BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. satu kewenangan yang diserahkan kepada kabupaten/kota. Kewenangan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), oleh karena itu

BAB I PENDAHULUAN. yang mengutamakan perluasan pengetahuan. Diharapkan pendidikan dapat

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

I. PENDAHULUAN. dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. mengamanatkan bahwa pemerintah daerah, yang mengatur dan mengurus

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. keinginan pemerintah dan kebutuhan masyarakat. Paradigma baru manajemen

BAB I PENDAHULUAN. Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan, salah satunya adalah

BAB I PENDAHULUAN. yang bernama komite sekolah (SK Mendiknas Nomor 044/U/2002). karena pembentukan komite sekolah di berbagai satuan pendidikan atau

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

MEMBERDAYAKAN KOMITE SEKOLAH UNTUK MENINGKATKAN MUTU LAYANAN PENDIDIKAN. Oleh : Alpres Tjuana, S.Pd., M.Pd

BAB I PENDAHULUAN. Di era persaingan global, Indonesia memerlukan sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Kepmendiknas tersebut telah. operasional Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah..

BAB I PENDAHULUAN. investasi. Dengan demikian nilai modal ( human capital ) suatu bangsa tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan yang memberi keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 36 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN KOMITE SEKOLAH WALIKOTA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan otonomi daerah harus diartikan sebagai upaya pemberdayaan daerah dan masyarakat untuk

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Dampak diberlakukannya Undang Undang tentang otonomi daerah

Tahun), sampai saat ini pemerintah masih dihadapkan pada berbagai

KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 044/U/2002 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL

BAB 6 PENUTUP. Universitas Indonesia. Implementasi manajemen..., Mundiri, FISIP UI, 2010

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut paham. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perubahan paradigma pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi

BAB VI PENUTUP. tersebut akan disajikan secara rinci sebagai berikut: 1. Peran Komite Sekolah Sebagai Badan Pertimbangan (Advisory Agency)

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia saat ini tidak terlepas dari masalah dalam upaya

BAB VI KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. sekolah,perguruan,lembaga diklat, dalam masyarakat serta berbagai satuan lingku

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan pendidikan membuat keberadaan komite sekolah yang mampu

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan

BAB I PENDAHULUAN. Nasional (PROPENAS) Tahun Dalam BAB VII PROPENAS. ini memuat tentang Pembangunan Pendidikan, dimana salah satu arah

PERAN SERTA MASYARAKAT/ STAKE HOLDERS DALAM IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF

BAB I PENDAHULUAN. komponen yang saling berkaitan. Empat komponen yang di maksud adalah

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Republik

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH. Cicih Sutarsih, M.Pd

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM PENDIDIKAN UNTUK RAKYAT

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENDANAAN PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, sekolah,

Kinerja Dewan Pendidikan di Kota Salatiga

MASYARAKAT/STAKE HOLDERS DALAM IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF

PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM MANAJEMEN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF KOTA KEDIRI

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, serta efisiensi manajemen pendidikan dalam menghadapi tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Salah satu upaya untuk meningkatkan peluang berpartisipasi tersebut

BAB I PENDAHULUAN. akan terwujud dengan baik apabila didukung secara optimal oleh pola. upaya peningkatan pola manajerial sekolah.

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PEMBEBASAN BIAYA PENDIDIKAN DASAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. bahwa pendidikan juga merupakan cara yang efektif sebagai proses nation and

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kepada daerah. Di samping sebagai strategi untuk menghadapi era globalisasi,

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. berbagai dimensi dalam kehidupan mulai dari politik, sosial, budaya, dan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 10 SERI E

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. komponen-komponen yang saling terkait dan pengaruh mempengaruhi.

BAB I PENDAHULUAN BAB I

Pengawasan Bantuan Operasional Sekolah Berbasis Masyarakat

BUPATI MADIUN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 25 TAHUN 2009 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. manfaat penelitian secara teoritik dan praktis, serta penegasan istilah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Nasional mengamanatkan bahwa setiap warga negara berusia 7-15 tahun. Sekolah) yang menyediakan bantuan bagi Sekolah dengan tujuan

PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

KONFLIK DESENTRALISASI DI BIDANG PENDIDIKAN TERHADAP PENYALAHGUNAAN DANA BIAYA OPERASIONAL SEKOLAH BIAYA OPERASIONAL SEKOLAH (BOS) DI INDONESIA.

MANAJEMEN PENDIDIKAN DASAR MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

DAFTAR ISI A. LATAR BELAKANG 89 B. TUJUAN 89 C. RUANG LINGKUP KEGIATAN 89 D. UNSUR YANG TERLIBAT 90 E. REFERENSI 90 F. PENGERTIAN DAN KONSEP 91

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

BAB I PENDAHULUAN. menuju pemerintahan daerah yang demokratis dan pembangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Berdasarkan ketentuan ini

BAB I PENDAHULUAN. akan dilakukan perubahan dari dana APBN menjadi dana perimbangan. yang dilakukan melalui mekanisme transfer ke daerah dalam bentuk

BAB I PENDAHULUAN. pada pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara berkewajiban

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Program Pengembangan BOSDA Meningkatkan Keadilan dan Kinerja Melalui Bantuan Operasional Sekolah Daerah

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di sekolah sehingga apa yang menjadi kelebihan sekolah dapat lebih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi. Ini memberikan implikasi terhadap

BAB I PENDAHULUAN. hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran

PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 21 TAHUN 2009

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia. Pendidikan yang bermutu akan diperoleh pada sekolah yang

BAB I PENDAHULUAN. pembahasan, akhirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

UNJUK KERJA KOMITE SEKOLAH DI SMA NEGERI 3 SEMARANG TESIS

PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR : 113 TAHUN 2012

HUBUNGAN ANTARA PARTISIPASI KOMITE SEKOLAH DENGAN PEMENUHAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN KEPANJEN KABUPATEN MALANG

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI MALINAU PROVINSI KALIMANTAN UTARA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semenjak kebijakan otonomi daerah, pengelolaan pendidikan adalah salah satu kewenangan yang diserahkan kepada kabupaten/kota. Kewenangan pengelolaan pendidikan yang diserahkan kepada kabupaten kota meliputi kewenangan pengelolaan pendidikan dasar (SD dan SMP), pendidikan menengah (SMA dan SMK), pendidikan usia dini dan pendidikan non formal (Lampiran Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintah daerah propinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota pada bagian pembagian urusan pemerintahan bidang pendidikan). Dengan kebijakan desentralisasi kabupaten/kota memiliki kewenangan yang lebih luas untuk mengatur pendidikan yang lebih sesuai dengan kebutuhannya melalui penentapan peraturan-peraturan daerah, keputusan-keputusan daerah, dan perencanaan dan pengangaran yang disusun sendiri yang melibatkan para pemangku kepentingannya. Sejalan dengan desentralisasi pendidikan maka pengelolaan pendidikan di tingkat yang paling rendah yaitu di sekolah juga mengalami otonomi. Kewenangan pengelolaan pendidikan di sekolah diberikan kepada sekolah masing-masing melalui kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Melalui kebijakan MBS, sekolah dan para pemangku kepentingannya dapat menentukan sendiri visi, misi, tujuan dan program-program sekolah yang lebih sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini berarti sekolah bersama dengan para pemangku kepentingannya dapat menyusun sendiri perencanaan dan penganggarannya.

2 Makna penting dari kebijakan desentralisasi adalah pelibatan masyarakat. Pada saat penentuan kebijakan, perencanaan dan penganggaran pembangungan masih dipegang oleh pemerintah secara terpusat, kapubaten/kota hanya menerima kebijakan dan program yang telah disusun oleh pemerintah. Kebijakan terpusat menyebabkan munculnya program dan kegiatan yang seragam di seluruh Indonesia. Strategi ini kemudian terbukti tidak dapat memenuhi tujuan pembangunan karena ternyata terdapat perbedaan kebutuhan pembangunan yang cukup besar diantara daerah dan diantara masyarakat. Oleh karena itu kebijakan desentralisasi dilengkapi dengan partisipasi mayarakat. Ini berarti setiap kabupaten/kota harus melibatkan tuntutan, ide dan aspirasi masyarakat dalam menentukan perencanaan dan penganggaran pembangunan. Di tingkat sekolah, karena juga menjalankan otonomi sekolah, maka dalam menentukan perencanaan dan penganggaran juga harus melibatkan tuntutan, ide dan aspirasi para pemangku kepentingan di sekolah. Tingkat partisipasi masyarakat di pendidikan tergantung pada luasnya desentralisasi, atau aspek-aspek apa saja dari pendidikan dengan derajat seperti apa kekuasaan pengambilan keputusan di transfer (dialihkan) kepada masyarakat (Aikara, 2011: 170). Wadah yang ditunjuk oleh peraturan untuk menampung partisipasi masyarakat di sekolah adalah komite sekolah. Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah disebutkan komite sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peranserta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada jalur pendidikan prasekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah. Dan

3 berdasarkan Peraturan Pemerintah No 17 tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaran pendidikan disebutkan komite sekolah/madrasah berfungsi dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan Sejak tahun 2002 dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Pendidikan No. 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, maka Badan Pembantu Penyelengaraan Pendidikan (BP3) dinyatakan tidak berlaku lagi dan di satuan pendidikan (sekolah) atau kelompok satuan pendidikan (kelompok sekolah) di bentuk Komite Sekolah. Perubahan penyebutan organisasi pelengkap di sekolah dari BP3 (badan) ke komite pastinya membawa implikasi sesuai dengan makna arti kata komite. Komite adalah penyebutan untuk lembaga yang bersifat mandiri. Perbedaan yang prinsif antara BP3 dan komite sekolah adalah dalam peran dan fungsinya, keanggotaanya serta dalam pemilihan dan pembentukan pengurusnya. Pada dasarnya pembentukan komite dilatarbelakangi kehendak agar lembaga yang dibentuk dapat berfungsi sebagai pengontrol dan dapat meningkatkan peranserta masyarakat di pendidikan sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai sesuai dengan yang dibutuhkan, seperti yang dinyatakan Ahmad et al. (1998) dalam King dan Guerra (2005: 179) sesungguhnya, seperti yang disarankan dari literatur tentang desentralisasi yang lebih luas, keuntungan dari desentralisasi terletak pada menguatnya akuntabilitas diantara para yang bertanggungjawab melaksanakan pelayanan, diantara pemerintah pusat dan daerah, diantara pemerintah dan staf sekolah dan diantara staf sekolah dan masyarakat di mana mereka melayani.

4 Kedua peraturan tersebut di atas memberikan landasan yang cukup kuat kepada komite sekolah untuk menjalankan peran dan fungsinya tetapi sampai dengan saat ini peran dan fungsi komite sekolah belum optimal. Hasil penelitian Mundiri (2010: 103) menyimpulkan komite sekolah (di SDN Cempaka Putih Timur 05 Pagi dan SDSN Cempaka Putih Barat 05 Jakarta) sebagai mitra kerja sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan belum sepenuhnya menjalankan tugas, peran dan fungsinya dengan baik. Hal ini disebabkan karena kurangnya sosialisasi dan pembinaan terhadap komite sekolah. Selanjutnya, penelitian Samuri (2011: 160) menyebutkan peran komite sekolah SDN Pandean 1 Kabupaten Boyolali relatif sama dengan sekolah lain (konvensional) yang lebih banyak tergantung manajemen kepala sekolah meskipun sekolah ini merupakan sekolah standar nasional namum pemahaman komite sekolah terhadap peran untuk pengembangan kualitas pendidikan masih terbatas. Pada tahun 2009, penelitian Armansyah di Medan juga menemukan bahwa komite sekolah belum mampu melaksanakan perannya sebagai pertimbangan, sebagai badan penghubung, sebagai badan pengontrol dan sebagai badan penghubung. Komite sekolah belum dapat menjalankan perannya secara maksimal seperti diamanatkan Keputusan Menteri Pendidikan No 044/U/2002 dan ini disebabkan pihak sekolah/satuan pendidikan belum memberi kepercayaan maupun kewenangan penuh kepada komite sekolah. Berdasar beberapa hasil penelitian di atas keberadaan komite sekolah seolah-olah hanya dianggap sebagai formalitas saja. Saat ini banyak pihak beranggapan komite sekolah adalah lembaga yang bersifat tambahan bagi sekolah, hanya diikutkan berperan apabila sekolah memerlukannya, beberapa yang cukup

5 keras berpendapat komite sekolah hanya lembaga yang memberikan stempel saja. Bahkan Depdiknas (2007: 16) memberikan latarbelakang pentingnya pemberdayaan komite sekolah karena beberapa komite sekolah dibentuk hanya untuk tujuan sesaat, yakni sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh subsidi. Disengaja atau tidak, masih banyak komite sekolah yang hanya mengikuti semua rencana dan program sekolah, tidak meluangkan waktu melakukan verifikasi terhadap program kerja dan penganggaran sekolah dan cukup memberikan persetujuan. Berita di media menunjukkan ada inisiatif dari sekolah untuk menghilangkan peran komite terutama berkaitan dengan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Di beberapa sekolah, seperti SDN 1 Cikini dan SD Islam Harapan Ibu, Jakarta Selatan, pihak sekolah berusaha menghilangkan peran komite sekolah agar tidak terlibat sehingga penyelewengan dapat leluasa berlangsung. Berdasarkan pengakuan Ketua Komite Sekolah SD Islam Harapan Ibu Sonny, diketahui bahwa dia tidak tahu sama sekali pencairan dan penggunaan dana BOS (sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2011/03/22/11074962/bos TerlambatKorupsiBebasMeluas). Titik rawan lain yang dilakukan oleh sekolah, misalnya, sekolah memanipulasi tanda tangan orang tua siswa didik penerima dana BOS agar mendapatkan dana BOS lebih besar, sekolah menghilangkan peran dari komite sekolah dalam pencairan dan penggunaan dana BOS, anggaran dana BOS dipergunakan untuk membangun gedung atau ruangan kelas baru, serta penggunaan dana BOS untuk membayar bonus dan transportasi rutin untuk guru (sumber:http://www.tempointeraktif.com/hg/pendidikan/2011/03/25/brk,2011032 5-322816.id.html). Bahkan di SMA 70 Bulungan Jakarta, pengurus komite yang

6 lama mengugat kepala sekolah dan pengurus komite sekolah yang baru karena ketika pengurus komite yang lama mencoba kritis terhadap sekolah, dengan serta merta sekolah membentuk komite baru (Sumber: www.antaranews.com/berita/ 255913/ konflik-sma-70-bulungan-sampai-ke-pengadilan). Tetapi apabila komite sekolah berperan dengan baik ternyata berakibat status dan peran komite sekolah lebih melekat di struktur sekolah dari pada di masyarakat. Pada umumnya komite sekolah yang dapat menjalankan perannya ditunjukkan dengan hubungan yang baik dengan sekolah, mampu memberikan saran yang membangun dan peran dalam ikut berupaya mengali pendanaan untuk sekolah. Peran-peran tersebut dilakukan oleh komite sekolah bahkan tanpa berkonsultasi dengan masyarakat seperti ditulis Karsidi (2005: 230) selama ini keterwakilan dalam suatu organisasi atau forum biasanya diserahkan kepada warga negara yang digolongkan sebagai tokoh masyarakat atau elit namum cara seperti ini terkadang justru menyebabkan warga biasa (yang bukan tokoh) tidak akan mampu menjadi bagian dari forum dan pada gilirannya tidak tersalurkan pula aspirasinya. Hasil penelitian Harp (1995) dalam Schlinker dkk (2008: 30) menemukan penggunaan waktu oleh dewan sekolah di Kentucky lebih banyak mengatasi pertanyaan terkait operasional sekolah daripada mempertanyakan kebijakan sekolah. Bahkan Suminar dkk (2010: 90) menyatakan ditemukan citra negatif komite sekolah, yakni lebih banyak membuat kebijakan yang pada intinya mengguntungkan sekolah tetapi merugikan masyarakat. Laporan dan Evaluasi Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru tahun 2013 yang dilakukan oleh Ombudsman RI menerima 387 aduan masyarakat terkait proses penerimaan murid baru di 23 provinsi menyebutkan komite sekolah menjadi perpanjangan tangan

7 sekolah dengan menarik pungutan. Komite sekolah justru yang melakukan tawarmenawar dengan orangtua murid (Harian Kompas, Jumat, 26 Juli 2013, Pungutan di Sekolah Merata). Dalam laporan itu dinyatakan komite menjadi agen untuk mewakili kepentingan sekolah, bukan kepentingan peserta didik (Republika Online, 26 Juli 2013, Komite Sekolah bisa picu pungutan) Keberadaan komite sekolah ternyata tidak membantu memecah sekat struktural yang membantasi akses dan kontrol masyarakat terhadap pendidikan. Berdasar penelitian Samuri (2011: 111) pelaksanaan peran komite sekolah dalam supporting dirasakan belum optimal, terutama karena komite sekolah hanya berperan pada saat dibutuhkan. Komite sekolah hanya akan memanggil masyarakat apabila ada permintaan dari sekolah. Pada saat komite sekolah berbicara dengan masyarakat seolah-olah komite mewakili sekolah. Keadaan yang tidak seimbang ini berdampak pada berkurangnya daya kontrol komite terhadap sekolah. Bahkan kemudian adanya komite sekolah menciptakan birokrasi baru dalam hal hubungan masyarakat dengan sekolah. Pendapat masyarakat, usulan maupun kontrol yang diterima oleh komite selanjutnya hanya bersifat formalitas. Dan secara umum masyarakat berpendapat komite sekolah adalah sekolah. Dengan kondisi seperti ini sekat yang membatasi akses dan kontrol masyarakat terhadap pendidikan tidak dapat dipecah karena agen yang harusnya melakukannya tidak menjalankan perannya dengan baik. Disisi lain masyarakat dituntut berperan dalam pendidikan. Perwujudan peranserta masyarakat di sekolah yang paling luas dipraktekkan dan kemudian dianggap sebagai kewajaran adalah peran masyarakat dalam ikut serta membiayai pendidikan. Dengan tingkat resistensi yang tinggi dari sekolah dalam hal isu

8 pendidikan gratis membuat peran masyarakat dalam membiayai pendidikan tidak dapat dihindari lagi. Pemerintah juga telah melakukan kampanye secara luas untuk meningkatkan kesadaran peranserta masyarakat dalam pendidikan terutama untuk memperbaiki isu pendididkan gratis yang terlanjur salah dimaknai oleh berbagai pihak. Kegiatan penyadaran masyarakat ikut berperan dalam pendidikan membuat masyarakat merasa berkewajiban ikut serta memajukan pendidikan. Kemudian bentuk hubungan sekolah dan masyarakat dibangun atas asumsi tersebut, dan menghilangkan makna partsipasi yang sesungguhnya. Pemahaman hak pendidikan di masyarakat masih rendah sementara itu pelayanan pendidikan tidak dilakukan sebagai perwujudan kewajiban. Keluarga yang mencoba kritis terhadap pendidikan mendapat dampak buruk terhadap anaknya yang ada di sekolah. Bisa saja murid terancam dikeluarkan dari sekolah atau sanksi terselubung lainnya dari pihak sekolah akibat tindakan orangtua murid yang kritis terhadap tuntutan transparansi pengelolaan dana BOS di sekolah. Bahkan guru-guru yang bersikap kritis terhadap ketertutupan pengelolaan dana BOS dapat terancam kenaikan pangkatnya (http://soloraya.net/blog/2011/07/28/ transparansi-dan-partisipasi-pengelolaan-dana-bos/). Sekolah saat ini menjadi lembaga superior dan keluarga dan masyarakat menjadi sub ordinat. Depdikanas (2007: 11) menyatakan hubungan keluarga dan sekolah masih bersifat satu arah dan bersifat birokratis dan hierarkis, yakni dari sekolah kepada orangtua siswa, belum banyak arah yang sebaliknya. Sekolah masih sering memandang orangtua sebagai sumber masalah dan kritik. Sander (2003: 173) menjelaskan dari banyak literatur juga mencatat adanya resistensi para pengajar untuk usaha melakukan reformasi tentang keterlibatan masyarakat.

9 Hal ini termasuk ketakutan sekolah terhadap pengawasan publik, kelelahan sekolah karena harus melayani publik, persepsi yang negatif terhadap komunitas siswa diantara para staf dan administrator sekolah. Belajar dari reformasi pendidikan di Afrika Selatan, Joubert dan Van Rooyen (2011: 319) menulis berdasar hasil reviu dari Departemen Pendidikan Afrika Selatan pada tahun 2004 menyatakan badan tatakelola sekolah mengalami kesulitan dengan tim manajemen senior sekolah terkait dengan kesenjangan komunikasi, keputusan hasil pertemuan badan tatakelola sekolah tidak diimplementasikan, dan konflik dalam prioritas belanja. Suminar dkk (2010: 93) menyebutkan penghambat kinerja komite dari faktor eksternal adalah komponen sekolah membentuk struktur sosial tersendiri, tidak tergantung komite sekolah sebagai subsistem, dan kepercayaan sekolah terhadap komite sekolah masih rendah, serta fasilitas kurang memadai. Berdasar uraian di atas disarikan komite sekolah tidak menjalankan peran dan fungsinya karena komite sekolah itu sendiri tidak berdaya dan juga karena pihak sekolah (kepala sekolah dan strukturnya) tidak memberi kesempatan atau tidak percaya kepada komite sekolah dalam menjalankan perannya. Terkait keberdayaan komite sekolah, pada tahun 2007-2009 Departemen Pendidikan Nasional telah menyelenggarakan progran tingkat nasional dengan tujuan pemberdayaan dewan pendidikan dan komite sekolah. Semenjak diterapkan kebijakan MBS telah dilakukan sosialisasi, pelatihan bahkan peraturan yang bertujuan memantapkan pelaksanaan MBS, yang berarti pentingnya partisipasi masyarakat juga telah sering disuarakan tetapi kegiatan-kegiatan tersebut tidak terlalu berperan dalam meningkatkan peran komite sekolah.

10 Kegiatan pemberdayaan yang mendorong komite sekolah mampu membuat masyarakat berani menggunakan hak berpartisipasi kurang dilakukan. Di dalam kegiatan pemberdayaan komite sekolah selama ini makna partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sekolah lebih besar diartikan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Pemahaman partisipasi sebagai tujuan pembangunan harus lebih ditekankan di kegiatan pemberdayaan komite sekolah di masa datang seperti diungkapkan Karsidi (2005: 228) peranserta masyarakat harus lebih dimaknai sebagai hak daripada sekedar kewajiban. Kontrol rakyat (anggota masyarakat) terhadap isi dan prioritas agenda pengambilan keputusan pembangunan harus dimaknai sebagai hak masyarakat untuk ikut mengontrol agenda dan urutan prioritas pembangunan untuk dirinya atau kelompoknya. Oleh karena itu, tidak akan dapat diterima jika satu golongan mendiktekan keinginan dan kepentingannya dalam isi dan prioritas agenda pengambilan keputusan pembangunan. Dari evaluasi reformasi pendidikan di Afrika Selatan, Joubert dan Van Rooyen (2011: 321) menyatakan reformasi pemerintahan tidak dapat mencapai tranformasi visi pendidikan, karena pendekatan pemerintah yang instrumental dan ide demokratis deliberatif yang tidak realistik tidaklah mencukupi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Berdasarkan keseluruhan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa selama ini komite sekolah tidak menjalankan perannya dalam kontek sebagai wadah partisipasi masyarakat padahal kegiatan pemberdayaan untuk komite sekolah sudah dilakukan. Pentingnya partisipasi masyarakat juga telah menjadi agenda pelatihan untuk kepala sekolah terutama pelatihan yang menyangkut MBS. Peratutan-peraturan yang menyangkut pentingnya partisipasi, tranparansi

11 dan akuntabilitas pelaksanaan pendidikan juga sudah diterbitkan. Jargon mengenai partisipasi, transparansi dan akuntabilitas juga sering disuarakan. Semua itu tidak cukup membuat tingkat partisipasi masyarakat di sekolah menjadi lebih tinggi. Oleh karena itu penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui ragam metode pemberdayaan komite sekolah, sikap kepala sekolah terhadap komite sekolah dan melakukan analisis pengaruhnya terhadap partisipasi masyarakat di sekolah. Tujuan pemberdayaan adalah perubahan perilaku oleh karena itu akan diteliti pengaruh ragam pemberdayaan terhadap persepsi komite sekolah tentang perannya dan kapasitasas organisasi komite sekolah. Dengan mengetahui ragam metode pemberdayaan, sikap kepala sekolah, persepsi komite sekolah tentang peran dan fungsinya dan kapasitas organisasi komite sekolah diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam menyusun ulang kegiatan pemberdayaan komite sekolah. B. Rumusan Masalah Komite sekolah adalah wadah yang ditunjuk oleh peraturan sebagai tempat untuk menyalurkan partisipasi masyarakat di sekolah. Berdasar berbagai hasil penelitian seperti yang disebutkan dalam latar belakang penelitian ini, komite sekolah tidak dapat atau belum menjalankan perannya dengan baik. Hal ini dapat disebabkan oleh sikap kepala sekolah terhadap komite sekolah. Disisi lain kegiatan pemberdayaan komite sekolah juga dilakukan dengan berbagai metode. Apabila telah dilakukan pemberdayaan komite sekolah semestinya terjadi peningkatan persepsi komite sekolah tentang perannya dan terjadi perbaikan kapasitas organisasi. Berdasarkan uraian ini, masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut:

12 1. Bagaimana gambaran umum Komite Sekolah SMP Negeri di Kota Surakarta? 2. Bagaimana ragam kegiatan pemberdayaan komite sekolah yang terdiri dari pendidikan penyadartahuan, pendampingan dan metode pemilihan komite sekolah yang selama ini telah dilaksanakan? 3. Bagaimana sikap kepala sekolah terhadap komite sekolah dalam rangka menjalankan peran komite sekolah? 4. Bagaimana persepsi komite sekolah tentang perannya? 5. Bagaimana kapasitas organisasi komite sekolah? 6. Bagaimana derajat partisipasi masyarakat di sekolah? 7. Bagaimana pengaruh kegiatan pendidikan penyadartahuan, pendampingan, metode pemilihan komite sekolah dan sikap kepala sekolah pada komite sekolah terhadap derajat partisipasi masyarakat di sekolah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui persepsi komite sekolah tentang perannya dan kapasitas organisasi komite sekolah? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas tujuan penelitian ini adalah: 1. Menguraikan gambaran komite sekolah di SMP negeri Kota Surakarta 2. Menguraikan kegiatan pendidikan penyadartahuan, pendampingan dan metode pemilihan komite sekolah dalam rangka pemberdayaan komite sekolah 3. Menguraikan sikap kepala sekolah terhadap komite sekolah 4. Menguraikan persepsi komite sekolah tentang perannya. 5. Menguraikan kapasitas organisasi komite sekolah 6. Menguraikan derajat partisipasi masyarakat di sekolah 7. Menunjukkan hubungan pendidikan penyadartahuan, pendampingan, metode

13 pemilihan komite sekolah dan sikap kepala sekolah pada komite sekolah terhadap derajat partisipasi masyarakat di sekolah baik langsung maupun tidak langsung melalui persepsi komite sekolah tentang perannya dan kapasitas organisasi komite sekolah. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapakan memperkaya literatur tentang perubahan perilaku dalam pembangunan yang berkaitan dengan perilaku partisipasi untuk pengembangan komite sekolah dalam mendukung pemberdayaan masyarakat. 2. Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapakan memberikan manfaat kepada beberapa pihak: a. Kepada pihak-pihak yang melakukan pemberdayaan komite sekolah, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai kerangka pemikiran untuk menyusun program kegiatan pemberdayaan komite sekolah b. Bagi komite sekolah, hasil penelitian ini dapat menjadi kerangka evaluasi diri terkait kondisi umum komite sekolah saat ini, persepsi tentang perannya, kapasitas organisasi dan sikap kepala sekolah c. Bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat menjadi kerangka evaluasi diri terkait sikap terhadap komite sekolah dan persepsinya tentang cara-cara menjalankan partisipasi masyarakat di sekolah.