BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU KOTA DEPOK DENGAN PENDEKATAN MODEL KONSERVASI AIR MELALUI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TETY NOFALINA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH KOTA PADANG ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO. Sri Sutarni Arifin 1. Intisari

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh daya beli masyarakat (Pasal 3, Undang-undang No. 14 Tahun 1992

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN PERUMAHAN KELAS MENENGAH MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KOTA SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

Citra Satelit IKONOS

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011).

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang,

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SISTEM PENGINDERAAN JAUH SATELIT ALOS DAN ANALISIS PEMANFAATAN DATA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin


METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG,

I. PENDAHULUAN. heterogen serta coraknya yang materialistis (Bintarto,1983:27). Kota akan selalu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perubahan Penggunaan Lahan Pengertian lahan berbeda dengan tanah, namun dalam kenyataan sering terjadi kekeliruan dalam memberikan batasan pada kedua istilah tersebut. Tanah merupakan suatu benda alami heterogen yang terdiri dari komponen-komponen padat, cair dan gas yag memiliki sifat dan perilaku yang dinamik. Benda alami ini terbentuk dari hasil interaksi antara iklim dan jasad hidup terhadap suatu bahan induk yang dipengaruhi relief tempatnya terbentuk dan waktu. Sedangkan lahan merupakan lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air, vegetasi dan benda yang memiliki pengaruh terhadap pengguanan lahan. Termasuk di dalamnya kegiatan manusia di masa lalu dan sekarang (Arsyad,1989). Penggunaan lahan adalah penggunaan lahan utama atau kedua (apabila merupakan penggunaan lahan berganda) dari sebidang lahan pertanian, lahan hutan, padang rumput dan sebagainya. Jadi penggunaan lahan lebih mengarah dalam pengertian tingkat pemanfaatan oleh masyarakat. Penggunaan lahan (landuse) merupakan suatu bentuk campur tangan manusia terhadap lahan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spiritual. Menurut Arsyad (1989) penggunaan lahan dibagi atas dua golongan besar yaitu, penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibagi kembali berdasarkan atas penyediaan air dan komoditi yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut, seperti pengunaan lahan sawah, tegalan, hutan lindung, kebun karet dan sebagainya. Sedangkan penggunaan lahan non pertanian dapat dibedakan ke dalam penggunaan lahan kota atau desa (permukiman), industri, rekreasi, pertambangan dan sebagainya. Penggunaan lahan merupakan salah satu produk kegiatan manusia di permukaan bumi yang memiliki berbagai macam variasi bentuk. Perubahan penggunaan lahan merupakan kombinasi dari hasil interaksi faktor sosial ekonomi, politik dan budaya. Manusia menjadi faktor utama terbentuknya berbagia macam pola penggunaan lahan serta terhadap perubahan-perubahan sebagai akibat aktivitasnya di atas permukaan bumi.

5 Analisis mengenai perubahan penggunaan lahan merupakan suatu alat untuk memperkirakan perubahan ekosistem dan implikasi lingkungannya pada skala waktu dan keruangan yang bervariasi. Yang termasuk perubahan pada penutupan lahan adalah perubahan keanekaragaman biotik, produktifitas yang utama dan aktual, kualitas tanah, alieran permukaan serta kecepatan sedimentasi (Meyer and Turner, 1994; Kikuchi, 1999 dalam Zain, 2002). 2.2. Kawasan Perkotaan Kawasan perkotaan adalah suatu bentuk lanskap buatan manusia, yang terjadi akibat manusia dalam mengelola kepentingan hidupnya Pada umumnya, pengertian kota dicirikan oleh tingginya kepadatan ruang terbangun, dengan sruktur bangunan yang semakin rapat. Dalam sebuah kota terjadi kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsinya sebagai tempat permukiman, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi (Eckbo, 1964). Branch (1995) mengartikan kota sebagai tempat tinggal dari beberapa ribu penduduk atau lebih. Perkotaan diartikan sebagi area terbangun dengan struktur dan jalan-jalan, sebagai suatu permukiman yang terpusat pada suatu area dengan kepadatan tertentu yang membutuhkan sarana dan pelayanan pendukung yang lengkap dibandingkan dengan yang dibutuhkan di daerah pedesaan. Perkembangan dan pembangunan kota juga berdampak pada berkurangnya keberadaan suatu ruang terbuka hijau di perkotaan. Hal ini akibat adanya perubahan penutupan dan penggunaan lahan di sebuah kota (Putri, 2006). 2.3. Ruang Terbuka Hijau Manusia yang tinggal di lingkungan perkotaan menbutuhkan lingkungan yang sehat dan bebas polusi untuk hidup dengan nyaman. Peran RTH untuk memenuhi kebutuhan ini adalah sebagai penyumbang ruang bernafas yang segar, keindahan visual, sebagai paru-paru kota, sumber air dalam tanah, mencegah erosi, keindahan dan kehidupan satwa, menciptakan iklim dan sebagai unsur pendidikan (Simond, 1983). Dalam RTH pemanfaatannya lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman, seperti lahan pertanian, pertanaman, perkebunan dan sebagainya.

6 Berikut ini beberapa definisi dari RTH (Ruang Terbuka Hijau) : RTH adalah bagian dari ruang terbuka kota yang didefinisikan sebagai ruang terbuka yang pemanfaatannya lebih bersifat pada penghijauan tanaman dan tumbuhan secara alamiah ataupun buatan (budidaya tanaman) seperti lahan pertanian, pertanaman, perkebuanan dan laiannya (INMENDAGRI No. 14 tahun 1988). RTH adalah ruang- ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan (Dinas Pertanaman DKI, 1988). RTH adalah ruang terbuka yang ditanami dengan tanaman, mulai dari yang bersifat alamiah seperti, rumput, jalur hijau, taman bermain dan taman lingkungan di daerah permukiman (Nurisjah, 1997). RTH adalah suatu ruang terbuka yang ditumbuhi oleh pepohonan dengan persentase ideal 20-30% dari luas bidang tanah termasuk yang ditempati bangunan rumah, misalnya halaman rumah (Handiktc (1997) dalam Wijayanti, 2003). Ruang terbuka hijau merupakan salah satu bentuk konsep untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup di wilayah perkotaan. Pengembangan RTH di perkotaan diupayakan membuka peluang terciptanya kawasan hijau bersifat alami dengan vegetasi jenis tanaman yang merupakan bagian dari penataan ruang kota sebagai kawasan hijau (Purnomo, 2001). a) Ruang Terbuka Hijau Perkotaan RTH wilayah perkotaan adalah ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, dimana didominasi oleh tanaman dan tumbuh-tumbuhan secara alami (Slamet, 2003 dalam Putri, 2006). Ruang terbuka hijau memiliki kekuatan untuk membentuk karakter kota dan menjaga kelangsungan hidupnya. Tanpa keberadaan ruang terbuka hijau di kota akan mengakibatkan ketegangan mental bagi manusia yang tinggal di dalamnya. Oleh karena itu, perencanaan ruang terbuka harus dapat memenuhi keselarasan harmoni antara struktural kota dan alamnya, bentuknya bukan sekedar taman, lahan kosong untuk rekreasi atau lahan penuh tumbuhan

7 yang tidak dapat dimanfaatkan penduduk kota (Simon, 1983 dalam Roslita, 1997). Menurut Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1988 tujuan dibentuk atau disediakannya ruang terbuak hijau di wilayah perkotaan adalah (1) meningkatkan mutu lingkungan hidup perkotaan dan sebagai paengaman sarana lingkungan perkotaam, (2) menciptakan keserasian lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna bagi kepentingan masyarakat. Menurut Nurisjah (1997), RTH di wilayah perkotaan mempunyai manfaat yang tingi dalam memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan, keberadaan massa tanaman ini dapat memperbaiki dan meningkatkan keindahan visual dan estetika alami, kendahan dan habitat satwa, artifak sejarah, perlindungan plasma nutfah dan mengandung nilai sosial ekonomi. b) Komponen Ruang Terbuka Hijau Beberapa komponen RTH berdasarkan kriteria, sasaran dan fungsi penting, vegetasi serta intensitas manajemennya dikategorikan dalam : Taman Memiliki fungsi utama menghasilkan oksigen. Oleh karena itu jenis tanaman yang dibudidayakan dipilih dari jenis-jenis yang menghasilkan oksigen tinggi. Jalur Hijau Termasuk didalamnya adalah pepohonan peneduh pinggir jalan, lajur hijau di sekitar sungai dan hijauan di tempat parkir maupun ruang terbuka hijau lainnya. Kebun dan pekarangan Selain bertujuan untuk produksi, kebun dan pekarangan diharapkan mendukung kenyaman lingkungan perkotaan. Tempat-tempat rekreasi Hutan Merupakan suatu penerapan beberapa fungsi hutan seperti ameliorasi iklim, hidrologi dan penangkalan pencemaran. Fungsi-fungsi ini bertujuan mengimbangi kecenderungan menurunnya kualitas lingkungan. Berbagai potensi dan peluang hutan kota akan mengatasi, mencegah dan mengendalikan krisis lingkungan.

8 c) Fungsi Ruang Terbuka Hijau Peran pertumbuhan dalam RTH tidak hanya terbatas pada fungsi produksinya dipandang dari nilai ekonomis dan fungsi estetis sertafungsi kreatifnya dipandang dari segi arsitektural tapi juga fungsi ekologisnya. Selanjutnya dalam Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1988 manfaat RTH antara lain : Sebagai areal perlindungan berlangsungnya funsi ekosistem dan penyangga kehidupan. Sebagai sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian dan kehidupan lingkungan. Sebagai sarana rekreasi. Sebagai pengaman lingkungan hidup perkotaan terhadap berbagai macam pencemaran baik di darat, peraiaran maupun udara. Sebagai sarana penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk kesadaran lingkungan. Sebagai tempat perlindungan plasma nutfah. Sebagai sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro. Sebagai pengatur tata air. 2.4. Konservasi Air Konservasi adalah upaya manusia untuk mempertahankan, meningkatkan, mengembalikan atau merehabilitasi daya guna lahan sesuai peruntukannya. Konservasi dalam manajemen sumber daya air, adalah mengadakan usaha perlindungan air dan sumber air dengan titik berat pada pengaturan, pengamanan dan pengendalian terhadap kerusakan air dan daerah resapan, dan meningkatkan pengelolaan sungai, danau/situ, dan sumber air lainnya dalam rangka terjaminnya ketersediaan air secara kesinambungan (Arsyad, 1989). Konservasi air pada dasarnya adalah penggunaan air yang jatuh ke tanah seefisien mungkin dan pengaturan waktu aliran sehingga tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada saat musim kemarau. Terdapat dua cara konservasi air, yaitu memelihara jumlah dan kualitas air melalui cara pengelolaan dan penggunaan tanah yang baik serta memaksimalkan manfaat air melalui

9 penerapan cara-cara yang efisien. Menurut Seta (1987), pada dasarnya konservasi tanah dan air dilakukan agar energi perusak (butir hujan dan aliran permukaan) sekcil mungkin sehingga tidak merusak dan agregat anah lebih tahan terhadap pukulan butir hujan dan aliran permukaan. 2.4.1. Ruang Terbuka Hijau Sebagai Peresapan Air Air merupakan suatu elemen dalam lanskap. Air berguna bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti untuk mandi, makan, minum, mencuci, irigasi, industri dan kebutuhan lainnya. Banyaknya volume air yang mengalir di permukaan bumi sehingga tidak terserap oleh sakuran-saluran baik alami maupun buatan yang ada akan mengakibatkan banjir. Fenomena banjir banyak menimpa daerah perkotaan, dimana lebih dari 30% permukaannya merupakan permukaan kedap air (atap bangunan, jalan, jembatan dan lainnya). Ruang terbuka hijau kota sedikit banyak dapat mengatasi masalah limpahan air hujan. Ruang terbuka hijau memiliki derajat kerembesan tanah yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis permukaan lainnya. Permukaan tanah yang tertutup oleh tanaman memiliki kapasitas infiltrasi yang tinggi. Hal ini karena tanah yang tertutup tanaman memiliki rongga-rongga tanah atau jalur-jalur yang lebar sehingga air mudah masuk sedangkan udara mudah keluar. RTH sebagai peresapan air ke dalam tanah dipengaruhi oleh sifat-sifat hujan, sifat fisik kawasan dan pengelolaannya. Pengalihan fungsi lahan di perkotaan cenderung ke arah penutupan tanah dengan bahan-bahan semen yang tidak tembus air, sehingga mengakibatkan terganggunya keseimbangan hidrologi. Hal ini terjadi disebabkan tingginya tingkat urbanisasi yang secara tidak langsung meningkat pula luasan permukaan semen, aspal, paving sehingga air hujan tercegah untuk masuk ke dalam tanah dan menjadi limpasan permukaan. 2.5. Sistem Informasi Geografis BAKOSURTANAL menjabarkan SIG sebagai suatu sistem yang saling terkait antara satu dengan yang lain. SIG sebagai kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personel yang

10 didesain untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi, menganalisis, serta menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi. Prahasta (2002) mendefinisikan SIG sebagai alat bantu yang sangat esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan spasial. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografi a) masukan, b) manajemen, c) analisis dan manipulasi data serta d) keluaran (Aronoff, 1989). Sistem Informasi Geografi merupakan seperangkat sistem berbasis komputer untuk memetakan dan menganalisis sesuatu yang terlihat jelas dan terjadi di permukaan bumi. Teknologi SIG mengintegrasikan pengoperasikan database seperti pertanyaan dan analisis statistika dengan cara menampilkan secara khas dan menganalisis secara geografi dari suatu peta. Kemampuan ini membedakan SIG dengan sistem informasi lainnya dan menjadikannya lebih bernilai dalam penggunaannya oleh umum ataupun bisnis pribadi yang untuk menjelaskan peristiwa yang dianggap penting, memprediksi hasil serta perencana strategi. Data yang diperlukan dalam sistem informasi geografis merupakan data yang mengacu pada lokasi geografis terdiri atas data grafis dan data atribut. Data grafis tersusun dalam bentuk titik, garis dan poligon. Data atribut berupa data kualitatif atau kuantitatif yang merupakan hubungan satu-satu dengan data grafisnya. 2.5.1. Analisis Spasial Sistem Informasi Geografi adalah sistem yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Analisis spasial dikembangkan untuk mengisi kebutuhan akan permodelan dan penganalisaan data spasial. Analisis spasial sebagai suatu kemampuan umum untuk memanipulasi data spasial ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda dan mengekstraksi pengertian tambahan sebagai hasilnya. Analisis spasial lebih memusatkan perhatian pada (1) investasi pola-pola dan atribut / karakteristik / tanda-tanda lainnya dalam suatu wilayah studi, dan (2) permodelan hubungan-hubungan untuk keperluan pemahaman dan prediksi.

11 Menurut Haining (1995) analisis spasial adalah suatu kumpulan dari teknik-teknik analisis kejadian-kejadian geografis dimana hasil-hasil analisis tergantung pada susunan spasial kejadian-kejadian tersebut.kejadian geografis yang disebutkan berupa kumpulan objek titik, garis atau area yang dialokasikan dalam ruang geografi, ditambahkan pada suatu himpunan dari satu atau lebih nilai-nilai atribut. 2.6. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan untuk memperoleh informasi suatu objek, daerah atau fenomena untuk melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji. Dengan menggunakan berbagai sensor kita mengumpulkan data dari jarak jauhmyang dapat dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang objek, daerah atau fenomena yang diteliti (Lillesand dan Kiefer, 1979). Data penginderaan jauh dapat berupa citra dan data numerik. Data tersebut dapat dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang objek, daerah atau fenomena yang diteliti. Analisis data penginderaan jauh memerlukan rujukan seperti peta tematik, data statistik dan data lapang. Informasi yang diperoleh dapat dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan (F. Sri Hardiyanti, 2001). Data hasil penginderaan jauh merupakan salah satu bentuk data yang digunakan dalam Sistem Informasi Geografis. Hasil penginderaan jauh umumnya berupa citra yang merupakan gambaran rekaman suatu objek (biasanya berupa gambaran pada foto) yang dihasilkan dengan cara optik, elektro optik, optik mekanik atau elektronik. Menurut Lillesand dan Kiefer (1979) di dalam penginderaan jauh istilah foto diperuntukan secara esklusif bagi citra yang dideteksi dan direkam pada film. 2.6.1. Satelit Alos Satelit yang baru diluncurkan pada tahun 2006 milik JAXA-Jepang merupakan satelit sensor radar dengan empat polarisasi (full polarization). Satelit ini didesain untuk dapat beroperasi selama 3 sampai 5 tahun pada ketinggian 691,65 km (di atas Khatulistiwa) dengan kemiringan 98,16 (JAXA, Japan Aerospace Exploration Agency, 1997). Periode kunjungan ulang (revisiting

12 period) dari satelit ALOS adalah 46 hari. Akan tetapi, untuk kepentingan pemantauan bencana alam atau kondisi darurat satelit ALOS ini mampu melakukan observasi dalam waktu dua hari. Tabel 1. Karakteristik Umum Satelit Alos Karakteristik Alat peluncuran Tempat peluncuran Berat satelit Power Waktu operasional Orbit Sumber : NASDA, 1996 Keterangan Roket H-IIA Pusat Ruang Angkasa Tanagashima 4.000 Kg 7.000 W 3 sampai 5 Tahun Snu-synchronous Sub-Recurr Orbit Recurrent Period : 46 hari, Sub cycle 2 hari Tinggi lintasan : 692 km di atas Equator Inclinasi : 98,2 0 Satelit ini dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju untuk memberikan kontribusi bagi dunia penginderaan jauh, terutama di bidang pemetaan, pengamatan tutupan lahan secara lebih persis dan akurat, sehingga untuk keperluan tersebut pada setelit ini dipasang dual frequency GPS receiver dan star tracker dengan presisi tinggi. Satelit ALOS memiliki tiga sensor, yaitu: (a) Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) yang mempunyai resolusi 2,5 meter; (b) Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2) yang mempunyai resolusi 10 meter; dan (c) Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) yang mempunyai dua resolusi, yaitu resolusi 10 meter dan 100 meter (Gambar 1). Gambar 1. Satelit ALOS (JAXA EORC, 1997)

13 2.6.2. Sensor PRISM (Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping) Sensor PRISM (Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping) (Gambar 2) memiliki tiga sistem optis yang dapat merekam data pada saat yang bersamaan, yaitu melalui mode observasi dari arah tegak lurus (nadir), depan (forward) dan belakang (backward) (Gambar 3). Dengan kemampuan seperti ini dimungkinkan untuk membangun data 3-D (three dimensional terrain data) dengan tingkat akurasi yang tinggi. Teleskop observasi pada arah nadir di sensor PRISM ini memiliki lebar sapuan 70 km, sedangkan teleskop observasi arah depan dan belakang (triplet mode) masing-masing mempunyai lebar sapuan 35 km. PRISM tidak dapat mengamati daerah-daerah di luar 82 derajat Lintang Selatan dan Lintang Utara. Adapun karakteristik umum sensor PRISM disajikan pada Tabel 2. Gambar 2. Sensor PRISM (JAXA EORC, 1997) Gambar 3. Prinsip Geometri PRISM (JAXA EORC, 1997)

14 Tabel 2. Karakteristik PRISM Jumlah Band Panjang Gelombang Jumlah Optik Resolusi Spatial Lebar Petak Jumlah Detektor Pointing Angle Bit Length 1 (Pankromatik) 0,52 0,77 mikrometer 3 (nadir, depan, belakang) 2,5 m (at nadir) 70 km (hanya nadir) / 35 km (Triplet mode) 28000 / band (petak lebar 70 km) 14000 / band (petak lebar 35 km) -1,5 ke 1,5 derajat (Triplet Mode, Cross-track direction) 8 bit Sumber : JAXA EORC, 1997 2.6.3. Sensor PALSAR (Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar) Sensor PALSAR (Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar) merupakan pengembangan dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya, JERS-1 (Gambar 4). Sensor ini merupakan sensor gelombang mikro aktif yang dapat melakukan observasi siang dan malam tanpa terpengaruh pada kondisi cuaca. Melalui salah satu mode observasinya, yaitu ScanSAR, sensor ini memungkinkan untuk dapat melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang cukup luas, yaitu 250 350 km (Gambar 5). Pembangunan PALSAR adalah proyek kerjasama antara JAXA dan Japan Resources Observation System Organization (JAROS). Gambar 4. Sensor PALSAR (JAXA EORC, 1997)

15 Gambar 5. Prinsip Geometri PALSAR (JAXA EORC, 1997) Karakteristik umum sensor PRISM disajikan pada Tabel 2, namun demikian sensor PALSAR tidak dapat mengamati daerah-daerah di luar 87,8 Lintang Uatra dan 75,9 Lintang Selatan ketika off-nadir adalah sudut 41,5. Tabel 3. Karakteristik PALSAR Mode Fine ScanSAR Polarimetric (Eksperimental mode)* Pusat Frekuensi 1270 MHz (L-band) Chrip 14 MHz, 28 MHz 14 MHz Bandwidth 28 MHz 14 MHz Polarisasi HH atau vv HH + hv atau vv + VH HH atau vv HH + hv + VH + vv Incident Angle 8 60 8-60 18-43 8-30 Range 100 m 7 44 m 14 88 m Resolution (multi look) 24 89 m Observation Swath 40 70 km 40 70 km 250 350 km 20 65 km Bit Length 5 bit 5 bit 5 bit 3 atau 5 bit Data rate 240Mbps 240Mbps 120 Mbps 240 Mbps 240 Mbps Radiometric accuracy Scene : 1 db / orbit : 1.5 db Sumber : JAXA EORC, 1997 2.6.4. Sensor AVNIR (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer) Sensor AVNIR (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer) (Gambar6.) dilengkapi dengan kemampuan khusus yang memungkinkan satelit dapat melakukan observasi tidak hanya pada arah tegak lurus lintasan satelit, tetapi juga mode operasi dengan sudut observasi (pointing angle) hingga sebesar

16 + 44 o (Gambar 7). Kemampuan itu diharapkan dapat membantu dalam pemantauan kondisi suatu area yang diinginkan. Sensor ini dapat dimanfaatkan dalam penyusunan peta penggunaan lahan atau peta vegetasi terutama dengan menggunakan band cahaya tampak (visible) dan inframerah dekat (near infrared). Gambar 6. Sensor AVNIR (JAXA EORC, 1997) Gambar 7. Prinsip Geometri AVNIR-2 (JAXA EORC, 1997) Karakteristik umum sensor AVNIR disajikan pada Tabel 4, namun demikian sensor AVNIR tidak dapat mengamati daerah-daerah di luar 88,4 Lintang Utara dan 88,5 Lintang Selatan. Tabel 4. Karakteristik AVNIR Jumlah Band 4 Band 1 : 0,42 0,50 mikrometer Panjang Gelombang Band 2 : 0,52 0,60 mikrometer Band 3 : 0,61 0,69 mikrometer Band 4 : 0,76 0,89 mikrometer Resolusi Spasial 10 m (at Nadir) Lebar petak (Swath Width) 70 km (at Nadir) Jumlah Detector 7000/Band Pointing Angle -44 + 44 Bit Length 8 bit Sumber : JAXA EORC, 1997