hutan tetap lestari, tetapi dari aspek ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan akan kayu

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yaitu di Aceh, Tapanuli dan Kerinci. Dalam perkembangannya tanaman

I. PENDAHULUAN. Hutan merupakan sumber kekayaan alam yang dapat diperbaharui dan

Perum Perhutani yang merupakan Badan Usaha Milik. Negara (BUMN) berbentuk perusahaan umum bertugas menyelenggarakan

ANALISIS BIAYA PENGOLAHAN GONDORUKEM DAN TERPENTIN DI PGT. SINDANGWANGI, KPH BANDUNG UTARA, PERUM PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT BANTEN.

BAB I PENDAHULUAN. mandat oleh pemerintah untuk mengelola sumber daya hutan yang terdapat di

I. PENDAHULUAN. Hutan jati merupakan bagian dari sejarah kehidupan manusia di Indonesia

Penyiapan Benih Unggul Untuk Hutan Berkualitas 1

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

I. PENDAHULUAN. Industri dikenal sebagai hutan tanaman kayu yang dikelola dan diusahakan

BAB I PENDAHULUAN. Jati (Tectona grandis Linn F.) merupakan salah satu produk kayu mewah

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang menjadi sentra penanaman jati adalah puau Jawa (Sumarna, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Adanya ketidakseimbangan antara jumlah kebutuhan dengan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu jenis kayu keras tropis yang paling berharga di pasar

BAB I PENDAHULUAN. Perhutani sebanyak 52% adalah kelas perusahaan jati (Sukmananto, 2014).

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

BAB I PENDAHULUAN. KAWASAN HUTAN/Forest Area (X Ha) APL TOTAL HUTAN TETAP PROPINSI

BAB I PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Pengelolaan hutan merupakan sebuah usaha yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar belakang. mebel dan lain sebagainya. Tingginya kebutuhan manusia akan kayu tersebut

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu

TINJAUAN PUSTAKA. usaha-usaha pariwisata di daerah digolongkan atas : 1. Pengusahaan objek dan daya tarik wisata yang dikelompokkan atas

BAB I PENDAHULUAN. dapat disediakan dari hutan alam semakin berkurang. Saat ini kebutuhan kayu

PENYIAPAN BENIH UNGGUL UNTUK HUTAN BERKUALITAS 1

VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat

PERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI JENIS STIMULANSIA TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS

BAB I PENDAHULUAN. pertukangan dan termasuk kelas kuat dan awet II (Martawijaya et al., 1981). sebagai pilihan utama (Sukmadjaja dan Mariska, 2003).

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan industri merupakan sebuah proses berkelanjutan sebagai salah

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS

BAB I PENDAHULUAN. jati memiliki kelas awet dan kelas kuat yang tinggi seperti pendapat Sumarna

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

Ayu Rahayu Effendi Surbakti a*, Ridwanti Batubara b, Muhdi b aprogram Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara,

Disampaikan dalam Seminar Hasil Penelitian Bogor, 2014

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya hutan tropis untuk kepentingan pertanian terkait dengan upayaupaya

PERUM PERHUTANI DIVRE JAWA TIMUR TAHUN NO. U R A I A N SATUAN KET

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengalami peningkatan. Terkait dalam peningkatan jumlah penduduk, tuntutan

TEKNIK PENUNJUKAN DAN PEMBANGUNAN SUMBER BENIH. Dr. Ir. Budi Leksono, M.P.

PERUM PERHUTANI DIVRE JAWA TIMUR TAHUN NO. U R A I A N SATUAN KET

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terdiri atas manfaat nyata yang terukur (tangible) berupa hasil hutan

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode

BAB I PENDAHULUAN. beragam sehingga menjadikan Negara Indonesia sebagai negara yang subur

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan oleh negara Indonesia. Menurut pasal Pasal 33 ayat (3) disebutkan

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis

PENDAHULUAN. Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas. berbunga dan berbuah sepanjang tahun, sehingga dapat menjadi sumber

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

BAB I PENDAHULUAN. (renewable resources), namun apabila dimanfaatkan secara berlebihan dan terusmenerus

TABEL : IV.A.1. REALISASI LUAS TEBANGAN JATI PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR TAHUN

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menghasilkan keluaran berupa produk yang. akan menghasilkan laba. Dengan demikian untuk menghasilkan laba tersebut

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tentang Pohon Pinus merkusii Pinus merkusii termasuk dalam famili Pinaceae dengan nama lainnya Pinus sumatrana

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Tanaman Hutan. Perbenihan.

I. PENDAHULUAN Perusahaan Umum (Penun) Perhutani merupakan Badan Usaha Milik

BAB I PENDAHULUAN. Kayu jati (Tectona grandis L.f.) merupakan salah satu jenis kayu komersial

PENGARUH BERBAGAI PENUTUPAN TUMBUHAN BAWAH DAN ARAH SADAP TERHADAP PRODUKTIVITAS GETAH PINUS (Pinus merkusii) EVA DANIAWATI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IV. GAMBARAN UMUM KARET ALAM INDONESIA

Workshop PEMANFAATAN INFORMASI GENETIK untuk VERIFIKASI LEGALITAS KAYU JATI 5 MEI 2015

PENDAHULUAN. Latar Belakang. dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Ekspor karet Indonesia selama

Hubungan Perbedaan Ukuran Mata Bor Terhadap Produksi Getah Pinus merkusii Jungh Et De Vriese

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DENGAN SWAKELOLA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. non kayu diantaranya adalah daun, getah, biji, buah, madu, rempah-rempah, rotan,

BAB 1. PENDAHULUAN. kemakmuran rakyat. Paradigma ini makin menyadarkan para. pemangku kepentingan bahwa produk hasil hutan bukan kayu (HHBK)

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

Jenis prioritas Mendukung Keunggulan lokal/daerah

BAB I PENDAHULUAN. diutamakan. Sedangkan hasil hutan non kayu secara umum kurang begitu

Suatu unit dalam. embryo sac. (kantong embrio) yang berkembang setelah terjadi pembuahan. Terdiri dari : ~ Kulit biji ~ Cadangan makanan dan ~ Embrio

LESTARI PAPER NO. 03 PERAN HPH DALAM MENJAGA KEBERLANJUTAN HUTAN ALAM. Nana Suparna

BAB IX ANGGARAN PENDAPATAN PERUSAHAAN HUTAN

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengandalkan hidupnya dan bermata pencaharian dari hutan (Pratiwi, 2010 :

BAB 3 OBJEK PENELITIAN. IKH termuat di dalam Akte Pendirian Perseroan. Akte ini telah disahkan oleh

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kayu merupakan produk biologi yang serba guna dan telah lama dikenal

BAB I PENDAHULUAN. penghasil minyak atsiri yang cukup penting, dikenal dengan nama Patchauly Oil,

I PENDAHULUAN Latar Belakang

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

PENDAHULUAN. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. maupun sebagai sumber mata pencaharian sementara penduduk Indonesia.

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. yang dihasilkan oleh Perhutani, baik berupa produk kayu maupun non kayu.

ANALISIS PENDAPATAN PETANI PENYADAP GETAH PINUS DI DESA TANGKULOWI KECAMATAN KULAWI KABUPATEN SIGI SULAWESI TENGAH

Oleh: Hamdan AA Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Hutan tidak hanya mempunyai peranan dalam segi ekologi, tetapi sebagai

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan kelestarian sumber daya alam (Mubyarto, 1994).

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan pembangunan pertanian periode dilaksanakan melalui tiga

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Hutan Indonesia seluas 120 juta hektar, kondisinya sangat memprihatinkan, laju deforestasi relatif masih tinggi meskipun ada penurunan. Pada periode tahun 1998-2000 laju deforestasi sebesar 2,83 juta ha/tahun dan pada tahun 2000-2005 laju deforestasi menurun menjadi 1,18 juta ha/tahun. Pembalakan liar bukan hanya terjadi di lokasi bekas areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH), tetapi sudah meluas ke hampir semua kawasan konservasi yang ada (Departemen Kehutanan, 2007). Fakta lain menunjukkan hingga kini perdagangan ilegal masih belum bisa dihentikan, konversi lahan hutan untuk perkebunan besar, kebakaran hutan yang terjadi setiap tahun serta kebutuhan industri perkayuan dan kayu pertukangan yang tidak seimbang dengan persediaan kayu menyebabkan kayu mulai langka. Kondisi hutan di Jawa juga tidak jauh berbeda, dampak situasi euforia reformasi yang berlebihan juga menyentuh kawasan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani. Situasi tersebut sebenarnya sudah terjadi sebelum era reformasi, namun tidak separah saat ini. Ditambah lagi dalam kurun waktu beberapa dasa warsa terakhir, hutan hanya sebagai produksi kayu (timber management), akibatnya fungsi hutan seperti ekologi, ekonomi dan sosial menjadi terganggu. Upaya yang dapat dilakukan guna tetap menjaga kelestarian hutan, adalah melakukan moratorium penebangan, namun hal ini kurang bijaksana untuk kawasan hutan produksi karena hanya menyentuh aspek ekologi, sedangkan aspek ekonomi dan sosial terabaikan. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah agar dari aspek ekologi, hutan tetap lestari, tetapi dari aspek ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan akan kayu 1

dan aspek sosial masih tetap berjalan. Beberapa cara yang dapat ditempuh di antaranya adalah dengan kegiatan reboisasi, mengurangi hasil hutan kayu dengan memaksimalkan hasil hutan non kayu. Hasil hutan non kayu yang dapat dikembangkan serta ditingkatkan produktivitas dan penggunaannya banyak jenisnya, seperti rotan, bambu, minyak kayu putih, nilam, madu, jasa wisata dan hasil getah. Salah satu hasil hutan non-kayu yang mempunyai nilai ekonomis tinggi adalah getah tusam (pinus). Pinus merkusii Jungh. et de Vriese merupakan tanaman asli Indonesia yang sebaran alaminya berada di Sumatera yaitu Aceh, Tapanuli dan Kerinci. Sejak tahun 1924 P. merkusii diintroduksi ke Jawa, kemudian Sulawesi pada tahun 1927 (Hardiyanto, 2003). Luas hutan tusam di Jawa 476.126 ha, merupakan urutan kedua setelah hutan jati (1.074.270 ha), yang dapat disadap sekitar 125.000 ha terdiri dari 50.000 pohon. Secara menyeluruh potensi hutan tusam tersedia diproyeksikan ke depan akan terus ditingkatan (Handhadari, 2006). Peran hutan tusam baik dari hasil kayu maupun non kayu (getah) dari tahun ke tahun semakin penting, sehingga pada tahun 2006 oleh Direksi Perum Perhutani daurnya diperpanjang dari 30 tahun menjadi 50 tahun. Getah yang dihasilkan saat ini bukan lagi produk sampingan, namun telah menjadi produk unggulan yang mempunyai prospek ekonomi cukup baik. Produksi getah tusam Perum Perhutani 90 000 ton/tahun, dari jumlah tersebut setelah diolah menjadi gondorukem 62.380 ton dan terpentin 12.460 ton. Harga gondorukem US$ 1.300 per ton dan harga terpentin US$ 2.200 per ton (Hasniawati, 2010). Peluang ekspor masih sangat terbuka lebar karena produsen terbesar dunia hanya didominasi oleh tiga negara yaitu Cina, Brazil dan Indonesia. Pasar ekspor gondorukem dan terpentin Indonesia adalah India, Amerika 2

Serikat, Perancis, Kamerun, Belanda dan itupun baru mampu memenuhi kurang dari 10% permintaan pasar tersebut (Perum Perhutani, 2006b). Gondorukem (calopilum) merupakan bahan baku untuk industri batik, kertas, sabun, vernis, pelapis, bahan solder, dan tinta cetak. Di Cina penggunaan gondorukem untuk tinta cetak (24%), adesif dan sealants (22%), kertas (21%), emulsifiers (11%), pelapis (4%), permen karet (2%), bahan pencampur karet (1%) dan lain-lain 15% (Jagers, 2006). Li Yi (2006) menambahkan Cina merupakan pengguna dan pengekspor rosin terbesar ke empat dunia, sebagai bahan untuk industri cat, obat bius, antiseptik dan vernis. Terpentin digunakan sebagai pelarut minyak organik dan industri semir, minyak cat, dan pembuatan kamfer sintetis. Apabila Indonesia memproduksi dalam bentuk derivat dari gondorukem dan terpentin, maka akan memiliki nilai tambah jauh lebih tinggi. Berdasarkan fakta tersebut tampak bahwa nilai ekonomi dan manfaat getah tusam cukup potensial, sehingga perlu adanya perhatian serius guna memperoleh hasil maksimal baik dari segi produktivitas maupun kualitas getah. Produksi getah tusam Perum Perhutani di beberapa Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) dengan penyadapan metode quare menunjukkan produksi yang bervariasi, seperti di KPH Malang sebesar 5,4 g/pohon/hari (Perum Perhutani, 2008a); KPH Jombang 4,4 g/pohon/hari (Perum Perhutani, 2008c) dan KPH Kediri 6,2 g/pohon/hari (Perum Perhutani, 2008b). Hasil penelitian pendahuluan tahun 2007 yang telah dilakukan pada tusam provenans Aceh di Jember pada penyadapan getah menggunakan metode bor menghasilkan getah berkisar antara 0,47 g/pohon/3 hari sampai 90,6 g/pohon/3 hari (Sukarno, dkk., 2008, laporan tak dipublikasi). Perum Perhutani juga telah melakukan 3

uji coba penyadapan getah dengan metode bor di KPH Malang dengan hasil rerata adalah 2,5 g/pohon/hari, terendah 0 g dan tertinggi 9 g/pohon/hari; sedangkan di KPH Kediri adalah rerata 8,6 g/pohon/hari, terendah 5,5 g/pohon/hari dan tertinggi 10,3 g/pohon/hari (Perum Perhutani, 2006c). Penelitian tentang produksi getah tusam yang telah dilakukan selama ini adalah di Jember dan Sumedang dengan hasil produksi getah rerata 21,8 g/ 7 hari/pohon (Leksono, 1994). Rodriques dkk. (2007) melakukan penelitian pada P. elliotii di Brazil dengan kisaran produksi getah 1,8-2,1 kg/th/pohon. Sementara Departemen Kehutanan menyebutkan produksi getah tusam dapat mencapai 30-60 kg/tahun (Departemen Kehutanan, 2001). Penelitian tentang cara penyadapan getah yang pernah dilakukan adalah dengan metode quare dan ril, pemberian stimulan untuk melancarkan keluarnya getah, dan teknik pembaruan luka sadap alternatif (Soenarno, 1999). Penelitian tentang gondorukem dan terpentin yang pernah dilakukan adalah tentang komponen kimia terpentin tusam yang berasal dari tanaman Inhutani III yang berlokasi di Kalimantan Barat (Dahlian dan Hartoyo, 1997). Penelitian fraksionasidistilasi minyak terpentin (Wiyono dan Silitonga, 1989). Pengaruh konsentrasi bahan kimia maleat anhidrida terhadap gondorukem (Wiyono, 2007). Komposisi kimia terpentin dan gondorukem yang berasal dari Pabrik Pengolahan Getah di Sumatera dan Jawa (Wiyono dkk., 2006). Uraian tersebut di atas memperlihatkan bahwa masih terdapat banyak hal yang perlu diteliti yang berkaitan dengan produksi getah tusam. Pertama, tentang cara penyadapan. Cara penyadapan dengan metode quare yang selama ini dilakukan meninggalkan kerusakan kayu bekas luka sadap yang lebar sehingga membuat harga 4

jual kayu tusam di akhir daur menjadi rendah. Pohon tusam yang disadap dengan metode quare, mudah roboh disaat terjadi angin puting beliung yang akhir-akhir ini intensitasnya cukup tinggi, untuk itu perlu dicari alternatif lain tentang cara penyadapan. Cara penyadapan dengan bor merupakan salah satu pilihan guna mengurangi kerusakan kayu. Penyadapan metode bor memerlukan mata bor dan talang penyalur getah, untuk itu perlu dikaji ukuran mata bor berapa yang tidak merusak kayu tetapi menghasilkan getah yang tinggi. Kedua, penelitian tentang penyadapan getah dengan metode bor pada berbagai kelas umur belum pernah dilakukan. Apakah terdapat perbedaan dalam produksi getah di antara kelas umur, apabila penyadapan dilakukan dengan metode bor?. Di Jember terdapat tegakan tusam provenans Aceh dari tiga subpopulasi yaitu Takengon, Blangkejeren dan Jantho yang hingga kini belum pernah diketahui produksi getahnya, terutama dalam kaitannya dengan penyadapan dengan metode bor. Apakah produksi getah dari tiga subpopulasi tusam provenans Aceh ini berbeda dan sejauh mana produksi getah ini dalam kendali faktor genetik?. Ketiga, pemungutan getah oleh penyadap selama ini dilakukan setiap 10 hari sekali, getah selanjutnya dikirim ke tempat pengumpulan getah sementara (TPGS). Getah yang terkumpul di TPGS kemudian dikirim ke tempat pengumpulan getah (TPG), setelah terpenuhinya daya angkut, getah dikirim ke Pabrik Pengolahan Getah (PGT) yang jaraknya cukup jauh. Di Jawa Timur, misalnya hanya terdapat tiga PGT yaitu Ponorogo, Trenggalek dan Jember. Apakah penyimpanan getah dalam waktu yang lama, mulai dari pengumpulan getah di pohon sampai dengan perjalanan ke pabrik ini dapat menurunkan rendemen gondorukem dan terpentin?. Rendemen 5

gondorukem dan terpentin tusam provenans Aceh hingga saat ini juga belum pernah diketahui. Apakah terdapat perbedaan rendemennya dibandingkan dengan tusam ras lahan Jawa?. Pertanyaan-pertanyan ini menjadi fokus penelitian dari disertasi ini. Keempat, kualitas getah sangat berpengaruh terhadap kualitas gondorukem dan terpentin. Kualitas gondorukem dan terpentin merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh pabrik dalam rangka memenuhi permintaan konsumen. Aspek yang harus dipenuhi mengenai kualitas gondorukem dan terpentin terdiri dari sifat fisik dan kandungan kimianya. Guna keperluan konsumen dalam negeri standar tersebut telah ditetapkan berdasarkan standar nasional Indonesia (SNI). Perbedaan kualitas gondurukem dan terpentin dari bahan baku getah yang berasal dari tusam provenans Aceh dan ras lahan Jawa hingga kini belum diketahui dan belum pernah diteliti. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian-penelitian sebelumnya terletak pada cara penyadapan, materi penelitian dan lokasi. Pertama, sejauh ini cara penyadapan yang pernah dilakukan adalah menggunakan metode quare dengan tambahan penggunaan stimulan bahan kimia. Pada penelitian kali ini penyadapan getah dilakukan dengan menggunakan metode bor tanpa stimulan bahan kimia. Kedua, getah yang dipergunakan dalam penelitian sebelumnya untuk diolah menjadi gondorukem dan terpentin diambil dari pabrik pengolahan getah yang bahan bakunya berasal dari beberapa daerah dan berbagai kelas umur tercampur. Pada penelitian kali ini getah berasal dari hasil sadapan menggunakan metode bor yang terpilah menurut kelas umur, dan tegakan. Ketiga, materi penelitian provenans Aceh merupakan populasi dasar untuk keperluan memperluas basic genetic. Populasi dasar yang berasal dari sebaran alaminya di Aceh tersebut telah ditanam di Jember pada 6

tahun 1996, perlu diketahui produksi getahnya. Perhutani telah memulai melaksanakan program pemuliaan tusam untuk peningkatan produksi getah sejak tahun 2002. Salah satu kegiatannya adalah melakukan eksplorasi pohon plus getah ke daerah Tapanuli, Kerinci dan Toraja. Potensi getah diprediksi dengan cara pelukaan batang. Pohonpohon yang menghasilkan getah di atas 100 g, selanjutnya dipanjat untuk diunduh buahnya. Pohon-pohon tersebut selanjutnya dipergunakan sebagai bagian dari konservasi genetik tusam ex-situ. Pada saat ini Perum Perhutani telah menyusun pedoman kegiatan pemuliaan tusam produksi getah tinggi dalam jangka waktu tahun 2012-2036 seperti disajika pada Gambar 1.1. 7

HUTAN ALAM POPULASI DASAR: Tusam Jawa & Luar Jawa POHON PLUS HUTAN TANAMAN KBS GENERATIF VEGETATIF UJI KETURUNAN F-1 PERTANAMAN MASSAL (BENIH ASAL POHON PLUS) KEBUN PANGKAS - Cangkok - Grafting - Stek pucuk - Kultur jaringan UJI KETURUNAN F-2 KBS F-1 SEMAI (F-1) KBK UJI KLON KLON KBS F-2 SEMAI (F-2) UJI KLON LANJUTAN KLON KLON KLON Gambar 1.1. Skema program pemuliaan tusam produksi getah tinggi tahun 2012-2036 (Perum Perhutani, 2012) Skema program pemuliaan tusam produksi getah tinggi seperti disajikan pada Gambar 1.1 merupakan program jangka panjang, diperlukan waktu dan biaya yang cukup besar. Kegiatan yang sudah dilakukan pada saat ini adalah seleksi pohon plus produksi getah tinggi dari tanaman tusam di Jawa dan kemudian berkembang dari luar Jawa. Hampir seluruh materi dari populasi alami tusam di Indonesia telah dimiliki 8

Perum Perhutani, dengan koleksi yang berasal dari Sumatera (Blangkejeren, Jantho, Takengon, Rikit, Arul-Rengit, Kendawi dan Uring) dan Sulawesi Selatan (Toraja, Bone, Malino dan Benteng). Apabila merujuk pada program pemuliaan tusam Perum Perhutani, materi penelitian merupakan populasi dasar, yaitu tusam provenans Aceh yang ada di Jember. Uraian tersebut menunjukkan bahwa kajian tentang produktivitas getah, rendemen dan kandungan gondorukem-terpentin Pinus merkusii Jungh. et de Vriese provenans Aceh dan ras lahan Jawa melalui penyadapan metode bor perlu untuk dilakukan. 1.2. Tujuan penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui produktivitas getah, rendemen dan kandungan gondorukem-terpentin P. merkusii provenans Aceh dan ras lahan Jawa melalui penyadapan getah metode bor. Tujuan khusus penelitian ini secara rinci diuraikan di masing-masing bab pada masing-masing tahapan penelitian. 1.3. Manfaat penelitian Manfaat penelitian diharapkan berguna bagi: a. Para peneliti yang tertarik dengan getah tusam, dari aspek cara penyadapan getah, produksi getah, serta kuantitas dan kualitas gondorukem - terpentin. b. Kalangan industri yang bahan bakunya memerlukan tambahan gondorukem dan terpentin. 9

c. Penentu kebijakan, sebagai masukan dalam menentukan kebijakan terkait dengan produksi dan kualitas getah, gondorukem dan terpentin yang hasil akhirnya sebagai produk ekspor. 10