I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cabai rawit (Capsicum frutescens) merupakan salah satu sayuran penting terutama daerah tropis dan subtropis. Tanaman ini dapat digunakan sebagai bahan bumbu masak (rempah-rempah), bahan makanan, maupun sebagai bahan mentah dalam industri farmasi (Pramarta, 2014). Peran cabai sebagai pelengkap bumbu masakan, tidak dapat dipisahkan dari tradisi dan budaya kehidupan masyarakat Indonesia, walaupun produk ini bukan merupakan kebutuhan pokok. Cabai menduduki posisi penting dalam menu pangan karena setiap hari dikonsumsi oleh hampir seluruh penduduk Indonesia (4kg/kapita/tahun) (Anonim, 2012). Pada tahun 2010, permintaan cabai untuk skala Nasional baik cabai besar dan cabai kecil (rawit) mencapai 1.220.008 ton dengan rata-rata konsum si cabai per kapita mencapai 0,43 kg/kapita/bulan. Angka ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis sayuran lain seperti tomat dan kentang (Rostini, 2011). Meningkatnya permintaan akan produk cabai dan peningkatan luas areal pertanaman, tidak selalu dibarengi dengan peningkatan produksi. Di Indonesia produktivitas cabai pada tahun 2006 hanya mencapai 5 ton/ha (Anonim, 2006), kemudian pada tahun 2008 meningkat menjadi 6,44 ton/ha. Tahun 2009 produktivitas tanaman cabai menurun menjadi 5,89 ton/ha dengan luas panen 233.904 ha dan produksi cabai mencapai 1. 378.727 ton. Produktivitas ini terus menurun menjadi 1
5,6 ton/ha pada tahun 2010 dengan luas panen 237.105 ha dan produksi cabai mencapai 1.328.864 ton/ha (Anonim, 2012). Rendahnya produksi cabai selain disebabkan oleh faktor iklim dan agronomis seperti pemakaian benih berkualitas rendah, penggunaan pupuk secara tidak seimbang, juga karena banyaknya kendala dalam berusaha tani cabai yang dihadapi petani seperti harga pemasaran yang tidak stabil, modal usaha yang cukup besar, serangan hama dan gangguan penyakit (Adiyoga, 1996). Salah satu gangguan utama penyakit pada tanaman cabai adalah penyakit yang disebabkan oleh virus. Infeksi virus dapat menyebabkan rendahnya kualitas dan kuantitas cabai. Virus merupakan patogen yang banyak menginfeksi cabai dan sangat merugikan. Para ahli melaporkan sedikitnya ada 35 macam virus yang dapat menginfeksi berbagai varietas cabai (Green et al., 2001). Penyakit daun keriting kuning yang disebabkan oleh Begomovirus, merupakan salah satu dari dua jenis penyakit virus utama yang menginfeksi tanaman cabai yang menyebabkan penurunan produksi cabai di Indonesia. Penyakit daun keriting kuning di Indonesia pada tanaman cabai pertama kali dilaporkan di daerah Jawa Barat tahun 1999 oleh Hidayat et al., (2006). Sulandari et al., (2006) melaporkan kejadian penyakit pada pertanaman cabai oleh Begomovirus berlangsung sejak awal tahun 2000 menyebabkan kehilangan hasil yang tinggi di beberapa daerah di D. I. Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Kehilangan hasil pada cabai besar saat itu mencapai 100% dan pada cabai rawit 50-70%. Tercatat sejak tahun 2000, penyakit yang disebabkan oleh Begomovirus ini telah mencapai status epidemik pada seluruh pertanaman cabai di Pulau Jawa. Pada tahun 2004 luas serangan 2
Begomovirus mencapai 984,6 ha dengan total kerugian mencapai Rp. 7. 031.000. 000 (Gunaeni et al., 2008). Pada tahun 2010 infeksi penyakit keriting kuning cabai dilaporkan terjadi di daerah Sumatera Barat dengan inten sitas penyakit berkisar antara 60-80,83% (Trisno et al., 2010). Pada tahun 2006, gejala mirip penyakit daun keriting kuning ditemukan di beberapa areal pertanaman cabai di Pulau Lombok. Kondisi ini menggambarkan bahwa penyakit daun keriting kuning cabai sangat berpotensi untuk menjadi penyakit penting karena tingkat kejadian penyakit dan sebaran areal serangannya semakin meluas serta sangat dimungkinkan terdapatnya berbagai strain dari berbagai lokasi. Hal ini patut mendapat perhatian mengingat sampai tahun 2015, penelitian secara molekuler penyakit daun keriting kuning ini dilaporkan hanya ada di pertanaman cabai di D.I.Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Nangro Aceh Darussalam, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Gorontalo, Maluku, Bali dan Papua Barat. Melihat penyebaran penyakit kuning keriting yang semakin meluas, maka penelitian secara molekuler perlu dilakukan guna mendapatkan data akurat mengenai penyakit daun keriting kuning yang menginfeksi tanaman cabai di Pulau Lombok apakah disebabkan juga oleh Begomovirus atau patogen virus lainnya,. Identifikasi secara cepat dan tepat terhadap suatu gejala akibat infeksi penyakit di lapangan sangat penting dilakukan sebelum suatu tindakan pencegahan dan pengendalian agar dapat membantu menyelamatkan suatu areal dari infeksi patogen melalui deteksi dini secara molekuler (Hidayat et al., 1999; Hartono, 2004; Sulandari, 2006). Deteksi Begomovirus selama ini umumnya dilakukan dengan metode 3
konvensional, yaitu melihat gejala khas penyakit daun keriting kun ing, namun cara ini belum dapat memastikan apakah gejala tersebut disebabkan oleh Begomovirus atau virus yang lainnya. Deteksi Begomovirus dengan metode konvensional seringkali tidak mungkin dilakukan karena tidak semua Begomovirus dapat ditularkan secara mekanis dengan cairan perasan tanaman terinfeksi (Aidawati, 2006). Epidemi penyakit yang disebabkan oleh Begomovirus semakin lama semakin meluas dan berpotensi menghambat produksi tanaman cabai, maka perlu adanya prosedur untuk mendeteksi Begomovirus secara cepat, tepat dan akurat diantaranya dengan Polymerase chain reaction (PCR). Beberapa metode deteksi Begomovirus yang telah dikembangkan antara lain: teknik PCR, RFLP, uji serologi dengan metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) dan teknik hibridisasi DNA yang menggunakan pelacak DNA (DNA probe). Teknik PCR merupakan metode yang umum digunakan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi virus. Deteksi virus secara PCR akan memberikan hasil yang akurat, cepat dan sangat peka. Teknik PCR hanya memerlukan jumlah sampel yang sangat sedikit dan sampel dapat berupa bahan segar, sudah dikeringkan atau beku (Sulandari, 2004; Aidawati et al., 2005; Yuwono, 2006). Amplifikasi Begomovirus, umumnya menggunakan primer universal yaitu Krusty&Homer dengan ukuran fragmen DNA berkisar 580 bp, PAL1v 1978 dan PAR1c 715 dengan ukuran fragmen DNA sebesar 1,6 kb (Ningrum, 2008, Sulandari, 2004; Sudiono, 2001; Rojas et al., 1993), dapat juga digunakan primer spesifik PYLCV, AV1 yang akan mengamplifikasi daerah penyandi gen protein selubung (coat protein) dengan ukuran fragmen 780 bp-840 bp (Santoso, 4
2008) atau dengan primer spesifik Gemini full BamH1 foward dan reserve untuk deteksi DNA-A dan DNA-B Begomovirus dengan ukuran fragmen sebesar 2,7 kb (Wilisiani, 2013). Metode deteksi dengan teknik RFLP-PCR, dengan prinsip dasar PCR dan enzim restriksi, selain mampu mendeteksi keberadaan Begomovirus juga mampu menunjukkan perbedaan strain antar virus sehingga dapat digunakan untuk menelusuri hubungan genetik dan keragaman virus (Sudiono et al., 2004; Hidayat, 2006;) yang menemukan adanya 2 strain Begomovirus yang berbeda yang menginfeksi cabai di Jawa Barat. Santoso (2008) melaporkan adanya keragaman genetik diantara isolat-isolat Begomovirus yang berasal dari daerah-daerah di Jawa dan Sumatera melalui analisis teknik PCR-RFLP. Trisno (2010) juga melaporkan mengenai keragaman genetik 11 isolat Begomovirus pada tanaman cabai di Sumatera Barat yang terbagi menjadi tiga kelompok. Teknik deteksi Begomovirus berbasis asam nukleat menggunakan pelacak DNA telah banyak digunakan. Spesifisitas pelacak DNA memegang peranan sangat penting dalam pengembangannya sebagai alat deteksi yang efektif dan efisien. Semakin spesifik pelacak DNA yang digunakan akan menambah keakuratan hasil deteksi (Keller & Manak 1992). Analisis keragaman genetik Begomovirus berdasarkan gen penyandi protein capsid telah dilakukan antara lain oleh Devi (2010), Sulandari et al., (2010), Santoso (2008) dengan memanfaatkan gen protein selubung Begomovirus melalui proses kloning. Gen protein selubung Begomovirus yang disandikan oleh ORF AV1 pada DNA A Begomovirus merupakan daerah genom yang berfungsi sebagai 5
pembentuk selubung protein, penularan dengan vektor serta untuk pergerakan virus, selain itu gen protein selubung memiliki daerah genom yang mempunyai runutan susunan DNA dengan derajat kesamaan yang tinggi (conserved) antar anggota Begomovirus, sehingga daerah genom tersebut banyak digunakan sebagai dasar pemilihan primer untuk mengamplifikasi DNA Begomovirus dalam pengembangan teknik deteksi dan identifikasi Begomovirus (Santoso, 2008). Pengambilan isolat cabai rawit dari Pulau Lombok dilakukan karena Provinsi NTB termasuk salah satu daerah sentra penghasil cabai rawit di Indonesia dan latar belakang budaya kuliner masyarakat di Pulau Lombok yang selalu menggunakan cabai dalam pengolahan masakan sehari hari. Berdasarkan data dari Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian Tahun 2014, Nusa Tenggara Barat (NTB) berada pada peringkat ke enam (6) kontribusi Provinsi terhadap produksi cabai rawit Nasional setelah Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara dan Nangro Aceh Darussalam. Teknik PCR akhir-akhir ini banyak digunakan untuk mendeteksi Begomovirus secara tepat dan akurat dari berbagai sampel tanaman sakit dan se rangga vektor di berbagai negara (Rojas et al., 1993; Wyatt& Brown, 1996; Martinez et al., 2013). Metode PCR juga telah berhasil digunakan untuk mendeteksi Begomovirus asal cabai yang dikumpulkan dari berbagai daerah di Indonesia terutama Jawa (Hidayat et al., 1999; Sulandari, 2004), Sumatera Barat (Trisno, 2010) dan tomat (Aidawati, 2005; Hartono, 2008; Santoso, 2013) serta pada tanaman melon (Julijantono, 20 12; Wilisiani, 2013). Informasi mengenai deteksi secara molekuler Begomovirus pada cabai di NTB dan informasi data sekuennya belum pernah dilaporkan. 6
Identifikasi secara cepat dan tepat terhadap suatu gejala akibat infeksi penyakit di lapangan sangat penting dilakukan sebelum suatu tindakan pencegahan dan pengendalian diterapkan agar dapat membantu menyelamatkan suatu areal dari serangan patogen melalui identifikasi molekuler. Mengingat begitu cepatnya perkembangan penyakit daun keriting kuning oleh Begomovirus di lapangan dan belum pernah ada penelitian secara molekuler tentang keberadaan Begomovirus di wilayah Pulau Lom bok Provinsi NTB, maka penelitian ini akan memberikan informasi ilmiah mengenai karakter molekuler Begomovirus yang menginfeksi cabai di Pulau Lombok, selain itu diperolehnya gen penyandi protein capsid Begomovirus asal Pulau Lombok melalui prosedur kloning gen, diharapkan kelak bermanfaat sebagai pelacak DNA pada pengembangan sistem deteksi penyakit yang disebabkan oleh Begomovirus. B. Rumusan Masalah 1. Apakah virus penyebab daun keriting kuning pada tanaman cabai asal Pulau Lombok Begomovirus? 2. Analisis apakah yang digunakan untuk mengetahui keragaman antar isolat Begomovirus yang tanaman cabai? 3. Apakah gen penyandi coat protein Begomovirus cabai rawit asal Pulau Lombok dapat dikloning pada plasm id pgem T Easy? 4. Apakah isolat Begomovirus pada tanaman cabai rawit asal Pulau Lombok memiliki hubungan kekerabatan dengan isolat Begomovirus asal Jawa 7
Tengah dan DIY serta isolat Begomovirus lainnya berdasarkan database GenBank? C. Tujuan Penelitian Kegiatan penelitian ini bertujuan : 1. Mengidentifikasi dan mengkarakterisasi virus penyebab daun keriting kuning pada tanaman cabai rawit di Pulau Lombok dengan teknik PCR. 2. Mengetahui keragaman molekuler isolat Begomovirus asal Pulau Lom bok, Jawa Tengah dan D.I.Yogyakarta melalui pola sidik jari DNA berdasarkan PCR dan RFLP. 3. Memperoleh klon rekombinan pembawa gen protein selubung (coat protein) Begomovirus pada tanaman cabai rawit asal Pulau Lombok. 4. Mengetahui hubungan kekerabatan isolat Begomovirus pada tanaman cabai rawit asal Pulau Lombok dengan Begomovirus Jawa Tengah dan D. I.Yogyakarta serta Begomovirus lain berdasarkan data di database GenBank. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian yang diperoleh, diharapkan dapat berguna sebagai bahan informasi mengenai jenis dan karakter molekuler Begomovirus penyebab penyakit daun keriting kuning pada tanaman cabai di Indonesia dan menjadi informasi yang dapat dimanfaatkan sebagai dasar pengelolaan penyakit. 8
E. Kebaruan Penelitian Kemajuan di bidang biologi molekuler telah menghadirkan beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mendeteksi, mengidentifikasi dan mengkarakterisasi virus, salah satunya adalah Polymerase Chain Reaction (PCR). Dewasa ini, untuk karakterisasi maupun deteksi virus tumbuhan banyak dikembangkan te knik molekuler. Deteksi virus secara PCR akan memberikan hasil yang akurat, cepat dan sangat peka. Metode deteksi dengan PCR mempunyai keuntungan antara lain hanya membutuhkan sampel DNA dalam jumlah sedikit dari jaringan tanaman segar, atau dari sampel tanaman yang telah kering atau dari jaringan tanaman yang disimpan dalam lemari es (dalam kondisi beku), selain itu deteksinya tidak dipengaruhi oleh tahapan perkembangan tanaman dan lingkungan. Deteksi Begomovirus selama ini umumnya dilakukan dengan metode konvensional dengan melihat gejala khasnya pada helai daun berupa vein clearing yang kemudian berkembang menjadi warna kuning cerah, tulang daun menebal dan helai daun menggulung ke atas (cupping). Pada gejala lanjut, daun- daun m uda menjadi kecilkecil, helai daun berwarna kuning cerah dan tanaman menjadi kerdil. Cara deteksi yang hanya mengandalkan penglihatan seperti ini, belum dapat memastikan gejala tersebut apakah disebabkan oleh Begomovirus atau virus lainnya. Deteksi Begomovirus dengan metode konvensional seringkali tidak mungkin dilakukan karena tidak semua Begomovirus dapat ditularkan secara mekanis dengan cairan perasan tanaman terinfeksi. 9
Kebaruan dari penelitian ini adalah dilakukannya identifikasi dan karakterisasi secara molekuler virus penyebab penyakit daun keriting kuning pada tanaman c abai rawit di sentra pertanaman cabai di Pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang sebelumnya belum pernah dilakukan. Selama ini informasi penyakit-penyakit yang menginfeksi cabai rawit di Pulau Lombok hanya terbatas pada penyakit akibat infeksi jamur dan bakteri dengan metode identifikasi secara konvensional. Keterbatasan pemahaman dan sarana untuk mendeteksi gejala penyakit yang disebabkan oleh virus menjadi salah satu penyebab tidak adanya laporan tentang penyakit ini. Kebaruan dari penelitian ini juga berdasarkan data-data molekuler virus penyebab penyakit daun keriting kuning yang menginfeksi cabai rawit di Pulau Lombok yang sangat akurat sebagai data baru yang belum pernah ada. Di Indonesia, deteksi Begomovirus penyebab penyakit daun keriting kuning secara molekuler yang telah dilaporkan dan di publikasi, yaitu dari daerah Jawa Barat (Hidayat et al., 1999; Agustina, 2010; Santoso, 2013), Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta (Sulandari, 2004; Hartono, 2004; Anita, 2007; Ningrum, 2008, Kusumaningrum, 2009; Julijantono, 2012; dan Wilisiani, 2013), Sumatera Barat (Trisno et al., 2010) dan Bali (Pramarta, 2014). 10