BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PERTUMBUHAN MERANTI MERAH (Shorea leprosula Miq.) DALAM SISTEM TEBANG PILIH TANAM JALUR DI AREAL IUPHHK-HA PT. SARPATIM, KALIMANTAN TENGAH

KERAGAMAN PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI MERAH (Shorea leprosula Miq.) PADA BERBAGAI TAPAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN


BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengelolaan hutan alam produksi, produktivitas hutan menjadi satu

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. : Spermatophyta. : Magnoliophyta. : Magnoliopsida. : Dilleniidae. : Theales. : Dipterocarpaceae

BAB I PENDAHULUAN. Kayu jati (Tectona grandis L.f.) merupakan salah satu jenis kayu komersial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. unsur unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, vegetasi serta

Kata kunci: hutan rawa gambut, degradasi, rehabilitasi, kondisi hidrologi, gelam

PERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PIKIRAN. Asam gelugur (Garcinia atroviridis Griff) berasal dari kawasan Asia yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

SINTESA HASIL PENELITIAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI KOORDINATOR: DARWO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MG-6 DAUR DAN ETAT PEMANENAN KAYU

TINJAUAN KONSEPTUAL MODEL PERTUMBUHAN DAN HASIL TEGAKAN HUTAN SITI LATIFAH. Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Sejarah Pengelolaan Tanaman IUPHHK PT. Sukajaya Makmur merupakan salah satu dari enam perusahaan yang pertama kali menjadi tempat percontoha

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Hutan. Padang, 20 September Peneliti pada Balai Litbang Kehutanan Sumatera, Aek Nauli

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dengan target luas lahan yang ditanam sebesar hektar (Atmosuseno,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hutan menurut Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Silvilkultur. Hasil Hutan Kayu. Pemanfaatan. Pengendalian. Areal.

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. (hardwood). Pohon jati memiliki batang yang bulat lurus dengan tinggi mencapai

BAB I PENDAHULUAN. terutama Hutan Tanaman Industri (HTI). jenis tanaman cepat tumbuh (fast growing) dari suku Dipterocarpaceae

PERTUMBUHAN MERANTI MERAH (Shorea leprosula Miq) DALAM SISTEM TEBANG PILIH TANAM JALUR DI AREAL IUPHHK-HA PT. SARPATIM, KALIMANTAN TENGAH

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

Hutan Tanaman Shorea smithiana Prospektif, Sehat dan Lestari.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Respon Pertumbuhan Meranti Merah Terhadap Lebar Jalur Tanam dan Intensitas Cahaya Matahari dalam Sistem Silvikultur TPTJ

Sistem Tebang Parsial & Tebang Habis

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG HABIS PENANAMAN BUATAN (THPB)

PERTUMBUHAN MERANTI MERAH

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Hubungan Lebar Jalur Tanam dengan Pertumbuhan Meranti Merah (Shorea leprosula Miq.) dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur

BAB I PENDAHULUAN. pertukangan dan termasuk kelas kuat dan awet II (Martawijaya et al., 1981). sebagai pilihan utama (Sukmadjaja dan Mariska, 2003).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG RUMPANG (TR)

BAB I PENDAHULUAN. jati memiliki kelas awet dan kelas kuat yang tinggi seperti pendapat Sumarna

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Terdegradasi ,

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi tegas, kering, berwarna terang segar bertepung. Lembab-berdaging jenis

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

TINJAUAN PUSTAKA. (waferboard) yang terbuat dari limbah kayu yang ditemukan oleh ilmuwan Amerika

IV. METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DINAMIKA PERMUDAAN ALAM AKIBAT PEMANENAN KAYU DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) MUHDI, S.HUT., M.SI NIP.

TINJAUAN PUSTAKA. Pohon Suren di kenal memiliki 6 jenis yaitu : Toona sureni, Toona

Asef K. Hardjana dan Lydia Suastati

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. V, No. 2 : (1999)

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 496/Kpts/SR.120/12/2005 TENTANG PELEPASAN SAWO ASAHAN SEBAGAI VARIETAS UNGGUL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SERANGAN HAMA DAN PENYAKIT PADA BIBIT MERANTI (Shorea leprosula Miq.) DI PERSEMAIAN. NGATIMAN Balai Besar Penelitian Dipterokarpa

TINJAUAN PUSTAKA. Tristaniopsis merguensis Griff.

Baharinawati W.Hastanti 2

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Bibit Sungkai (Peronema canescens) Sungkai (Peronema canescens) sering disebut sebagai jati sabrang, ki

Dewi Kartika Sari, Iskandar AM,Gusti Hardiansyah Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura. Jln Imam Bonjol Pontianak

TEKNIK REHABILITASI (REVEGETASI) LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI Sumbangsih Pengalaman dan Pembelajaran Restorasi Gambut dari Sumatera Selatan dan Jambi

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

MODEL PENDUGAAN PRODUKSI TEGAKAN HUTAN TANAMAN SENGON UNTUK PENGELOLAAN HUTAN

PERTUMBUHAN TINGGI AWAL TIGA JENIS POHON MERANTI MERAH DI AREAL PT SARPATIM KALIMANTAN TENGAH

BUDIDAYA DAN TEKNIS PERAWATAN GAHARU

E U C A L Y P T U S A.

TASIKMALAYA 14 DESEMBER 2015

TINJAUAN PUSTAKA. bekas tambang, dan pohon peneduh. Beberapa kelebihan tanaman jabon

POLA PERTUMBUHAN PULAI DARAT

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa

Transkripsi:

3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) adalah sistem silvikultur yang digulirkan sebagai alternatif pembangunan hutan tanaman industri (HTI). HTI menggunakan sistem tebang habis sementara TPTJ menyisakan hutan alam diantara jalur-jalur tanam. Penerapan sistem silvikultur TPTJ dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas hutan dengan cara membangun hutan tanaman yang produktif. Kegiatan pembinaan hutan dalam sistem TPTJ meliputi pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan dan perlindungan yang dilakukan secara berkesinambungan (Suparna & Purnomo 2004). Selanjutnya Suparna dan Purnomo (2004) menyatakan bahwa melalui penerapan sistem TPTJ ada beberapa hal penting yang dapat dicapai, antara lain: 1. Peningkatan produktivitas dalam pengertian bahwa dengan penurunan batas diameter tebang 40 cm maka produksi kayu per hektar yang akan diperoleh menjadi lebih besar. Melalui sistem TPTJ, areal bekas tebangan TPTI dapat dibudidayakan tanpa harus menunggu selama 35 tahun dan untuk tebangan berikutnya produksi kayu dapat diperoleh baik dari hasil tanaman dalam jalur tanam maupun dari jalur antara. 2. Penurunan limit diameter tebangan menghasilkan ruang tumbuh yang memungkinkan bagi penanaman jenis meranti di dalam jalur. 3. Melalui penanaman dalam jalur, kegiatan pemeriksaan tanaman di lapangan akan lebih efisien, murah, dan mudah. 4. Meningkatnya penerapan tenaga kerja sekitar hutan melalui program penanaman dan pemeliharaan yang dilakukan secara intensif. 5. Pengamanan areal hutan alam bekas tebangan dari perladangan berpindah dan perambahan karena secara umum adat ada penghormatan terhadap areal yang sudah ada kegiatan penanamannya. 6. Menggunakan bibit dari jenis terpilih sehingga produktivitasnya meningkat.\ 7. Keanekaragaman hayati tetap terjaga dengan adanya jalur antara.

4 Sistem silvikultur TPTJ didefinisikan sebagai sistem silvikultur hutan alam yang mengharuskan adanya penanaman pada hutan pasca penebangan secara jalur, yaitu 20 m antar jalur dan jarak tanam 2.5 m dalam jalur serta jalur tanam dibuat selebar 3 m yang merupakan jalur bebas naungan dan harus bersih dari pohon-pohon yang menaungi dan pada jalur tanam tidak boleh dilewati alat berat, kecuali pada pinggir jalur sebelum ada tanaman, sedangkan jalur antara selebar 17 m yang merupakan tegakan alam. Tanpa memperhatikan cukup tidaknya anakan alam yang tersedia dalam tegakan tinggal, sebanyak 80 anakan/hektar harus ditanam untuk menjamin kelestarian produksi pada rotasi berikutnya. Pada sistem silvikultur TPTJ pohon-pohon yang ditebang adalah pohon-pohon komersil yang berdiameter 40 cm ke atas (Suparna & Purnomo 2004). Gambar 1 Skema pelaksanaan TPTJ PT. Sarpatim ( = titik tanaman, jarak tanaman dalam jalur 2,5 m dan jarak antar jalur 20 m; a-b = jalur bersih dan bebas naungan (jalur tanam) dengan lebar 3 m; c-d = jalur antara dengan lebar 17 m; e-f = jarak tanam 2,5 m) 2.2 Shorea leporsula Miq S. leprosula adalah salah satu jenis asli Kalimantan yang dikenal dengan nama meranti merah (Red meranti). Tanaman ini termasuk kedalam famili Dipterocarpaceae yang bersinonim dengan Hopea maranti Miq., S. maranti Burck, S. astrostricta Scort. Ex Foxw., S. leprosula memiliki berbagai nama lokal diantara meranti tembaga (Indonesia), kontoi bayor, lempong, kumbang, abang, awang, engkabang (Kalimantan), meranti, banio, ketuko, markuyungm sirantih (Sumatera), kayu bapa, sehu (Maluku). Tanaman ini menyebar secara alami mulai Semenanjung Thailand dan Malaysia, Sumatera sampai Kalimantan Utara. Biasanya dijumpai di hutan

5 dipterokarpa dataran rendah dibawah 700 m menempati ruang terbuka di hutan yang mengalami gangguan. Tumbuh pada berbagai jenis tanah tetapi tidak toleran terhadap genangan. Curah hujan 1500 3500 mm pertahun, dan musim kemarau pendek perlu untuk pertumbuhan dan regenerasi. Jarang ditemukan di punggung bukit, dari percobaan penanaman menunjukkan pertumbuhan di kaki bukit lebih baik dibanding puncak bukit. Meranti merah merupakan tanaman yang cepat pertumbuhannya sampai umur 20 tahun tetapi selanjutnya terkejar oleh meranti lain. S. lepsrosula dapat mencapai tinggi 60 m, bebas cabang 35 m, dan diameter 1 m, serta memilikbanir menonjol tetapi tidak terlalu besar. Tajuk lebar, berbentuk payung dengan ciri berwarna coklat kekuning-kuningan. Kulit berwarna coklat keabu-abuan, alur dangkal, kayu gubal pucat, dan kayu teras merah tua. Selain itu, bentuk daun lonjong sampai bulat telur, panjang 8 14 cm, lebar 3.5 4.5 cm. Permukaan daun bagian bawah bersisik seperti krim, tangkai utama urat daun dikelilingi domatia terutama pada pohon muda, sedang urat daun tersier rapat seperti tangga. Bunga kecil dengan mahkota kuning pucat, helai mahkota sempit dan melengkung ke dalam seperti tangan menggenggam, fruiting calix dengan tiga sayap yang lebih panjang dan dua sayap lebih pendek. Kayu S. leprosula mempunyai kerapatan 300 865 kg/m 3 pada kadar kelembaban 15% (Soerianegara dan Lemmens 1994). S. leprosula termasuk kelas awet III IV dan kelas kuat II IV, mudah dikerjakan, tidak mudah pecah atau mengkerut. Kayunya terutama dipakai untuk vinir dan kayu lapis, di samping itu dapat juga dipakai untuk bangunan perumahan dan dapat juga dipakai sebagai kayu perkapalan, peti pengepak, peti mati, dan alat musik (Martawijaya et al. 1981). 2.3 Pertumbuhan Tanaman Menurut Suharlan et al. (1997) dalam Arim (1995), pertumbuhan merupakan pertambahan ukuran (dimensi) pohon atau tegakan sepanjang umurnya, sedangkan riap adalah pertambahan ukuran (dimensi) pohon atau tegakan dalam jangka waktu tertentu. Kedua istilah ini mempunyai hubungan yang erat dengan faktor umur dan memegang peranan penting dalam penentuan

6 kebijaksanaan operasional di bidang kehutanan, terutama dalam hal pemeliharaaan atau penjarangan, dan pemungutan hasil, khususnya bagi hutan tanaman. 2.4 Perttumbuhan Tegakan dan Hasil Tegakan Pertumbuhan tegakan dapat digambarkan dalam bentuk kurva pertumbuhan. Kurva pertumbuhan adalah kurva yang menghubungkan antara ukuran suatu organisme seperti volume, berat, diameter, atau tinggi dengan umurnya. Bentuk kurva pertumbuhan organisme yang ideal akan menyerupai huruf S atau berbentuk kurva sigmoid. Kurva ini menunjukkan akumulasi ukuran pada setiap tingkat umur, sehingga kurva ini disebut sebagi kurva pertumbuhan kumulatif (Gambar 2). Kurva ini dapat diturunkan untuk mengetahui laju pertumbuhan atau dikenal dengan riap (Husch 1963). Selanjutnya Prodan (1968) dalam Latifah (2004) membedakan riap ke dalam riap tahunan berjalan (Current Annual Increament (CAI)) dan riap rata-rata tahunan (Mean Annual Increament, (MAI)). CAI adalah riap dalam satu tahun berjalan sedangkan MAI adalah riap rata-rata (per tahun) yang terjadi sampai periode waktu tertentu. Daur optimal suatu tegakan diperoleh pada saat terjadi perpotongan antara kurva CAI dan MAI, yaitu pada saat MAI mencapai titik maksimum. Dimensi Tegakan Level Peertumbuhan Dimensi Tegakan MAI CAI Umur Daur Optimal Umur (a) (b) Gambar 2 Kurva Pertumbuhan: (a) MAI dan CAI (b) (Loetsch & Haller 1973; Avery & Burkhart 1994) 2.6 Tegakan dan Struktur Hutan Berdasarkan komposisi kelas umurnya, tegakan diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu tegakan seumur dan tidak seumur. Tegakan seumur merupakan tegakan yang dibangun dalam waktu bersamaan pada luasan tertentu, kelas

7 diameter pada tegakan seumur cenderung seragam dalam masa waktu penanaman sehingga jumlah kelas diameter dapat dibedakan menurut jumlah tahun tanamnya. Bentuk sebaran tegakan seumur akan menyerupai lonceng telungkup, yaitu mendekati sebaran normal yang dapat miring ke arah diameter yang lebih kecil untuk jenis toleran dan diameter yang besar untuk jenis intoleran. Tegakan tidak seumur mempunyai paling sedikit tiga kelas umur yang berbeda dan mempunyai kesenjangan dalam distribusi kelas umur. Jumlah pohon yang tersebar dalam kelas diameter terkecil dan jumlahnya menurun seiring dengan bertambahnya ukuran, sehingga hanya tersisa sedikit pohon-pohon yang berdiameter besar. Pada tegakan tidak seumur, distribusi frekuensi jumlah pohon menurut kelas diameter membentuk kurva J terbalik. Struktur tegakan hutan pada hutan tanaman merupakan sebaran jumlah pohon per hektar pada berbagai kelas umur. Bentuk sebaran ini akan menyerupai lonceng telungkup yaitu mendekati sebaran normal (Daniel et al. 1987). Diameter pohon merupakan salah satu dimensi pohon yang penting untuk menentukan secara langsung volume pohon.menurut Bruce et al.(2008) menyatakan bahwa pola sebaran diameter pada hutan tanaman cenderung menyebar normal atau sedikit menceng yaitu mayoritas jumlah pohon mengumpul disekitar nilai tengah dan menurun pada diameter yang lebih besar dan lebih kecil.