BAB I PENDAHULUAN. perkembangan tersebut. Perkembangan tersebut juga merambah ke segala aspek

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HIV/AIDS. Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

BAB 1 PENDAHULUAN. merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya

BAB I PENDAHULUAN. Krisis multidimensional dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya yang

I. Identitas Informan No. Responden : Umur : tahun

BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bahkan negara lain. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari masalah

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiensy Vyrus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem

BAB I PENDAHULUAN. narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan

BAB I PENDAHULUAN. Obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang

2016 GAMBARAN MOTIVASI HIDUP PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS DI RUMAH CEMARA GEGER KALONG BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. masalah HIV/AIDS. HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang

W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. (2) Meskipun ilmu. namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut (Nugroho. T, 2010: 94) Aquired Immune Deficiency Syndrome

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) berarti kumpulan gejala dan

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan berbagai masalah di masyarakat. Angka kematian HIV/AIDS di

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Orang dengan HIV membutuhkan pengobatan dengan Antiretroviral atau

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. hangat dibahas dalam masa sekarang ini adalah penyakit HIV/AIDS (Human

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

BAB I PENDAHULUAN. Sebaliknya dengan yang negatif remaja dengan mudah terbawa ke hal yang

PERATURAN BUPATI BATANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang secara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi prioritas dan menjadi isu global yaitu Infeksi HIV/AIDS.

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human. Immunodeficiency Virus) (WHO, 2007) yang ditemukan dalam

INFORMASI TENTANG HIV/ AIDS. Divisi Tropik Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU

57 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Timbulnya suatu penyakit dalam masyarakat bukan karena penyakit

WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. barang ataupun jasa, diperlukan adanya kegiatan yang memerlukan sumber daya,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. membuat hal tersebut menjadi semakin bertambah buruk.

BAB I PENDAHULUAN. menginfeksi sel-sel sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak

BAB I PENDAHULUAN. disediakan oleh pemerintah untuk menampung orang-orang yang melanggar

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman mendorong terjadinya perubahan di berbagai

HIV AIDS, Penyakit yang Belum Teratasi Namun Bisa Dicegah

BAB I PENDAHULUAN. (AIDS) pada tahun 1981 telah berkembang menjadi masalah kesehatan. (UNAIDS) dalam laporannya pada hari AIDS sedunia tahun 2014,

BAB I PENDAHULUAN. gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HIV ( Human Immunodeficiency

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan lebih lanjut ke perguruan tinggi ( Perguruan tinggi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang, baik di bidang ekonomi, politik, hukum dan tata kehidupan dalam

BUPATI PROBOLINGGO PERATURAN BUPATI PROBOLINGGO NOMOR : 25 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KABUPATEN PROBOLINGGO

H.I.V DAN KANKER; PSIKOLOGI SEPANJANG PERJALANAN PENYAKIT. Oleh: dr. Moh. Danurwendo Sudomo, Sp.Ok

Berusaha Tenang Mampu mengendalikan emosi, jangan memojokan si-anak atau merasa tak berguna.

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life). Bila hal itu berhasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

2015 INTERAKSI SOSIAL ORANG D ENGAN HIV/AID S (OD HA) D ALAM PEMUD ARAN STIGMA

BAB I PENDAHULUAN. tuntutan dalam pekerjaan. Perubahan gaya hidup tersebut diantaranya adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan pembangunan milenium atau sering disebut dengan millennium development goals (MDGs) adalah

Virus tersebut bernama HIV (Human Immunodeficiency Virus).

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune. rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV 1.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Acquired Immunice Deficiency Syndrome atau AIDS merupakan penyakit

Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), yaitu sekumpulan gejala. oleh adanya infeksi oleh virus yang disebut Human Immuno-deficiency Virus

BAB I PENDAHULUAN. AIDS (Aquired Immuno Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired UKDW

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan menurunnya kekebalan tubuh manusia. 1 HIV yang tidak. terkendali akan menyebabkan AIDS atau Acquired Immune Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tahun 2013 menjelaskan. HIV atau Human Immunodefisiensi Virus merupakan virus

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, sehingga terus berusaha untuk memajukan kualitas pendidikan yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. penyakit, diantaranya Acquired Immuno Defeciency Syndrome. (AIDS) adalah kumpulan penyakit yang disebabkan oleh Virus

KULONPROGO BANGKIT TANGGULANGI AIDS

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh :

BAB I PENDAHULUAN orang orang orang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2008

LEMBAR PERSETUJUAN PENGISIAN KUESIONER. kesukarelaan dan bersedia mengisi kuesioner ini dengan sebaik-baiknya.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional tentunya memerlukan pendidikan sebaik dan setinggi

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kekebalan tubuh yang terjadi karena seseorang terinfeksi

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) didefinisikan sebagai

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN UKDW. tubuh manusia dan akan menyerang sel-sel yang bekerja sebagai sistem kekebalan

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah perempuan yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dari tahun

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2015 NOMOR 6

Oleh: Logan Cochrane

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah

2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);

BAB I PENDAHULUAN. diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan

KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI BALI Jl. Melati No. 21 Denpasar Telpon/Fax:

BAB I. PENDAHULUAN. infeksi Human Immunodificiency Virus (HIV). HIV adalah suatu retrovirus yang

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di tengah perkembangan jaman yang semakin maju dan sarat perubahan di segala bidang, menuntut manusia untuk berpikir dan berperilaku selaras dengan perkembangan tersebut. Perkembangan tersebut juga merambah ke segala aspek kehidupan. Salah satu aspek kehidupan yang terpengaruhi adalah gaya hidup. Gaya hidup modern adalah kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat yang mengikuti perkembangan jaman yang mana masyarakat itu sendiri secara tidak disadari mengikuti secara rutin perkembangan yang terjadi saat ini. Aspek-aspek dalam gaya hidup modern saat ini, seperti kesehatan, keluarga, seksualitas dan sosialisasi (www.okezone.com) HIV (human immunodeficiency virus) merupakan retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama CD4 positive T-sel dan macrophages komponen-komponen utama sistem kekebalan sel tubuh lainnya). Selain itu virus ini juga menghancurkan atau mengganggu fungsi dari sel kekebalan tubuh tersebut. Infeksi virus ini mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang terus-menerus, yang akan mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh. Meskipun infeksi HIV tidak disertai gejala awal, seseorang yang terinfeksi HIV sangat mudah menularkan virus tersebut kepada orang lain. Satu- 1

2 satunya cara untuk menentukan apakah HIV ada di dalam tubuh seseorang adalah melalui tes HIV. Infeksi HIV menyebabkan penurunan dan melemahnya sistem kekebalan tubuh. Hal ini menyebabkan tubuh rentan terhadap infeksi penyakit dan dapat menyebabkan berkembangnya AIDS. (www.aidsindonesia.co.id diakses tanggal 12 oktober 2011). Di kota-kota besar bahkan sampai di kota Cirebon terdapat banyak kasus HIV/AIDS. Data yang diperoleh di kota Cirebon pada akhir tahun 2006 Tercatat 32 kasus yang terdeteksi dan keseluruhan merupakan penasun (pengguna narkotika suntik). Pada tahun 2007 terdapat penemuan kasus baru sebanyak 80 kasus sehingga total kasus mencapai 112 orang (105 laki-laki,7 perempuan). Pada tahun 2008 kasus bertambah 9 orang, pada tahun 2009 terdapat 12 kasus baru dan sampai dengan September 2010 terdapat 8 kasus baru. Jumlah kasus baru sejak 2008 adalah 29 orang (21 perempuan,8 laki-laki). Keseluruhan kasus sampai dengan saat ini telah tercatat 141 yang terdiri dari laki-laki 113 (80,2%) kasus, perempuan 28 (19,8%) kasus. Dari 141 kasus tersebut terdapat kasus HIV anak sebanyak 8 kasus (5,7 %). Faktor risiko terbesar kasus pada laki-laki adalah penasun 110 orang (97%), sisanya adalah perilaku heterosex dan homosex. Sedangkan pada perempuan, 19 orang (67,9%) merupakan Ibu Rumah Tangga yang tertular dari suami, 6 orang (21,5%) merupakan Wanita Pekerja Sosial, dan 3 orang (10,8%) merupakan penasun. Jumlah pasien yang meninggal telah mencapai 32 orang (22,7%) dari keseluruhan kasus yang pernah ditangani, 5 orang diantaranya adalah kasus anak.

3 Layanan kesehatan yang memberikan pelayanan terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di kota Cirebon adalah puskesmas X. Berdasarkan hasil wawancara kepada kepala puskesmas X kota Cirebon mengenai gambaran dari puskesmas ini. Awal mula berdirinya Puskesmas X mulai menangani kasus HIV-AIDS sejak pertengahan tahun 2006. Diawali oleh adanya program Harm Reduction (HR) yang telah berakhir pada bulan April 2009 sampai dengan saat ini layanan yang tersedia meliputi VCT (Volunteer Councelling and Testing ),CST (Care, Support and Treatment), PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission), pemberian ART (Anti Retroviral Terapi), pemeriksaan penunjang laboratorium, Konseling keluarga dan pembentukan Kelompok Usaha orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Metode pendekatan yang dilakukan oleh Puskesmas ini adalah melalui penjangkauan untuk mendapatkan pasien maupun pasien yang datang langsung ke Puskesmas secara sukarela untuk mendapatkan pelayanan. Pasien berasal dari dalam wilayah kerja Puskesmas maupun dari luar wilayah kerja dan dari Luar Kota Cirebon. Puskesmas ini satu-satunya yang menangani HIV/AIDS di Cirebon. Seberapa cepat HIV bisa berkembang menjadi AIDS, lamanya dapat bervariasi dari satu individu dan individu yang lain. Dengan gaya hidup sehat, jarak waktu antara infeksi HIV dan menjadi sakit karena AIDS dapat berkisar antara 10-15 tahun, kadang-kadang bahkan lebih lama. Terapi antiretroviral (ARV) dapat memperlambat perkembangan AIDS dengan menurunkan jumlah virus (viral load) dalam tubuh yang terinfeksi. Terapi ARV bertujuan untuk menghambat perjalanan penyakit HIV, hingga dapat memperpanjang usia dan

4 memperbaiki kualitas hidup. Virus HIV menyerang sel CD4 dalam sistem kekebalan tubuh serta menggunakan sel ini untuk bereplikasi. Akibatnya, jumlah sel ini dalam tubuh pun semakin menurun. Obat ini bekerja dengan cara menghambat proses pembuatan virus dalam sel CD4, hingga jumlah CD4 pun dapat ditingkatkan (www.aidsindonesia.or.id diakses tanggal 12 oktober 2011). Usaha yang dapat mereka lakukan agar keadaan nya tidak semakin memburuk adalah dengan mengikuti terapi dan meminum ARV setiap hari, agar lebih bersemangat dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari dan tidak terus menerus terpuruk dengan keadaan yang justru akan semakin membuat keadaannya semakin memburuk. Hal yang dapat ODHA lakukan untuk menghambat berkembangnya virus HIV salah satunya dengan terapi meminum ARV secara rutin yang harus dilakukan setiap hari agar CD4 tetap 0 dan menjaga pola hidup agar tetap sehat dan tidak mudah terjangkit penyakit. Efek yang ODHA rasakan saat meminum ARV pada awalnya adalah rasa mual. Tetapi ODHA harus tetap rutin meminum ARV sehari 2 kali pada jam yang telah ditentukan. Karena jika ODHA tidak patuh dalam mengikuti terapi ART ini adalah perubahan kondisi fisik yang lebih parah karena CD4 turun dan harus meminum ARV dengan dosis yang dinaikan menjadi LINI II. Oleh karena itu dibutuhkan ketekunan ODHA dalam mengikuti terapi ART tersebut. Setelah ODHA mengetahui mereka positif HIV/AIDS tekanan yang harus mereka terima pun semakin bertambah lagi dengan adanya diskriminasi serta stigma negatif yang diberikan masyarakat. Hal ini dapat menimbulkan dampak psikologis yang berat bagi ODHA mengenai bagaimana mereka melihat diri

5 mereka sendiri. Hal ini dapat mendorong terjadinya depresi, kurangnya penghargaan diri, dan keputusasaan. Bahkan menghambat mereka dari upaya pencegahan terhadap penyebaran virus tersebut dan menyebabkan mereka terus menerus melakukan perilaku yang menyimpang. Dari hasil wawancara terhadap 5 ODHA yang mengikuti terapi di Puskesmas X Kota Cirebon, sangat banyak kasus, setelah diketahui HIV positif tidak sedikit diantara ODHA ini yang dikucilkan oleh teman-temannya, orang orang di sekitarnya, bahkan ditolak oleh keluarganya sendiri ketika mereka memberitahu statusnya sebagai seseorang yang terinfeksi HIV/AIDS. Mereka pun diberhentikan dari pekerjaanya, tidak diterima di tempat-tempat publik seperti rumah Sakit, ditangkap seperti narapidana untuk diamankan, bahkan dibunuh sebab dianggap sebagai pencemar masyarakat. Menurut Psikolog Sarlito Wirawan ada beberapa hal yang menyebabkan ODHA dikucilkan dan disingkirkan dari lingkungan sekitarnya. Pertama, karena penyakit HIV/AIDS masih dianggap sebagai penyakit yang kotor. Bahwa HIV/AIDS ini sering distigmakan sebagai penyakit kalangan pengguna narkoba, pekerja seks komersial, bahkan penyakit orang asing. Orang yang mengidapnya pun akan dianggap sebagai seseorang yang berperilaku menyimpang dan melanggar norma baik norma hukum, agama maupun etika di masyarakat. Kedua, adalah ketidaktahuan masyarakat mengenai cara penularan virus tersebut. Jangankan untuk bergaul dengan mereka, untuk berjabat tangan pun tidak sedikit masyarakat yang enggan melakukannya. Padahal virus HIV/AIDS ini hanya akan menular melalui cairan darah, cairan sperma, cairan vagina, maupun dari air susu ibu. Saya rasa pengetahuan masyarakat terhadap penularan HIV/AIDS memang

6 masih rendah, kata Sarlito, yang juga penggiat di Yayasan AIDS Indonesia. (http://rusdimathari.wordpress.com diunduh tanggal 12 oktober 2011) Hal-hal tersebut diatas menjadi perhatian peneliti untuk mengetahui bagaimana keyakinan ODHA akan kemampuan dalam menjalani dan menghadapi keadaan tersebut yang disebut sebagai self efficacy. Karena ODHA harus tekun dalam mengikuti terapi untuk menjaga kondisi tubuhnya agar tidak semakin menurun dan dapat meningkatkan kualitas hidupnya seperti layaknya orang-orang pada umumnya. Seperti tetap dapat menjalankan aktifitas seperti biasa, bersosialisasi dengan lingkungan sekitar dan dapat melewati rintangan-rintangan yang ada dengan baik dibutuhkan self efficacy pada diri ODHA. Hal ini didukung oleh Pajares (2002). Dalam penjelasannya bahwa, Self-efficacy also help to determine how much effort people will expend on an activity, how long they will preserve when confronting obstacles, and how resilient they will be in the face of adversive situations. Self efficacy berhubungan dengan keyakinan seseorang bahwa dia dapat mengatasi masalahnya. Dalam melakukan pengaturan dirinya terkait dengan keyakinan tersebut di dalam perilaku efektif dituntut suatu ketrampilan tertentu seperti memotivasi atau membimbing diri. Sedangkan Bandura dalam teorinya mendefinisikan self efficacy sebagai keyakinan orang tentang kemampuan mereka untuk melakukan kontrol terhadap peristiwa yang mempengaruhi kehidupan mereka (Feist dan J. Feist, 1998 : 308). Selain itu Bandura juga menjelaskan tentang harapan hasil dari Self efficacy (outcome expectations), yaitu perkiraan atau estimasi diri bahwa tingkah laku yang dilakukan diri itu akan mencapai hasil

7 tertentu (Alwisol, 2004 : 360). Individu dengan Self efficacy yang tinggi percaya bahwa mereka dapat melakukan sesuatu untuk mengubah peristiwa lingkungannya, sedangkan individu dengan self efficacy yang rendah menganggap dirinya pada dasarnya memiliki ketidakmampuan dalam membuat tingkah laku yang dapat dipertanggungjawabkan. Self efficacy tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan berdasarkan pemaknaan dan penghayatan ODHA akan sumber-sumber informasi pembentuk self-efficacy. Self efficacy adalah penilaian diri seseorang akan kemampuan dirinya untuk memulai dan dengan sukses melakukan tugas spesifik pada level tertentu, mengerahkan usaha yang lebih kuat, dan bertahan dalam menghadapi kesulitan, memiliki rasa bahwa individu mampu untuk mengendalikan lingkungan sosialnya (Bandura, 1897, 1986). Secara lebih ringkas, self-efficacy adalah keyakinan akan kemampuan diri dalam melakukan suatu tugas tertentu. Berdasarkan hasil survey awal kepada 5 ODHA di Puskesmas X Kota Cirebon, didapatkan hasil sebagai berikut: Dari 5 ODHA yang diwawancarai mengenai aspek self-efficacy didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa ODHA yang diwawancarai mengenai aspek self-efficacy yang pertama, yaitu pilihan yang dibuat sebanyak 4 orang (80%) mengatakan mereka yakin dalam mengikuti terapi dan meminum ARV, 1 orang (20%) mengatakan cukup yakin dapat mengikuti terapi dan meminum ARV. Pada aspek self-efficacy yang kedua yaitu usaha yang dikeluarkan, sebanyak 4 orang (80%) mengatakan mereka tetap berusaha mengikuti terapi dan meminum ARV walaupun membutuhkan biaya lebih jika harus melakukan

8 terapi/mengambil obat diluar kota, 1 orang (20%) mengatakan cukup yakin dapat mengikuti terapi dan meminum ARV. Pada aspek self-efficacy yang ketiga yaitu berapa lama ODHA bertahan saat dihadapkan pada rintangan, kontribusi umpan balik positif, meningkatkan keyakinan diri dari 3 orang (60%), dan menurunkan keyakinan dari 2 orang (40%) karena sikap orang tua yang masih kurang bisa menerima anaknya yang positif HIV/AIDS. Pada aspek self-efficacy yang keempat yaitu bagaimana penghayatan perasaan ODHA 5 orang (100%) merasa yakin akan mampu melewati kehidupan selanjutnya dengan lebih baik setelah mengikuti terapi dan meminum obat. Dukungan dari orang-orang terdekat yang selalu mengingatkan untuk menjaga pola hidup yang sehat dan selalu mengingatkan Jadwal untuk meminum obat juga sangat mempengaruhi keadaan perasaan ODHA. Berdasarkan hasil survey terhadap aspek-aspek self-efficacy diatas dapat terlihat bahwa setiap penderita memiliki penghayatan yang berbeda-beda mengenai aspek-aspek self efficacy terhadap diri mereka. Keempat aspek selfefficacy ini tentu saja menjadi faktor penting yang sangat mempengaruhi bagaimana para ODHA di Puskesmas X ini dapat mengembangkan self-efficacy yang ada pada diri mereka masing-masing dan bagaimana pada akhirnya ODHA di Puskesmas X dapat melewati tuntutan dan hambatan dalam kehidupan seharihari dengan baik. Kesulitan yang tinggi dan tekanan yang besar membuat seorang ODHA harus memiliki beberapa aspek self-efficacy yang kuat di dalam dirinya. Hal ini membuat self-efficacy menjadi penting untuk dimiliki ODHA agar dapat bertahan hingga dapat melewati seluruh kegiatan sehari-hari dengan baik.

9 Berdasarkan gejala dan fakta di atas yang didapatkan dari survey awal, maka peneliti ingin melakukan penelitian untuk melihat self-efficacy pada ODHA pada puskesmas X Kota Cirebon dalam upaya mereka melewati tuntutan dan hambatan yang dirasakan.

10 1.2 Identifikasi Masalah Cirebon. Bagaimana derajat self-efficacy pada ODHA di puskesmas X Kota 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran self-efficacy pada ODHA di puskesmas X Kota Cirebon. 1.3.2 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran self-efficacy pada ODHA di puskesmas X Kota Cirebon serta sumber-sumber yang mempengaruhinya. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis 1. Sebagai masukan bagi ilmu Psikologi, khususnya Psikologi klinis mengenai self-efficacy. 2. Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai self-efficacy.

11 1.4.2 Kegunaan Praktis 1. Sebagai masukan bagi terapis dan konselor di puskesmas X Kota Cirebon untuk lebih dapat mengetahui bagaimana self-efficacy pada diri ODHA dan dapat meningkatkan self-efficacy melalui konseling. 2. Sebagai masukan bagi puskesmas X Kota Cirebon untuk memperbaiki fasilitas-fasilitas yang diberikan agar lebih bermanfaat bagi ODHA. 3. Sebagai masukan bagi keluarga ODHA agar dapat memberikan dukungan yang dapat meningkatkan self-efficacy ODHA. 1.5 Kerangka Pemikiran Human Immunodificiency Virus (HIV) adalah virus penyebab penyakit AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome). Virus ini menyerang sistem kekebalan tubuh dengan merusak sel-sel darah putih (sel T) sebagai penangkal infeksi sehingga lama kelamaan kekebalan dan daya tahan tubuh berkurang serta mudah terkena penyakit. Virus HIV terdapat di cairan tubuh dan yang terbukti menularkan adalah darah, sperma/air mani, cairan vagina dan ASI. Sementara air mata, air ludah, air kencing dan keringat belum ada laporan menularkan penyakit ini. Bila seseorang dalam darahnya terdapat virus HIV maka orang tersebut dikatakan positif HIV. Kerusakan sistem kekebalan tubuh menyebabkan seseorang rentan dan mudah terjangkit bermacam-macam penyakit. Serangan penyakit yang biasanya tidak berbahaya pun lama kelamaan dapat menyebabkan sakit parah bahkan kematian. Sehingga AIDS disebut sebagai Syndrome atau kumpulan dari berbagai gejala penyakit.

12 Dari hasil wawancara pada 5 ODHA di Puskesmas X, seorang penderita yang dinyatakan positif HIV/AIDS itu ada yang merasa putus asa dan ada juga yang menanamkan semangat yang besar bahwa ia mampu menjalani kehidupannya layaknya orang yang sehat pada umumnya. ODHA memerlukan suatu keyakinan akan kemampuan diri dalam mengatur dan melaksanakan sumber-sumber dari tindakan yang dibutuhkan untuk mengatur situasi-situasi yang prospektif yang disebut sebagai Self Efficacy (Bandura, 1986). Dalam self-efficacy terdapat 4 sumber yang mempengaruhi self-efficacy. Sumber-sumber self efficacy tersebut adalah mastery experience, vicarious experience, social-verbal persuasion, psychological and affective states. (Bandura, 2002). Setelah tersedia sumber-sumber pembentuk self efficacy, kemudian self efficacy tersebut akan diproses dalam diri ODHA. Proses tersebut terjadi melalui tiga proses, yaitu proses kognitif, proses motivasional, dan proses afektif (Bandura, 2002). Keyakinan pada diri ODHA pada dasarnya dipengaruhi oleh empat sumber yaitu sumber yang pertama adalah Mastery Experience, merupakan hasil dari pengalaman pribadi individu dalam menghadapi suatu hal, baik yang merupakan keberhasilan ataupun yang merupakan kegagalan yang dialaminya. Hasil yang pernah dicapai atau dilalui oleh individu dalam hal ini ODHA akan mempengaruhi keyakinannya dalam menghadapi suatu rintangan. Melalui hal ini, penghayatan yang kuat terhadap Self efficacy dapat terbentuk dengan efektif. Pengaslaman keberhasilan yang pernah dicapai sebelumnya dapat membuat ODHA semakin memperkuat penghayatan terhadap self efficacy yang mereka

13 miliki. Bagaimana keyakinan diri ODHA dalam membuat pilihan dengan melihat pengalaman keberhasilan dan kegagalan sebelumnya. Jika sebelumnya ODHA sudah mengalami keberhasilan dengan apa yang dilakukan maka ODHA akan merasa yakin dapat melakukannya kembali dikemudian hari. Bagaimana usaha yang dikeluarkan setelah mengalami suatu keberhasilan / kegagalan dari pengalaman sebelumnya. Berapa lama ODHA dapat bertahan saat dihadapkan pada rintangan serta penghayatan perasaan, misalnya ODHA dapat teratur meminum obat dan menjaga kesehatannya. ODHA yang telah memiliki pengalaman berhasil melewati satu demi satu tahapan terapi dengan mampu mengatasi efek samping dari terapi tersebut akan berpikir untuk mengikuti terapi kembali dan meminum obat secara teratur. Dan dapat dikatakan ODHA tersebut memiliki self efficacy yang tinggi. Sedangkan pengalaman kegagalan dalam mengikuti terapi dan meminum obat dapat menghambat self efficacy, terutama jika self efficacy belum terbentuk dengan mantap sebelum peristiwa kegagalan itu terjadi. Misalnya ODHA mengalami kegagalan saat mengatasi efek samping dari terapi dan pada saat melewati tahap selanjutnya ia kembali harus mengatasi efek samping yang sama atau lebih parah, maka ODHA tersebut akan berpikir untuk tidak melakukan terapi kembali dan meminum obat secara teratur lagi. Dan dapat dikatakan self efficacy ODHA tersebut rendah. Sumber yang kedua adalah Vicarious Experience merupakan sumber self efficacy yang berasal dari pengamatan individu tersebut terhadap individu lain yang memiliki pengalaman yang sama yang dianggap sebagai model/orang yang

14 signifikan bagi ODHA. Jika model memiliki beberapa persamaan, maka ODHA tersebut akan meniru apa yang dilakukan oleh model. Jika model melakukan suatu keterampilan dan berhasil, maka ODHA yang bersangkutan akan memiliki self efficacy yang tinggi terhadap hal yang sama. Orang yang dianggap signifikan/ dengan mengamati ODHA lain yang memiliki kesamaan dengan ODHA bersemangat dan mempunyai keyakinan yang tinggi dalam menjalani kehidupannya membuat ODHA tersebut mempunyai harapan untuk melakukan hal yang sama. Apabila ODHA yang diamati berhasil melalui efek samping dari terapi maka ODHA tersebut akan berpikir untuk melakukan hal yang sama dengan ODHA yang diamatinya dan dapat dikatakan self efficacy ODHA tersebut tinggi. Tetapi apabila model yang ia amati itu merasa putus asa maka ia juga akan merasa bahwa ia tidak mampu mengatasi efek samping dari terapi dan dapat dikatakan bahwa self efficacy ODHA tersebut rendah. Yang akan mengakibatkan performancenya menurun seperti berusaha seadaanya atau bahkan tidak berusaha sama sekali untuk dapat mengatasi efek samping dari terapi Sumber yang ketiga adalah Social/ Verbal Persuasion, merupakan dorongan yang disampaikan oleh orang lain kepada individu termasuk didalamnya bentuk-bentuk pernyataan verbal meliputi nasehat dan anjuran. Pengalaman ODHA yang dipersuasi secara verbal bahwa mereka mempunyai atau tidak mempunyai hal-hal yang dibutuhkan untuk berhasil kemudian dapat membentuk suatu keyakinan pada diri mereka. ODHA diberikan dukungan oleh keluarga, teman dan orang-orang terdekat lainnya yang menyatakan bahwa dirinya tetap

15 mampu menjalankan aktivitas sehari-hari seperti biasa walaupun harus rutin meminum obat setiap harinya dan menjaga kesehatan agar tidak rentan terkena penyakit. Dengan adanya dukungan dari orang-orang terdekat dapat memicu semangat ODHA agar berpikir dan merasa mampu mengatasi hambatan-hambatan yang ada dan termotivasi menjalankan kesehariannya Namun jika ODHA mendapatkan verbal persuasion bahwa mereka tidak mampu atau kurang mampu melakukan sesuatu keterampilan mengatasi hambatan dan tidak akan berhasil dalam kegiatan tersebut, ia tidak akan memiliki self efficacy yang tinggi dan akan membayangkan kegagalan yang akan menyertainya. Hal ini membuat individu menghindar dan mudah menyerah ketika mengatasi hambatan dan kesulitan. ODHA yang tidak mendapat dukungan moril dari keluarga dan kerabat dekatnya bahwa ia mampu melewati dan kuat akan efek samping dari terapi akan memiliki self efficacy yang rendah untuk tetap mengikuti terapi. Hal ini akan membuat ODHA menghindar untuk melakukan terapi. Psychological and Affective States merupakan sumber self efficacy yang berasal dari pandangan individu mengenai keadaan mental maupun fisiknya sendiri. Pandangan, interpretasi, dan anggapan individu mengenai kondisi fisik dan mentalnya akan membentuk self efficacy individu. Sering individu memiliki pandangan bahwa mereka mengalami keterbatasan secara fisik atau mental yang dapat menghambat mereka untuk melakukan suatu hal dan mencapai keberhasilan. Sering juga interpretasi ini tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Ini dapat mengakibatkan individu menghindari kegiatan-kegiatan yang membutuhkan ketahanan secara fisik dan mental. Hal tersebut akan

16 menyebabkan rendahnya self efficacy individu. Dengan mengubah interpretasi mereka terhadap kondisi fisik dan mentalnya menjadi sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, individu akan benar-benar mengerti dan memahami keadaan fisik dan mentalnya sehingga mereka dapat menyesuaikannya dengan kegiatan yang mereka lakukan. Hal ini akan membuat ODHA memiliki kemungkinan untuk berhasil dan akan memperkuat self efficacy. ODHA yang berpikir dan merasa bahwa ia memiliki ketahanan fisik akan mampu menjalankan terapi, dan umumnya ODHA tersebut memiliki self efficacy yang tinggi, namun jika ODHA berpikir dan merasa tidak memiliki ketahanan fisik ketika menjalankan terapi dan berpikir bahwa dirinya tidak mampu dan tidak akan mengikuti terapi kembali, maka ODHA memiliki self efficacy yang rendah. Semakin kuat self efficacy individu, semakin tinggi tujuan yang ditetapkan untuk diraih, dan semakin kuat pula komitmen individu terhadap tujuan tersebut (Bandura & Wood, 1989; Locke & Latham, 1990). Maka ODHA yang memiliki self efficacy yang tinggi akan menetapkan tujuan dan target untuk berhasil melewati tahapan-tahapan terapi dan ia akan berusaha keras mencapai tujuan tersebut, serta membayangkan keberhasilan yang menyertainya, sedangkan ODHA yang memiliki self efficacy yang rendah, tidak menetapkan tujuan untuk dapat melewati tahapan-tahapan terapi dan sembuh, tidak memiliki keinginan untuk berusaha mencapai tujuan, serta membayangkan kegagalan akan menyertainya. Tinggi rendahnya Self Efficacy ODHA dapat terlihat dari bagaimana ODHA menentukan pilihan untuk masa depannya, seberapa usaha yang akan

17 dikerahkan untuk mewujudkan pilihan yang telah ditentukannya tersebut, seberapa lama ODHA bertahan terhadap usaha yang dikerahkannya ketika menghadapi rintangan, dan bagaimana penghayatan perasaan ODHA dalam menjalani kesehariannya. ODHA yang membuat pilihan yang berkaitan dengan kehadiran pada waktu terapi yang lebih baik termasuk ODHA yang memiliki Self Efficacy yang tinggi. Sedangkan ODHA yang membuat pilihan yang berkaitan dengan meminum obat yang tidak patuh terhadap anjuran dokter/terapis memiliki Self Efficacy yang rendah. Self Efficacy pun mempengaruhi ODHA dalam usaha yang dikeluarkannya untuk mencapai pilihan yang telah Ia buat berupa kehadiran pada waktu terapi dan meminum obat sesuai dengan anjuran dokter/terapis. ODHA yang mencoba lebih keras dan berusaha sebaik mungkin untuk hadir pada waktu terapi termasuk ODHA yang memiliki Self Efficacy yang tinggi. Sedangkan ODHA yang tidak berusaha sebaik mungkin untuk meminum obat sesuai anjuran dokter/terapis termasuk ODHA yang memiliki Self Efficacy yang rendah. Self Efficacy pun mempengaruhi daya tahan ODHA ketika menghadapi rintangan/kegagalan ketika berusaha mencapai pilihan yang dibuat. ODHA yang lebih dapat bertahan dan bangkit kembali saat menghadapi masalah/kegagalan termasuk ODHA yang memiliki Self Efficacy yang tinggi. ODHA yang cenderung menyerah saat muncul rintangan termasuk ODHA yang memiliki Self Efficacy yang rendah. Derajat Self Efficacy yang dimiliki oleh ODHA akan mempengaruhi penghayatan perasaannya terhadap kehadirannya pada waktu terapi dan

18 penghayatan perasaannya yang berkaitan dengan meminum obat sesuai dengan anjuran dokter/terapis. Selanjutnya self efficacy yang telah terbentuk dalam diri ODHA akan mempengaruhi pilihan yang akan dibuat oleh ODHA dalam menjalani terapi sampai selesai, mempengaruhi usaha yang dikeluarkan selama terapi, mempengaruhi berapa lama ia bertahan saat dihadapkan pada rintangan (dan saat dihadapkan pada kegagalan) dalam hal yang berhubungan dengan terapi, dan mempengaruhi bagaimana penghayatan perasaan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan terapi (Bandura, 2002). Untuk lebih jelas bagaimana self efficacy pada penderita HIV/AIDS yang menjalani terapi, dapat dilihat dari skema kerangka pikir sebagai berikut :

19 BAGAN KERANGKA PIKIR : Sumber Self Efficacy : 1. Mastery experience 2. Vicarious experience 3. Social verbal persuasion 4. Psychological and affective states Self efficacy tinggi Proses Self Efficacy : Proses kognitif Self efficacy pada Penderita HIV/AIDS yang mengikuti terapi Self efficacy rendah Penderita HIV/AIDS yang mengikuti terapi Aspek Self Efficacy : 1. Pilihan yang dibuat 2. Usaha yang dikeluarkan 3. Berapa lama ODHA bertahan saat dihadapkan pada rintangan ( saat dihadapkan pada kegagalan ) 4. Bagaimana penghayatan perasaan ODHA

20 1.6 Asumsi ODHA di Puskesmas X di Kota Cirebon memiliki sumber-sumber informasi berupa: mastery experience, vicarious experience, verbal persuasion, dan physiological and affective states yang akan mempengaruhi keyakinan (self efficacy) mereka dalam menghadapi kehidupan selanjutnya. ODHA di Puskesmas X di Kota Cirebon memiliki proses berupa: proses kognitif yang akan mempengaruhi keyakinan (self efficacy) mereka dalam menghadapi kehidupan selanjutnya. Derajat self efficacy dapat dilihat dari perilaku ODHA di Puskesmas X di Kota Cirebon meliputi: pilihan yang diambil, usaha yang akan dikerahkan untuk mewujudkan pilihan tersebut, daya tahan ketika menghadapi tantangan, dan penghayatan perasaan ODHA. ODHA di Puskesmas X di kota Cirebon akan memiliki derajat self efficacy yang tergolong tinggi atau rendah dalam menghadapi kehidupannya.