SISTEM HAK PENGUSAHAAN HUTAN DAN MANAJEMEN HUTAN. Oleh : Budi Nugroho

dokumen-dokumen yang mirip
Manajemen Hutan. diunduh dari: amonline.net.au

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. klimaks pada daerah dengan curah hujan mm per tahun, rata-rata

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

SUMBER DAYA HABIS TERPAKAI YANG DAPAT DIPERBAHARUI. Pertemuan ke 2

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

KAJIAN SISTEM DAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. manusia jugalah yang melakukan kerusakan di muka bumi ini dengan berbagai

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. penegakan hukum yang lemah, dan in-efisiensi pelaksanaan peraturan pemerintah

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

BAB I PENDAHULUAN. yang disebutkan di atas, terdapat unsur-unsur yang meliputi suatu kesatuan

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.8/Menhut-II/2014

BAB I PENDAHULUAN. menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

Kesiapan dan Tantangan Pengembangan Sistem MRV dan RAD/REL Provinsi Sumbar

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

REVITALISASI KEHUTANAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KOTA BIMA NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BIMA,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem hutan sangat berperan dalam berbagai hal seperti penyedia sumber air,

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2. Cukup jelas. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6.

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG

PENDAHULUAN Latar Belakang

Oleh: PT. GLOBAL ALAM LESTARI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR SK.159/MENHUT-II/2004 TAHUN 2004 TENTANG RESTORASI EKOSISTEM DI KAWASAN HUTAN PRODUKSI

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 25 TAHUN 2013 TENTANG

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

BAB 2 Perencanaan Kinerja

KEPPRES 80/2000, KOMITE ANTAR DEPARTEMEN BIDANG KEHUTANAN

Tenggara yakni Malaysia, Singapura, dan Brunai Darusalam. Oleh karena itu perlu ditetapkan berbagai langkah kebijakan pengendaliannya.

Membangun Moral Rimbawan di Tengah Krisis Kebijakan dan Laju Deforestasi Hutan (Pengantar Praktek Umum Kehutanan) Edy Batara Mulya Siregar

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (Anonim, 2006). Dengan. Banyak faktor yang membuat potensi hutan menurun, misalnya

I. PENDAHULUAN. kabupaten/kota dapat menata kembali perencanaan pembangunan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

BAB II. PERENCANAAN KINERJA

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Jawa Barat (Berita Negara Tahun 1950);

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 022 TAHUN 2017 TENTANG TUGAS, POKOK, FUNGSI, DAN URAIAN TUGAS DINAS KEHUTANAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di bumi saat ini, pasalnya dari hutan banyak manfaat yang dapat diambil

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.352/Menhut-II/2004

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 21 TAHUN 2013

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG

KONSEPSI HUTAN, PENGELOLAAN HUTAN DAN PENERAPANNYA DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI DI INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Hutan dan Penguasaan Hasil Hutan. olehberbagai jenis tumbuh-tumbuhan, di antaranya tumbuhan yanh lebat dan

Transkripsi:

SISTEM HAK PENGUSAHAAN HUTAN DAN MANAJEMEN HUTAN Oleh : Budi Nugroho Hutan adalah suatu lapangan yang bertumbuhkan pohon-pohon yang merupakan suatu kesatuan hidup alam hayati bersama alam lingkungannya sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Pokok Kehutanan (UUPK) No. 5 Tahun 1967. Selanjutnya dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, definisi hutan yaitu suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Wilayah Indonesia dengan jumlah pulau 17.508 pulau ini memiliki 57% dari luas daratannya berupa hutan atau seluas 108.573.300 hektar. Hutan terluas berada di Kalimantan (34 juta hektar), Irian Jaya (33 juta hektar), Sumatera (20 juta hektar) dan sisanya tersebar di berbagai pulau lainnnya (Anonim, 1997). Namun angka itu berbeda dengan laporan World Bank bahwa setelah 35 tahun terjadi deforestasi, hutan Indonesia tinggal 57 juta hektar dan 15% diantaranya terletak di dataran rendah, sisanya di lapangan yang sulit dijangkau dan kawasan payau alluvial (Iskandar, 2000). Fungsi hutan dalam pemeliharaan kualitas lingkungan, yaitu dalam pengaturan tata air, kesuburan tanah, iklim dan kualitas udara, biodiversity (flora dan fauna), tipe vegetasi dan ekosistem. Gambar 1. Hutan Kalimantan yang belum terganggu: struktur penutupan tajuk hutan dipterokarpa (kiri) dan jernihnya air mengalir (kanan). Sifat khas hutan yang lain adalah serbaguna. Secara ekonomis hutan bermanfaat memberi bahan industri kayu, sumber devisa, membuka lapangan kerja dan menaikkan pendapatan nasional. Hutan juga bermanfaat secara ekologis dengan ekosistemnya yang beragam sebagai tempat hunian hewan dan tumbuhan, serta manfaat sosial budaya yang telah dimanfaatkan manusia sejak keberadaannya. Kelompok yang berkepentingan dengan hutan sebagai sumber ekonomi adalah pemegang HPH, industriawan kayu, pejabat pemerintah yang mengelola instansi perindustrian, perdagangan, pertambangan, trasmigrasi, pemukiman penduduk dan

mereka yang ingin mengeksploitasi hutan demi kayu, tanah atau batu mineral di bawahnya. Sedangkan kelompok yang berkepentingan dengan kelestarian hutan seperti para pemeduli keanekaragaman hayati, pejabat instansi lingkungan hidup, departemen kesehatan, peneliti atau umumnya mereka yang memetik manfaat dari hutan. Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Manajemen Hutan Sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah salah satu sistem pengusahaan hutan di Indonesia dengan para pemegang HPH sebagai pelaksana utama, diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 1970 dan ditujukan untuk pengusahaan hutan alam. Sedangkan manajemen hutan adalah upaya teknis terhadap sekelompok hutan dalam peningkatan manfaat dari fungsi hutan secara lestari. Walaupun pada saat ini banyak anggapan bahwa manajemen hutan seolah-olah tidak dapat dipisahkan dari sistem HPH, tetapi melalui suatu pengaturan dalam mekanismenya kedua hal itu dapat berjalan secara terpisah. Pada dasarnya sistem HPH merupakan bentuk antisipasi pemerintah setelah dibukanya kran penanaman modal dengan telah dikeluarkannya Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman modal Asing dan Undang-undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, melalui pengaturan pemberian konsesi HPH. Dengan adanya penanaman modal besar (asing dan nasional) untuk eksploitasi hutan, sebagaian besar areal hutan akan dipungut hasilnya oleh perusahaan besar. Untuk menjaga pengusaha kecil dan menengah tidak dimatikan usahanya, Dirjen Kehutanan menetapkan kebijaksanaan dalam pemberian konsesi HPH, bahwa luas areal hhutan yang dieksploitasi di setiap propinsi 70-80% diberikan kepada pengusaha besar sebagai konsesi, dan 20-30% diberikan kepada pengusaha kecil dengan ijin tebang dan persil tebangan (Departemen Kehutanan RI, 1988). Dalam perkembangannya pengusaha kecil di daerah tidak dapat bertahan lama, dipihak lain perusahaan besar mulai mendominasi areal konsesi hutan produksi. Sistem Konglomerasi Hak Pengusahaan Hutan Permasalahan pengusahaan HPH tidak hanya terletak pada arah konglomerasi pengusahaan hhutan Indonesia, namun cara pemberian HPH dinilai banyak pihak kurang transparan karena tidak melalui sistem lelang (tender) terbuka. Akibatnya muncul konglomerasi bisnis hutan, sehingga menimbulkan kecemburuan sosial. Konglomerasi akan mengarah pada bentuk oligopoli pasar hasil hutan. Oligopoli adalah suatu situasi pasar yang mana produksi didominasi sebagian atau seluruhnya oleh sejumlah kecil perusahaan. Sampai saat ini kepemilikan HPH di Indonesia didominasi oleh 9 group perusahaan. Berdasarkan Tabel 1, 9 group perusahaan tersebut telah menguasai 34,50% dari total luas areal HPH yang ada di Indonesia (53.550.000 ha) dengan persentase tertinggi adalah Burhan Uray dengan dua group HPH yaitu Jayanti dan Budi Nusa (7,46%) kemudian Barito Pasific Group milik Prayogo Pangestu (6,6%) disusul Kayu Lapis Indonesia (KLI) yang dimiliki oleh Andi Susanto (5,87%), Alas Kusumah yang dimiliki oleh PO. Suwandi (5,26%), Korindo milik In Young Sun (2,79%), Mohamad Bob Hasan dengan group Kalimanis (2,52%), surya Damai milik Martias (2,07%) dan

Satya Jaya Group milik Asbet Lyman (1,92%) serta sisanya dimiliki oleh perusahaan lain. Tabel 1. Konglomerasi HPH di Indonesia Group Jumlah Luas Areal Persentase Pemilik Perusahaan Perusahaan (ha) (%) Barito Pasific 39 3.536.800 6,60 Prayogo Pangestu Kayu Lps Indo 17 3.142.800 5,87 Andi Susanto Jayanti 20 2.805.500 5,24 Burhan Uray Alas Kesuma 15 2.819.000 5,26 PO. Suwandi Korindo 8 1.493.500 2,79 In Yong Sun Kalimas Group 6 1.352.000 2,52 Bob Hasan Budi Nusa 7 1.190.700 2,22 Burhan Uray Satya Jaya 7 1.026.000 1,92 Asbet Lyman Group Surya Damai 7 1.108.000 2,07 Martias Sub Total 126 18.474.300 34,50 Yang Lain 310 35.075.700 65,50 Total 436 53.550.000 100,00 Sumber: APHI, 1998 Dilihat dari jumlah perusahaan, hutan produksi seluas 18.474.300 ha hanya dikuasai oleh 126 perusahaan atau rata-rata luas setiap unit HPH dari 9 group tersebut adalah 146.621 ha. Sejak sistem HPH ini digulirkan, tidak ada satu perusahaan kecil yang tercatat sebagai pemilik konsesi HPH atau sebagai pemegang ijin tebang dan persil tebangan, sebagaimana yang ditetapkan oleh Departemen Kehutanan yakni seluas 20-30% dari luas hutan produksi setiap propinsi. Hal yang menarik dari mekanisme pemberian ijin konsesi HPH tidak pernah dilakukan sistem lelang (tender) secara terbuka, sehingga memungkinkan terjadinya kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) cukup besar. Sektor swasta sudah sejak lama bergerak di bidang pengusahaan hutan. Pada umumnya mereka bergerak di bidang eksploitasi, pengolahan dan pemasaran. Yang bergerak di bidang eksploitasi pada umumnya berskala kecil dalam bentuk persil atau banjir kap tetapi di bidang pengolahan dan pemasaran sudah ada yang berskala besar. Kerusakan Hutan dan Penanggulangannya Selama ini sistem HPH mendukung terjadinya konglomerasi HPH, telah menyebabkan terjadinya kehancuran hutan di Indonesia dan mengancam kelestarian hutan dan hasil hutan. Laju kerusakan hutan telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan yakni 1,6 juta ha per tahun. Menurut laporan Baplan Departemen Kehutanan (2001), hutan alam yang rusak meningkat dari 28,5 % menjadi 45,6%, hutan sekunder meningkat dari 27% menjadi 43,9% dan hutan primer menurun dari 44,5% menjadi 10,5%. Data lain juga menunjukkan bahwa saat ini terdapat 16,2 juta ha hutan produksi bebas karena HPH sudah tidak lagi mengusahakannya (Fakultas Kehutanan

IPB, 2002). Kehancuran hutan tersebut tercermin dari tingkat produksi kayu gelondongan hutan alam yang terus menurun sepuluh tahun terakhir, seperti terlihat pada tabel 2. Tabel 2. Produksi Kayu Bulat dari Hutan Alam Produksi HPH No Tahun Produksi ( m 3 ) Perubahan (%) 1 1989/90 24.409.000 2 1990/91 25.312.000 4 3 1991/92 23.892.001-6 4 1992/93 28.267.000 18 5 1993/94 26.848.011-5 6 1994/95 22.017.434-18 7 1995/96 22.342.130 1 8 1996/97 23.289.462 4 9 1997/98 25.635.774 10 10 1998/99 16.235.580-37 11 1999/00 12.305.212-24 12 2000/01 6.500.000* -47 Rata-rata -8 Sumber : Departemen Kehutanan, 2002; *) Suara Karya, 8 Mei 2002 Jika eksploitasi dilakukan dengan berlatar belakang wawasan lingkungan, mata hutan dan produksi dan lingkungan dapat dilestarikan. Karena eksploitasi sendiri merupakan kegiatan yang dapat membuka jalan bagi masuknya cahaya, dan ini dapat mempengaruhi pohon-pohon yang tidak ditebang. Setelah itu penebangan tidak saja merusak anakan, tanah tetapi juga sistem drainase. Untuk itu perlunya pengawasan yang ketat dalam hal penebangan. Bila pengawasanannya lemah dapat menimbulkan masalah berupa banjir, kekeringan dan kebakaran hutan sampai berkurangnya cadangan kayu. Perbaikan Sistem HPH dan Restrukturisasi Industri Hasil Hutan Dalam mengatasi dampak sistem HPH, Departemen Kehutanan telah menetapkan lima kebijakan yaitu (1) pemberantasan penebang liar, (2) penanggulangan kebakaran hutan, (3) restrukturisasi sektor kehutanan, (4) rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan, dan (5) penguatan desentralisasi kehutanan. Bila kelima program tersebut dapat dilaksanakan bisa diharapkan keberhasilan berikut (1) pemantapan kawasan meningkat, (2) kesenjangan pasokan kayu dan kebutuhan bahan baku log menjadi berkurang, (3) tingkat degradasi kawasan hutan berkurang, (4) tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar kehutanan hutan meningkat, (5) struktur industri perkayuan yang optimal terbentuk, (6)

pembangunan HTI, hutan rakyat, dan hutan kemasyarakatan berkembang (Business News, 2002). Kaitan dengan desentralisasi kehutanan, hal yang muncul menjadi tarik-menarik pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten adalah kewenangan pemberian ijin. Meskipun di dalam PP Nomor 34 Tahun 2002, menyangkut kewenangan pemberian ijin pemanfaatan hutan secara tegas diatur alur koordinasi kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota (Pasal 37 s/d 42) namun masih menjadi polemik mengenai pembagian kewenangan tersebut. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 yang diubah menjadi Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) menurut Peraturan Pemerintah tersebut sama sekali tidak memberikan landasan yang kuat untuk bisa melakukan perbaikan bentuk kontrak antara pemerintah dan usaha kehutanan, perbaikan tolok ukur kinerja usaha kehutanan, perbaikan struktur insentif dan penciptaan kepastian usaha, serta transisi untuk melakukan redistribusi manfaat usaha kehutanan. Dalam memperbaiki sistem HPH (atau sekarang IUPHHK) maka sistem tender terbuka dalam pemberian ijin IUPHHK dapat dijadikan salah satu alternatif, dalam memberikan kesempatan yang sama bagi pengusaha kecil di daerah serta untuk mendapatkan pemegang IUPHHK yang dapat memberikan keuntungan tertinggi baik secara ekonomis, ekologis, maupun sosial bagi pemerintah dan masyarakat. Lelang dilakukan pada tegakan hutan yang masih berdiri (Standing Stock), untuk memberikan keuntungan maksimal bagi pemerintah. Sistem ini perlu ditunjang oleh sistem inventarisasi hutan pada skala yang rinci dan dilakukan oleh pemerintah, sehingga tidak menghasilkan perkiraan yang lebih rendah (under estimate) yang selama ini terjadi. Peserta lelang dapat melakukan penilaian ulang untuk memberi keyakinan pada mereka untuk mengikuti tender. Restrukturisasi dilakukan pada perusahaan industri yang memiliki jaringan pemasaran yang luas, bahan baku cukup, serta tenaga yang terampil. Dana restrukturisasi tersebut perlu disediakan pemerintah melalui pembukaan kran kredit untuk penggantian mesin-mesin produksi kayu lapis. Sebagai bagian dari restrukturisasi, pemerintah hendaknya juga memberikan diinsentif berupa penutupan industri perkayuan yang pasokan bahan bakunya tidak jelas dan membatasi pembangunan industri kayu baru. Pembatasan industri kayu baru dilakukan melalui pelarangan sesuai Keppres 96 tahun 1999. Larangan pembangunan industri pengolahan kayu atau hasil hutan tersebut sangat terkait dengan semakin terbatasnya pasokan bahan baku kayu dari hutan produksi alam. Karena itu pemerintah dalam tahun 2002 ini membatasi produksi balak (log) nasional sebesar 12 juta m 3 dan tahun 2003 jatah itu ditekan lagi menjadi 6,48 juta m 3. Pengetatan penjatahan produksi log tersebut mengacu kepada upaya-upaya pemerintah dalam rehabilitasi hutan yang setiap tahun mengalami degradasi seluas 1,6 juta ha. Pengusaha industri kayu lapis dan pemerintah hendaknya melakukan restrukturisasi di tubuh APKINDO terutama mengembalikan kepada fungsi semula yakni untuk efisiensi penggunaan sumberdaya hutan, menjaga kualitas produksi dan penciptaan pasar terutama pasar internasional.

DAFTAR PUSTAKA Achlil, M. R. 1987. Sistem Hak Pengusahaan Hutan dan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. Anonim, 1997. Ensiklopedi Kehutanan Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Hal. 91. Bahruni, Suhendang, E dan Soerianegara, I. 1993. Menguak Permasalahan Pengolahan Hutan Alam Tropis di Indonesia. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1998. Sejarah Kehutanan Indonesia II-III. Periode Tahun 1942-1983. Jakarta. Hernawan, E. 2003. Dampak Konglomerasi dan Kartel Terhadap Kelestarian Hutan dan Industri Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. Ichwandi, I. 2003. Kegagalan Sistem Tenurial dan Konflik Sumberdaya Hutan: Tantangan Kebijakan Kehutanan Masa Depan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. Iskandar, U. 2000. Pola Pengelolaan hutan Tropika. Alternatif Pengelolaan Hutan yang Selaras dengan Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Bigraf Publishing. Hal: 3. Priyono, D. J. 2001. Manfaat Ekonomi, Pengembangan Teknologi dan Peningkatan Moral: Tiga pilar penyangga Kelestarian Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.