bukan hasil transliterasi), bahasa yang digunakan adlah bahasa asli, keutuhan naskah, dan keterbacaan naskah. Kemudian setelah berhasil menentukan naskah yang akan di sunting, langkah berikutnya adalah melakukan transliterasi teks. Yang dimaksud dengan transliterasi adalah penggantian atau pengalihan huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain, sedangkan transkripsi adalah gubahan teks dari satu ejaan ke ejaan yang lain (Djamaris, 1977 : 29). Langkah ini kemudian diikuti dengan translasi teks dan menyajikan suntingan teks. Translasi adalah mengubah bahasa naskah ke bahasa yang lain, sedangkan penyuntingan adalah penyajian kembali naskah berserta aparat kritiknya dalam bentuk baru supaya dapat dimanfaatkan oleh disiplin ilmu lain. 3. Analisis data

Setelah berhasil menemukan terjemahan teks, langkah selanjutnya adalah menganalisis teks tersebut dengan teori sastra. Dalam penelitian ini teori sastra yang digunakan untuk mengkaji teks KRIW adalah teori semiotik. Dasar teori ini adalah bahwa suatu teks tidak bisa lepas dari unsur pembangun karya sastra itu sendiri dan makna yang terkandung di dalam teks (Zoest, 1993: 1). Cara kerja teori ini adalah dengan cara menganalisis makna yang terkandung dalam Kidung Rumeksa Ing Wengi dengan melakukan pembacaan secara semiotik yaitu pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik (Reffatere, 1978: 5-6). Pengungkapan makna teks Kidung Rumeksa Ing Wengi tersebut untuk menggolongkan teks ini ke dalam salah satu jenis karya sastra Jawa yang berbentuk macapat berdasarkan isi teks yang terbagi ke dalam tiga jenis yaitu suluk, babad, dan serat. 4. Penyampaian hasil analisis Analisis teks menggunakan teori semiotik ini akan mengungkap makna yang terkandung dalam teks KRIW. Makna tersebut akan menggambarkan isi, dan isi tersebut akan menggolongkan KRIW ke dalam salah satu jenis karya sastra Jawa yang berisi suluk, babad, ataupun serat. Penyampaian hasil analisis tersebut akan disampaikan secara deskriptif, yaitu dengan menggambarkan datadata hasil penelitian secara jelas dan terperinci. C. PENUTUP Dalam bagian akhir ini akan di kemukakan hasil penelitian berdasarkan langkahlangkah yang telah dilakukan di atas. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa KRIW berisi mantra-mantra yang dapat membantu manusia dalam menjalani kehidupanya. Dalam analisis tersebut disimpulkan bahwa mantra-mantra yang bersifat magis dan diagungagungkan kesaktianya sebenarnya fungsinya tidak jauh beda dengan doa sehari-hari yang kita lafalkan Hal tersebut dibuktikan didalam teks yang berbunyi Nabi Muhammad lah yang mengarang kidung ini. Nabi Muhammad S.A.W adalah sosok panutan kaum muslim dan dikenal banyak mengajarkan tentang doa. Oleh karena itu pengarang KRIW membuat seolaholah teks ini diciptakan oleh Nabi Muhammad supaya pembacanya mengamalkan doa-doa dalam teks KRIW

Berdasarkan pembacaan hermeneutik dapat diungkap bahwa yang tertulis dalam naskah adalah tidak ubahnya sebuah doa yang di lafalkan dalam bahasa Jawa. Untuk menambah daya tarik kaum pribumi terhadap ajaran baru (Islam) maka dimasukanlah unsurunsur Hindu-Budha dalam doa ini, hal tersebut dapat terlihat pada kata Hyang Widi yang fungsinya sama dengan Allah dalam ajaran Islam. Ada beberapa mantra yang terdapat dalam KRIW berdasarkan hasil analisis yang telah di lakukan. Mantra-mantra tersebut antara lain adalah sebagai berikut : 1. Mantra untuk melindungi dari bahaya di waktu malam. Mantra ini merupakan mantra utama yang terdapat dalam KRIW dengan kode BR18. Berdasarkan judulnya KRIW juga diartikan nyanyian yang menjaga di waktu malam, judul tersebut mencerminkan isinya yaitu berisi mantra yang menjaga di waktu malam. KRIW terdiri dari 21 pada, dan pada pertama hingga pada ketujuh belas berisi tentang bunyi mantra, khasiat-khasiatnya, dan cara pembacaanya. Berdasarkan hal tersebut maka, fungsi mantra ini dapat digolongkan sebagai fungsi utama. 2. Matra untuk membebaskan orang dari belenggu dan Hutang. Fungsi ini dijelaskan dalam teks KRIW dibagian pada ke delapan belas. Dalam pada tersebut dijelaskan jika ada orang yang terjerat hutang atau terkena denda, maka dengan mengkidungkan mantra ini dapat terlepas dari jeratan hutang tersebut. Mantra yang dinyanyikan sama dengan fungsi yang pertama perbedaanya terletak pada caranya. Untuk menggunakan mantra KRIW dengan tujuan membebasakan dari belenggu dan hutang, mantra dinyanyikan sebanyak sebelaskali. Selain hal tersebut waktu menyanyikanya juga harus di waktu tengah malam. 3. Mantra untuk bercocok tanam. Fungsi mantra KRIW untuk bercocok tanam terdapat dalam pada ke Sembilan belas. Mantra yang digunakan untuk bercocok tanam sama dengan mantra yang digunakan untuk menjaga di waktu malam dan mantra untuk membebaskan dari hutang. Perbedaanya terletak pada ritual yang harus dilakukan dalam membaca mantra. Mantra untuk bercocok tanam harus dibaca di lahan bercocok tanam. Dilakukan dengan cara mengelilingi lahanya dengan menyanyikan mantra KRIW

4. Mantra untuk berperang. Mantra untuk berperang di jelaskan dalam pada ke Sembilan belas. Dalam pada ini diceritakan jika ada seseorang yang ingin diberi perlindungan ketika akan berperang bacalah KRIW ini. Bunyi mantra yang dibaca masih sama dengan mantra-mantra sebelumnya. Kembali yang membedakan hanyalah ritualnya. Mantra untuk berperang dibaca dihadapan nasi yang akan dimakan, hanya nasi putih. Kemudian stelah mantra selesai dibacakan nasi tersebut kemudian dimakan oleh orang yang akan berperang sebanyak tiga suapan tangan. Selain hal-hal di atas, analisis semiotik yang dilakukan juga mampu menggolongkan KRIW kedalam karya sastra Jawa berbentuk macapat yang berjenis suluk. Hasil analisis semiotik mengungkap bahwa isi KRIW terbagi menjadi teks mantra dan non-mantra. Mantra sangat erat dengan mistik, sedangkan suluk merupakan karya sastra mistik, maka dilihat dari isinya KRIW dapat digolongkan kedalam jenis suluk